Justifikasi Pernikahan Beda Agama Perspektif
Islam Liberal
(Kritik Terhadap Konsep Ahl al-Kitab, Musyrik, dan Kafir)
Oleh: Edi
Kurniawan, S. Sy
(Penulis
Adalah Alumni Fak. Syari’ah IAIN STS Jambi & Peneliti Pada Forum for
Studies of Islamic Thought and Civilization)[1]
Pendahuluan
Dengan meminjam istilah yang
dikategorikan oleh Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: A Source Book[1], menurutnya
kategori Islam Liberal ada tiga macam, salah satunya adalah interpreted shari’ah.[2] Di
sinilah mereka dapat dipahami sebagai interpreted syari’ah karena mereka
berasumsi bahwa Islam membuka kemungkinan liberal pada masalah-masalah yang
dimungkinkan munculnya penafsiran (interpreted). Mereka menggunakan
teks-teks sebagai dalil, namun mengedepankan suatu epistemologi yang menekankan
perlunya keragaman di dalam menafsirkan al-Qur’an, termasuk di dalamnya
teks-teks ayat yang dianggap melarang pernikahan beda agama. Ayat yang
berkaitan dengan ini antara lain Surah al-Baqarah ayat 221, al-Maidah ayat 5,
dan al-Mumtahanah ayat 10.
Berangkat
dari tiga ayat di atas, maka ada tiga hal yang harus di-clear-kan, yaitu
konsep ahl al-kitab, musyrik, dan kafir.
Konsep Ahl al-Kitab
Konsep ahl al-kitab[3] pada
masa awal kedatangan Islam mengacu kepada dua kelompok, yaitu Yahudi dan
Nashrani. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ada beberapa pendapat yang
menambahkan bahwa ahl al-kitab itu tidak hanya mencakup Yahudi dan
Nashrani saja, Namun lebih dari itu. Orang-orang yang mempunyai kitab seperti
hindu, budha, konghucu dan lain-lain juga bisa disebut sebagai ahl al-kitab.
Pendapat ini akan mempunyai konsekuensi bahwa mereka pun (wanita hindu, budha,
konghucu, dll) boleh dinikahi. Dan jika ahl al-kitab itu hanya tertuju
kepada Yahudi dan Nashrani saja, maka konsekuensinya yang boleh dinikahi hanya
kedua tersebut. Atau ahl-kitab itu tertuju kepada Yahudi dan Nashrani
yang berasal dari keturunan Israel, maka yang boleh dinikahi Yahudi dan
Nashrani dari keturunan Israel saja.
Memang
terjadi perbedaan pendapat yang berkembang dikalangan ulama mengenai cakupan ahl
al-kitab: (a) kebanyakan ulama berpendapat bahwa ahl al-kitab
hanya mengacu kepada kepada kelompok Yahudi dan Nashrani. Bahkan Imam Syafi’i
lebih ketat lagi, term ahl al-kitab menurutnya hanyalah penganut agama
Yahudi dan Nashrani yang berasal dari Bangsa Israel.[4] Alasannya menurut
beliau, karena nabi Musa dan Isa hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan
untuk bangsa lain.[5] Mengenai penganut agama selain dari Yahudi dan Nashrani
menurut pendapat ini mereka disebut dengan syibh ahl al-kitab.[6]`(b)
ada yang mengatakan bahwa ahl al-kitab itu tidak hanya terbatas pada
Yahudi dan Nashrani saja. Majusi juga termasuk ahl al-kitab, sebagaimana
pandangan Dzahiriyah.[7]Abu Hanifah dan ulama Hanafiyah serta sebagian
hanabilah berpendapat, siapa pun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau
kitab yang diturunkan Allah, maka ia termasuk ahl al-kitab, tidak
terbatas pada kelompok agama Yahudi dan Nashrani saja. Dengan demikian, bila
ada suatu kelompok yang hanya percaya kepada Zabur, Shuhuf, dan Syits saja,
maka ia termasuk dalam jangkauan pengertian ahl al-kitab.[8] Abu
al-‘Aliyah (w.39.H), seorang tabi’, mengatakan bahwa kaum shabi’un adalah
kelompok ahl al-kitab yang membaca kitab suci zabur.[9]
Dengan meminjam istilah yang
dikategorikan oleh Kurzman, interpreted shari’ah,[10]
mereka dapat dipahami sebagai interpreted syari’ah karena mereka
berasumsi bahwa Islam membuka kemungkinan liberal pada masalah-masalah yang
dimungkinkan munculnya penafsiran (interpreted), dalam hal ini khusus
pada makna dan cakupan ahl al-kitab.
Menurut
Cak Nur (nama sapaan Nurcholis Madjid) sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Daud
Rasyid, M.A. dalam makalahnya, ketika diskusi di TIM Oktober 1992, Cak Nur
dengan mengutip pendapat Abdul Hamid Hakim, tokoh pembaharu asal Padang
Panjang, Sumatera Barat dalam bukunya al-Mu’min al-Mubin, ia menyatakan
bahwa ahl al-kitab bukan hanya agama-agama samawi saja (Yahudi dan
Nashrani). Menurutnya, semua pemeluk agama di luar Islam adalah ahl
al-kitab.[11] Kemudian dalam makalah tersebut ia mengutip kembali pendapat
Abdul Hamid Hakim yang mengklaim bahwa Rasyid Ridha mengatakan bahwa yang
termasuk ahl al-kitab tidak hanya orang-orang Yahudi dan Kristen
kemudian Majusi saja, tetapi orang Hindu, Budha, dan penganut agama Cina,
Jepang, dan lain-lain. Menurut Abdul Hamid Hakim, mereka adalah penganut kitab
suci yang memuat ajaran dasar tauhid atau ketuhanan Yang Maha Esa sampai
sekarang.[12]
Senada
dengan Cak Nur, kemudian belakangan diikuti pula oleh orang-orang yang se-ide
dengan Cak Nur. Zainun Kamal misalnya (kontributor JIL), menurutnya, kalau
merujuk pada kitab-kitab tafsir, sebenarnya ahl al-kitab tidak hanya
terbatas pada Yahudi dan Nashrani saja. Kedua golongan ini populer disebut ahl
al-kitab karena kedua agama ini memiliki penganut agama yang cukup banyak.
Padahal, lanjutnya, bila seseorang sudah percaya kepada salah satu Nabi, maka
ia bisa dikategorikan ahl al-kitab. Secara eksplisit Kamal mengatakan
bahwa penganut agama-agama yang diakui di Indonesia adalah ahl al-kitab. Ia
memulai pandangannya secara makro, al-Baghdadi dalam al-Farq Baina al-Firaq
mengatakan bahwa agama Majusi atau Zoroaster sekitar Arab juga bisa disebut ahl
al-kitab. Hal ini karena Zoroaster dianggap sebagai Nabi. Bahkan Ibn Rusyd
menyebut Aristoteles juga sebagai Nabi. Kemudian dalam konteks Indonesia,
dengan mengutip pendapat Ridha dan Tafsir al-Manar-nya, ia menyatakan bahwa
agama Budha, Hindu, atau agama Konghucu dan Shinto, juga disebut ahl
al-kitab, karena ada kitab yang dibawa oleh Nabi. Dan Nabi di sini
diartikan sebagai pembawa pesan moral. Atas dasar itu menurut Kamal, tidak ada
larangan menikah dengan kaum agama lain, dalam konteks Indonesia yaitu agama
Hindu, Budha, Kristen, dan Protestan, dengan alasan karena mereka juga
mempunyai kitab suci yang berisi pesan moral dan menjadi pegangan hidup.[13]
Hal
yang senada juga disampaikan oleh Siti Musdah Mulia. Menurutnya, dengan ‘menyetir’ pendapat Ridha tersebut, ia menyimpulkan bahwa dalam, “pernikahan beda agama tidak
ditemukan dalil berupa teks Al-Qur’an dan Hadits yang secara tegas dan pasti (qath’i)(‘adam
al-dalil huwa al-dalil). Artinya menurut Musdah, jika dalam suatu perkara
tidak ditemukan nash atau teks yang secara tegas melarang atau menyuruh, maka
dikembalikan ke hukum asal. Salah satu kaidah fiqih menyebutkan bahwa dalam urusan
muamalah, seperti pernikahan, hukum asalnya adalah mubah atau boleh (al-ashl
fi al-asyya’ al-ibadah), maka pernikahan beda agama juga dibolehkan”.[14]
tidak hanya sebatas Yahudi dan Nashrani saja, melainkan Budha, Hindu, Konghucu,
Shinto dan lain-lain juga disebut melarang atau membolehkan. Menurut kaidah
fiqih, ketiadaan dalil itu sendiri merupakan dalil
Sementara
Abd. Moqsith Ghazali, aktifis JIL, dengan menyetir pendapat Rasyid Ridha
sebagaimana pendahulunya, dan beberapa pandangan para Ulama tentang cakupan ahl
al-kitab, ia menyimpulkan bahwa “pengharaman antara perempuan Muslim dengan
laki-laki ahl al-kitab dengan mengacu pada al-Qur’an tersebut tidak
cukup kuat. Karena al-Qur’an tidak melarang secara tegas, sebagaimana ketegasan
al-Qur’an ketika melarang orang Islam menikah dengan orang Musyrik Mekah atau
orang Kafir Mekah”.[15]
Dari
beberapa argument tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memahami cakupan ahl
al-kitab, mereka lebih cenderung kepada pemahan Rasyid Ridha. Begitu pula
ketidakrelevannya larangan perkawinan antara wanita Muslimah dengan laki-laki ahl
al-kitab dengan waktunya dan larangan tersebut tidaklah kuat. Karena itu,
perlu ditelaah lebih lanjut kesimpulan tersebut sebagai berikut:
1.
Cakupan
Ahl Al-Kitab
Untuk mengawali analisis ini, ada baiknya penulis
kutipkan kritik Daud Rasyid kepada Cak Nur ketika diskusi TIM 1992, Daud Rasyid
mengatakan: “Ungkapan aneh ini[16] kemungkinan besar muncul karena tidak
memahami secara utuh jalan pikiran Rasyid Ridha tentang ahli kitab; atau sengaja
mengangkat sisi-sisi kelemahan dari ijtihad Rasyid Ridha dan
membesar-besarkannya untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah”.[17]
Hemat penulis, kritik Daud Rasyid
ada benarnya. Jika kita merujuk kembali pada Tafsir al-Qur’an al-‘Azim
atau dikenal juga dengan Tafsir al-Manar jilid VI, di penghujung
penafsirannya tentang Surah al-Maidah (5) ayat 5 ini, Rasyid Ridha
memperingatkan dengan serius bahaya mengawani wanita ahl al-kitab jika
si istri akan mencelakakannya sehingga suami mengikuti agama istrinya, bukan
dia yang menarik istrinya ke dalam Islam. Hal ini, kata Ridha, banyak terjadi
pada zamannya, di mana lelaki Muslim yang lemah imannya menikahi wanita-wanita
Eropa sehingga mereka tertipu. Atas dasar itu menurut Ridha, sadd zari’ah
wajib diberlakukan dalam Islam. Ridha menulis:
“Apabila
seseorang takut sang istri yang akan menarik sang suami kepada perbuatan,
kecantikan, kejahilan, dan akhlak-nya yang buruk, sebagaimana yang banyak
terjadi pada zamannya (Ridha), di mana laki-laki Muslim yang lemah menikahi
wanita-wanita Eropa atau juga menikahi wanita kitabiyyat sehingga mereka
itu (laki-laki yang lemah) tertipu oleh mereka (wanita-wanita Eropa atau kitabiyyat).
Atas dasar itu, sadd al-zari’ah wajib diberlakukan dalam Islam”.[18]
Di sini jelaslah Ridha sangat
memperingati kepada laki-laki terutama laki-laki yang lemah imannya untuk tidak
menikahi wanita ahl al-kitab, di mana mereka sering tertipu, bukannya
mereka yang mengajak kepada Islam, tapi malah sebaliknya mereka yang mengikuti
agama sang istri. Dalam kondisi semacam ini, menutup jalan atau tidak
memberikan peluang agar kasus seperti ini tidak terjadi (sad al-zari’ah)
wajib diberlakukan.
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh
Islam Liberal terutama JIL dan kontributornya yang telah penulis paparkan pada
bagian terdahulu, ternyata tidak ada satu pun di antara mereka yang mengutip
peringatan Ridha ini, cuma mengutip pendapat Ridha tentang konsep dan cakupan ahl
al-kitab saja. Hal ini tentunya sebuah ketidakadilan dalam mengutip, menerima
apa yang sesuai dengan selera dan menolak apa yang tidak sesuai.
Mengenai cakupan ahl al-kitab,
Muhammad Quraish Shihab dalam wawasan al-Qur’an, setelah menguraikan
panjang lebar pandangan dan pendapat para ulama tentang ahl al-kitab, ia
berkesimpulan bahwa ahl al-kitabahl al-kitab hanya terbatas pada kedua
golongan tersebut, yaitu Yahudi dan Nashrani.[19] Senada dengan Quraysh Shihab,
Muhammad Ghalib dalam disertasinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
berjudul Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, setelah menguraikan panjang
lebar pendapat para ulama, ia berkesimpulan bahwa istilah ahl al-kitab
hanya tertuju pada dua komunitas, yaitu Yahudi dan Nashrani.[20] adalah semua
penganut agama Yahudi dan Nashrani. Karena menurutnya bahwa penggunaan al-Qur’an
terhadap istilah
Jika dicermati pada masa awal Islam,
dua golongan inilah yang ditujukan sebagai ahl al-kitab. Dan inilah
pendapat yang terkuat di antara beberapa pendapat, dan ini dipegangi oleh
Jumhur Ulama. Sebab, secara historis ketika pada masa awal Islam datang yakni
pada masa Rasulullah dan para sahabat, kedua kelompok inilah yang disebut
sebagai ahl al-kitab. Untuk mempertegas argumen ini, ada 3 alasan yang
diajukan sebagi berikut: (a) surat-surat dakwah Rasulullah SAW yang dikirim
kepada sejumlah penguasa di luar Semenanjung Arabia juga memberikan petunjuk
bahwa ahl al-kitab hanya terbatas pada kaum Yahudi dan Nashrani. Surat
dakwah Rasulullah SAW yang dikirim kepada Heraclius[21] dan Muqauqia yang
beragama Nashrani, diakhiri dengan seruan kepada kaum ahl al-kitab untuk
mengadakan kata sepakat, atau paling tidak mereka mau mengakui eksistensi kaum
Muslimin. Akan halnya surat yang dikirim kepada raja al-Najjasi, raja Ethiopia
yang juga menganut agama Yahudi, meskipun diakhiri dengan seruan semacam itu,
tetapi dalam surat tersebut Rasulullah SAW menyatakan pengakuannya atas Nabi
Isa AS yang menunjukkan ada persambungan akidah antara ajaran yang beliau bawa
dengan ajaran yang pernah dibawa Nabi Isa AS,[22] (b) surat perjanjian antara
kaum Muslimin Muhajirin dan Anshar dengan masyarakat Yahudi yang berisi
pengakuan atas agama mereka dan harta benda mereka dengan syarat
timbal-balik,[23] dan (c) dalam al-Qur’an Surah Ali Imran (3) ayat 64 lebih
jelas lagi seruan kepada ahl al-kitab (Yahudi dan Nashrani) untuk
menggunakan kalimah yang sama (kalaimatissawa’) untuk menyembah Allah
dan tidak mempersekutukannya dengan apa pun.[24] Hal inilah yang digambarkan
oleh Husain Haekal bahwa ahl al-kitab, yakni umat Yahudi dan Nashrani
diajak untuk mengesakan Allah. Umat Nashrani diajak untuk saling berdo’a,
sedangkan pihak Yahudi sudah ada perjanjian perdamaian.[25]
Kemudian pendapat yang mengatakan
bahwa orang-orang Majusi disebut juga sebagai ahl al-kitab. Hemat
penulis, pendapat ini kontradiksi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Malik dari Ja’far bin Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali dari bapaknya. Di mana
Rasulullah SAW memerintah untuk memperlakukan orang-orang Majusi seperti ahl
al-kitab. Perintah Rasulullah ini untuk “memperlakukan” orang-orang Majusi
seperti ahl al-kitab, tentunya orang Majusi itu bukan ahl al-kitab,
hanya perintah memperlakukan saja dan ini tidak mengandung pengertian bahwa
mereka adalah ahl al-kitab. Ditambah lagi dengan sikap khalifah Umar ibn
Khattab yang banyak membicarakan sekitar permasalahan orang-orang Majusi,
sekiranya ia memahami ahl al-kitab mencakup kaum Majusi, tentunya Umar
tidak mempermasalahkan mereka.[26]
Sementara pendapat yang mengatakan
bahwa shabi’un juga termasuk ahl al-kitab, ini bertolak belakang
dengan pemaknaan awal pada zaman Rasulullah dan para sahabat, bahwa ahl
al-kitab itu hanya mengacu kepada Yahudi dan Nashrani.
Dan pendapat Ridha, yang menjadi
pegangan tokoh-tokoh di atas yang menyatakan bahwa Hindu, Budha, dan Konfisius
juga termasuk ahl al-kitab. Hemat penulis, pendapat ini adalah pendapat
yang lemah di antara bebarapa pendapat yang ada. Argumen yang digunakan Ridha
yang kemudian dijadikan hujjah oleh mereka adalah sasaran awal al-Qur’an adalah
masyarakat Arab dan orang Arab belum melakukan perjalanan ke India, Cina, dan
Jepang sehingga tidak mengetahui golongan lain.[27]
Sebelum menelaah dan menguji
pendapat ini lebih lanjut, ada baiknya kita melihat sejumlah agama besar, kitab
suci, dan pendirinya. Berikut daftarnya:[28]
No
|
Nama
Agama
|
Pembangun
Agama
|
Kitab
Suci
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
|
Yahudi
Brahma
Zarathustra
Buddha
Jaina
Shinto
Konghucu
Tao
Kristen
Islam
Sikh
|
Musa (lk. 1200 SM)
………. (lk. 2000 SM)
Zarathustra (660-583)
Sidharta (563-483 SM)
Mahavira (556-429 SM)
………. (lk. 660 SM)
Konghucu (551-429 SM)
Lao Tze (604-524 SM)
Jesus (lk. 1-30 SM)
Muhammad saw (570-632 M)
Guru Nanak (1469-1538 M)
|
Taurat
Veda
Avesta
Tripitaka
Agamas
Kojiki/Nihongi
Lun Yu, dll
Tao The King
New Testment
Al-Qur’an
Adi Granth
|
Selain 11 agama yang disebutkan di
atas, tentunya masih banyak lagi agama yang lain di muka bumi ini, sepertia
Baha’i yang berpusat di Israel dan Jainisme (agama non-kekerasan dari India
yang yang diajarkan oleh Mahavira pada abad ke-5 SM, bersamaan dengan munculnya
Budhisme).[29] Kemudian pula dalam daftar penandatanganan naskah deklarasi
bernama, “Declaration Toward a Global Etik”, sebagaimana yang dikutip oleh
Adian Husaini bahwa pada tanggal 28 Agustus 1993 di Chicago ternyata sejumlah
wakil-wakil dari agama seperti Baha’i, Brahma Kumaris, Budhisme, Kristen,
agama-agama Asli, Hinduisme, Jainisme, Yudaisme, Islam, Neo Pagan, Sikh, Taois,
Teosofis, Zoroasterian, dan sebagainya.[30]
Dengan melihat begitu banyak jenis
agama di atas, maka muncul pertanyaan, apakah agama Hindu, Budha, Konghucu,
Sinto adalah ahl al-kitab? Jika iya, lalu bagaimana dengan agama-agama
yang lain seperti Sikh, Jainisme, Baha’i, Tao, Neo Pagan, Teosofis, dan
sebagainya, bisakah disebut ahl al-kitab? Mereka juga mempunyai kitab
dan mereka juga mempunyai Nabi (Nabi dalam perspektif Kamal, yaitu pembawa
pesan moral)? Mengapa mereka tidak disebut-sebut sebagai ahl al-kitab?
Secara logika, tentu sebuah ketidakadilan jika mereka tidak dimasukkan ke dalam
golongan ahl al-kitab.
Jika dengan argumen orang-orang Arab
belum melakukan perjalanan kala itu, sehingga mereka belum mengenal agama-agama
yang ada di Cina dan di Dunia Arab hanya dikenal Majusi dan Musyrik. Dengan
berjalannya waktu, mereka telah mengenal Budha, Hindu, Sinto, dan Konghucu.
Namun pada hari ini mereka juga telah mengenal agama di luar itu, tapi mereka
tidak dikategorikan ahl al-kitab.
Ringkasnya menurut hemat penulis,
jika masih tetap memasukkan agama Budha, Hindu, Sinto, dan Konghucu, maka
pemaknaan semacam ini akan bias kepada agama-agama yang lain. Selain Yahudi dan
Nashrani jika masih tetap disebut sebagai ahl al-kitab, hal ini akan
berdampak yang sangat serius, yaitu berujung pada “penyamaan agama” yang
populer disebut sebagai “teologi pluralis”.[31]
2.
Pernikahan
Antara Wanita Muslimah Dengan Laki-Laki Ahl Al-Kitab
Klaim pernikahan antara wanita
muslimah dengan laki-laki ahl al-kitab dibolehkan dengan dasar ikhtifa’
(menyembunyikan suatu bagian sebagai pertanda mengikuti bagian yang
lainnya) sehingga bisa berlaku di sini mafhum mukhalafah sebagaimana
yang diungkapkan oleh Musdah Mulia[32] dan Abd. Moqsith Ghazali.[33]
Para
ulama bersepakat bahwa Surah al-Maidah (5) ayat 5 hanya memberikan kebolehan
bagi laki-laki muslim untuk menikahi wanita ahl al-kitab, bukan
sebaliknya. Seandainya pernikahan semacam ini dibolehkan, tentu Allah akan
menegaskan. Dan jika pendekatan kebolehannya menggunakan mafhum mukhalafah,[34]
tentu ini bertentangan dengan prinsip mafhum mukhalafah yang telah
dirumuskan oleh para ulama ushul. Sebab, dalam teori mafhum mukhalafah
kata “mukhshanat”, yaitu perempuan yang menjaga diri dan kehormatannya, ini
berbentuk dalam redaksi mantiq (tekstual) sehingga Surah al-Maidah (5)
ayat 5 tersebut membatasi masuknya “mukhshanun”, yaitu laki-laki yang menjaga
diri dan kehormatannya. Sehingga ulama ushul atau juga dalam kajian ulum
al-Qur’an, mafhum mukhalafah semacam ini dikategorikan sebagai mafhum
al-shifah. Oleh karenanya, ayat ini menurut jumhur ulama, menunjukkan atas
keharaman pernikahan dengan pria ahl al-kitab dengan wanita
muslimah.[35]
Demikian
pula halnya dengan hadits Nabi sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir
Al-Qur’an al’Azim, hadits yang diriwayatkan dari Jabir yang menyatakan
bahwa para kaum muslimin boleh menikahi perempuan-perempuan ahl al-kitab,
tapi mereka (laki-laki ahl al-kitab) tidak boleh menikahi
perempuan-perempuan kami.[36]
Selain
itu, ada juga hadits dari Zaid bin Wahab bahwa khalifah Umar berpesan yang
menyatakan bahwa seorang muslim boleh menikahi perempuan Nashrani, tetapi
laki-laki Nashrani tidak boleh menikahi perempuan Muslimah.[37]
Menurut
Ath-Thabari sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Katsir bahwa meskipun sanad
haditsnya-hadits tersebut agak sedikit bermasalah, akan tetapi dikarenakan
maknanya telah diterima dan disepakati oleh kaum muslimin, maka otoritasnya
sebagai dalil dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun demikian, apabila
dibandingkan dengan hadits riwayat Syahr ibn Husyab yang mengisahkan bahwa Umar
menyuruh Thalhah dan Hudzaifah untuk menceraikan istri-istri mereka yang ahl
al-kitab, maka kualitas hadits di atas menurut Ath-Thabari lebih baik.[38]
Hal
ini mengingat bahwa kualitas hadits yang melarang pernikahan wanita muslim
dengan laki-laki ahl al-kitab dikuat oleh ijma’, dan hadits yang lain
yang semakna. Maka hadits yang semula kualitasnya dhaif dapat meningkat
menjadi hasan li ghairihi.[39] Sementara hadits hasan sendiri, dari segi
posisinya sebagai dalil hukum, sama dengan hadits shahih.[40] Selain itu, ada
kaidah fiqh yang menyatakan pada dasarnya dalam masalah farj (kemaluan)
itu adalah haram (al-ash fi al-abdha’i al-tahrim).[41] Karenanya,
apabila dalam masalah farj (kemaluan) wanita terdapat dua hukum
(perbedaan pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah
hukum yang mengharamkan.[42]
Dari
keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapat yang dikemukan oleh
kalangan Islam Liberal atau JIL dan kontributornya sebagaimana yang telah
mereka tegaskan di atas yang menyatakan bahwa tidak ada nash yang secara tegas
melarang pernikahan antara wanita muslimah dengan laki-laki ahl al-kitab,
hal ini menurut penulis tidaklah mengena dan telah terbantahkan dengan
sendirinya.
Konsep Musyrik
Musyrik, menurut Zainun Kamal, tidak
setiap perbuatan syirik menjadikan secara langsung pelakunya disebut musyrik.
Karena pada kenyataannya Yahudi dan Nasrani telah melakukan perbuatan syirik,
namun Allah tidak menyebut dan memanggil mereka sebagai musyrik, namun tetap
dipanggil dengan ahl al-kitab. Hal ini dapat dilihat dalam surat
An-Nisa’ ayat 171, Al-Maidah: 5 dan Ali Imran: 64.[43]
Senada
dengan Kamal, Siti Musdah Mulia dengan meyetir pendapat Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha mengatakan bahwa musyrik yang dimaksud dalam Surah al-Baqarah ayat
221 adalah khusus untuk perempuan Musyrik Arab pada masa Nabi saja. Dengan
demikian, karena Musyrik Arab tidak lagi, maka ayat tersebut tidak relevan lagi
dengan konteks sekarang. Dan indikasinya bahwa dalam teks ayat tersebut di
samping disebutkan larangan menikah dengan orang musyrik juga diikuti anjuran
menikah dengan budak. Karena itu ia berkesimpulan bahwa konteks musyrik adalah
orang-orang musyrik pada masa Nabi, dan mereka sudah tidak ada lagi sekarang.
Sebagaimana halnya kelompok budak.[44]
Sementara
menurut Abd. Moqsith Ghazali, dengan mengikuti jejak pendahulunya, yang
memahami Surah al-Baqarah ayat 221 tentang konsep Musyrik dengan mengikuti
pendapat Muhammad Rasyid Ridha yang menyatakan bahwa kalimat yang diungkapkan
oleh ayat tersebut menggunakan ungkapan yang bersifat umum, namun ia memiliki
pengertian yang khusus, yaitu hanya mengacu pada perempuan Musyrik Arab saja.
Dengan demikian, ungkap Moqsith, “sebenarnya ayat tersebut hanya mencakup
Musyrik Arab saja”.[45] Kemudian setelah menjelaskan panjang lebar mengenai
pernikahan dengan orang Musyrik, ia berkesimpulan bahwa, “… pernikahan umat
Islam dengan orang-orang Musyrik tersebut tak melulu bersifat teologis, tetapi
lebih tepat bersifat politis. Pada saat ketegangan dan sandungan politis antara
umat Islam dan kaum Musyrik itu sudah tidak ada, boleh jadi, konsekuensinya,
hukum yang melarang umat Islam menikah dengan orang Musyrik itu pun
bergeser”.[46] Intinya menurut Moqsith bahwa larangan pernikahan antara orang
Muslim dengan orang Musyrik bukanlah larangan tersebut berbentuk teologis
semata, tapi lebih pada nuansa politik. Karena itu, pernikahan dengan orang
Musyrik dibolehkan.
Atas
dasar ini, mereka lebih banyak mengacu pada konsep Musyrik yang dinyatakan oleh
Muhammad Rasyid Ridha yang menyatakan bahwa Musyrik yang dimaksud dalam Surah
al-Baqarah ayat 221 hanya meliputi perempuan Musyrik Arab saja. Maka
konsekuensi logisnya, karena Musyrik Arab tidak ada lagi, maka pernikahan
dengan orang Musyrik pun dibolehkan.
Hal
ini perlu dianalisis lebih jauh, apa itu musyrik dan siapa yang ditujukan oleh
ayat tersebut.[47]
Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam
pandangan agama, seorang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada
Tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan satu aktivitas yang bertujuan
utama ganda, pertama kepada Allah, dan kedua kepada selain-Nya.[48] Kemudian,
Kata musyrik merupakan isim maf’ul dari asyaraka-yusyriku-isyrakan
yang berarti menyekutukan sesuatu dengan sesuatu. Akan tetapi kata syirik lebih
sering dipahami sebagai upaya menyekutukan Allah dengan benda-benda atau
sesuatu yang lain. Dan orang yang melakukan perbuatan syirik atau isyrak
disebut musyrik.[49]
Selengkapnya,
berikut bunyi surah al-Baqarah (2) ayat 221 tersebut:
wur
(#qßsÅ3Zs?
ÏM»x.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
£`ÏB÷sã
4
×ptBV{ur
îpoYÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
7px.Îô³B
öqs9ur
öNä3÷Gt6yfôãr&
3
wur
(#qßsÅ3Zè?
tûüÏ.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
(#qãZÏB÷sã
4
Óö7yès9ur
í`ÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
78Îô³B
öqs9ur
öNä3t6yfôãr&
3
y7Í´¯»s9'ré&
tbqããôt
n<Î)
Í$¨Z9$#
(
ª!$#ur
(#þqããôt
n<Î)
Ïp¨Yyfø9$#
ÍotÏÿøóyJø9$#ur
¾ÏmÏRøÎ*Î/
(
ßûÎiüt7ãur
¾ÏmÏG»t#uä
Ĩ$¨Y=Ï9
öNßg¯=yès9
tbrã©.xtGt
Artinya:
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik dari pada perempuan
musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan (laki-laki)
musyrik (dengan perempuan beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba
sahaya laki-laki yang beriman lebih baik dari pada laki-laki musyrik
meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah
mengajak ke syurga dan ampunannya dengan izinnya. (Allah) menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran”.[50]
Menurut
berapa tokoh yang berhaluan Liberal sebagaimana yang telah disebutkan di atas
dengan mengacu kepada pendapat Rasyid Ridha dan Ath-Thabari bahwa orang musyrik
yang haram dinikahi adalah orang musyrik Arab saja.[51] Pendapat ini mendapat
bantahan dari kalangan ahli tafsir dan fikih yang merupakan pendapat jumhur
ulama yang mengatakan bahwa wanita musyrikah itu bukan hanya terbatas
pada wanita musyrik Arab saja, melainkan juga mencakup semua wanita musyrikah
non-Arab di manapun mereka berada.[52]
Dalam
memahami ayat tersebut, ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ulama
yaitu: (a) pendapat yang dimotori oleh Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
haramnya menikihai wanita musyrik pada ayat tersebut telah di-nasakh-kan
hukumnya terhadap sebagian daripada wanita ahl al-kitab, dan halalnya
menikahi wanita ahl al-kitab terdapat pada Surah al-Maidah (5) ayat 5.
Pendapat ini didukung pula oleh Imam Malik bin Anas, Sufyan bin Sa’id Assauri
dan ‘Abdurrahman bin Sa’id Al-Auza’i, dan (b) Qatadah dan Sa’id bin Jubir
kemudian didukung pula oleh Imam Syafi’i mengatakan bahwa lafaz ayat 221 pada
surah al-Baqarah tersebut berlaku umum untuk setiap wanita kafir/musyrik,
sedangkan untuk wanita ahl al-kitab sudah dibahas secara khusus dalam
Surah al-Maidah (5) ayat 5.[53]
Dari
pendapat tersebut, pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan musyrikat
adalah wanita musyrik yang harbiyyat dan seluruh wanita ahl al-kitab,
sebagaimana pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas dan al-Auza’i, dengan
alasan bahwa orang Yahudi menyatakan bahwa Uzair adalah anak Allah dan orang
Nashrani menyatakan bahwa Isa adalah anak Allah.[54] Namun, ayat ini telah di-mansukh-kan
oleh Surah al-Maidah (5) ayat 5.[55]
Maka
di sini tampak bahwa perselisihan ulama tersebut hanya menyangkut pada tataran,
apakah wanita ahl al-kitab masuk ke dalam cakupan al-Baqarah (2): 221
atau bukan. Jika dicermati lebih lanjut lagi pendapat tersebut, untuk
konteks wanita musyrik pada surah al-Baqarah (2) ayat 221 tersebut tidak bisa
di-ta’wil-kan terhadap wanita ahl al-kitab, melainkan berlaku
umum terhadap seluruh orang kafir.[56] Sebab, surah al-Baqarah (2) ayat 221
tersebut secara tegas melarang pernikahan dengan wanita atau laki-laki musyrik,
bentuk ungkapan tersebut menggunakan ungkapan plural dan diimbuhi al-ma’rifah
(the definite article). Sehingga menurut kaidah bahasa, bentuk ini
menerangkan keseluruhan (lil-istagraq); larangan perkawinan dengan
wanita musyrik tanpa pandang bulu dan batas regional, apakah itu dari musyrik
Arab atau bukan.[57] Karena itu, pendapat yang dikemukakan oleh Ath-Thabari dan
Rasyid Ridha merupakan pendapat yang lemah, sementara jumhur ulama memahami
seluruh orang musyrik tanpa batas regional.
Konsep Kafir dan Penafsirannya
Secara etimologi, kufr
berarti tabir, tutup, tirai, dan pengingkaran. Sesuatu yang menutupi sesuatu
dapat disebut kufr. Dengan demikian, malam juga bisa disebut kafir,
karena malam menutupi segala sesuatu. Debu yang menutupi sesuatu juga disebut kafir.[58]
Term
kufr dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 525 kali dalam
al-Qur’an. Secara umum, pengertian kufr yang tercantum dalam al-Qur’an
dapat dikembalikan pengertiannya kepada kebahasaan di atas, misalnya: (a) kufr
berarti kelompok yang menutupi buah, penyebutannya muncul satu kali dalam
al-Qur’an (Q.S. al-Insan (76) ayat 5), yang diartikan sebagai nama suatu mata
air di syurga yang airnya putih, baunya sedap serta enak rasanya, (b) kuffar,
(bentuk jamak dari kafir), terdapat dalam surah al-Hadid ayat 20 yang
berarti para petani, (c) kaffarah, berarti benda penebus dosa atas
kesalahan tertentu, penyebutannya muncul sebanyak empat kali dalam al-Qur’an
(Q.S al-Maidah (5) ayat 45, 89, 95), kaffarah dalam ayat tersebut
diberikan dalam bentuk sedekah atau berpuasa, (d) kaffara - yukaffiru
yang berarti menutupi, menghapuskan atau menghilangkan, ini ditemukan sebanyak
empat belas kali dalam al-Qur’an, semuanya berkaitan dengan penghapusan
dosa.[59]
Konsep
tentang “Kafir” munurut para penulis Fikih Lintas Agama yang membagi jenis
kekafiran yang disebutkan dalam al-Qur’an menjadi beberapa bentuk, yaitu:[60]
(a) Kafir (kufr) ingkar, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran
terhadap eksistensi Tuhan, Rasul-Rasul-Nya dan seluruh ajaran yang mereka bawa,
(b) kafir (kufr) juhud, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap
ajaran-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah
benar, (c) kafir munafik (kufr nifaq), yaitu kekafiran yang mengakui
Tuhan, Rasul dan ajarannya dengan lidah tetapi mengingkarinya dengan hati,
menampakkan iman dan menyembunyikan kekafiran, (d) kafir (kufr) syirik,
berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu, selain dari-Nya,
sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan.
Syirik digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari kekuasan
Tuhan, juga mengingkari Nabi-Nabi dan wahyu-Nya, (e) kafir (kufr)
nikmat, yakni tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan menggunakan nikmat itu pada
hal-hal yang tidak diridhoi-Nya, (f) kafir murtad, kembali menjadi kafir
sesudah beriman atau keluar dari Islam, (g) kafir ahl al-kitab, yakni
non-Muslim yang percaya kepada Nabi dan kitab suci yang diwahyukan Tuhan
melalui nabi kepada mereka.
Dari
pembagian kafir dalam al-Qur’an yang mereka pegangi, kemudian mereka
menampilkan dalil-dalil yang menguatkan pendapat mereka tentang perbedaan
antara kafir musyrik dan kafir ahl al-kitab.
Menurut
Siti Musdah Mulia bahwa larangan pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir pada
surah al-Mumtahanah (10) ayat 10, itu juga tidak relevan lagi dengan konteks
sekarang. Mengingat, konteks turunnya ayat tersebut dalam keadaan perang antara
kaum mukmin dengan kaum Kafir Quraisy. Karena itu menurut Musdah, jika
peperangan tidak ada lagi, maka konsekuensi logisnya pernikahan dengan orang
Kafir pun dibolehkan atau larangan tersebut tidak berlaku lagi dengan
sendirinya.[61] Selain itu menurut Musdah, bahwa Surah al-Mumtahanah (10) ayat
10 ini telah di-naskh-kan oleh Surah al-Maidah (5) ayat 5.[62]
Hal
yang senada juga disampaikan oleh Abd. Moqsith Ghazali. Moqsith, setelah
menjelaskan panjang lebar pandangan ulama tentang Surah al-Mumtahanah (10) ayat
10 tersebut, ia berkesimpulan bahwa larangan pernikahan dengan orang-orang
Kafir Mekah tersebut bukan karena argumen teologis-keyakinan, melainkan lebih
sebagai argumen politik. Sebab menurut Moqsith, kalau perkawinan bersifat
teologis, bukannya perkawinan yang dilarang, melainkan seluruh jenis komunikasi
dengan orang Kafir harus ditutup, termasuk komunikasi dengan Abu Thalib kala
itu (paman Nabi).[63] Karena itu menurutnya, “dalam konteks masyarakat atau
Negara yang menjamin kebebasan beragama dan kesederajatan seluruh warga Negara,
maka pelarangan pernikahan dengan orang yang ingkar (kafir) yang bernuansa
politik kurang relevan. Tapi hal ini sangat berpotensial menimbulkan konflik
pada tingkat keluarga…”.[64] Jadi intinya menurut Moqsith, larangan pernikahan
dengan orang Kafir bukan berlandaskan teologis-keyakinan semata, tapi lebih
kepada faktor politik.
Berbeda
dengan penulis Fikih Lintas Agama, Ibn Mazhur menguraikan bagaimana pandangan
para ahli dalam memberikan pengertian kufr, menurutnya sebagai berikut:
(a) kufr al-Inkar, yaitu mengingkari ke-esa-an Tuhan dengan hati dan
lisannya, (b) kufr al-Juhud, yaitu mengingkari ke-esa-an Tuhan dengan
lisan, meskipun hatinya mengakui hal tersebut, seperti pengingkaran Iblis, (c) kufr
al-Mu’anadat, yaitu mengetahui Allah dengan hatinya dan mengakui dengan
lisannya, akan tetapi enggan untuk memeluk agama Islam karena kedengkian dan
permusuhan yang menyelimuti dirinya, (d) kufr al-Nifaq, yaitu mengakui
dengan lisannya padahal hatinya tidak meyakini.[65]
Penjelasan
tersebut menunjukkan, term kufr dalam al-Qur’an tidak selamanya
menunjukkan pengertian pengingkaran terhadap Tuhan dan Rasul-Rasulnya. Dengan
kata lain, perilaku kufr tidak selamanya datang dari orang-orang ateis,
musyrik, dan non-Muslim lainnya. Orang-orang yang mengaku Muslim, bisa saja
terjerumus dalam perilaku kufr dalam pengertian tertentu.[66]
Dari
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang diberikan predikat kafir
apabila mendustakan kerasulan Muhammad SAW dan ajaran-ajaran yang dibawanya.
Artinya, predikat tersebut diberikan kepada mereka yang tidak menerima Islam
yang dibawa Muhammad SAW sebagai pedoman hidupnya. Khususnya untuk ahl
al-kitab, meskipun ada di antara mereka yang kafir, tapi al-Qur’an
memanggilnya dengan sebutan ahl al-kitab.[67]
Jika
merujuk kepada al-Qur’an, ditemukan satu ayat yang secara eksplisit yang
menerangkan hukum pernikahan dengan orang-orang, yaitu surah al-Mumtahanah (60)
ayat 10 sebagai berikut:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
ãNà2uä!%y`
àM»oYÏB÷sßJø9$#
;NºtÉf»ygãB
£`èdqãZÅstGøB$$sù
(
ª!$#
ãNn=÷ær&
£`ÍkÈ]»yJÎ*Î/
(
÷bÎ*sù
£`èdqßJçFôJÎ=tã
;M»uZÏB÷sãB
xsù
£`èdqãèÅ_ös?
n<Î)
Í$¤ÿä3ø9$#
(
w
£`èd
@@Ïm
öNçl°;
wur
öNèd
tbq=Ïts
£`çlm;
(
Nèdqè?#uäur
!$¨B
(#qà)xÿRr&
4
wur
yy$oYã_
öNä3øn=tæ
br&
£`èdqßsÅ3Zs?
!#sÎ)
£`èdqßJçG÷s?#uä
£`èduqã_é&
4
wur
(#qä3Å¡ôJè?
ÄN|ÁÏèÎ/
ÌÏù#uqs3ø9$#
(#qè=t«óur
!$tB
÷Läêø)xÿRr&
(#qè=t«ó¡uø9ur
!$tB
(#qà)xÿRr&
4
öNä3Ï9ºs
ãNõ3ãm
«!$#
(
ãNä3øts
öNä3oY÷t/
4
ª!$#ur
îLìÎ=tæ
ÒOÅ3ym
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang
berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang
kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tidak ada dosa bagimu
menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya. Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir;
dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika
suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka
bayarkan (kepada mantan istri yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang
ditetapkan-Nya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui, Maha Bijaksana”.[68]
Jika
pendekatan ayat tersebut menggunakan pendekatan literalik dan analisis
kebahasaan, lafaz laa hunna hillullahum wala lahum hillu lahunna (mereka
para wanita mukminah tidak halal menjadi menjadi istri-istri pria-pria kafir.
Dan mereka (pria kafir) tidak halal juga menjadi suami-suami sejak kini dan
masa yang akan datang). Kata hillu pada ayat tersebut adalah menggunakan
bentuk mashdar yang menunjukkan bahwa sejak sekarang hal itu tidak halal
dan kata yahullu menggunakan mudhari’ yang menunjukkan masa yang
akan datang juga tidak halal juga, demikianlah pendapat sementara ulama menurut
M. Quraish Shihab.[69]
Namun
bagi mereka yang berhaluan Liberal (terutama JIL dan kontributornya) lebih
mengedepankan pemahaman kontekstual dan meninggalkan teks yang terdapat dalam
ayat tersebut. Dengan klaim historisitas teks, ayat tersebut turun pada masa peperangan,
jika tidak ada peperangan (damai), maka larangan tersebut tidak berlaku dengan
sendirinya. Kelihatannya pendapat semacam ini hanya menerapkan paradigma
kontekstual dengan meninggalkan metode tekstual.
Paradigma
semacam ini mengandaikan bahwa perintah dan larangan al-Qur’an untuk mewujudkan
maqashid al-syari’ah hanya berlaku bagi komunitas pertama kali yang
menjadi sasaran (khitab) dan turun merespon mereka saja.[70] Artinya,
larangan pernikahan dengan orang kafir hanya berlaku untuk masyarakat Muslim
pada abad ke 7, di mana pada waktu itu dalam keadaan perang. Namun, konteks
hari ini, jika perang sudah tidak ada, maka larangan tersebut tidak berlaku
lagi dengan sendirinya.
Menanggapi paradigma semacam ini,
Adian Husaini mengkritik Musdah Mulia yang menafsirkan demikian,[71] ia
menyatakan:
“secara literal/tekstual, ayat surah
al-Mumtahanah ayat 10 jelas memberikan pemahaman bahwa wanita muslimah haram
menikah dengan laki-laki kafir. Sepanjang sejarah Islam tidak pernah ada ulama
yang berfikir demikian… Penafsiran semacam ini jelas “sembarangan” dan
menjiplak cara sebagian orang Kristen yang menafsirkan Bibel secara
kontekstual, dengan meninggalkan makna teks sama sekali. Cara penafsiran
semacam ini juga membongkar dasar-dasar Islam, dan merusak keilmuan
Islam…kekeliruan yang sangat fatal adalah pada keterpengaruhannya terhadap
ideologi ‘gender equality’ yang dianggap sebagai kebenaran, sehingga
semua ajaran Islam harus disesuaikan dengan konsep ‘gender equality’
yang belum tentu sesuai dengan konsep Islam tentang hubungan
laki-laki dan wanita”.[72]
Hemat
penulis, pandangan Adian ini ada benarnya, meskipun gaya bahasa yang
diungkapkan sedikit dengan nada emosi. Ketika dihadapkan pada suatu persoalan,
tidak mungkin bisa meninggalkan teks sama sekali, namun bagi kalangan Liberal,
ketika teks berlawanan dengan mashlahat, maka mereka mendahulukan mashlahat
dengan meninggalkan teks.
Larangan
yang termaktub dalam ayat tersebut, dapat diketahui dengan jelas, sebab ia
memang dinamakan larangan karena dituntut untuk menjauhi atau tidak melakukan
perbuatan tersebut, sehingga al-Syatibi menyatakan bahwa terlaksananya
perbuatan ketika ada sebuah larangan itu sangat ditekankan oleh syari’ (Allah
SWT) dan melanggarnya berarti menantang maksud Allah tersebut.[73] Lebih lanjut
al--Syatibi menyatakan bahwa syari’at bagi para mukallaf itu bersifat umum dan
menyeluruh. Dalam arti bahwa tidaklah hukum itu diberlakukan khusus bagi
sebagian mukallaf dan tidak untuk yang lain. Tidak ada yang dikecualikan dari
semua hukum syari’at tersebut terhadap seorang mukallaf pun.[74]
Dengan
demikian, jelaslah tidak ada pemisahan antara mashid al-syari’ah
(mashlahat) dengan bentuk formal hukum yang telah ditentukan secara tersurat
dan gamblang di dalam nash al-Qur’an.[75] Bahkan Filsafat Hukum Islam
menyatakan bahwa maqashid al-syari’ah telah terwakili dan terserap
secara utuh dalam bentuk formal hukum syari’ah, dalam arti bahwa maqashid
tidak akan bisa terealisir kecuali dengan dijalankannya bentuk formal hukum
sebagaimana yang tersurat dalam teks al-Qur’an.[76]
Para
ulama ushul juga membeberkan fakta-fakta seputar asbab nuzul dan tidak
pernah menutup-nutupinya bahwa banyak dalil syari’at yang muncul karena
peristiwa khusus.[77] Hal tersebut bagi ulama dipahami tidak lain hanya sebagai
media pendidikan umat yang bertujuan menyiapkan suasana kondusif dalam proses
transisi dari masa jahiliah kepada masyarakat yang diikat oleh nilai dan sistem
hukum Islam.[78]
Dengan
demikian, memisahkan pemahaman tekstual dan kontekstual pada ayat tersebut,
akan melahirkan penafsiran yang pincang. Dalam artian bahwa paradigma seperti
ini bertentangan dengan keumuman lafaz syari’ah, sehingga seakan-akan metode khalifah
manusia yang telah dirumuskan oleh teks-teks suci al-Qur’an hanya membebankan
segelintir manusia dan mengabaikan sedemikian banyak generasi manusia.[79]
Padahal metode khilafah menyatakan dengan tegas bahwa aturan tasyri’
membawa aturan bagi semua manusia, tidak hanya dari sudut pemenuhan maqashid
al-syari’ah semata, tapi juga satu paket dengan bentuk formal hukum
tersebut yang mampu mewujudkan maqashid.[80] Dan ketika teks
dijadikan sebagai standar kemaslahatan, maka secara otomatis juga menghilangkan
pertentangan antara teks dan kemaslahatan. Namun, jika terus bersandar pada
subyektivitas dari trend dan kondisi zaman, maka sudah pasti akan ada benturan
yang hebat antara teks dengan sesuatu yang dianggap kemaslahatan.[81] Inilah
yang penulis sebut penafsiran yang pincang, yaitu penafsiran yang bersandar
pada subyektivitas dari trend dan kondisi zaman atau pemahaman tekstual dengan
meninggalkan teks, maka sudah pasti implikasinya akan ada benturan yang hebat
antara teks dengan sesuatu yang dianggap kemaslahatan dan ini tentunya akan
meninggalkan atau mengaburkan teks. Jika ini yang terjadi, maka fungsi
al-Qur’an sebagai wahyu tidak akan berguna lagi.
Penutup
Dari uraian tersebut, nyatalah bahwa
dalam justifikisi pendepat mereka, selain dalam kontek pernikahan antara
laki-laki Muslim dengan wanita ahl al-kitab, nyatalah mereka memilih pendapat
yang lemah dan dalam beberapa hal pendapat yang tidak mendasar sama sekali
seperti dalam kasus pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim
dengan dengan landasan ikhtifa’ dan mafhum mukhalafah yang sudah
sangat jauh melenceng dan lari dari kaidah bahasa dan konsep ilmu ushul fiqh.
Dalam hal ini juga termasuk konsep ahl al-kitab, makna dan cakupannya,
sebagai landasan letimasi hukum, nyatalah bahwa dengan mengacu pada pendapat
Rasyid Ridha, yang sepertinya pendapat yang ganjil di kalangan ulama.
End Note
[1] Charles Kurzman, Wacana
Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, Alih Bahasa
Bahrul Ulum dkk., (Jakarta: Paramadina, 2001).
[2] Dua bentuk lainnya yaitu, liberal
syari’ah, yaitu Islam Liberal yang berpaham bahwa syari’ah itu bersifat
liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Dan silent syari’ah,
model pembacaan ini berasumsi bahwa Islam tidak banyak berbicara mengenai
isu-isu kontemporer. Islam liberal dimungkinkan terjadi pada masalah-masalah
tertentu yang tidak ada presedennya dalam Islam, baik secara normatif maupun
historis. Karena Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer,
maka diperlukan kreatifitas, terutama menyangkut masalah muamalah. (Ibid.,
hlm. xxxiii-xxxviii).
[3] Term ahl al-kitab
ditemukan sebanyak 31 kali dalam al-Qur’an. Term tersebut terdapat di 7 surah
dalam surah-surah Madaniyyah, yaitu al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa’, al-Maidah,
al-Ahzab, al-Hadid, dan al-Hasy. Dan 2 surah dalam surah-surah makkiyyah, yaitu
al-Ankabut dan al-Baiyyinah. (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an, hlm. 121-122).
[4] M. QuraIsh Shihab, Wawasan
al-Qur’an, hlm. 366.
[5] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an
al-‘Azim, (Beirut: Maktabah An-Nur al-‘Ilmiyah, 1992), II: 451-452;
Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab; Makna dan Cakupannya, hlm. 30.
[6] Ghalib, Ibid., hlm. 32.
[7] Ibn Hammam, Fath al-Qadir,
III: 230.
[8] Shihab, Wawasan al-Qur’an,
hlm. 367.
[9] Ath-Thabari, Tafsir
al-Thabari, (al-Qahirah: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1954), I: 320.
[10] Dua bentuk lainnya yaitu, liberal
syari’ah, yaitu Islam Liberal yang berpaham bahwa syari’ah itu bersifat
liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Dan silent syari’ah,
model pembacaan ini berasumsi bahwa Islam tidak banyak berbicara mengenai
isu-isu kontemporer. Islam liberal dimungkinkan terjadi pada masalah-masalah
tertentu yang tidak ada presedennya dalam Islam, baik secara normatif maupun
historis. Karena Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer,
maka diperlukan kreatifitas, terutama menyangkut masalah muamalah. (Ibid.,
hlm. xxxiii-xxxviii).
[11] Daud Rasyid, Pembaruan Islam
dan Orientalis dalam Sorotan, (Bandung: Syaamil Publishing, 2006), hlm.
64-65.
[12] Ibid., hlm. 66-67.
[13] Zainun Kamal, dalam http://islamlib.com/id/artikel/penganut-budha-dan-hindu-adalah-ahlul-kitab/. Diakses 14 Agutus 2010
[14] Siti Musdah Mulia, Muslimah
Reformis, hlm. 71.
[15] Lihat selengkapnya, Abd.
Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis
al-Qur’an, (Depok: Kata Kita, 2009), hlm. 346-356.
[16] Maksudnya pendapat yang
menyatakan bahwa Budha, Hindu, Konhucu, dan Shinto adalah termasuk ke dalam
golongan ahl al-kitab.
[17] Daud Rasyid, Pembaharuan
Islam, hlm. 67.
[18] Rasyid Ridha, Tafsir
al-Qur’an al-Hakim, VI: 141
[19] Selengkapnya lihat, M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persolan
Kontemporer, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 347-371.
[20] Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna
dan Cakupannya, hlm. 28-29
[21] Berikut bunyi surat tersebut:
“Bismillahirrahmanirrahim. Dari
Muhammad hamba Allah kepada Heraclius pembesar Romawi. Salam sejahtera kepada
orang yang sudi mengikut petunjuk yang benar. Amma Ba’du. Dengan ini
saya mengajak Tuan mengikuti ajaran Islam. Terimalah ajaran Islam, niscaya tuan
akan selamat. Tuhan akan memberi pahala dua kali lipat kepada Tuan. Kalau Tuan
mengelak, maka dosa-dosa orang “al-‘arisiyun” menjadi tanggungjawab Tuan. Wahai
orang-orang ahl al-kitab, marilah kita berpegang pada kata (kalimatissawa’)
antara kami dan Tuan-Tuan, yakni tidak ada yang kita sembah selain Allah dan
kita tidak akan mempersekutukannya dengan apa pun, bahwa yang satu tak akan
mengambil yang lain menjadi Tuhan selain Allah. Tetapi kalau mereka mengelak
juga, katakanlah kepada mereka, saksikanlah bahwa kami ini adalah orang-orang
Muslim”. (Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, alih bahasa
Ali Audah, (Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2002), cet-XXXVIII, hlm.
423).
[22] Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna
dan Cakupannya, hlm. 37
[23] Selengkapnya isi surat
tersebut, lihat Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm. 202-208.
[24] Q.S. Ali Imran (3): 64.
[25] Haekal, Sejarah Hidup
Muhammad, hlm. 225-226.
[26] Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna
dan Cakupannya, hlm. 29.
[27] Selengkapnya dapat dirujuk
pada, Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, hlm. 141-142
[28] Data tersebut dikutip oleh
Adian Husaini dari buku Agama-Agama Besar di Dunia karya Joesoef Sou’yb.
(Adian Husaini & Nu’im Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi,
Penyimpangan, dan Jawabannya, cet. Ke-3, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm.
61).
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Adian Husaini & Nu’im
Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya,
hlm. 61.
[32] Musdah Mulia, Muslimah
Reformis, hlm. 63.
[33] Moqsith memandang di sini,
ketika laki-laki dibolehkan menikahi wanita ahl al-kitab, maka perempuan
pun juga dibolehkan menikahi laki-laki ahl al-kitab. Sehingga ia
menafsirkan Surah al-Maidah ayat 5 sebagai berikut: “Dihalalkan menikahi
perempuan yang menjaga kehormatannya dari kaum mukminah dan Ahli kitab sebelum
kalian, sebagaimana dihalalkan menikahi laki-laki yang menjaga kehormayannya
dari kaum mukmin dan Ahli Kitab sebelum kamu”. Sehingga ia menyimpulkan
bahwa gaya bahasa semacam ini disebut dengan ikhtifa’. Contoh lain lagi
yang ia ajukan adalah tentang kewajiban mencari ilmu. Menurutnya, meskipun di
dalam hadis tersebut tidak disebutkan perempuan, bukan berarti perempuan tidak
wajib mencari ilmu. (Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, hlm.
354).
[34] Dalam kajian ushul dan ulumul
qur’an, mafhum mukhalafah merupakan salah satu metodologi untuk memahami
petunjuk nash. Para ulama tafsir dan ushul mendefinisikan terminologi ini
sebagai ketetapan (hukum) yang berlawanan dengan nash (al-mantuq) dan
diambil setelah tidak ada batasan (qayyid) yang jelas (eksplisit) dari mantuq
tersebut. Dengan kata lain, mufhum mukhalafah adalah petunjuk lafaz
untuk menetapkan sesuatu yang tidak disebutkan secara ekspilisit. Penggunaan mafhum
mikhalafah sebagai sumber bukum disepakati oleh Imam Malik, Syafi’i, dan
Ahmad ibn Hanbal. Hanya Abu Hanifah dan para pengikutnya saja yang tidak
menggunakannya sebagai hujjah. (Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami,
(Beirut: Dar al-Fikri, tt), I: 362; Manna al-Qathan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an,
(t.tp: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, tt), III: 253); Muhammad al-Amdi, Muntaha
al-Sul fi ‘Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003),
338-340; Ibnu Yusuf Assai Razi, al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), hlm. 124-125); Abd. Wahhab Khallaf, ‘Ilmu
Ushul al-Fiqh, (Indonesia: al-Haramain, 2005), hlm. 153-160.
[35] Ali Mustafa Yaqub “Pernikahan
Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Zaitunah Subhan, dkk., (ed), Membendung
Liberalisme, hlm. 146.
[36] Tamim bin al-Muntashir
menceritakan kepada kami, mengabarkan kepada kami Ishaq al-Azraqi dari Syarik
dari Asy’asy ibn Suwar dari al-Hasan dari Jabir bin ‘Abdullah berkata: berkata
rasulullah SAW: “kami menikahi wanita ahl al-kitab, sementara wanita ahl
al-kitab tidak boleh menikahi wanita kami”. (Ibn Katsir al-damsiqi, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azim, I: 244).
[37] Ibnu Jari berkata: mengabarkan
kepada kami Musa bin ‘Abdurrahman al-Masruqi, menceritakan kepada kami Muhammad
bin Basyr, menceritakan kepada kami Sufyan bin Sa’id, dari Yazid bin Abi Ziyad,
dari Zaid bin Wahhab berkata: Umar bin Khattab berkata: “seorang muslim boleh
menikahi perempuan Nashrani, tetapi laki-laki Nashrani tidak boleh menikahi
perempuan Muslimah”. (Ibid)
[38] Ibid.
[39] Menurut ulama hadits, hadits hasan
lighairihi adalah hadits yang didalamnya terdapat perawi “mastur” yang
belum tegas kualitasnya. Akan tetapi bukanlah perawi yang pelupa atau sering
melakukan dalam periwayatannya, bukan pula muttaham bi al-kidzib dalam
hadits, dan bukan pula karena sebab lain yang dapat menyebabkan tergolong
fasik. Dengan syarat mendapat penguatan dari perawi lain yang mu’tabar,
baik status mutabi’ maupun syahid. (‘Ajaj Khatib, Ushul
al-Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, tt), hlm.
300).
[40] Ali Mustafa Yaqub “Pernikahan
Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Zaitunah Subhan, dkk., Membendung
Liberalisme, hlm. 148.
[41] Jalaluddin Abd. Arrahman
Assayuti, al-Asybah wa al-Nazair, (Beirut: Dar al-Fikri, 1996), hlm. 84.
[42] Ibid.
[43] Zainun Kamal, dalam http://islamlib.com/id/artikel/penganut-budha-dan-hindu-adalah-ahlul-kitab/. Diakses 14 Agutus 2010.
[44] Siti Musdah Mulia, Muslimah
Reformis, hlm. 62.
[45] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen
Pluralisme Agama, hlm. 336.
[46] Ibid., hlm 340.
[47] Q. S. al-Baqarah (2): 221.
[48] Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, I: 473-474.
[49] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab,
(Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), IV: 2248-2249
[50] Departemen Agama RI. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. (Bandung: Diponegoro, 2005), hlm. 35.
[51] Rasyid Ridha, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azim, VI: 141-142.
[52] Masyfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1991). hlm. 5
[53] Al-Qurthubi, Al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Hadis, 2002), III: 62-63)
[54] Q.S. Attaubah (9): 30.
[55] Azzamakhsyari, al-Kasy-syaf,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 1: 261.
[56] Ibn Qudamah, Al-Mughni,
(Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, tt), IX: 501.
[57] Daud Rasyid, Pembaharuan
Islam, hlm. 118.
[58] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab,
V: 3889.
[59] Muhammad Ghalib, Ahl
al-Kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 62-63.
[60] Nurcholish Madjid, dkk., Fiqh
Lintas Agama, hlm. 156-157.
[61] Siti Musdah Mulia, Muslimah
Reformis, hlm. 63.
[62] Ibid.
[63] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen
Pluralisme Agama, hlm. 345-346.
[64] Ibid., hlm. 346.
[65] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab,
V: 3897-3899.
[66] Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab:
Makna dan Cakupannya, hlm. 64.
[67] Lihat misalnya, Q. S.
Al-Bayyinah (98): 1.
[68] Q. S. Al-Mumtahanah (60): 10.
[69] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah, XIV: 173-174.
[70] Fahmi Salim, Kritik Terhadap
Metodologi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif: 2010), hlm. 477.
[71] “Surah Al-Mumtahanah (60): 10
hanya menjelaskan secara secara eksplisit larangan melanggengkan hubungan
pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir. Jika kita memahami konteks waktu
turunnya ayat itu, larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy
sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan
antara kaum Mukmin dengan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan
dimaksud agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana
kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi
peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan
sendirinya. Argument lain berkaitan dengan Surah Al-Mumtahanah (60) bahwa itu
telah di-nasakh oleh Al-Maidah (5): 5”. (Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm.
63)
[72] Adian Husaini, Hegemoni
Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani,
2006), hlm. 244-245.
[73] Al-Syatibi, al-Muwafaqat,
II: 292.
[74] Ibid., hlm. 179.
[75] Fahmi Salim, Kritik Terhadap
Metodologi al-Qur’an Kaum Liberal, hlm. 477.
[76] Ibid.
[77] Al-Ghazali, al-Mustashfa,
II: 60.
[78] Fahmi Salim, Kritik Terhadap
Metodologi al-Qur’an Kaum Liberal, hlm. 479.
[79] Ibid., 478.
[80] Ibid.
[81] Ahmad al-Raysuni dan Muhammad
Jamal Barut, Ijtihad: Antara Teks, Realitas, dan Kemaslahatan Sosial,
Alih bahasa oleh Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdar, (Jakarta: Erlangga.al-Razi,
2002), hlm. 31
Daftar Pustaka
Charles Kurzman, Wacana Pemikiran
Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, Alih Bahasa Bahrul Ulum
dkk., (Jakarta: Paramadina, 2001).
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an
al-‘Azim, (Beirut: Maktabah An-Nur al-‘Ilmiyah, 1992), II:
Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab;
Makna dan Cakupannya, hlm. 30.
Ath-Thabari, Tafsir al-Thabari,
(al-Qahirah: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1954), I: 320.
Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan
Orientalis dalam Sorotan, (Bandung: Syaamil Publishing, 2006)
Zainun Kamal, dalam http://islamlib.com/id/artikel/penganut-budha-dan-hindu-adalah-ahlul-kitab/. Diakses 14 Agutus 2010
Siti Musdah Mulia, Muslimah
Reformis, hlm. 71.
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen
Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, (Depok: Kata Kita,
2009)
M. Quraish Shihab, Wawasan
al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persolan Kontemporer, (Bandung:
Mizan, 1997)
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad,
Adian Husaini & Nu’im Hidayat, Islam
Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, cet. Ke-3,
(Jakarta: Gema Insani, 2004)
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh
al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikri, tt), I
Manna al-Qathan, Mabahis fi Ulum
al-Qur’an, (t.tp: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, tt), III
Muhammad al-Amdi, Muntaha al-Sul
fi ‘Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003)
Ibnu Yusuf Assai Razi, al-Tabshirah
fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003)
Abd. Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul
al-Fiqh, (Indonesia: al-Haramain, 2005)
Ali Mustafa Yaqub “Pernikahan Beda
Agama Dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Zaitunah Subhan, dkk., (ed), Membendung
Liberalisme,
‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadits:
Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, tt).
Jalaluddin Abd. Arrahman Assayuti,
al-Asybah wa al-Nazair, (Beirut: Dar al-Fikri, 1996)
Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab,
(Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), IV: 2248-2249
Departemen Agama RI. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. (Bandung: Diponegoro, 2005).
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah,
(Jakarta: Haji Mas Agung, 1991).
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Hadis, 2002), III.
Azzamakhsyari, al-Kasy-syaf,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 1.
Ibn Qudamah, Al-Mughni,
(Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, tt), IX: 501.
Nurcholish Madjid, dkk., Fiqh Lintas
Agama, hlm. 156-157.
Fahmi Salim, Kritik Terhadap
Metodologi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif: 2010)..
Adian Husaini, Hegemoni
Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani,
2006)
Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi
Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003).
Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min ‘Ilm
al-Ushul, (Beirut: Muassa-Saturrisalah, 1997).
Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal
Barut, Ijtihad: Antara Teks, Realitas, dan Kemaslahatan Sosial, Alih
bahasa oleh Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdar, (Jakarta: Erlangga.al-Razi, 2002),
hlm. 31.
[1] Makalah disampaikan pada diskusi
mingguan Kelompok Studi Syari’ah IAIN STS Jambi pada tanggal 6 Mei 2011 di
Masjid IAIN Telanaipura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar