TEORI MAQASHID AL-SYARI’AH
DALAM PENALARAN HUKUM ISLAM
Oleh: Edi Kurniawan
(Alumni Fakultas Syari’ah IAIN STS Jambi)
A. Pengertian
Maqashid al-Syari’ah terdiri
dari dua kata yaitu: maqashid dan al-syari’ah. Sebelum menjelaskan
pengertian maqashid al-syari’ah secara
istilah terlebih dahulu dijelaskan pengertiannya secara bahasa (lughawi). Apa itu maqashid dan apa itu syari’ah?
Secara bahasa, maqashid jama’
dari kata maqshid yang berarti
kesulitan dari apa yang dituju atau dimaksud. Secara
akar bahasa, maqashid berasal dari
kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti keinginan yang
kuat, berpegang teguh, dan sengaja. Atau
dapat juga diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi). Sebagaimana
firman Allah SWT : ‘Wa’alallahi Qashdussabili”,
artinya, Allah lah yang menjelaskan jalan yang lurus.
Sedangkan kata syari’ah berasal dari kata syara’a as-syai yang berarti menjelaskan
sesuatu. Atau diambil dari asy-syar’ah
dan asy-syari’ah dengan arti tempat
sumber air yang tidak pernah terputus dan orang datang ke sana tidak memerlukan
alat.
Atau berarti juga sumber air, di mana orang ramai mengambil air. Selain itu al-syari’ah yang akar kata berasal dari
kata syara’a, yasri’u, syar’an yang
berarti memulai pelaksanaan suatu pekerjaan.
Dengan demikian al-syari’ah mempunyai
pengertian pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan dan menunjukkan
jalan. Syar’a lahum syar’an berarti
mereka telah menunjukkan jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan.
Jadi, secara bahasa syari’ah
menunjukkan kepada tiga pengertian, yaitu sumber tempat air minum, jalan yang
lurus dan terang dan awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.
Dengan mengetahui pengertian maqashid
dan al-syari’ah secara bahasa, maka dapat
membantu kita menjelaskan pengertian yang terkandung dalam istilah, yaitu tujuan-tujuan
dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum
untuk keperluan pemenuhan manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan
syari’at, dimana menurut al-Syatibi adalah untuk mewujudkan kemashlahatan
manusia di dunia dan akhirat.
Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa maqasid al syariah adalah nilai-nilai
dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari
hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan
dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-syari' dalam setiap
ketentuan hukum.
Yusuf Al-Qardhawi mendefenisikan maqashid
al-alsyari’ah sebagai tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum
partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan
manusia. Baik berupa perintah, larangan, dan mubah. Untuk individu,
keluarga, jamaah, dan umat.
Atau juga disebut dengan hikmat-hikmat
yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, baik yang diharuskan ataupun tidak.
Karena dalam setiap hukum yang disyari’atkan Allah kepada hambanya pasti
terdapat hikmat, yaitu
tujuan luhur yang ada di balik hukum.
Ulama Ushul Fiqih mendefinisikan maqashid
al-syari’ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyari’atkan suatu hukum bagi kemashlahatan umat
manusia. Maqashid al-syari’ah di
kalangan ulama ushul fiqih disebut juga asrar
al-syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan
oleh syara’, berupa kemashlahatan
bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Misalnya, syara’ mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk
menegakkan agama Allah SWT. Kemudian
dalam perkembangan berikutnya, istilah maqashid
al-syari’ah ini diidentik dengan filsafat hukum islam.
B.
Urgensi
Pemahaman
seorang mujtahid tentang maqashid
al-syari’ah sangat penting. Karena hal ini akan membantunya ketika berijtihad yang akan membangun
hukum-hukum syari’ah serta menjelaskan aspek-aspek hukum tersebut. Ibnu Asyur
mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Ahsan Lihasanah, bahwa wajib bagi para
ulama untuk mengetahui ‘illat-‘illat
tasyri’ serta tujuannya secara tersurat (zahir) maupun tersirat (bathin).
Jika ditemukan sebagian hukum yang tersembunyi, karena mereka sudah mengetahui
tujuannya, baik itu secara tersurat maupun tersirat, niscaya mereka mengerti
dalam memberikan fatwa-fatwa hukum.
Pemahaman-pemahaman tersebut meliputi: pertama, mengetahui perkataan-perkataan
dan faedah dalil-dalil dalam bentuk lughawi
dan kaidah-kaidah lafziyah untuk menemukan
hukum-hukum fiqh; kedua, membahas dalil-dalil yang bertentangan dari
yang sudah dinashakhkan, atau mengaitkan tujuan pengamalannya, atau menjelaskan
hubungan dalil yang satu dengan dalil yang lain; ketiga, Qiyas digunakan jika aqwal
syara’ (perkatan-perkataan syara’) belum ditemukan hukumnya; keempat, memberikan suatu hukum yang
tidak ada nash dan qiyas didalamnya; kelima,
menemukan hukum-hukum syari’ah yang bersifat ta’abbudi jika sekiranya tidak ada pembahasan tentang illat-illat hukum.
Dengan demikian,
maqashid al-syari’ah ini akan
membantu para mujtahid dalam menentukan kedhabitan
aturan-aturan hukum serta mashlahah dan mafsadah, pengetahuan
tentang maqashid al-syari’ah, dan pengetahuan tentang illat-illat hukum.
Dalam upaya mengembangkan pemikiran hukum Islam, terutama dalam
memberikan pemahaman dan kejelasan terhadap berbagai persoalan hukum
kontemporer, para mujtahid perlu mengetahui tujuan pensyari’atan hukum Islam. Selain
itu, tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka mengenal pasti, apakah suatu
ketentuan hukum masih dapat diterapkan terhadap suatu kasus tertentu atau
karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat lagi
dipertahankan. Dengan demikan, pengetahuan mengenai maqashid al-syari’ah menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam
ijtihadnya. Karena
mengingat, hukum itu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan tempat,
zaman, dan keadaan. Seperti hukum perempuan yang keluar dalam perjalanan (musafir)
tanpa disertai muhrimnya dan perjalanan tersebut bukanlah perjalanan dalam
bermaksiat kepada Allah. Hal ini pada zaman Rasulullah, beliau sangat
melarangnya karena takut akan timbul fitnah dan keselamatan perempuan tersebut.
Namun seiring dengan berkembangnya tempat, zaman, dan keadaan. Para perempuan
bisa berjalan dengan sendiri dengan aman dan nyaman tanpa ada merasa takut
gangguan, maka hukum ini tentunya juga akan berubah. Atau ada suatu kasus yang
dalil untuk menetapkan hukumnya tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,
di sinilah peran maqashid al-syari’ah untuk memecahkan hal-hal tersebut
dengan berlandaskan kepada kemashlahatan.
Khusus dalam menghadapi persoalan-persoalan fiqih kontemporer, terlebih
dahulu dikaji secara teliti hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap
suatu kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian
terhadap sumber hukum yang akan dijadikan
dalilnya. Dengan kata lain, kandungan nash harus diteliti secara cermat,
termasuk tujuan pensyari’atan hukum tersebut.
Setelah itu baru dilakukan kategorisasi masalah (tanqih al-manat), apakah ayat atau hadits tertentu layak dijadikan
dalil bagi kasus baru tersebut. Mungkin ada suatu kasus baru yang hampir sama
dengan kasus hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-hadits. Jika
ternyata tidak ditemukan kesamaan atau kemiripan antara persoalan baru dengan kasus hukum yang ada pada kedua
sumber hukum tersebut, maka konsekuensinya persoalan baru tersebut tidak dapat disamakan hukumnya dengan kasus hukum
yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Di sinilah letak urgen atau
pentingya pengetahuan tentang maqashid
al-syari’ah (tujuan pensyari’atan hukum) dalam hukum Islam.
C. Tujuan al-Syari’ah
Substansi maqashid al-syari’ah
adalah kemashlahatan. Kemashlahatan
dalam taklif tuhan dapat berwujud dua bentuk, yaitu: pertama, dalam bentuk hakiki, yakni manfaat langsung dalam
arti kausitas; kedua, dalam bentuk majazi,
yakni bentuk yang merupakan membawa kepada kemashlahatan.
Maka di sini kemashlahatan dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu:
maqashid al-syari’ (tujuan pembuat
hukum/tuhan) dan maqashid al-Mukallaf
(tujuan mukallaf), sebagai berikut:
1.
Maqashid al-syari’ah dalam arti maqashid al-syari’ mengandung empat aspek, yaitu:
a.
Kemashlahatan
Islam sebagai agama samawi mempunyai kitab suci al-Qur’an sebagai
sumber hukum utama, al-Qur’an mengandung berbagai ajaran. Di kalangan ulama ada
yang membagi kepada tiga kelompok besar, yaitu aqidah, khuluqiyah, dan amaliyah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, khluqiyah berkaitan dengan etika, dan amaliyah berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang muncul dari aqwal (ungkapan-ungkapan) dan af’al (perbuatan-perbuatan manusia).
Kelompok terakhir ini dalam sistematika hukum Islam dibagi ke dalam dua besar,
yaitu ibadat (pola hubungan manusia dengan tuhan) dan muamalah (pola hubungan
manusia dengan manusia).
Sebagai sumber ajaran, al-Qur’an tidak memuat aturan-aturan yang
terperinci tentang ibadah dan muamalah. Dari 6360 ayat al-Qur’an hanya terdapat
368 ayat yang berkaitan dengan aspek-aspek hukum.
Dari sini dapat dipahami bahwa sebagian besar masalah-masalah hukum Islam,
oleh tuhan hanya diberikan dasar-dasar dalam al-Qur’an. Bertitik tolak dari
prinsip-prinsip ini, dituangkan pula lewat hadits Rasulullah SAW. Berdasarkan
atas dua sumber inilah kemudian, dari aspek hukum terutama dalam konteks muamalah
dikembangkan oleh ulama di antaranya
al-Syatibi (W.790) yang telah mencoba mengembangkan pokok atau prinsip yang
terdapat dalam dua sumber ajaran Islam itu
dengan mengaitkan dengan maqashid
al-syari’ah.
Dalam karyanya, al-muwafaqat,
Asy-Syatibi menggunakan kata yang berbeda-beda yang berkaitan dengan maqashid
al-syari’ah. Kata tersebut adalah maqashid
al-syari’ah, al-maqashid al-syari’ah fi al-syari’ah,
dan maqashid min syar’i hukm.
Pada prinsipnya, penemaan kata-kata yang berbeda tersebut mengandung pengertian
yang sama, yaitu tujuan hukum yang diturunkan Allah SWT.
Syari’at Islam datang sebagai rahmat bagi umat manusia, memberikan
nasehat bahkan penyembuh terhadap apa-apa yang terdapat di dalam hati, karena
itu Islam dalam pelaksanaan hukum-hukumnya terbagi kepada tiga segi (unsur). Pertama, sebagai pendidikan secara individu untuk mampu menciptakan
kebaikan secara kolektif; kedua,
untuk melaksanakan keadilan dalam kehidupan masyarakat Islam secara keseluruhan
yang nantinya kedudukan manusia sama di depan undang-undang dan putusan.
Sehingga tidak dibedakan lagi antara si kaya dan si miskin, yang kuat dan yang
lemah; ketiga, dari aspek hukum
Islam, esensi dan substansinya yaitu kemashlahatan,
sebab apa yang disyari’atkan Islam lewat nash di dalamnya terdapat hakekat
maslahat.
Setiap seruan Allah dapat dipahami oleh akal, kenapa Allah menyuruh,
tentunya ada kemashlahatan untuk umat manusia, apakah dijelaskan sendiri
alasannya atau tidak, maupun menjelaskan kenapa suatu perbuatan dilarang,
tentunya juga ada kemashlahatan untuk manusia agar manusia tidak masuk kedalam
kehancuran. Sebagaimana yang dijelaskan al-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat-Nya:
“Syari’at itu
bertujuan untuk kemashlahatan manusia (hamba), cepat ataupun lambat secara
bersamaan, dan ajakan ini pasti berasal petunjuk tuhan, apakah itu membawa
kemashlahatan (shihhah) ataupun
kehancuran (fasad)”.
Apabila diteliti pernyataan al-Syatibi ini, dapatlah dipahami bahwa
kandungan maqashid al-Syari’ah adalah untuk kemashlahatan manusia. Oleh
karenanya, bisa dikatakan bahwa seluruh ajaran yang tertuang dalam Al-Quran
maupun al-Sunnah menjadi dalil adanya maslahat. Meskipun sumber syara’ tersebut
tidak semuanya berbicara mengenai kemashlahatan secara langsung, akan tetapi
ada beberapa dalil yang bisa mengindikasikan terhadap eksistensi maslahat dalam
syari’at Islam. Secara umum, alasan yang
dikemukakan jumhur ulama dalam
menetapkan maslahat sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:
1.
Hasil induksi terhadap ayat atau hadits yang
menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
2.
Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi
perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat
Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, maka akan membawa kesulitan bagi
umat manusia.
3.
Jumhur ulama juga beralasan pada beberapa perbuatan
sahabat yang seringkali berbuat dan membuat kebijakan dengan berdasar pada
maslahat.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa semua kewajiban (taklif) diciptakan dalam rangka
merealisasikan kemashlahatan hamba. Dan ini juga menunjukkan bahwa ta’lil peletakan al-syari’ah dari sisi kuantiti (jumlah), dan menghubungkannya
dengan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. Dan
tujuan syara’ adalah untuk
kemashlahatan yang terdiri dari atas lima
pengayoman yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal manusia. Sehingga
menurut al-Ghazali, segala sesuatu yang mengayomi lima
hal tersebut, maka itulah mashlahah, dan segala susuatu yang
menghancurkan lima
hal tersebut, maka itulah mafsadah.
b.
Sesuatu yang Harus Dipahami
Maqashid al-syari’ah dalam
arti maqashid al-syari’ mengandung
empat aspek, salah satunya adalah sebagai sesuatu yang harus dipahami. Aspek
ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar syari’at itu dapat dipahami, sehingga dapat
dicapai kemashlahatan yang dikandungnya.
Metode memahami maqashid al-syari’ah
diidentik dengan pengetahuan tentang pengkajian kandungan al-Qur’an dan
al-Sunnah. Secara faktual, nash terdiri dari huruf-huruf arab atau bahasa arab
dengan sejumlah kaidahnya, maka salah satu cara untuk memahami maqashid al-syari’ah adalah pemahaman
kebahasaan. Namun pendekatan kebahasaan saja tidaklah cukup, sebab syari’at itu
sering kali memakai bahasa di luar pengertian lafaz dan kaedah kebahasaan.
Memahami hukum secara benar hanya
bisa terjadi apabila benar-benar memahami uslub bahasa
arab dan teori dalalah di dalamnya.
Dan dipahami pula dalil-dalil yang menunjukkan bahwa lafaz-lafaz tersebut
berbentuk mufrod (singular) atau murokkab (tersusun).
Para ulama ushul fiqh sangat memperhatikan uslub-uslub bahasa arab,
ungkapan, dan mufrodat (sinonim)-nya.
Dari hasil research (istiqra’) dan ketetapan
para ulama bahasa, maka mereka mengambil
kaidah-kaidah dan batasan-batasan lalu menjaganya, sehinggga mereka bisa memahami
hukum-hukum dari nash-nash syar’iyah
dengan pemahaman yang benar yang sesuai dengan pemahaman orang arab. Dengan
kaidah-kaidah dan batasan itu pula mereka bisa menjelaskan nash-nash yang masih
bersifat samar-samar, mentarjihkan nash yang bersifat kontradiksi, mentakwili
nash yang ada petunjuk (dalil) untuk ditakwili,
dan lain-lain yang ada hubungannya dengan pengambilan hukum-hukum dari nash.
Oleh karena itu, para mujtahid dalam menggali hukum yang terkandung
dalam syari’at sering keluar dari konteksss bunyi lafaz dan memakai teks dengan
arti baru. Cara ini disebut dengan metode ma’nawi.
1)
Mamahami al-syari’ah melalui bunyi lafaz.
Ada dua
kemungkinan pemahaman disebabkan oleh dua hal yaitu:
a)
Lafaz itu digunakan untuk dua maksud dengan pemahaman
yang sama, misalnya kata quru’ (QS.
al-Baqarah : 228) yang berarti suci atau haid.
Kata ‘aqdatu al-nikah (QS. al-Baqarah: 237) yang mengandung
arti wali atau istri. Kemudian kata “lamastumu” (QS.
an-Nisa : 43) dapat berarti bersetubuh atau bersentuh kulit.
b)
Lafaz yang menggunakan nama atau kiasan yang menurut
lahirnya mendatangkan keraguan. Keraguan itu disebabkan penggunaan sifat yang
ada pada manusia untuk Allah SWT., padahal Allah SWT tidak sama dengan
makhluknya. Umpamanya penggunaan kata “wajah” atau “muka”
untuk Allah (al-Rahman: 27) dan penggunaan kata “bersemayam”
untuk Allah (QS. Yunus : 3).
Berdasarkan kedua bentuk pemahaman lafaz tersebut, maka semua mujtahid
tidak dapat keluar dari konteks lafaz, mereka hanya berbeda dalam hal sejauh
mana kedekatan ijtihadnya dengan lafaz. Masalah apapun yang timbul dalam
kehidupan umat manusia, tidak mungkin memberi nilai syari’at tanpa
menghubungkan dengan bunyi lafaz, baik dikaitkan dengan arti majazi maupun arti
substansinya.
2)
Memahami al-syari’ah
melalui makna lafaz
Yang dimaksud dengan makna lafaz di sini ialah makna secara hakiki
dan majazi
termasuk makna musytarak.
Misalnya, QS al-Maidah (5) : 33 :
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tur Îû ÇÚöF{$# #·$|¡sù br& (#þqè=Gs)ã ÷rr& (#þqç6¯=|Áã ÷rr& yì©Üs)è? óOÎgÏ÷r& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYã ÆÏB ÇÚöF{$#
Artinya: “sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediaman”.
Kata “dibuang” (auyanfu) pada
ayat tersebut mengandung arti hakiki dan majazi, arti hakiki ialah “mereka
dikeluarkan dari negeri mereka ke negeri lain”. Sedangkan arti majazi adalah
“mereka dimasukkan ke dalam penjara”. Imam Abu hanifah memilih arti hakiki
“diusir” ke negeri lain.
3)
Memahami al-syari’ah
melalui makna di luar nash
Metode memahami syari’at melalui makna di luar nash yaitu metode istihsan dan al-mashlahah al-Mursalah.
a)
Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentuk (musytaq)
dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri
kemudian berarti kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya
lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah,
meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Secara
istilah, al-Ghazali mengatakan bahwa istihsan adalah Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid,
namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
Adapun istihsan menurut
ulama ushul ialah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (qiyas nyata) kepada qiyas khafi (qiyas samar) atau dari
hukum kulli kepada hukum
pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan ia mencela akalnya, dan
dimenangkan perpindahan ini.
Maksudnya, apabila seorang
mujtahid menghadapi suatu perkara yang tidak ada nash yang menetapkan hukumnya,
sedang untuk mencari hukum terdapat dua jalan yang berbeda-beda, jalan yang
satu sudah jelas dan yang lainnya masih samar-samar, yakni dapat menetapkan
hukum dan dapat pula menetapkan hukum yang lain, padahal pada diri mujtahid
tersebut terdapat suatu dalil yang dapat digunakan untuk mentarjihkan jalan
yang samar-samar, lalu ia meninggalkan jalan yang nyata tersebut untuk menempuh
jalan yang samar-samar tersebut. Demikian pula bila ia menetapkan suatu hukum,
kemudian setelah ia mendapatkan dalil yang lain yang mengecualikan suatu hukum
dari dalil kulli tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang berbeda dengan hukum
yang ditetapkan oleh dalil-dalil kulli itu. Kedua jalan inilah yang dimaksud
dengan istihsan.
Istihsan ada dua macam: Petama, mentarjihkan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atas
qiyas yang nyata berdasarkan suatu dalil. Hal semacam ini menurut kalangan
hanafiyah disebut dengan istihsan qiyas
atau qiyas khafi. Contoh, Sisa minum
dari burung yang busa menurut istihsan adalah suci, sedangkan menurut qiyas
adalah najis.
Kedua, Mengecualikan
hukum juz’iyah dari hukum kuliyah dengan suatu dalil. Hal semacam
ini menurut kalangan hanafiyah disebut dengan istihsan darurat. Sebab penyimpangan dari hukum tersebut adalah
karena darurat atau karena suatu kepentingan yang mengharuskan adanya
penyimpangan dengan maksud untuk menghadapi keadaan yang mendesak atau
menghindari kesulitan. Contoh, syara’ melarang mengadakan perikatan dan
memperjual belikan barang-barang yang belum ada pada saat perikatan. Tetapi
menurut istihsan, syara’ memberikan rukhsah muamalat
tersebut dengan diperkenankan menjalankan salam
dan istishna’.
Keduanya adalah perikatan dalam bentuk lintas perdagangan, tetapi barang yang
diperdagangkan belum terwujud pada saat perjanjian dibuat. Hukum kulli pada cohtoh ini adalah tidak
sahnya memperjualbelikan barang yang belum berwujud pada saat perikatan
terjadi. Tetapi oleh karena perikatan itu sangat dibutuhkan dan sudah menjadi
kebiasaan dalam masyarakat, maka dikecualikanlah dari hukum kulli tersebut suatu hukum juz’i, yaitu masalah istishna’. Dengan kata lain, segi
istishsannya ialah kebutuhan dan kebiasaan dalam masyarakat.
b)
Al-Mashlahah al-Mursalah
Secara etimologi, mashlahah
sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung
manfaat.
sedangkan al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk
tsulasi “rasala” dengan penambahan
huruf alif di awalnya sehingga menjadi “arsala”.
Secara bahasa artinya “terlepas” atau dalam arti mutlaqah (bebas). Kata lepas dan bebas di sini dihubungkan dengan
kata mashlahah maksudnya adalah
terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya
dilakukan.
Secara istilah, mashlahah
al-mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’
sesuatu hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’
yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau mengabaikannya.
Hal ini muncul setelah wahyu selesai diturunkan serta tidak ada dalil yang
memerintah agar diperhatikan atau tidak.
Misalnya menghimpun dan menulis al-Qur’an dalam satu mushaf. Baik nash
dari al-Qur’an maupun hadits tidak memerintahkan dan tidak pula melarang hal
tersebut. Tapi perbuatan semacam ini sangat mendatangkan manfaat bagi kaum
muslimin, maka apa yang dirintis oleh Abu Bakar dan sahabat-sahabat yang lain
dalam masalah tersebut merupakan mashlahah
mursalah. Demikian juga halnya seperti surat nikah yang diadakan oleh
Negara sebagai bukti sahnya perkawinan, mengadakan lembaga pemasyarakatan
(penjara) dan mencetak mata uang sebagai alat pertukaran resmi. Hal semacam ini
tidak ada nash yang menyuruhnya dan tidak ada pula nash yang melarang, itu
dimaksud untuk muwujudkan kemashlahatan dan mempermudah urusan dalam kehidupan.
Maksud syari’at Islam itu tidak lain untuk mewujudkan kemashlahatan manusia,
yakni menarik manfaat dan menolak mafsadat, dan menghilangkan kesusahan.
Kemashlahatan manusia tidak terbatas macamnya dan tidak terhitung jumlahnya.
(1) Objek Maslahah al-Mursalah
Adapun yang menjadi objek al-maslahah
al-mursalah adalah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya,
tetapi tidak ada satupun nash (al-Qur’an dan al-Hadits) yang dapat dijadikan
dasar. Prinsip yang disepakati oleh kebanyakan pengikut mazhab yang ada dalam
fikih. Menurut Imam al-Qarafi ath-Thusi sebagaimana yang dikutip oleh Totok
Jumantoro bahwa mashlahat al-Mursalah
itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang muamalah dan semacamnya,
sedangkan dalam soal ibadah adalah Allah SWT yang menetapkan hukumnya, karena
manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadah tersebut.
(2) Kehujjahan Maslahah al-Mursalah
Ulama Malikiyah dan
Hanabilah menerima al-Maslahah
al-Mursalah sebagai dalil hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fikih
yang paling banyak dan luas penerapannya. Untuk menjadikan al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil, ulama malikiyah dan
Hanabilah mensyaratkan: pertama,
kemashlahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis
kemashlahatan yang didukung secara umum; kedua,
kemashlahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan sehingga
hukum yang ditetapkan melalui al-Maslahah
al-Mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari
kemudharatan; ketiga, kemashlahatan
itu menyangkut orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil.
Kemudian kalangan syafi’iyah
pada dasarnya juga menjadikan mashlahah
al-Mursalah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi Imam syafi’i
memasuknya dalam qiyas.
Kemudian jumhur ulama
menerima mashlahah al-Mursalah sebagai
metode istinbath hukum, dengan alasan: pertama, hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa
setiap hukum mengandung kemashlahatan bagi umat manusia; kedua, kemashlahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh perkembangan
tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam
terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, maka akan membawa kesulitan
c.
Hukum Taklif yang Harus Dilakukan
Hukum Taklifi, yaitu hukum
yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang
mengerjakannya, atau pilihan antara
melakukan dan meninggalkan.
Contoh, sebagaimana kewajiban orang mukallaf untuk membayar zakat yang terdapat
dalam al-Qur’an Surah at-taubah ayat 103 dan Ali Imran ayat 97, kemudian
perintah akan kewajiban melaksanakan shalat dalam Surah al-Baqarah ayat 43.
atau yang berbentuk larangan seperti larangan menggunjing atau mengolok-olok
antara orang yang satu dengan orang yang lain, dan golongan yang satu denga
golongan yang lain yang terdapat dalam Surah al-Hujarat ayat 11. Kemudian
larangan mendekati zina yang terdapat dalam Surah al-Isra’ ayat 32, kemudian
juga larangan menikahi wanita musyrik yang terdapat dalam Surah al-Maidah ayat
221. Sedangkan hukum yang menghendaki pilihan bagi mukallaf antara melakukan
dan meninggalkan. Contoh, pilihan bagi orang yang telah melaksanakan shalat
untuk bertebaran di muka bumi sebagimana yang terdapat dalam Surah an-Nisa’
ayat 101 dan pilihan bagi mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan berburu setelah menyelesaikan ibadah haji yang
terdapat dalam Surah al-Jumu’ah ayat 10.
Hukum taklifi mengandung
tuntutan (taklif) kepada mukallaf
untuk mengerjakan sesuatu atau melarangnya, atau melakukan antara mengerjakan
dan meninggalkan. Sedangkan hal-hal yang orang mukallaf yang diperintah antara
mengerjakan dan meninggalkan, inilah yang disebut taklif (tuntutan/pembebanan).
Ketetapan Allah yang telah diberikan terhadap sesuatu yang berhubungan
dengan perbuatan orang mukallaf seperti hukum harus, makruh, wajib dan
sebagainya. Sedangkan iqtidha adalah
suatu tuntutan, baik tuntutan meninggalkan ataupun tuntutan dalam arti perintah.
Hukum haram misalnya merupakan larangan yang pasti dan wajib menunjukkan
perintah yang pasti.
Kontekss maqashid al-Syari’ah
dalam arti maqashid al-Syari’ (Allah
dan Rasul) yang mengandung empat aspek, salah satunya sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan. Aspek ini
berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan syari’at dalam rangka
mewujudkan kemashlahatan. Ini juga berkaitan dengan kemampuan manusia untuk
melaksanakannya. Karena Hakikat pemberlakuan syari’at adalah untuk mewujudkan
kemashlahatan manusia. Kemashlahatan itu dapa diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat
diwujudkan dan dipelihara. Ketika Allah memerintahkan untuk mengerjakan
sesuatu tentu ada hikmah di balik itu semua, begitu juga ketika Allah
memerintah untuk meninggalkan sesuatu tentunya juga ada hikmah di balik itu
semua.
d.
Membawa Manusia Kebawah Naungan Hukum
Tujuan Allah SWT menetapkan syari’at Islam untuk dibebankan
pelaksanaannya adalah untuk melepaskan mukallaf
dari pengaruh hawa nafsu, sampai hamba Allah memilih, sebagaimana hamba Allah
memilih hal (keperluan) yang amat mendesak. Dengan beberapa alasan antara lain:
1)
Adanya nash yang jelas menunjukkan bahwa manusia
diciptakan untuk menyembah Allah dan memperhatikan perintah dan larangannya
(QS. adz-Dzariyat : 65 dan QS. 4 : 36).
2)
Kejelekan yang bertentangan dengan tujuan syari’at
seperti larangan yang bertententangan dengan perintah Allah dan kejelekan dari
orang yang berpaling dari Allah yang tunduk pada hawa nafsunya. Bahkan setiap
Allah menetapkan penyebutan “al-hawa” dan kejelekan mengikutinya.
Karena itulah tujuan Allah SWT menetapkan syari’at Islam untuk
dibebankan pelaksanaannya kepada mukallaf
dari berbagai aspek. Sebab pembenahan itu disadari atas kesanggupan mukallaf untuk melaksanakannya. Sesuatu
yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf,
maka hal itu tidaklah dibebankan oleh syara’.
Sementara itu asas-asas penerapan syari’at Islam terdapat tiga asas
yang disepakati para ahli ushul, yaitu bahwa syari’at tidak memberatkan
dan tidak mempersempit, tidak banyak
tuntutan dan dilaksanakan secara bertahap.
Berdasarkan hal ini, maka segenap amal yang diperintahkan syari’at
selalu disertai kemampuan bagi mukallaf. Bagi mereka yang tidak mempunyai
kemampuan untuk menunaikan suatu perintah, maka akan terbebas dari kewajiban tersebut
dan tidak dibebani tanggung jawab sedikitpun atasnya.
Lebih dari itu syari’at sebagai pedoman hidup jika ditaati perintah dan
larangannya, manusia mampu terbebas dari hal-hal yang merusak dan merugikan
hidupnya. Itulah sebabnya mengapa kandungan syari’at selalu bertentangan dengan
selera nafsu manusia, artinya syari’at mengarahkan manusia untuk dapat
mengendalikan nafsunya. Ketika hal ini dapat dilakukan, syari’at itu akan
membawa manusia kebawah naungan hukum Allah, yang tidak akan bercampur antara
yang haq dan bathil, dan jauh dari hawa nafsu. Ketika hukum-hukum Allah terjalankan,
maka tentunya akan membawa mashlahah untuk manusia sebagai mana tujuan dari maqashid al-Syari’ah.
2.
Maqashid al-Syari’ah
dalam arti maqashid al-Mukallaf
Tujuan syari’at dalam arti tujuan mukallaf yang berujung pada
kemashlahatan sebagai substansinya, dapat terealisasikan apabila lima
unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu
adalah: (a) agama, (b) jiwa, (c) keturunan, (d) akal,
dan (e) harta.
Dalam upaya mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok ini,
al-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari’ah-Nya membagi kepada tiga tingkatan, yaitu: pertama, kebutuhan dharuriyat (primer), yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi
kehidupan manusia yang harus ada demi kemashlahatan mereka. Hal ini dapat
disimpulkan kepada lima
sendi utama yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Bila sendi ini
tidak terpelihara dengan baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemashlahatan
tidak akan terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
Pemeliharaan kelima sendi utama tersebut berdasarkan skala prioritas,
artinya sendi yang berada pada urutan pertama (agama) lebih utama dari sendi
kedua (jiwa), sendi kedua lebih utama dari sendi ketiga (akal), dan begitu
seterusnya sampai sendi kelima.
Kedua, kebutuhan hajiyyat (sekunder) yaitu segala sesuatu
yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak
segala halangan.
Artinya, ketiadaan aspek hajiyat
tidak sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan
hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja.
Prinsip utama dalam aspek hajiyat
adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan urusan mereka. Untuk maksud tersebut, Islam
menetapkan sejumlah ketentuan dalam beberapa bidang muamalat dan uqubat (pidana).
Ketiga, kebutuhan tahsiniyah, yaitu tindakan atau
sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan al-Mukarim al-Akhlaq, serta pemeliharaan tindakan-tindakan utama
dalam bidang ibadah, adat dan muamalah.
Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan mausia tidak akan
terancam kekacauan, seperti kalau tidak terwujud aspek dharuriyyat dan juga tidak membawa kesusahan seperti tidak
terpenuhinya aspek hajiyyat. Namun,
ketiadaan aspek ini akan menimbulkan suatu kondisi yang kurang harmonis dalam
pandangan akal sehat dan adat kebiasaan, menyalahi kepatuhan, dan menurunkan
martabat pribadi dan masyarakat.
Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang peringkat maqhid al-Syari’ah ini, berikut akan
dijelaskan kelima pokok kemashlahatan berdasarkan kepada tingkat kepentingan
atau kebutuhan masing-masing,
yaitu:
a.
Memelihara Agama (Hifzh
al-Din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi
tiga tingkatan:
1)
Memelihara agama dalam tingkatan dharuriyah, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan
yang termasuk tingkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Jika
kewajiban ini diabaikan maka eksistensi agama akan terancam.
2)
Memelihara agama dalam tingkatan hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindarkan dari kesulitan.
Seperti pensyari’atan shalat jamak dan qasar bagi orang yang sedang bepergian.
Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi
agama, melainkan hanya mempersulit orang yang melakukannya.
3)
Memelihara agama dalam tingkatan tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tingggi
martabat manusia sekaligus menyempurnakan pelaksanaan kewajiban kepada tuhan.
b.
Memelihara Jiwa (Hhifz
al-Nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi
tiga tingkatan:
1)
Memelihara agama dalam tingkatan dharuriyyat, seperti pensyari’atan kewajiban memenuhi kebutuhan
pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika kebutuhan pokok itu
diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
2)
Memelihara jiwa dalam tingkatan hajiyyat, seperti dibolehkan berburu dan menikmati makanan yang halal dan bergizi. Jika ketentuan ini
diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya akan
mempersulit hidupnya.
3)
Memelihara jiwa dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti disyari’atkannya aturan tata cara makan dan
minum. Ketentuan ini hanya berhubungan dengan etika atau kesopanan. Jika
diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun
mempersulit kehidupan seseorang.
c.
Memelihara Akal (Hifzh
al-‘Aql)
Memelihara akal, dilihat dari kepentingannya dapat dibedakan menjadi
tiga tingkatan
1)
Memelihara akal dalam tingkatan dharuriyyat, seperti diharamkan mengkonsumsi minuman yang
memabukkan (minuman keras). Jika ketentuan ini tidak diindahkan maka akan
berakibat terancamnya eksistensi akal.
2)
Memelihara akal dalam tingkatan hajiyyat, seperti anjuran menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya
aktivitas ini tidak dilakukan maka tidak akan merusak akal, namun akan
mempersulit diri seseorang, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu
pengetahuan.
3)
Memelihara akal dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau
mendengarkan sesuatu yang tidak berguna. Hal ini berkaitan dengan etika, tidak
akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
d.
Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat
dibedakan menjadi tiga tingkat:
1)
Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyyat, seperti pensyari’atan hukum perkawinan dan larangan
melakukan perzinaan. Apabila ketentuan ini diabaikan maka eksistensi keturunan
akan terancam.
2)
Memelihara keturunan dalam tingkatan hajiyyat, seperti ditetapkannya
ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada saat akad nikah dan diberikan hak
talak padanya. Jika mahar tidak disebutkan, maka suami akan mengalami
kesulitan, karena ia harus membayar mahar
misl. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia
tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi dan kondisi rumah tangga tidak
harmonis.
3)
Memelihara keturunan dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti disyari’atkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka
menyempurnakan kegiatan perkawinan. Jika ia diabaikan tidak akan mengancam
eksistensi keturunan, dan tidak pula akan
mempersulit orang yang melakukan perkawinan, ia hanya berkaitan dengan
etika atau martabat seseorang.
e.
Memelihara Harta (Hifzh
al-Mal)
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan
menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1)
Memelihara harta dalam tingkatan dharuriyyat, seperti pensyari’atan aturan kepemilikan harta dan
larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang illegal. Apabila aturan
ini dilanggar maka akan berakibat terancamnya eksistensi harta.
2)
Memelihara harta dalam tingkatan hajiyyat, seperti disyari’atkannya jual beli dengan cara salam.
Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak akan
mengancam eksistensi harta melainkan hanya akan mempersulit seseorang
yang memerlukan modal.
3)
Memelihara harta dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari
penipuan. Karena hal iitu berkaitan dengan moral dan etika dalam bermuamalah
atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada keabsahan jula beli
tersebut, sebab pada tingkatan ketiga ini juga merupakan syarat adanya
tingkatan kedua dan pertama.
Mengetahui urutan peringkat mashlahat seperti di atas sangat penting,
apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya. Jika terjadi kontradiksi
dalam penerapannya maka tingkatan pertama (dharuriyyat)
harus didahulukan dari pada tingkatan kedua (hajiiyyat)
dan tingkatan ketiga (tahsiniyyat).
D. Maqashid al-Syari’ah Dalam Ijtihad
Ulama ushul mengatakan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW, sudah ada
petunjuk yang mengacu peranan penting dari pada maqashid al-syari’ah dalam pembentukan hukum Islam. Misalnya, dalam
sebuah hadits , Rasulullah SAW melarang orang-orang Islam di Madinah menyimpan
daging qurban, kecuali sekedar bekal untuk selama tiga hari. Beberapa tahun
kemudian, ada beberapa orang sahabat yang menyalahi ketentuan Rasulullah SAW
itu dengan menyimpan daging qurban lebih dari sekedar pembekalan selama tiga
hari. Peristiwa tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW. Tapi Rasulullah SAW
membenarkan serta menjelaskan bahwa : “dahulu aku melarang kalian menyimpannya
(daging qurban) karena kepentingan ad-daffah
(para pendatang dari perkampungan Badui
yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging qurban). Sekarang simpanlah
daging-daging qurban itu (karena tidak ada lagi para tamu yang membutuhkannya).
Kemudian dalam hadits lain Rasulullah SAW melarang ziarah kubur karena dikhawatirkan
akan menjadi pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap roh-roh orang yang di
kuburan, sehingga menimbulkan kesyirikan. Tapi kemudian, Rasulullah SAW
membenarkan atau membolehkan umat Islam untuk menziarahi kuburan.
Dari peristiwa itu ada petunjuk dan arti penting maqashid al-syari’ah dalam penetapan hukum. Seperti kasus daging
qurban di atas, larangan menyimpan daging qurban adalah memberi kelapangan
kepada Badui yang datang dari perkampungan. Ini adalah maqashid al-syari’ah dari larangan menyimpan daging qurban. Akan
tetapi setelah orang badui tersebut tidak lagi membutuhkan, maka larangan
menyimpan dagingpun tidak diberlakukan lagi. Begitu juga dengan hadits yang
kedua tentang perempuan yang menziarahi kuburan dikarenakan takut jatuh kedalam
kesyirikan, akan tetapi ketika beberapa tahun kemudian di mana keimanan mereka
sudah bagus, maka Rasulullah SAW tidak melarangnya lagi. Ini membuktikan bahwa maqashid al-Syari’ah telah ada pada
zaman Rasulullah SAW, akan tetapi hal tersebut belumlah diistilahkan dalam
kategori ilmu-ilmu (ushul fiqih).
Begitu juga sebagai contoh kasus Utsman ibn Affan yang menikahi Nailah,
anak Farfisah Kalbiyah (bani Kalb) yang beragama Nashrani, lalu perempuan
tersebut masuk Islam sesudah menikah dengannya.
Maka di sini jelas tujuan al-Syari’ah dibolehkan menikahi wanita Nashrani
adalah untuk ekspansi dakwah Islam, sebagaimana Utsman dapat mengislamkan istrinya
Nailah setelah menikah dengannya, di mana sebelumnya memeluk agama Nashrani.
Peranan maqashid al-syari’ah telah
ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabatnya dalam berijtihad, karena
perobahan kondisi zaman, tempat dan keadaan yang jauh berbeda dari zaman
sebelumnya. Karena itu dalam berbagai praktek ijtihad yang dilakukan oleh para
sahabat, terutama di bidang muamalah selama diketahui tujuan hukumnya, maka
dengan itu dapat dilakukan pengembangan hukum melalui metode qias dalam rangka
menajawab persoalan baru yang belum ada pada masa Rasulullah SAW.
Dengan demikian bahwa ayat-ayat hukum yang jumlahnya terbatas akan
mampu menjawab perubahan-perubahan yang tidak terbatas jumlahnya. Di samping
itu dengan mengetahui tujuan syari’at, seorang mujtahid dapat menjadikan
sebagai tolok ukur untuk mengetahui apakah suatu ketentuan hukum masih bisa diterapkan atau tidak. Begitu juga
dengan seorang mujtahid dalam men-istinbaht dan menerapkan hukum harus
senantiasa mengacu pada maqashid al-syari’ah.
Sudah menjadi kenyataan bahwa kebutuhan akan ijtihad merupakan
keniscayaan. Kemajuan ilmu dan tekhnologi dalam berbagai bidang, bagaimanapun,
selalu menimbul masalah-masalah baru yang menuntut penyelesaian hukum dalam
arti yang luas. Walaupun setiap bidang pengetahuan merupakan kajian yang
berdiri sendiri dengan ontologinya, sebagai tindakan manusia, ia tidak dapat lepas
dari jangkauan hukum.
Setiap kali temuan baru diperkenalkan, akan selalu timbul permasalahan
yang tidak mungkin lepas dari jangkauan hukum. Oleh karena itu, hukum akan
senantiasa dituntut agar tanggap dan siap merespon segala permasalahan akibat
perkembangan masyarakat yang dinamis. Perkembangan akan senantiasa membuka
peluang lahirnya masalah baru yang tidak dikenal sebelumnya. Karenanya, ijtihad
merupakan suatu hal yang musti.
E.
Kehujjahan Maqashid al-Syari’ah
Sifat dasar dari maqashid al-syari’ah
adalah pasti (qat’i). Kepastian di
sini merujuk pada otoritas maqshid al-syari’ah
itu sendiri. Apabila syari’ah memberi panduan mengenai tata cara menjalankkan
ekonomi, dengan menegaskan bahwa mencari keuntungan melalui praktik riba tidak
dibenarkan, pasti hal tersebut disebabkan demi menjaga harta benda masyarakat,
agar tidak terjadi kezoliman sosio-ekonomi. Dengan demikian eksistensi maqshid al-syari’ah pada setiap
ketentuan hukum syari’at menjadi hal yang tidak terbantahkan. Jika ia berupa
wajib maka pasti ada manfaat yang terkandung didalamnya. Sebaliknya, jika ia
berupa perbuatan yang dilarang maka sudah pasti ada kemudharatan yang harus
dihindari.
Al-Ghazali mengajukan teori maqshid
al-syari’ah dengan membatasi pemeliharaan syari’ah pada lima unsur utama yaitu agama, jiwa, akal,
kehormatan, dan harta benda. Pernyataan yang hampir sama juga dikemukakan oleh
al-Syatibi dengan menyatakan bahwa mashlahah adalah memelihara lima aspek utama, yaitu
gama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Artinya, kelima unsur di atas dianggap
suci, mulia dan dihormati yang musti dilindungi dan dipertahankan. Maqashid
al-syari’ah juga merupakan prinsip umum syari’ah (kulliyat al-syari’ah) yang pasti. Ia bukan saja disarikan dari
elemen hukum-hukum syari’ah atau dari sebagian dalil-dalil dan isi kandungan
al-Qur’an dan al-Sunnah. Kesimpulan yang seperti ini kelihatan dapat diterima
secara meyakinkan. Apakah ide tersebut diajukan pada abad kelima, di era
asas-asas syari’ah, terutama al-Sunnah telah tercatat dengan baik, sehingga
hampir tidak mungkin ada al-Sunnah yang tercecer. Jadi, meskipun sama sekali
tidak menutup kemungkinan adanya unsur tambahan terhadap kelima maqashid di atas, namun kelimanya sulit
dikesampingkan sebagai elemen penting maqashid
al-syari’ah.
Mashlahah sebagai tujuan syari’ah dalam bingkai pengertian yang
membatasinya, bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara'
sebagaimana al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah
mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i)
dengan berdasar kemashlahatan saja. Tapi mashlahah adalah makna yang
universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.
Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan
karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz'i.
Hal ini disebabkan dua hal: pertama, kalau akal mampu menangkap maqashid al-syari’ah secara parsial
dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu atau hakim sebelum
datangnya syara'. Hal ini mungkin
menurut mayoritas ulama. Dan
kedua, kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap maqashid al-syari’ah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum
itu dianggap sah-sah saja, maka batallah keberadaan atsar dari
kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah
bagi mayoritas akal manusia.
Pemeliharaan terhadap aspek yang lima (kulliyat al-khamsah) sebagai pemeliharaan mashlahah dalam
tujuan syari’ah dapat diimplementasikan dalam dua metode: pertama, melalui metode konstruktif (bersifat membangun). Dan kedua,
melalui metode preventif (bersifat mencegah). dalam metode konstruktif,
kewajiban-kewajiban agama dan berbagai sunnah agama yang lainnya dapat
dijadikan contoh terhadap metode ini. Hukum wajib dan sunnat dimaksudkan untuk
memelihara sekaligus mengukuhkan elemen-elemen maqashid al-syari’ah tersebut. Sedangkan larangan-larangan terhadap
perbuatan yang diharamkan atau dimakruhkan bisa dijadikan contoh metode preventif,
yaitu mencegah berbagai analisir yang dapat mengancam bahkan menggelimir semua
dasar-dasar maqashid al-syari’ah.
Kaena itulah, undang-undang pidana
dengan berbagai sanksi hukum secara tegas dapat didukung oleh maqashid al-syari’ah. Contoh, apabila
jiwa diganggu oleh pembunuhan atau penganiyaan, maka hal tersebut merupakan
tindakan pidana yang harus dijatuhi hukuman. Seperti itu juga halnya apabila kehormatan seseorang dinodai, maka
juga dapat dijatuhi hukuman.