Bebebrapa penulis Kristen seperti Dr. Huub
J.W.M. Boelaars dan Jan Baker, SJ menyimpulkan bahwa agama Kristen telah
sampai di Indonesia pada abad ke Tujuh Masehi. Namun, kesimpulan ini
seakan-akan dimentahkan oleh tokoh Kristen sendiri, Adolf Heuken SJ, dosen Cipta Loka Caraka
Foundation, Jakarta, Indonesia. Adolf mengatakan: “Some Indonesian writers
took the conclusion that the fi rst Christians had arrived
in the seventh century and established a community in Northern Sumatra.
As we have seen above this opinion can not be based on solid facts for the
seventh until the ninth centuries.” (Lihat, Christianity In Pre-Colonial Indonesia”, dalam A History of Christianity in Indonesia ed. Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink (Leiden – Boston: Brill, 2008), hlm. 6)
Kemudian dia menambahkan dalam catatan kaki sebagai berikut:
“In the fi
rst chapter of the fi ve volume history of Catholicism in Indonesia, published
in Indonesian in the early 1970s, the Jesuit Jan Bakker wrote the
chapter on the pre-colonial period. Bakker identifi ed in the text of
Abu Salih al-Armini Fahsur with the place Fansur or modern
Baros in Sumatra and took for granted that the various churches of that place
were a sign of a Christian community, already in existence in the
middle of the seventh century or about 650 CE. Th is latter fact was an
amplifi cation of the reference to Christians in Kalah, in a letter
by Iso’yabh III, Nestorian Metropolitan of Erbil and Mosul. (Muskens 1972-I:27–36; cf. R.
Duval 1905:182).” (ibid)
Dua kesimpulan
yang berbeda ini, awalnya, saya ingin meneliti lebih lanjut dan membuat sebuah
artikel tentangnya. Sebab, data-data yang didapat dari kesimpulan para tokoh
Kristen bahwa Kristen telah sampai di Nusantara pada ke-Tujuh akan bermuara
pada keterangan Abu Shalih al-Armini, lalu,
timbullah keinginan besar untuk meneliti buku ini: benarkah demikian? Namun,
ketika saya sudah mulai mengumpulkan bahan-bahan tentang ini, ternyata saudara Susiyanto telah menulis permasalahan ini di
Hidayatullah. Niat pun diurung, dan terimakasih kepada saudara Susiyanto.
Berikut tulisan Susiyanto:
KRISTEN MASUK INDONESIA ABAD VII ?
PENDAHULUAN
Atribut
yang tersemat sebagai “agama penjajah” terhadap agama Kristen nampaknya masih
menjadi aib besar bagi karya misi penginjilan di Indonesia. Kenyataan ini
membuat berbagai pihak Kristen, termasuk Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
(PGI), merasakannya sebagai beban sejarah.[1] Tidak heran jika
pada masa kini sejumlah akademisi Kristen di Indonesia berupaya untuk
merekonstruksi sebuah versi sejarah yang ramah terhadap eksistensinya.
Diantaranya dengan mencetuskan teori bahwa Kekristenan “sebenarnya” telah tiba
di Indonesia lebih awal dari era imperialisme dan kolonialisme Barat. Dengan
demikian kedatangan Kristiani yang bersamaan dengan masa penjajahan bangsa
Eropa hanya akan diposisikan sebagai “merebut kelupaan masa silam” saja.[2]
Dr. Huub
J.W.M. Boelaars, OFM Cap., seorang pastor, dalam bukunya “Indonesianisasi
Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia”
menyatakan bahwa Agama Kristen, dalam hal ini Katolik, tiba di Indonesia lebih
awal dari Agama Islam. Boelaars memperkirakan Katolik telah hadir pada abad VII
di desa Pancur, Barus, Tapanuli. Sebagai rujukan, Boelaars meminjam analisa Jan
Baker, SJ dalam tulisannya “Gereja Kristen Tertua di Indonesia” untuk
menegaskan gagasan “kehadiran” awal tersebut.[3] Meskipun demikian
Boelaars mengakui bahwa tidak terdapat jejak-jejak yang hidup maupun
peninggalan sejarah yang membuktikan “kehadiran” itu.
Gagasan
“Katolik Perintis” di nusantara ini dikembangkan dari tulisan sejarawan muslim
Syaikh Abu Shalih al-Armini dalam karyanya “Tadhakur fihi Akhbar min
al-Kanais wa’l Adyar min Nawahin Misri wal Aqtha’aha” yang ditulis pada
abad XII. Karya tersebut telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggis oleh B.T.A.
Evetts dengan judul “The Churches and Monasteries of Egypt and Some
Neighbouring Countries” dan diberi catatan oleh A.J. Butler, MA, FSA. Dalam
karya tersebut Syaikh Abu Shalih al-Armani menyebutkan adanya kota Fahsûr
dimana terdapat memiliki komoditas perdagangan berupa camphor (al-kafur dalam
bahasa Arab).
FAHSÛR,
BUKAN FANSUR
Tulisan
yang menjadi rujukan Boelaars, awalnya berasal dari makalah Jan Bakker, SJ
berjudul “Gereja Tertua di Indonesia” yang dimuat di Majalah Basis No.
18 (1969) hlm. 261-265. Tulisan itu adalah derivasi dari makalahnya yang lebih
lengkap berjudul “Umat Katolik Perintis di Indonesia”.[4] Tulisan ini menjadi
bagian dari versi resmi “Sejarah Gereja Katolik Indonesia” yang
dipublikasikan oleh Bagian Dokumentasi – Penerangan Kantor Waligereja
Indonesia.[5] Dalam uraiannya,
banyak argumentasi yang dikembangkan untuk mendukung gagasan bahwa kedatangan
Katolik di Indonesia dimulai pada abad VII. Meskipun demikian, satu-satunya
referensi yang dianggap kuat dan menjadi sumber primer wacana tersebut berasal
dari karya Syaikh Abu Shalih al-Armini, sejarawan muslim, dalam “Tadhakur
fihi Akhbar min al-Kanais wa’l Adyar min Nawahin Misri wal Aqtha’aha”. Oleh
karena itu untuk menyingkap fakta “kehadiran” Kristen tersebut bisa dilakukan
dengan membaca ulang karya ini.
Tulisan Abu
Shalih al-Armini dalam teks manuskrip yang dimaksud adalah sebagai berikut:[6]
Buku karya
Abu Shalih yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul “The
Churches and Monasteries of Egypt and Some Neighbouring Countries” oleh
B.T.A. Evetts, MA dan diberi catatan oleh A.J. Butler MA, F.S.A. Kutipan di
atas diterjemahkan B.T.A. Evetts ke dalam Bahasa Inggris sebagai berikut:
Fahsûr.
Here there are several churches ; and all the Christians here are Nestorians ;
and that is the condition of things here. It is from this place that camphor
comes; and this commodity [is a gum which] oozes from the trees. In this town
there is one church named after our Lady, the Pure Virgin Mary.[7]
Bakker
sendiri menterjemahkan kutipan dari terjemahan B.T.A. Evetts ke dalam Bahasa
Indonesia sebagai berikut:
Abu Shalih,
setelah memberitakan tentang gereja-gereja di India Selatan (Quilon, Travancore
dan Mahamailiapura), menulis tentang keadaan Sumatra sebagai berikut:
“FANSUR: DI
SANA TERDAPAT BANYAK GEREJA DAN SEMUANYA ADALAH DARI NASARA NASATHIRAH, DAN
DEMIKIANLAH KEADAAN DISITU. DAN DARI SITU BERASALLAH KAPUR BARUS DAN BAHAN ITU
MERECIK DARI POHON. DALAM KOTA ITU TERDAPAT SATU GEREJA DENGAN NAMA: BUNDA
PERAWAN MURNI MARIA”.[8]
Nampak bahwa Bakker telah mengalihkan kata Fahsûr menjadi
FANSUR.[9]Selain itu juga
menterjemahkan kata Bahasa Arab al-kafur (camphor)
menjadi “KAPUR BARUS”. Kemudian informasi dari Abu Shalih bahwa terdapat
“Kristen Nestorian” dianggap keliru oleh Bakker dan ia “meluruskannya” sebagai
Katolik. Dengan adanya “pengubahan” ini maka Bakker sejak awal berusaha
memunculkan kesan tentang adanya bukti “Gereja-gereja Katolik telah terdapat di
sebuah desa bernama Pancur, Barus, Sumatra Utara” pada abad VII.
