Al-Azhar, IIUP dan IIUM Yang Tertunda
“Jangan menghina kami kelak kami akan menjadi menteri”
Jangan engkau tanyakan aku mengapa aku lebih
bersemangat untuk belajar ketimbang aku masuk kedalam dunia kerja. Sekiranya
engkau bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini niscaya engkau akan memilih
jalan seperti jalan yang akau pilih. Aku tidak bermaksud kaya dengan harta tapi
aku hanya bermaksud kaya dengan ilmu.
Jalan hidupku sekarang memang pahit, tidak
sepertimu yang sudah berdasi dan duduk di perkantoran. Aku bekerja separo waktu
dan sepero waktunya untuk belajar. Sekarang hidupku memang pahit, namun yang
terpenting bagiku adalah bisa belajar. Ilmu... ilmu... dan ilmu... karena aku
ingin menjadi orang yang berilmu.
Aku tidak memilih jalan pintas, karena aku beribrah
kepada mereka terduhulu, mereka itu sungguh pahit dalam belajar, namun ketika
mereka sudah berilmu harta itu yang mengejar mereka. Mereka ibarat batang ubi,
dimana engkau buang maka ia akan hidup.
*****
Hari ini aku bukan siapa-siapa, tapi suatu saat jika
Allah mengizinkan dan memberi umur yang panjang pada kita, insyaallah engkau
akan menyaksikan bahwa aku adalah seorang Professor radhiallahu’anhu.
Itulah cita-cita tertinggiku kawan...
Pernahkah engkau mendengar kabar dari negeri sakura,
Jepang kawan... Negara yang sukses menjadi salah satu negara Adidaya dan
terdepan dalam tekhnologi saat ini. Mereka dihancurhanguskan oleh Amerika namun
mereka begitu semangat untuk maju. Prof. Ezra Vogel dari Harvard University
pernah melakukan kajian yang mendalam, mengapa Jepang sukses menjadi Negara
Adidaya dan terdepan dalam tekhnologi. Diceritakan bahwa pada akhir tahun
1888hampir 30.000 pelajar Jepang belajar hampir 90 buah sekolah swasta di
tokyo. 80% dari mereka datang dari daerah pedesaan. Sebagian besar mereka
datang dari keluaga samurai yang terpaksa mencari jalan baru untuk
memepertahankan muruah mereka pada zaman baru yang banyak berubah. Pelajar
miskin dibiayai oleh tuan tanah dan hartawan. Sebagiannya lagi dari mereka
bekerja sebagai pembantu tumah tangga atau bekerja separuh waktu atau bekerja
sebagai pengantar surat atau menjadi penerjemah atau juga menjadi guru. Dengan
bangganya mereka mengatakan: “Jangan menghina kami kelak kami akan menjadi menteri”.[1]
Atau pernahkah engkau mendengar cerita para ulama
terdahulu berjalan beratus kilometer hanya untuk mendapat sebuah hadis seperti
yang pernah dilakukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Atau seperti Imam
Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad, juga berkelana dari satu negeri ke negeri
yang lain hanya untuk ilmu. Atau juga cerita Ibnu Taymiyah yang keluar masuk
penjara dan pindah dari satu tempat ke tempat yang lain atau sederat nama-nama
yang lain yang tak tersebutkan. Ingatlah kawan, mereka sudah tiada namun nama
mereka masih ‘hidup’ sampai saat saat ini.
*****
Aku ingin bercerita, dulu ketika aku keluar dari
kampungku aku belum tahu mengapa. Niat belajar belum terhujam. Namun seiring
dengan berjalannya waktu, keinginan yang kuat menjadi seorang yang berilmu
ketika aku duduk di bangku Aliyah. Hingga aku hujamkan niat yang kuat mengikuti
jejak para ulama terdahulu yang keluar dari kampungnya untuk mendapatkan ilmu.
Universitas Al-Azhar. Yaa.. itulah tujuanku. “Berjalanlah niscaya engkau akan mendapatkan
saudara baru. Berjalanlah untuk belajar niscaya engkau akan menjadi orang yang
berilmu”, kira-kira
seperti itulah Imam Syafi’i mewasiatkan. Namun niat berjalan ke dataran Afrika
bagian utara belum Allah kabulkan saat itu. Semasa di Aliyah aku curahkan
seluruh potensiku untuk belajar agar nanti aku bisa lulus ke Al-Azhar.
Rangkaian beasiswa aku ikuti. Alhamdulillah aku lulus, tapi lulus yang non-beasiswa.(^_^)
Hingga akhirnya mengantarkanku ke IAIN, masih dalam negeri. Aku belum berputus
asa. Seluruh petonsi aku gunakan untuk belajar. Bahasa yang menunjang (Arab dan
Inggris) aku dalami meskipun jurusanku takhassus syari’ah. Cita-cita
untuk meninggalkan negeri tidaklah pudar tapi malah semakin menyala.
Tahukah engkau kawan, mimpi pertama, untuk studi S 1 Al-Azhar
gagal. Lalu aku membuat mimpi kedua kedua, studi S 2 ke [1] Pakistan dan [2] Malaysia.
Aku tahu di sana ada Universitas tangguh yang dibangun oleh OKI (Organisasi
Negara Islam). Internasional Islamic University Pakistan atau yang dikenal
dengan IIUP. Internasional Islamic University Malaysia yang dikenal dengan IIUM.
Namun mimpi ini belum juga Allah kabulkan. Allah malah memilihku pada Centre
for Advaance on Islam, Science and Civilization atau yang disingkat dengan
CASIS, Universitas Tekhnologi Malaysia. Alhamdulillah. Aku bersyukur pada Allah
bahwa aku dapat mewakili kampusku untuk belajar kesini dan cita-cita S2 pun
sampai. Aku senang dan bangga belajar disini dapat bertema 5 ilmuan ulung
Nusantara saat ini dan 1 ilmuan ulung dari dataran Afrika, Ghana.
Begitulah takdir Allah, kita hanya bisa bercita-cita tapi
Allah lah yang menentukan. Meskipun mimpiku untuk belajar ke IIUP atau IIUM
belum Allah kabulkan saat ini, insyaallah jika Allah memudahkan jalan,
keinginanku tidak langsung melanjutkan S3, insyaallah mengambil double
degree dulu ke Universitas tersebut. Biarlah usiaku tua dan orang-orang
mengatakan terlalu banyak S2. Maka aku jawab, “aku tidak bermaksud mencari title tapi
aku bermaksud mencari ilmu”.
[1]
International Society for Education
Information, The Modernization of Japanese Education, Tokyo: ISE, 1986,
jilid II, hlm. 60-65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar