Entah mengapa semalam mataku tidak bisa tidur. Aku coba
memaksakan diri, ternyata juga tidak bisa. Hingga sehabis shalat subuh barulah
mataku terpejam. Konsekuensinya - sebenarnya sudah saya wanti-wanti - pasti terlambat.
Benar… pagi ini aku terlamlat meskipun alarm sudah disiapkan. Aku lihat
jam di HP ku ternyata sudah menunjukkan pukul 08.25, sementara kelas Dr.
Sulaeman, Reading on Classical Text, hari ini dimulai pukul 08.30.
Keterlambatan ini membuat semuanya kalang kabut. Dengan
serba terburu-buru, tanpa mandi, hanya mencuci muka dan menggosok gigi, dan
baju yang digunakanpun agak sedikit berkerut. “Hadoooooh…..” sambil mengerutkan
dahi. Tapi apa hendak dikata. Libas….
Asramaku di tingkat 7 blok B. Buru-buru aku turun
menuju Bus Station. Hmmm… nasib yang tak mengenakkan menimpa diriku lagi. Lift
yang beroperasi cuma satu, sementara yang satunya, “lift dalam masa service”,
keterangan dari monitor lift, petanda lagi dalam perawatan. Hadoooooh…. Terkena
lagi. Cukup lama aku menunggu di depan lift. Alhamdulillah… lega… lift-nya sampai juga.
Setelah keluar dari lift, aku langsung menuju Bus
Station yang hanya berjarak sekitar 30-40 meter dari Blok asramaku. Disana
sudah ada 3 bus yang menunggu.
“Bang… Bus yang mana nak berangkat?”, tanyaku pada salah
seorang sopir yang sedang menikmati sarapan paginya.
“Yang itu dek”, tangannya sambil menunjuk pada salah satu
bus.
“Terimakasih bang…”
“Oke…”
Seketika juga aku buru-buru menuju bus. Ketika sudah
masuk, dari depan pintu, “Waduh… sudah penuh”, fikirku. Namun aku pastikan
lagi, oh… ternyata kursi deretan depan saja yang penuh.
Dari awal masuk mataku terfokus pada kursi kosong, ada
beberapa yang kursi kosong dari tengah ke depan, namun di sampingnya sudah
diisi oleh wanita. Dari wajahnya seperti pelajar Cina dan Melayu. Terus aku
berjalan ke belakang dan mataku tertuju pada salah satu kursi kosong. Namun di
sampingnya sudah terisi. Tanpa melihat wajah, siapa orang yang disampingku, aku
langsung saja duduk dan dia pun sedikit bergeser pertanda memberikan kelapangan
padaku.
“Thanks you brother”, ucapku.
Namun aku belum juga melihat wajahnya. Dengan sedikit
samar-samar, keluar ucapan dari mulutnya,
“You are welcome”, sebagai jawaban dari ucapan
terimakasihku.
Aku masih saja tidak peduli, siapa orang di sampingku.
Aku disibukkan dengan aktifitasku sendiri dan dia juga disibukkan dengan
aktifitasnya. Aku keluarkan fotocofy manucrift “Sharh al-ʿAqa’id”, sebuah
manuscrift dalam bahasa Arab yang dikarang pada tahun 1303 H. Dan dikelas,
semenjak Dr. Sulaeman menggantikan Prof. Zainy, beliau memilih manuscrift tersebut
untuk dibaca dan diajarkan. Lalu bus pun berjalan dan aku masih tahu, siapa
orang disampingku.
Ditengah kesibukanku pada bacaan, aku merasakan ada
sesuatu yang ganjil dengan orang disampingku. Dari awal ia disibukkan dengan HP
yang ada ditangannya, sementara mulutnya komat kamit laksana dukun serta
headset terpasang ditelinganya. “Ah… barangkali lagi internetan sambil dengar musik”,
fikirku.
Awalnya tak aku hiraukan. Hmm… dengan seksama aku
dengarkan apa yang ia baca dan dengan seksama pula aku perhatikan penampilannya
dari atas sampai ke bawah. Kulitnya kehitaman seperti ras saudara kita dari
Afrika. Kepalanya ditutupi oleh topi, aku tak pasti topi apa itu, mirip seperti
topi yang digunakan Maher Zein, artis Muslim Amerika atau Inggris (aku tak
pasti) yang lagi naik daun itu. Sementara jas coklat kekuningan menempel di
badannya. Wajahnya teduh, enak dipandang.
Lalu kusimak dengan seksama lagi, apa yang ia baca. Ternyata…
Subhallah… dengan suara berbisik-bisik yang keluar dari mulutnya dari tadi adalah….
lantunan ayat suci al-Qurʿan. Sementara kesibukannya dengan HP itu ternyata ia sedang
membuka al-Qurʿan versi elektronik.
Hal ini membuatku semakin penasaran. “Kok ada ya di
Kampus umum seperti ini orang seperti ini yang menyibukkan waktu luangnya
dengan al-Qurʿan”, fikirku.
Lalu aku coba memulai pembicaraan,
“Brother, is that al-Qurʿan?”.
“Yes”.
“Are you a memorizer of al-Qurʿan?”.
“Yes, Insya Allah”.
“All of the Āyāt al-Qurʿān? I mean 30 Ajzā’?”, tanyaku
lagi memastikan.
“Insya Allah”.
“Subhanallah brother”.
Kuperhatikan senyum merkah di raut wajahnya tatka ia
mendengar ucapan subhanalla dari mulutku. Mungkin di sedikit tersanjung dari
tasbihku. Namun tiba-tiba keluar pertanyaan yang tak aku sangka-sangka dari
mulutnya.
“Are you Kurniawan?”.
“Yes, how do you know me?”.
Ia tak menjawab kecuali hanya dengan senyum. Lalu aku
balik bertanya.
“What is your name?”.
“Saʿid”.
“Where are you from?”.
“I’m from Somalia”.
Ternyata tebakan awalku tadi itu betul. Pasti orang
Afrika.
Di tengah perjalan menuju Kampus kami disibukkan
saling mengenal satu sama lainnya. Rasa penasaranku pun masih ada, bagaimana ia
bisa menghafal al-Qurʿan. Ternyata dari perbincangan kami, ia menghafal
al-Qurʿan di Mekkah semasa SMA di sana yang juga di Mekkah. Kemudian S 1 nya di
Sudan di Bidang Teknologi. Kemudian melanjutkan S2 di UTM Cabang Johor dan
sekarang beliau dalam menyelasaikan S3 nya di UTM Kuala Lumpur yang masih dalam
bidang yang sama.
Saʿid adalah orang ketiga yang aku jumpai sebagai
penghafal al-Qurʿan di Kampus ini. 1 lagi Abdullah namanya, pelajar asal Guinea,
Afrika. Kulitnya sama seperti Saʿid. Selain hafal al-Qurʿan, ia juga lancar
dalam bahasa Arab, Inggris dan Francis. Kemudian satu lagi, aku lupa namanya, pelajar
asal Arab yang juga hafal al-Qurʿan. Dia sering menjadi Imam di Surau asrama
kami. Suaranya indah, sungguh menyentuh hati ketika menjadi makmum dibelakangnya. Makhraj hurufnya sungguh sangat fasih. Dan sangat menguasai hukum-hukum tajwid.
Sungguh pijar-pijar semacam ini amat sulit ditemukan
di Kampus umum. Namun, melalui 3 orang tadi, pijar-pijar semacam itu sungguh
contoh yang sangat mengagumkan dan sangat perlu kita contohi.
Kuala Lumpur, 02 Mei 2013.
1 komentar:
insya Alloh aku akan punya adik hafidz quran. walopun kakaknya engga. higs
Posting Komentar