Identifikasi Fahsûr dengan Pansur, sebuah desa di Sumatra,
adalah kekeliruan yang fatal. Sejak awal nama tempat Fahsûr
ini oleh Abu Shalih al Armini sama sekali tidak pernah dimaksudkan untuk
membahas wilayah di luar India. Kata “Fahsûr” ini di bahas di bawah perikop
“India” dan diuraikan setelah kota Kulam (Quilon di
Travancore, India) dideskripsikan. Setelah membahas kawasan di India, Syaikh
Abu Shalih lantas membahas wilayah Yaman. Jadi, tentu saja bukan tempat yang
ada di Pulau Sumatra – Indonesia.
A.J. Butler M.A., F.S.A saat memberikan catatan terhadap terjemahan B.T.A.
Evetts atas karya Syaikh Abu Shalih al-Armini, menjelaskan bahwa kata Fahsûrmemang
tertulis dalam manuskrip aslinya. Kata ini seharusnya ditulis Mansûr,
yaitu sebuah negara pada jaman kuno yang terdapat di Barat Laut India, terletak
di sekitar Sungai Indus. Mansur merupakan negara paling utama yang terkenal di
antara orang-orang Arab dalam hal komoditas kamfer (al-kafur).[10]
Pada masa
kuno wilayah penghasil kamfer bukan hanya wilayah yang saat ini menjadi
Indonesia. India dan beberapa kawasan lainnya juga telah dikenal menjadi
penghasil kamfer. Di Indonesia saja terdapat dua pulau di Jaman kuno yang
menghasilkan kamfer yaitu Sumatra dan Kalimantan. Daerah penghasil kamfer di
Sumatra bukan hanya Barus yang terkenal dengan komoditi kapur Barus-nya,
namun juga wilayah yang saat ini menjadi Aceh.[11]
Adolf
Heuken, SJ merupakan akademisi Katolik yang turut menolak teori bahwa Katolik
telah masuk ke Indonesia pada abad VII. Dalam tulisannya “Christianity in
Pre-colonial Indonesia” ia mendukung catatan yang diberikan oleh A.J.
Butler. Syaikh Abu Shalih al-Armini banyak menggunakan menggunakan referensi
dari karya Abu Jafar al-Tabari (w. 923) dan Al Shabushti (w. 988) untuk
menerangkan subyek yang sama tentang pembahasan Asia dan Afrika. Nama kota
Fahsûr yang ada dalam tulisan Syaikh Abu Shalih maksudnya tidak lain adalah
Mansûr, sebuah kota di India dengan komoditas camfer yang penting bagi
orang-orang Arab. Heuken juga menjelaskan bahwa berdasarkan sejumlah penggalian
memang ditemukan adanya koneksi tertutup antara Barus, India, dan Teluk Persia
pada kurun IX hingga XII.[12] Namun tidak serta
merta hal ini membuktikan keberadaan Kristen pada masa-masa ini. Tradisi oral
tentang adanya tempat dekat Barus bernama “Janji Mariah”, yang kadang digunakan
sebagai “bukti” keberadaan Kristen pada masa lampau, baru terbentuk pada
periode yang lebih baru.
INDIA,
BUKAN INDONESIA
Beberapa catatan sarjana muslim Arab memang mengidentifikasi kawasan yang
mungkin merupakan Indonesia pada masa sekarang sebagai “india”. Meskipun
demikian, menggunakan karya Abu Shalih Al Armini untuk mendukung teori
kehadiran Kristen pada abad VII di Indonesia adalah kesalahan fatal. Secara
jelas, Syaikh Abu Shalih telah mendeskripsikan tempat bernama India atau juga
disebut al-Hindah. Sebuah tempat dimana penduduknya memiliki
kepercayaan pemujaan terhadap Buddha, penyembah matahari, dan penyembah api.
Wilayah ini dikelilingi laut dimana dari arah Mesir harus menggunakan kapal.
Tempat bernama India ini merupakan daerah penyembahan berhala pada masa kuno
yang berbatasan dengan Persia.[13] Dari deskripsi
tersebut dapat dipahami bahwa “India” yang dimaksud ini benar-benar India
secara definitif, tidak mungkin keliru dengan wilayah di Indonesia. Dengan
demikian karya Abu Shalih al-Armini tidak memaksudkan negeri Fahsûr yang
ada di India sebagai Pancur yang ada di Sibolga, Barus, Sumatra Utara.
Selain itu
Abu Shalih juga melakukan kesalahan dalam mengidentifikasi India sebagai
wilayah Abyssinia (Ethiopia). Kesalahan ini justru merupakan bukti bahwa India
yang dimaksud merupakan India dalam makna definitif. Kesalahan penyebutan India
sebagai wilayah Abyssinia sebenarnya merupakan kekeliruan yang berasal dari era
yang lebih kuno. Kebingungan membedakan antara India dan Abyssinia ini juga
telah terdapat dalam sejumlah literatur Yunani kuno.[14] Sekali lagi, India
yang dimaksud jelas tidak akan keliru dengan kawasan Indonesia. Sebab, meski
ini “secara keliru”, wilayah Indonesia tidak pernah diidentifikasi sebagai
“wilayah Abyssinia” sebagaimana India yang definitif.
Keberadaan
Kristen Nestorian di India dapat dibuktikan pada sekitar abad VII ini. Cosmas
Indiscopleustes, seorang pendeta Alexandria petualang pada abad VI, telah
meninggalkan catatan keberadaan aktivitas Kristen di India. Dalam catatannya “Christian
Topography” Cosmas menyebutkan terdapat sejumlah gereja di Malabar dan
Ceylon yang dikelola pendeta dari Persia dan berada di bawah pengawasan seorang
uskup Persia di Kalliana. Di sini jelas bahwa kekristenan di India mencakup
kekristenan Nestorian, yang dianggap sebagai sekte heresy.[15]
Sebelum
membahas tentang “Fahsûr”, Syaikh Abu Shalih al-Armini telah lebih dahulu
membahas sejumlah kota lain di India seperti Kulam (Quilon) yaitu tempat dimana
juga terdapat penganut Nashrani Nestorian. Di sana terdapat gereja dari Perawan
Maria dan sejumlah orang suci lainnya.[16] Beberapa sarjana
Katolik Roma percaya bahwa “makam St. Thomas”, salah satu murid Yesus ditemukan
di Cathedral di Mailapur, daerah pinggir Madras. Namun apa yang dianggap
sebagai bukti, menurut A.L. Basham, sejarawan India di University of London,
tidak bisa memuaskan para sejarawan. Basham menyebutkan bahwa pergerakan missi
yang cukup aktif di India dilakukan oleh sekte yang dianggap menyimpang,
Nestorian. Katolik terutama dari Serikat Jesuit baru masuk ke India pada abad
XVI dan XVII.[17]
Ketika para
pelancong Eropa mengunjungi India mereka membuat catatan tentang adanya
gereja di utara. Marco Polo, pada akhir abad XIII, melihat Gereja Syria yang
sering dianggap sebagai “makam St. Thomas”, sebutan yang populer diantara
petualang. Namun gereja tersebut telah rusak. Sebutan “makam St. Thomas”
tersebut, menurut Basham, tidak dapat dibuktikan sebagai benar-benar makam
“orang suci” tersebut dalam makna yang harfiah. Orang Kristen Syiria pada masa
ini dan sebelumnya banyak mengadopsi adat istiadat Hindu. Penganut Kristen di
Malabar ini bahkan sedang menuju proses menjadi sekte Hindu yang menyimpang (heterodox
Hindu), sebagaimana Budha maupun Jaina. Kedatangan Serikat Jesuit pada
sekitar abad XVI dan XVII masih sempat mencegah kemerosotan lebih lanjut dari
proses ini. Hasilnya, satu seksi dari gereja Syria itu bersedia menerima
otoritas dari Roma.[18]
OTORITAS
VATIKAN
Kehadiran
Kristen paling awal, dalam hal ini Katolik, di nusantara lebih tepatnya dimulai
sejak penaklukan dan penjajahan bangsa Portugis pada 1511 terhadap Malaka.[19] Kedatangan
Portugis ke wilayah Timur ini dapat dirunut dari semangat “penjelajahan” dunia
yang tumbuh di Eropa pasca “penemuan” Amerika oleh Columbus dan Amerigo
Vespucci. Semangat penjelajahan yang timbul dari upaya penemuan sumber rempah-rempah
dan semangat perang salib di Eropa ini telah menciptakan kondisi persaingan
yang mengarah pada konflik antara Spanyol dan Portugis. Untuk menghindarkan
efek lanjutan yang buruk atas konflik ini, Paus Alexander VI tergerak untuk
melakukan intervensi. Melalui dokumen tertanggal 4 Mei 1493, Paus Alexander VI
membagi dunia menjadi dua bagian. Sebuah garis imajiner ditarik ke kutub utara
dan kutub selatan melewati kurang lebih 749 km sebelah Barat Kepulauan Azores
atau Kepulauan Tanjung Hindia. Semua daerah yang terletak di sebelah timur
garis yang kemudian di sebut “Timur” ditetapkan menjadi milik Portugis untuk
dikuasai dan dikristenkan. Sementara semua daerah di sebelah barat garis yang
kemudian disebut “Barat” ditetapkan oleh Paus menjadi tugas Spanyol.[20]
Ketidakpastian garis tersebut menimbulkan kesulitan diantara kedua kerajaan.
Mengingat keduanya memiliki ambisi lebih besar, menginginkan lebih banyak dari
yang telah ditentukan. Persetujuan baru tercapai dengan Perjanjian
Tordesillas (7 Juli 1494). Garis yang ditentukan melalui 2738 km sebelah Barat
Kepulauan Hijau untuk penemuan-penemuan pulau yang masih akan dilakukan dan
1850 km bagi semua hasil yang sudah ditemukan oleh Castilla sampai 20 Juni
1494.[21]
Hal ini
masih menimbulkan persengketaan ketika Spanyol tidak mau melepaskan Maluku.
Paus kemudian memaksa Spanyol menjual Maluku kepada Portugis. Charles V menjual
Pulau Maluku ini dengan harga 350.000 crusados dan
mempertahankan semua daerah di sebelah barat Bujur Timur 17 derajat (Perjanjian
Saragosa).[22]Kesepakatan yang
terbentuk, Spanyol menguasai Philipina dan Portugis menguasai Maluku.[23]
Dengan adanya Portugis di Maluku maka berkembanglah agama Katolik. Pertentangan
antara Portugis dan umat Islam mulai terjadi. Konflik semakin memanas ketika
Portugis mulai ikut campur dalam pemerintahan. Sultan Tabariji, raja Ternate,
ditangkap oleh Portugis dengan tuduhan palsu dan dibawa ke Goa. Tuduhan ini
tidak terbukti hingga 10 tahun kemudian. Maka Portugis hendak mengembalikan
sang raja ke tahtanya, namun rakyat menolak dengan alasan sang raja telah
menjadi kafir semasa dalam “tawanan” Portugis. Raja ini telah menganut agama
Katolik dengan nama Manuel. Portugis kemudian menggunakan tipu muslihat keji
untuk melenyapkan penggantinya, yang bernama Sultan Hairun. Sultan yang
terakhir ini dibunuh dengan sangat licik dan kejam. Putra Sultan Hairun, yaitu
Sultan Baabullah kemudian memimpin perlawanan jihad terhadap orang-orang
Portugis. Tidore dan beberapa pulau lainnya yang pada masa sebelumnya menyimpan
konflik akhirnya mau bekerja sama untuk memusnahkan orang kafir. Dalam tahun
1575 benteng Portugis di Ternate jatuh, maka habislah riwayat mereka di Maluku
Utara. Portugis masih dapat bertahan di Pulau Hitu (Ambon). Di Pulau ini
nyatanya Portugis tidak disukai. Berulangkali rakyat Ambon berusaha mengusir
mereka. Akhirnya berkat bantuan armada dari Seram dan Banda, pada tahun 1575,
Portugis berhasil diusir juga dari Maluku Utara.[24]
Sebagai
konsekuensi penetapan garis demarkasi tanah jajahan di atas, Paus memberikan
syarat kepada kedua negara untuk memajukan misi Katholik Roma di tanah jajahan
yang telah diserahkan. Pertalian gereja dan negara pada masa itu cukup erat.
Raja-raja memiliki kerelaan hati untuk melayani kepentingan gereja.[25]Spanyol misalnya,
digambarkan oleh Dr. H. Embuiru SVD, merupakan negara Katolik dan sekaligus
negara misionaris. Dimana ada Spanyol maka disana berdiri Gereja. Salib dan
mahkota berjalan beriringan. Gereja dan negara merupakan satu kesatuan.[26] Demikian juga
Portugis secara sadar menuju ke Timur untuk berdagang dan menyebarkan agama,
termasuk dalam cakupan ini adalah penjajahan.[27]
Jadi sudah
benar jika pada tahun 1934 umat Katolik merayakan upacara meriah menyambut “400
Tahun Katolisisme di Hindia” yang buku kenangannya diterbitkan dalam nomor
yubileum istimewa di Maandblad Sociaal Leven No. 15, nomor
rangkap 2/3, Batavia, 1934. Juga tepat bila pada 8-12 Juli 1984 Pertemuan
Nasional Umat Katolik Indonesia (PNUKI) merayakan “450 tahun Katolisisme di
Indonesia” yang dihadiri 450 orang wakil keuskupan di Indonesia. Perayaan ini
didasarkan bahwa pada 1534 terdapat orang Indonesia pertama yang dibaptis oleh
pendeta Katolik yang datang satu rombongan dengan Penjajah Portugis.[28]
Bagi
kalangan misi Kristen, kolonialisme sebenarnya dianggap sebagai sesuatu yang
lumrah terjadi. Kewajaran ini didasarkan pada analogi terhadap proses-proses
kronologis yang pernah terjadi. Sejarah mencatat bahwa penguasaan suatu suku
terhadap suku yang lain dengan dibungkus sebuah ideologi tertentu merupakan
kenyataan sejarah yang telah berlangsung berabad-abad. Pandangan ini melahirkan
pemikiran bahwa kolonialisme sebuah negara dan penaklukan suatu wilayah negara
oleh negara lain adalah sebuah hal biasa. Pandangan ini diungkapkan dalamEnsiklopedia
Gereja sebagai berikut :
Kolonisasi
suatu suku bangsa atas suku-suku bangsa lain dalam suatu negara yang sama
adalah biasa di Asia dan Afrika. Jadi kolonialisme dl bentuk yg sedikit berbeda
terdapat pd segala masa dan daerah, dan tetap dibenarkan dgn ideologi-ideologi
yg ‘bagus’. (sic!).[29]
Memisahkan
antara perdagangan, penjajahan, dan penyebaran agama dari motif ekspansi Barat
di nusantara jelas akan menghasilkan gambaran yang parsial. Keuntungan yang
diperoleh, baik dari kegiatan ekonomi maupun penjajahan, sebagian akan masuk ke
kas gereja dan digunakan dalam pembiayaan operasionalnya, termasuk penyebaran
agama. Gereja mendapatkan bagian sebesar sepuluh persen dari keuntungan
tersebut. Inilah yang dalam kekristenan disebut dengan konsep perpuluhan.[30] Jadi, jika mereka
datang bersama “penjajah” dan turut menikmati “kue” hasil dari proses
“penjajahan” yang berlangsung, masihkah kita akan beranggapan bahwa
missionarisme berjalan terpisah dengan penjajahan?
PENUTUP
Teori yang menyatakan bahwa Agama Kristen telah datang di Indonesia pada abad
VII, tidak didasarkan pada fakta yang solid. Referensi yang digunakan sebagai
pendukung argumen tidak kompatibel dan cenderung dipaksakan. Sumber Arab yang
digunakan lebih merupakan deskripsi tentang wilayah yang ada di India, bukan di
Indonesia. Deskripsi atas kawasan bernama “India” itu pun benar-benar
meyakinkan bahwa wilayah yang dimaksud memang benar-benar India secara
definitif. Buktinya pun terdapat dalam karya Arab Syaikh Abu Shalih Al-Armini.
Hanya saja nampaknya bukti-bukti ini diabaikan dengan sengaja. Mungkin saja
karena alasan menguatnya motif dan kepentingan tertentu.
Memaksakan
sumber untuk wilayah lain dengan “mengubah”-nya menjadi “Indonesia” jelas akan
menghasilkan konklusi yang tidak tepat. Teori kedatangan Kristen abad VII di
Indonesia dan membentuk sebuah komunitas di Sumatra Utara hakikatnya merupakan
klaim yang tidak berdasar. Catatan akhir yang perlu dikemukakan di sini bahwa
kebenaran, dalam kasus seperti ini, tidak bisa dihasilkan dari proses
memanipulasi sumber referensi. [(Susiyanto)]
FOOTNOTE :
[1] Lihat Tim Balitbang
PGI. Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia
Religionum. Cetakan III. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003). Hal. 7
[2] Lihat tulisan
Y. Bakker, SJ, Umat Katolik Perintis di Indonesia, dalam Sejarah
Gereja Katolik Indonesia, Jilid I (Arnoldus Ende, Flores, 1974) hlm. 38
[3] Dr. Huub
J.W.M. Boelaars, OFM Cap., Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di
Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Cetakan V (Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2009) hal. 59
[4] Lihat Dr. Huub
J.W.M. Boelaars, OFM Cap., Indonesianisasi …hlm. 59
[5] Lihat tulisan Y.
Bakker, SJ, Umat Katolik … hlm. 19-49
[6] Tulisan Syaikh Abu
Shalih al-Armini tentang “Fahsûr” ini pada naskah manuskrip yang
tersimpan di Bibliotheque Nasional de Paris terletak pada folio 110b, dalam
terbitan yang diterjemah Evetts di halaman 129.
[7] Lihat terjemahan
B.T.A. Evetts, MA (ed.), The Churches and Monasteries of Egypt
Attributed to Abu Shalih, the Armenian (Clarendon Press, Oxford, 1895)
hlm. 300
[8] Lihat terjemahan Y.
Bakker, SJ, Umat Katolik Perintis di Indonesia, dalam Sejarah
Gereja Katolik Indonesia, Jilid I (Arnoldus Ende, Flores, 1974) hlm. 29
[9] Terjemahan dengan
kata “Fansur” ini mungkin didapatkan oleh Bakker dari alih aksara dari huruf
Arab ke huruf latin yang dilakukan oleh Prof. Dr. Sucipto Wirjosuparto dalam
makalahnya “Agama Kristen telah Meluas di Indonesia Sejak Abad 7”. Lihat
Y. Bakker, SJ, Umat Katolik … hlm. 38-39; Alih aksara ini
jelas keliru. A.J. Butler MA, F.S.A. yang memberikan komentar pada
penterjemahan karya Abu Shalih ke dalam Bahasa Inggris, telah memaklumkan bahwa
kata tersebut memang ditulis sebagai Fahsûr, bukan Fansur.
Lihat B.T.A. Evetts, MA (ed.), The Churches …hlm. 300
[10] Lihat B.T.A.
Evetts, MA (ed.), The Churches … hlm. 300
[11] H. Mohammad Said, Aceh
Sepanjang Abad, Jilid I, Cetakan II (PT Harian Waspada Medan, Medan, 1981)
hlm. 36-37; Produk camfer ini ditemui di Sumatra dan Kalimantan hingga era
kedatangan bangsa Barat lihat George Windsor Earl, The Eastern Seas or
Voyages Adventures in the Indian Archipelago in 1832-33-34 (WM. Hallen
and Co, London, 1837) hlm. 248-249. Lihat pula makalah Sir Hugh Low, G.C.M.G., British
North Borneo, dalam buku India Ceylon Straits Settlements British
North Borneo Hong-Kong (Keegan Paul, Trench, Trübner & Co, London,
1899) hlm. 485
[12] Lihat makalah
Adolf Heuken,SJ, Christianity in Pre-colonial Indonesia, dalam Jan
Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink (ed.), A History of Christianity
in Indonesia (Brill, Leiden – Boston, 2008) hlm. 5-6
[13] Lihat , MA (ed.), The
Churches And Monasteries … hlm. 296
[14] B.T.A. Evetts, MA
(ed.), The Churches … hlm. 296
[15] Lihat E.O. Winstedt
(ed.), The Christian Topography of Cosmas Indicopleustes(Cambridge
University Press, Cambridge, 1909) hlm. 345
[16] Lihat B.T.A. Evetts,
MA (ed.), The Churches … hlm. 299-300
[17] Lihat A.L. Basham, The
Wonder that Was India: A Survey of the Culture of the Indian Sub-Continent
Before the Coming of the Muslims (Grove Press, New York, 1953) hlm.
342-343
[18] Lihat A.L. Basham, The
Wonder that … hlm. 343
[19] Drs R. Soekmono, Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid III, Cetakan III (Kanisius, Yogyakarta,
1973) hlm. 49-50
[20] Lihat terbitan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) C.P.F. Luhulima, Motif-motif
Ekspansi Nederland dalam Abad Ke-enambelas, Terbitan Tak Berkala No.
II/14 (Lembaga Research Kebudajaan Nasional, Jakarta) hlm. 11-12; Juga
Avro Manhattan, Catholic Imperialism and World Freedom (Watts
& Co, London, 1952) hlm. 34-35; Cathal J. Nolan, The Age of Wars of
Religion 1000-1650: An Encyclopedia of Global Warfare and Civilization,
Vol. I, A-K (Greenwood Press, Westport, 2006) hlm. 534-535;
[21] C.P.F. Luhulima, Motif
… hlm. 12; Samuel Edward Dawson, The Lines of Demarcation of
Pope Alexander VI and the Treaty of Tordesillas A.D. 1493 and 1494(J.Hope
& Son, Ottawa, 1899) hlm. 497-498; Dr. Th. Müler Krüger, Sedjarah
Geredja di Indonesia (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1959) hlm.
17-18
[22] C.P.F. Luhulima, Motif
… hlm. 12
[23] A.R. Disney, A
History of Portugal and Portuguese Empire from Beginnings to 1807, Vol. I:
Portugal (Cambridge University Press, Cambridge, 2009) hlm. 152
[24] Drs R. Soekmono, Sejarah
Kebudayaan … Jilid III, hlm. 50
[25] Dr. H. Berkhof dan
Dr. I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, Cetakan IX (BPK Gunung Mulia,
Jakarta, 1991) hlm. 235
[26] Dr. H. Embuiru,
S.V.D, Geredja Sepandjang Masa (Nusa Indah, Flores) hlm. 206
[27] Dr. W.B. Sidjabat
(ed.), Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Badan Penerbit
Kristen, Jakarta, 1964) hlm. 23. W.B. Sidjabat berusaha melakukan pembelaan
bahwa kristenisasi di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan penjajahan
Belanda. Ia berargumen dengan perlakuan Jepang pada masa Hideyoshi terhadap
Belanda. Hideyoshi telah mengusir orang Portugis dan Spanyol sebab mereka
menyebarkan Katolik di Jepang (1595). Sementara Belanda diperkenankan
mendirikan loji di Jepang (1600), sebab negara kincir angin ini hanya memiliki
motif berdagang, bukan menyebarkan agama Kristen.
Tulisan
Sidjabat ini nampak sekali merupakan upaya apologetik untuk menghindar dari
stigma bahwa “Kristen merupakan agama penjajah” di Indonesia. “Bukti” yang
dikemukakan oleh W.B. Sidjabat ini sebenarnya tidak terlalu benar. Belanda pun
akhirnya diusir juga dari Jepang karena terbukti menyebarkan agama Kristen.
Tidak lama setelah berdiam di Jepang, Belanda melanggar perjanjian untuk tidak
menyebarkan agama Kristen di Jepang. Benteng Belanda di pantai selatan Pulau
Honsyu, Deshima, dihancurkan oleh Jepang akibat pelanggaran tersebut. Belanda
memang masih diperbolehkan berada di Jepang, namun dengan pengawasan yang
sangat ketat. Jumlah kapal Belanda yang keluar masuk diawasi. Hubungan dengan
Jepang akhirnya memburuk, kamp konsentrasi orang Belanda yang ada di Jepang
akhirnya dibubarkan pada tahun 1868. Lihat Dri Arbaningsih, Kartini
Dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi ”Bangsa” (Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, 2005) hlm. 70-71;
Tulisan Th.
Muller Kruger dalam “Sedjarah Geredja di Indonesia” malah menggambarkan
hubungan erat antara VOC dan misi penginjilan. Pemerintah Belanda juga
menginginkan agar rakyat pribumi menjadi pemeluk Kristen. Sebab orang Kristen
pribumi merupakan keuntungan bagi pihak kompeni dimana mereka sangat berbeda
dengan umat Islam yang sering melakukan perlawanan. Akan tetapi kadang-kadang
VOC juga bersikap pragmatis lebih mementingkan aspek ekonomis dibandingkan
tugas utamanya dalam penyebaran Injil. Lihat Th. Muller Kruger,Sedjarah
Geredja di Indonesia (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1959) hlm.
28-29; Jadi Spanyol dan Portugal di satu sisi serta Belanda pada sisi
yang lain, hakikatnya sama saja. Kedatangan bangsa Barat ini untuk menjajah dan
sekaligus menyebarkan agama, meskipun mungkin dalam intensitas yang berbeda.
[28] Lihat Dr. Huub
J.W.M. Boelaars, OFM Cap., Indonesianisasi … hlm. 64
[29] A. Heuken SJ, Ensiklopedi
Gereja, Jilid V Ko – M, Edisi 4 (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2005)
Hal. 10
[30] Konsep perpuluhan
yang diambil oleh gereja dari umat ini berasal dari pemaknaan terhadap
substansi kitab Kejadian 28:22 sebagai berikut : “Dan batu yang kudirikan
sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau
berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar