Malam ini, langit di atas sana, tidak gelap dan tidak pula terang. Tiupan
sepoi angin yang berlabuh pada pepohonan, mengalunkan musik alam, krisik
dedaunan dalam melodi. Kucoba pejamkan mata, tetapi tak bisa.
Jarum jam sudah menunjukkan 1.40 AM. Ohh… hampir satu jam mataku terpejam.
Jiwa terjaga. Terbang ke kampung halaman. Mengingat masa-masa kecil.
Bernostalgia dengan teman-teman. Menyepet ikat di penghujung minggu. Menggetah
burung. Bermain motor-motoran dengan asap debu dimasukkan ke celana. Namun hal
yang lebih mengesankan, pagi ke sekolah, sore ke madrasah, mencari kambing
menjelang maghrib, dan mengaji antara Magrib dan Isa. Rutinitas. Terkadang
menjemukan. Jika membandel, pecutan sebilah rotan, berlabuh ke telapak tangan. Pedih.
Pinta ampun.
Sekelumit cerita tentang anak kampung. Anak seorang petani yang hidup
pas-pasan. Tetapi, dalam soal pendidikan, meskipun ayahnya cuma tamat SMP dan
ibunya tidak tamat SD, mereka berpandangan ke depan. “Nak, jika hidupmu ingin
berubah, sekolah yang benar. Jangan
seperti kami”, nasehat yang sering disenandungkan.
Hidup mereka tidak berlebih, malahan terkadang berhutang, yang penting anak-anaknya
sekolah. Anak-anaknya juga tahu, bagaimana keadaan dan penderitaan ayah mereka.
Terkadang dicemoohkan. “Hidup pas-pasan, masih juga menyekolahkan anak, tidak
akan sampai”, kata orang.
Hari ini, pencemooh, menggigit jari. Ramalan mereka salah. Bahkan tak tahu
malu, sebahagian malah meminta menjadi menantu. Memang begitu, sunnatullah,
emas bila mulai terlihat, tanpa diundang pendulang kan datang.
Dalam hitungan matematika duniawi, mereka ada benarnya. Tapi mereka lupa,
ini persoalan tauhidi. Imām al-Shāfiʿī, hidup dalam kemiskinan, tapi dia
menjadi Imām. Sederet lagi kisah mereka yang berhasil di atas kemiskinan. Tapi
di sini, bukan tempat menghikayahkan.
Aku hanya menghikayahkan perjuangan seorang bapak, tujuh tahun sudah dia
tiada. Anaknya yang pertama menyelesaikan pendidikan S1-nya dalam bidang
Ekonomi. Anaknya yang kedua menyelesaikan pendidikan S1-nya dalam bidang
pendidikan. Setelah kepergiannya, anaknya yang ketiga menyelesaikan
pendidikannya S1-nya dalam bidang Syari’ah; dan atas izin Allah pula menunggu
ujian akhir Tesis S2-nya dalam bidang Pemikiran dan Filsafat Islam. Anaknya
yang keempat, setelah menyelesaikan pendidikan Aliyahnya di Pondok Pesantren,
sekarang berada di semester lima dalam bidang Bahasa Inggris. Terakhir, anaknya
yang terkecil, kelas enam SD dan meminta masuk Pondok Pesantren.
Selesai SMP, ayah mengirimku ke Jambi. MAKN, jenjang pendidikan
selanjutnya. Dua orang kakakku, juga di Jambi. Kuliah. Setiap bulan setidaknya
1 juta untuk kami bertiga. Tanggungan yang besar bagi ayah. Namun, amat tidak
mencukupi untuk kami. Bertahun-tahun seperti itu. Tapi beliau tidak mengeluh. Meskipun,
di kampung, aku tahu terkadang beliau dan ibu berlaukkan cabe giling.
Menutupi kekurangan, kakakku tertua kuliah sambil bekerja. Sementara aku, di
asrama. Hanya menerima dan bersyukur apa yang ada. Setiap bulan keperluanku Rp.
250.000. Manakala teman-temanku ada yang
500.000-1.000.000/bulan. Iri? Terkadang iya. Namun apa nak dikata. Hanya
mengulum jari. Setelah beranjak dewasa, baru kutahu, apa itu perjuangan. Banyaknya
uang jajan, bukan jaminan. Malah, itu bisa melengahkan. Tanpa bantuan orang
tua, juga bisa bersekolah. Asalkan ada keyakinan.
Tidak bermaksud memuji diri, tapi seluruh keadaan itu, tidak melemahkan cita.
Al-Azhar, ya… cita-cita selanjutnya. Namun, hamba hanya bercita, Tuhan jua yang
menentukan. Semua telah tercatat di Lauḥ al-MaḥfūẓNya. Takdir
mengantarkanku pada IAIN Jambi.
Di sini, cerita baru bermula. Untuk kuliah, aku mesti pulang kampung,
menyadap karet. Lama juga. Hasilnya, untuk ongkos ke Jambi dan mendaftar ke
IAIN. Pembayaran-pembayaran itu, hasil keringatku.
Tak sampai di situ, ujian yang lain pun datang kembali. Baru menjejakkan
kaki di Kampus Biru, bulan Ramadan tepatnya, “ Edi, ayah sudah tiada!”, telefon
dari Kampung. Beliau yang kucinta dipanggil kehadirat yang Maha Kuasa. Sesaklah
dada. Tetapi apa nak dikata. Kullu nafs dhāiqatu l-mawt. Anda, saya, dan
kita semua, pasti kan mati jua.
Kini, ada dua pilihan. Kuliah dengan mandiri, atau pulang kampung. Aku
memilih yang pertama. Al-Ḥamdulillāh - puji dan syukur hanya kepadanya, Tuhan
sarwa alam dengan al-AsmāʾNya, al-ʿAlīm
dan al-Ḥakīm, telah mencurahkan sifat al-RaḥmānNya berupa cahaya
ilmu kepada setiap makhlukNya - tanpa beliau, aku sarjana.
Tidak mudah. Pasti. Berbekalkan ilmu yang ada, aku tinggal di Masjid. Lapar
menjadi sahabat. Satu minggu tidak punya beras, hal biasa. Aku tidak menyerah.
Pucuk ubi dan buah pepaya muda, cukup mengganjal perut. Andi, Yusuf, Sarnubi,
dan Habibi, bersama mereka, aku melalui ini. Cerita lah menjadi kenangan. Bila
diingat, meneteslah air mata. Hari ini, mereka adalah orang luar biasa. Andi
melanjutkan S2, tanpa “uang”. Yusuf, di ansuransi Takaful, dan ada tanda-tanda menjadi
orang kaya. Sarnubi, guru. Habibi, banker.
Aku merasa tidak cukup dengan bangku kuliah. Lalu mencoba masuk organisasi.
Ternyata aku menjiwai. Posisiku selalu di tempat strategis. Terakhir, aku
menjabat ketua sebuah organisasi Kampus. Dari sini aku mulai berkembang. Mulai
kenal dengan pejabat dan orang-orang penting. Mulai tahu manajemen organisasi.
Kembali ke cerita. Tak terasa kuliahpun selesai. Semangat untuk kuliah
tidak memudar. Tujuan selanjutnya ialah: ISTAC, IIUM, IIUP, UIN Jakarta, dan
terakhir sekali almamater lama, IAIN Jambi. Dua tahun kemudian, Tuhan pun
mengantarkankku ke CASIS – UTM, “ISTAC” lah juga.
Di sini babak baru kedua bermula. Mau daftar ke UTM aku tidak punya uang. Mau
beli tiket tidak punya uang. Tapi, Dia dan sifat al-RaḥmānNya,
memudahkan itu semua.
Kusampaikan kepada kakakku tertua dalam linangan air mata, “hatiku telah
mantap untuk sekolah lagi. Apapun keadaan yang dihadapi, kan kuhadapi. Kerja
bangunan sekalipun, tidak masalah, aku lah menempah diri”.
Aku berangkat ke KL dengan uang bersih di tangan 3 juta kala itu. Si I aku tanya,
bawa uang berapa? 7 juta. Sementara si M, 100….. hehehe (bayangkan sendiri).
Kedatangan kami KL sebagai kelanjutan daripada kerja IAIN – CASIS. Lebih
tepatnya, wakil IAIN. Malangnya, dikatakan wakil, tapi... ah… maklumlah. Kita
tahu sendiri. Pejabat kampus diributkan dengan carut marut politik kampus
berbanding mencetak generasi. Kampus, terkadang layaknya TK. Prof. dan Dr. TK?
Pagi itu, sebelum berangkat, kami bertiga dipanggil dan menghadap Rektor.
Pelbagai nasehat diberikan. Kami kira, sebagai wakil resmi kampus, ada
basa-basi, nih untuk tambahan ongkos seadanya. Bukan berharap, tapi ini persoalan
harga diri. CASIS dengan niat lillah, berani menjanjikan uang semester
selama tiga semester. Sementara kita… ah…. Lagi-lagi maklumlah! TK? Teringat kisah ini, muncul
rasa muak untuk pulang. Tapi, bisikan nurani dan
demi pengabdian
untuk bangsa, suatu saat kan pulang jua.
Pengalaman itu mengajarkanku bersandar kepadaNya. Beberapa bulan kemudian, beasiswa PEMDA Jambi dibuka. Aku mendaftar. Seorang
teman menawarkan kabel yang dia miliki, dengan lembut aku
tolak. Bagiku keberkahan ilmu jauh lebih penting daripada uang berpuluhan juta.
Dia, dengan sifat al-ḥayyNya, tidak tidur dan alpa dari niat dan usaha
hambaNya, murni, aku lulus. Dia, yang menawarkanku, tidak lulus. ʿAsā an tuḥibbū
shayʾā fahuwa sarru l-lakum, wa ʿasā an tukrihū shayʾā fahuwa khayru l-lakum.
Boleh jadi engkap mencintai sesuatu, namun ia buruk untukmu. Boleh jadi pula engkau
membenci sesuatu, namun itu baik untukmu.
Hari dalam hitungan jam. Jam dalam hitungan menit. Menit dalam hitungan
detik. Waktu bergulir. Biaya hidup di KL dan enam
semester yang harus dilalui, beasiswa itu sangat tidak mencukupi. Dua semester terakhir, aku berhutang
kepada UTM hampir RM. 12.000. Dalam hitungan matematika dunia, tidak terbayar. Hampir
Rp. 40.000.000 kalau uang kita. Namun ini wilayah tauhidi. Semuanya mungkin
dengan kalimah mustajabnyaNya, kun.
Ringkas cerita, sedikit demi sedikit, hutang itu berkurang tanpa “uang”. Terakhir,
tinggal RM. 8000. Di sini, keajaiban Dia yang al-ḥayy (Maha Hidup) dan al-razzāq
(Maha Memberi Rezeki) berlaku. Hari itu, dua minggu sebelum batas akhir tesis
disubmit, aku menghadap pembimbing meminta izin untuk perpanjangan semester. Dia
bertanya: “kenapa?”. Aku diam. Sampai empat kali beliau bertanya demikian
dengan suara semakin meninggi. Lalu aku jelaskan. Beliau tidak sepakat. Namun,
tanpa aku sangka, beliau memberikan jalan. Dibayar dengan tabung zakat. Lagi-lagi
tanpa “uang”, alhamdulillah ‘ala kulli hal. Aku tidak meminta. Tetapi karena raḥmānNya lah menggarakkan hati hati hambaNya untuk membantu. Tesis sudah
disubmit dan menunggu viva.
Ternyata, tali, apabila terlalu kencang, tanda kan putus.
Panas, apabila terlalu lama, tanda kan datang hujan. Kesempitan hidup, apabila
dihadapi dengan sabar dan doa, petanda kemudahan kan datang. Fa Inna Maʿa
l-ʿUsri Yusrā, Inna Maʿa l-ʿUsri Yusrā. Sanya bersama kesulitan kan ada
kemudahan, sungguh bersama kesulihatan kan ada kemudahan.
InsyaAllah, selanjutnya, S3, juga “tanpa” uang. CASIS - UTM, SOAS – University of London,
Chicago University, atau McGill University? Wallahū aʿlām, kita lihatlah nanti.