Sebelum pulang ke Kuala Lumpur beberapa minggu lalu aku menyempatkan diri untuk bersilaturrahim ke tempat Bupati. Sembari
menunggu tamu yang masih ada di ruangan beliau, aku dipersilahkan duduk menunggu
di ruang tamu oleh Pejabat Sekretariat.
Senyum,
salam dan sapa kumulai dengan seorang yang lengkap dengan atribut dinasnya,
yang dari hasil pembicaraan kami ternyata beliau masih orang yang dari tetangga
Kecamatanku dan menjadi staf di kantor tersebut.
“Asal
dari mana?”, beliau bertanya
“Siau”
“Wah…
sudah tidak tampak lagi seperti orang Siau”.
“Mungkin
sudah tidak menetap di Siau lagi”, jawab taman disebelahnya menyela.
Sejenak
aku termenung, menangkap apa maksud kata-katanya itu, tapi belum bisa
ditangkap. Tiba-tiba, keluar pertanyaan baru:
“Sudah
PNS?”, pertanyaan ringan tapi terselip beberapa tanda.
“Belum…
saya masih sekolah”
“Dimana?”
“Kuala
Lumpur”
Berbualpun
terus berlanjut dan sering terselip di kata-katanya, “AKU PNS”. Betul taksiran
awalku, beliau terlalu “mengagung-agungkan” “AKU PNS”-nya.
Perjumpaanku
dengan pria itu 2 hari yang lalu hanyalah salah satu dari beberapa, atau boleh
jadi ramai dari saudara-saudara kita yang terlalu “mengagung-agungkan AKU PNS”.
Alasan gengsi, status sosial dan perut, membuat mereka menyogok berpuluh atau
beratus juta untuk menjadi “AKU PNS”. Hasilnya “PNS” menjadi ladang bisnis
basah. “Jika Ente punya uang, mari ke sini dan jadi dan jika tidak, jangan
terlalu banyak berharap”. Hingga mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu
akan kehancuran dan kerusakan akibat menempatkan seseorang, bukan karena prestasi.
Atau mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa pintu rizki itu banyak.
Patutlah
kita renungkan pesan Baginda Nabi, “orang yang menyogok dan orang yang menerima
sogokan, maka tempatnya di api neraka”. Dan di Hadis lain, “Allah melaknat
orang yang menyogok, penerima sogok dan orang yang menjadi perantara antara
penyogok dan penerima sogok [hingga sogok menyogok itu terjadi]”.
KL, 14
Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar