Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas (tengah) bersama guru-guru dan pelajar CASIS |
Oleh: Fiqih Risalah
(Kandidat Doktor di Centre
for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization (CASIS-UTM Malaysia/Topik ini sengaja diambil untuk mengulas kembali kuliah Prof. al-Attas mengenai Islamic Worldview)
KEMANA kah hidup kita yang singkat ini harus
diarahkan? Pertanyaan yang remeh ini kiranya sesuai diutarakan kembali untuk
melihat kondisi umat Islam di belahan bumi manapun yang sedang dilanda krisis
akut dewasa ini. Identitas seorang Muslim semakin hari semakin ter-“Barat”-kan,
dalam hal ini aspek yang sangat mendasar ialah pola pikirnya. Jika hal ini yang
terjadi maka yang perlu dicermati dari krisis utama umat ini adalah krisis
keilmuan yang tidak lagi mengindahkan wahyu ilahi sebagai landasan
filosofisnya.
Melalui tulisan ringkas ini, penulis
ingin mengajak para pembaca sekalian untuk menyimak kembali pandangan hidup
Islam menurut sarjanawan Muslim kontemporer yang
pandangan-pandangannya sangat tajam dan akurat dalam menganalisa problem umat
Islam yaitu, Professor Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Tulisan ini memaparkan kembali
pembahasan singkat tetapi padat yang diberikan oleh beliau ketika acara
peluncuran magnum opus beliau yang berjudul “Prolegomena to the
Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the
Worldview of Islam.”
Tulisan ini adalah bagian dari
ringkasan pidatonya dalam peringatan 14 tahun magnum opus (tepatnya tanggal 24
Juni 1996), yang dari segi kandungannya masih sangat relevan untuk melihat
kondisi umat Islam sekarang ini, khususnya di Indonesia dengan
maraknya ‘Westernisasi’ dalam semua sendi kehidupan.
***
Pada awal pidatonya, Prof Naquib
ketika menyinggung alasan kenapa ditulisnya buku tersebut, beliau menyatakan,
“Sebenarnya orang-orang Islam belum sadar tentang apa yang disebut metafisika,
padahal itu adalah suatu kewajiban bagi kita untuk memahaminnya sebab pandangan
mengenai hakikat dan alam terangkum dalam suatu kerangka metafisik. Kalau kita
tidak memahami kerangka metafisik kita sendiri, tentu kita akan keliru dan
terperosok ke dalam pandangan mengenai alam dan hakikat yang berbeda, dan yang
lain, dan yang tidak sesuai dengan jiwa kita, bahkan yang tidak benar. Oleh
karena itu, penting bagi kita untuk memahami apa yang disebut metafisika dalam
bingkai Islam.”
Dalam buku Prolegomena tersebut yang
artinya mukadimah mengenai apa yang dimaksudkan sebagai Metafisika Islam, Prof.
al-Attas memberikan beberapa kesimpulan, beberapa sumber-sumber penting yang
menggambarkan hakikat dan kebenaran alam semesta menurut Islam.
Selanjutnya, mengenai Metafisika Islam
itu sendiri, menurut beliau, adalah sangat penting bagi umat Islam untuk
memahaminya karena sebuah pandangan hidup (Worldview/Weltanschauung) setiap
peradaban pastilah terpancar dari dalam sistem metafisik tertentu demikian juga
yang terjadi pada masyarakat Barat.
Tidak ada satu pun pandangan hidup
yang muncul dengan sendirinya melainkan dari sebuah sistem metafisik
tertentu. Karena itulah, ini adalah suatu hal yang penting bagi umat Islam
untuk memiliki pemahamannya sendiri berkaitan dengan apa yang disebut dengan
‘sistem metafisik’.
Prof. al-Attas mengungkapkan bahwa
para ulama’ di kebanyakan negara Muslim ketika membicarakan tentang
worldview, banyak berbicara hanya tentang pandangan terhadap dunia ini.
Menurutny, mereka telah mensekulerkan pemahaman mereka sendiri akan arti
‘worldview’ yang sebenarnya. Mereka mengira bahwa hidup ini adalah dengan
melihat dunia ini. Tetapi bagi umat Islam, khususnya yang cerdas, mereka
tahu bahwa kata dunia tidak dipahami sebagai terpisah dari kata akhirat,
sebagaimana Islam dan al Quran memandangnya.
Karena itu, ketika kita berbicara
tentang worldview, kita tidak bermaksud melihat dunia ini. Yang kita maksudkan
adalah pandangan akan kenyataan dan kebenaran sekaligus, serta pandangan
mengenai keberadaan atau wujud, karena pandangan hidup dalam Islam berbicara
tentang keberadaan secara keseluruhan, tidak hanya wujud di dunia ini, tetapi
tentang dunia dari mana kita berasal dan tentang dunia ke mana kita menuju.
Jadi, jika umat Islam tidak mengambil pelajaran dari ini, Prof. al-Attas
mengatakan bahwa mereka pasti akan sesat dalam memandang sesuatu, yaitu dalam
hal keimanan serta agama; dan perkara ini harus diakui sedang berlangsung di
masyarakat kita.
Sistem metafisik adalah tentang
sesuatu yang ada di pikiran. Jadi, yang dimaksudkan oleh Prof. al-Attas ketika
membicarakan pembahasan ini permulaannya adalah dari dalam pikiran manusia.
Tidak diragukan lagi, ada sebagian teknokrat, menurut pandangan beliau, yang
berpikir bahwa segala yang bersifat pragmatis adalah hanya yang berurusan
dengan apa yang di luar pikiran (bersifat fisik). Mereka berpikir bahwa hal-hal
yang ada dalam pikiran adalah tidak penting. Mereka salah karena setiap hal
yang beersifat praktis berasal dari dalam pikiran. Dengan kata lain, pikiran
adalah sumber dari hal-hal yang bersifat fisik ini dan setiap orang harus
mengetahui apa yang berlaku dalam pikirannya.
Pembangunan dan Gunung Ego
Prof. al-Attas memberikan satu analog
yang menarik tentang ontologi dari pikiran manusia ketika mengisahkan adanya
satu perselisihan antara kelompok seniman dari Yunani dan China. Mereka
berselisih tentang hal yang sama. Masing-masing menyatakan bahwa mereka adalah
seniman terbaik di dunia. Kemudian ada seorang penguasa berkata, “Biar saya
putuskan siapa yang lebih baik di antara kalian berdua. Karena itu anda harus
bersaing di tempat yang luas ini tetapi dengan dipisahkan oleh tembok pembatas
untuk kalian berdua dalam melakukan pekerjaan kalian masing-masing. Saya akan
menyediakan semua yang kalian perlukan dan bila telah selesai, saya akan
menilainya dan memutuskan siapa yang terbaik.”
Mulailah para seniman tersebut
bekerja; yang satu dengan warna, dengan segala macam corak; sedangkan yang
satunya lagi dengan batu-batuan dan sejenisnya. Setelah memakan proses beberapa
bulan, dengan suara gemuruh, pihak China menyatakan bahwa mereka telah
menyelesaikan pekerjaan mereka, demikian juga pihak Yunani.
Kemudian, penguasa tersebut
memerintahkan untuk merobohkan tembok pemisah yang memisahkan dua kubu. Ketika
ia melihat ke kiri (karya China), ia melihat sebuah keindahan yang menakjubkan,
warna dan desain yang rumit serta ukiran-ukiran, hati penguasa tersebut
tertegun melihat keindahan yang ada. Sedangkan ketika ia melihat sisi yang lain
di sebelah kanannya (karya Yunani), yang dia lihat hanyalah sebuah papan yang
sangat tinggi terbuat dari marmer putih tetapi dia tidak melihat marmer
tersebut.
Sebaliknya, yang ia lihat adalah
karya seniman China yang tercermin di sana yang telah diperindah sehingga apa
yang ada pada pihak China tampak di dalam karya pihak Yunani. Jadi, ketika ia
melihat hal tersebut, ia sesungguhnya melihat bahwa hasil kerja seniman Yunani
lebih menakjubkan dari pekerjaan seniman China, karena karya seniman Yunani
tidak hanya berisi materi fisik, tetapi non-fisik juga. Yang mana hal ini
merupakan gabungan antara keduanya.
Demikianlah keberadaan pikiran
manusia, dengan kata lain, ia bersifat kedua-duanya baik fisik maupun
non-fisik. Sebenarnya, kata fisik berasal dari “mind”.
Jadi, karena hal inilah seharusnya
tidak ada seorangpun yang memperhinakan peran pikiran. Dalam kasus masyarakat
Barat, mereka tidaklah meremehkan pikiran (mind), tapi yang mereka lakukan
adalah memperhinakan metafisika. Mereka telah mengabaikan banyak hal yang
sebenarnya merupakan karakteristik dari pikiran, seperti intuisi dan agama.
Mereka telah mengabaikan hal-hal ini, dan ironisnya kita tampaknya telah
melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka lakukan.
Dunia tidak terdiri dari para ilmuwan
dan teknokrat saja. Teknokrat dan ilmuwan tidak akan ada tanpa adanya
orang-orang yang benar-benar berpikir; yang dari pikiran mereka menghasilkan
suatu karya, apakah itu seni atau yang lainnya. Oleh karenanya, harga diri
(kebanggaan) suatu bangsa manapun tidak tergantung pada bangunan-bangunan
(infrastruktur fisik). Kita telah melihat betapa banyak bangsa-bangsa di masa
lalu telah membangun bangunan-bangunan yang megah, sampai disebut sebagai tujuh
keajaiban dunia, tetapi bukan karena bangunannya yang membuat mereka menjadi
bangsa besar.
Bangunan-bangunan tersebut hanyalah
sebuah efek dari sesuatu yang lebih besar dari itu. Sekali lagi, ini berkaitan
dengan apa yang ada dalam pikiran, seperti yang ditangkap dalam kasus marmer di
atas. Hal inilah yang membuat mereka besar, yang membuat orang selalu ingat.
Jadi tidak ada kaitannya dengan pembangunan gedung-gedung yang tinggi. Semua
yang bersifat eksternal ini seperti suatu eksibisi, tentu saja, hal tersebut
tidak memerlukan apa yang namanya kedewasaan (sifat kebesaran).
Pembahasan selanjutnya yang menjadi
sorotan Prof. al-Attas ialah tentang kata ‘kedewasaan’ (maturity) yang
sebenarnya berasal dari kosa kata ‘pembangunan’ (development), yang mana mereka
sendiri (Barat) menyebutnya sebagai kata-kata amoeba (amoeba words). Ini
dikarenakan, menurut beliau, kata-kata tersebut tidak memiliki karakter dan
bentuk yang pasti, berubah setiap saat, bahkan ia tidak memiliki makna.
Karenanya mengapa mereka melakukan hal tersebut. Perlu diingat bahwa kata
‘pembangunan’, para filosof dan pemikir Barat sendiri mengetahui kata tersebut
hanya berasal dari kebudayaan Barat, yang merupakan produk dari pemikiran Barat
sekitar abad 18 dan 19, kira-kira dalam masa revolusi industri.
Kenyataannya, kata ini tidak terdapat
dalam perbendaharaan kata di Barat sebelum waktu itu. Ini merupakan hasil dari
sekulerisasi sebagai suatu program falsafah hidup yang ada dalam masyarakat
Barat sejak 700 tahun lalu.
Ide tentang ‘pembangunan’ –yang mana
semua Muslim sekarang ini juga menggunakannya dan tidak disadari– bahwa tidak
ada istilah yang sepadan dalam bahasa Negara Muslim manapun. Dalam bahasa
Melayu sendiri, kata ‘pembangunan’ pada hakikatnya adalah sebuah ide/gagasan
yang asing. Bahkan, mungkin, untuk peradaban Timur secara keseluruhan, adalah
hal yang aneh, karena gagasan ‘pembangunan’ menunjukkan jenis evolusi yang
linier, sejenis proses dari ‘infantility’ ke ‘maturity’.
Begitulah, bagaimana orang-orang
sekuler menafsirkan diri mereka sendiri bagaimana ‘untuk menjadi dewasa dan
berkembang’, yang mana ini merupakan bahasa yang sering digunakan manusia Barat
modern yang sekuler. Bahkan ketika kita menggunakan istilah ini, sebenarnya
kita telah mengakui presuposisi hegemoni Barat, yaitu seolah-olah kita
menyatakan bahwa ‘kami telah menyerahkan diri kami’.
Jadi, ketika kita berkata
‘pembangunan’, ini menunjukkan bahwa kita tidak sedang ‘bangun’, tetapi kita
masih tertidur, kita telah dibodohi; inilah arti sebenarnya dari “pembangunan”
yang dimaksudkan.
Untuk kejelasan dalam memahami makna
‘kedewasaan’. Prof. al-Attas memberikan sebuah gambaran yang berbeda, yaitu
tentang pendaki gunung yang sedang mendaki gunung tertinggi di dunia. Pendaki
ini apabila telah sampai di puncak, yang mana bagian atasnya merupakan daratan
es, melihat di puncak tersebut ada seekor ular besar yang menakjubkan dalam es.
Kemudian ia bergumam, “Saya akan memotong es ini dan akan saya bawa ular ini ke
bawah (kota) untuk dipamerkan ke orang-orang yang ingin melihat makhluk ajaib
ini.”
Dia akhirnya membawa bongkahan es itu
dan dipamerkan di pusat kota. Warga yang datang dan melihat berdecak kagum
dengan makhluk yang berukuran besar itu. Kemudian secara bertahap, tentu saja,
matahari mulai memanas dan mencairkan es secara perlahan sampai pada akhirnya
es tersebut benar-benar telah meleleh, maka tinggal-lah seeokor ular yang telah
dihangatkan kembali oleh sinar matahari, ular tersebut tidak mati dan
benar-benar hidup karena hanya beku dan kemudian mengamuk serta menghancurkan
seluruh kota beserta penduduknya.
Yang dimaksud dengan gambaran di atas
oleh Prof. al-Attas adalah sebuah perumpamaan tentang ‘gunung ego’. Bahwa ular
tersebut mengibaratkan sebuah ego yang sombong serta arogan, sebuah
ketidaktahuan yang berada dan menetap serta siap menyerang setiap jiwa manusia.
Hal itu adalah suatu penaklukan ego suatu gunung dalam artian ‘kedewasaan’ dan
‘keberanian’, bukanlah penaklukan gunung dari segi fisiknya. Hal itulah yang
harus terus-menerus diperjuangkan dan dilawan setiap hari.
Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad
SAW berkata bahwa “jihad yang paling besar adalah perjuangan melawan diri
sendiri.” Jadi yang dimaksud ‘kedewasaan’ merujuk kepada kepada hal itu, bukan
kepada penaklukan gunung. Dengan hal yang demikianlah Prof. al-Attas ingin
menggugah pikiran kita bahwa mengapa kita menggunakan ‘bahasa sekulerisasi’, bahasa
orang-orang modern Barat yang sekuler, kecuali jika kita ingin menjadi diri
kita seperti itu, berpikir seperti itu dan menggunakan istilah yang sama dengan
yang mereka gunakan?
Jadi dalam hal ini, ketika kita
sebagai umat Islam berbicara tentang metafisika dalam Islam, kita seharusnya
merujuk pada visi tentang kenyataan dan kebenaran sekaligus yang ada pada
pikiran umat Islam yang cerdas. Ia berada dalam pikiran manusia yang diproyeksikan
ke dalam dunia nyata.
Dalam pandangan Prof. al-Attas ada
beberapa elemen mendasar dalam metafisika Islam yang tidak berubah. Hal ini didasarkan
pada sejarah dan fakta, tidak hanya bersifat teoritis. Ini mengenai sesuatu
yang konstan, misalnya, konsep Allah; makna wahyu; sifat agama; sifat manusia
dan psikologi kejiwaannya; makna pengetahuan; kebebasan; khalifah, nilai-nilai
kebajikan, serta makna kebahagiaan. Ini semua adalah kata kunci yang
menggambarkan pandangan hidup Islam yang melandasi sistem metafisika dalam
Islam; yang tidak berubah sepanjang masa, tidak seperti yang berlaku di Barat.
Di Barat, mereka telah berubah setiap
saat. Perubahan yang berkelanjutan ini, membuat pandangan hidup mereka, yang
sebenarnya sebuah system yang besar, menjadi hanya sebuah skema (paradigma).
Apa yang mereka sebut sebagai ‘paradigma’ juga harus kita gunakan, seolah-olah
worldview dalam Islam juga seperti sebuah paradigma yang harus berubah dan
berkembang.
Dalam sejarahnya, mereka
mengembangkannya karena seperti itulah yang telah terjadi kepada mereka. Hal
ini disebabkan karena sebuah ‘kekecewaan’, kegagalan misi Kristiani untuk
mengkristenkan orang-orang Barat, dengan kata lain ini adalah suatu penolakan
orang-orang Barat akan keimanan Kristen. Hal ini sebenarnya pandangan yang
tragis dalam melihat kehidupan; dan bahwa cara pandang yang sedemikian rupa,
tampaknya diusahakan untuk mereka paksakan kepada para intelektual di dunia Muslim.
Hal lain yang dikritik oleh Prof.
al-Attas mengenai kejiwaan manusia modern adalah, seperti adanya sistem parlemen
di dunia yang mengharuskan semua keputusan yang dibuat harus diketahui oleh
publik, maka komunitas ilmiah dan para teknokrat kita yang hidup di abad ini
telah mengubah lebih daripada yang telah dilakukan oleh suatu sistem parlemen.
Mereka tidak merasa berkewajiban
untuk memberikan alasan apapun atau melakukan sesuatu tanpa menjelaskannya
kepada masyarakat. Ini semua adalah hasil dari gagasan ‘development’ dan
kebangkitan ‘metode ilmiah’ yang telah diterapkan pada perilaku manusia.
Oleh karenanya, mereka telah
merendahkan martabat manusia. Tentu saja, hal tersebut tidak membahayakan para
teknokrat karena mereka telah melupakan bagaimana untuk menjadi manusia. Hal
tersebut justru membahayakan mereka yang masih memiliki jiwa kemanusiaan di
dalam diri mereka.
Ironisnya, mereka juga tidak tahu,
menurut cendekiawan dan filosof Barat sendiri, bagaimana caranya untuk menjadi
manusia. Mereka tidak tahu di mana kita berada sekarang dan dari mana kita
berasal serta ke mana kita akan beranjak. Mereka tidak ingin tahu hal tersebut
karena jenis pengetahuan yang mereka miliki menghalangi mereka untuk berbuat
yang demikian. Pandangan Prof. al-Attas tersebut juga telah dikatakan oleh para
filosof, pemikir, serta psikolog Barat. Seperti yang terangkum dalam The
Development Dictionary (ed. Wolfgang Sachs), mereka
mengkritisi “development” sebagai suatu persepsi yang menirukan kenyataan yang
ada, sebagai suatu mitos yang menyenangkan masyarakat, dan sebagai suatu
fantasi untuk memenuhi hasrat nafsu insaniah.
Di antara para psikolog
modern, ada yang mengatakan akan adanya penghapusan makna. Misalnya, Jeffrey
Burke Satinover mengatakan bahwa ada hal yang terus berubah serta telah
kehilangan maknanya dan akhirnya tentu saja arti dari keberadaan manusia itu
sendiri. Jadi hal ini terjadi karena munculnya ‘anarki sosial’.
Beberapa ilmuwan sosial dalam
pandangan Prof. al-Attas bertanggung jawab atas ini, karena mengisyaratkan
seolah-olah masyarakatlah yang memiliki wewenang (otoritas).
Penting sekiranya bagi para pemimpin
Muslim untuk mengetahui, selama ilmu pengetahun dijadikan alat ukur, bahwa
kekuasaan tidak seharusnya diberikan kepada rakyat karena umumnya mereka tidak
memiliki ilmu. Dan tragisnya, kadangkala masyarakat awam diminta untuk
mengambil suatu keputusan. Karena itulah kemunculan ‘anarki sosial’ dan juga
‘anarki intelektual’ yang semuanya tampak subjektif.
Menurut Attas, kita akan kembali ke
zaman Yunani kuno di mana terdapat orang-orang memanggil diri mereka dengan
‘sophists’ yang menolak kemungkinan adanya pengetahuan. Demikianlah masyarakat
kita sekarang, ketika mereka bertanya akan sesuatu, mereka akan mengutarakan
satu pandangan dan yang lain juga akan mmengutarakan pandangan yang lain juga.
Jadi, pada kenyataannya mereka
menolak kemungkinan adanya pengetahuan. Dengan kata lain, mereka tidak pernah
mengakui adanya otoritas apapun. Satu hal yang harus diingat, otoritas apapun
—baik otoritas politik, agama, budaya, sastra— harus dihormati, terutama yang
berada di posisi kekuasaan, para pemimpin kita. Tetapi jika mereka tidak
menghormati suatu otoritas, sebagai misal, ada beberapa kesalahan dalam hal
bahasa, dan orang-orang mengatakan bahwa ini adalah salah sedangkan orang-orang
yang berpengetahuan tentang hal tersebut juga berkata bahwa ini adalah salah,
namun para pemimpin mereka tetap bersikeras mengatakan bahwa ini adalah benar,
hal ini berarti sebuah penolakan terhadap kekuasaan.
Demikian juga dalam hal-hal lain
terutama dalam perkara agama, Prof. al-Attas berpendapat bahwa bagi seseorang
yang tidak cukup bekal dalam hal agama sebaiknya untuk idak berbicara tentang
perkara agama terutama di khalayak ramai karena akan membawa mudharat yang bisa
menimbulkan pertikaian.
Akhirnya Prof. al-Attas menyatakan
bahwa kehormatan suatu bangsa pada pangkalnya akan bergantung pada integritas
dan keluhuran ilmu pengetahuan yang ada pada mereka, karena dengan ilmu
pengetahuanlah yang akan membawa kepada kerendahan hati.
Dengan pengertian bukan tunduk kepada
kejahilan. Beliau mengungkapkan satu peribahasa Melayu, “ikut rasmi padi jangan
ikut rasmi lalang.” Dengan kata lain, karena tangkai ‘padi’, bila penuh dengan
gandum, dia menunduk ke bawah sebagai ibarat untuk segala hal yang baik.
Analogi ini pada hakikatnya bersumber dari al-Qur’an. Al-Qur’an berbicara
tentang pohon yang sarat dengan buah-buahan dan bila ada buah-buahan, semacam
menggantung ke bawah, sebagaimana halnya hikmah dan otoritas. Itulah yang
dimaksud dengan kerendahan hati. Berkaitan dengan kata “tawaddu” yang berasal
dari bahasa Arab “wada’a”.
Tentu saja, dalam kamus-kamus pada
umumnya mengartikan “tawaddu” dengan membuatnya rendah diri atau merendahkan
diri. Namun dalam kenyataannya, kamus-kamus tersebut tidak begitu tepat dalam
mengartikannya. Arti yang tepat berdasarkan pengamatan beliau adalah
‘meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai’, itulah arti yang sebenarnya
karena berarti ‘meletakkan sesuatu’. Adalah satu kesalahan dalam
menyalahartikan kewenangan, sebagai contoh, Jika seorang pemimpin diajak untuk
rapat, tidak benar bagi orang tersebut untuk membiarkan dirinya duduk di
belakang.
Dia harus menempati posisi depan
karena itu adalah tempat yang sesuai baginya. Jika tidak, berarti dia tidak
memiliki rasa hormat terhadap dirinya, tidak ada rasa hormat terhadap ilmu
pengetahuan yang ia punya, yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Jadi, kata
tawaddu’ berarti mengerti dan memahami serta menempatkan diri kita di tempat
yang semestinya. Ini berarti kita harus memiliki ilmu pengetahuan yang tepat.
Sebagai kesimpulan, Prof. al-Attas
menyinggung tentang hak atas sesuatu (right places) sebagai inti dari semua
karya-karyanya; bahwa adab adalah kesesuaian dengan hak atas sesuatu tersebut,
bahwa keadilan adalah kondisi sesuatu yang berada di tempat yang tepat dan
sesuai, bahwa keberadaan (eksistensi) adalah tempat segala sesuatu apapun yang
tersusun dalam suatu keteraturan dari kenyataan ini. Jadi, ide tentang
mengetahui tempat yang jelas dan sesuai (proper place) memerlukan ilmu
pengetahuan yang mana seseorang selanjutnya harus bertindak berdasarkan hal
tersebut.
Jadi, kerendahan hati tidak berarti
bahwa kita harus sujud di hadapan kejahilan dan ketidakadilan. Beliau
menegaskan bahwa kita harus menyatakan apa yang benar meskipun kadangkala
merugikan diri kita. Sehingga kita perlu membicarakan tentang agama dalam
pandangan Islam dan juga filsafat ilmu (philosophy of science) karena
bagaimanapun tanpa filsafat ilmu kita akan menyimpang dan kembali meletakkan
diri kita pada posisi atau visi manusia Barat yang sekuler.
Oleh karenanya, dalam memahami
tentang esensi dari sebuah realitas, dikarenakan hal tersebut juga dipelajari
di Barat yaitu apa yang dimaksud dengan realitas itu sendiri serta apa itu
kebenaran, makanya kita harus berusaha untuk menjelaskannya berdasarkan kepada
sumber-sumber Islam yaitu berdasarkan apa yang ada di dalam Al Qur’an dan
Hadith beserta interpretasi daripadanya (tafsir) oleh para ulama’ sejati masa
silam.
Singkatnya, kita harus memahami masa
lalu kita untuk mengenali diri kita sendiri karena krisis yang dialami umat
Islam adalah krisis identitas. Wa ‘l-lāhu a’lam bi ‘l-Øawāb.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar