Minggu, 29 April 2012

Bait-Bait Indah Disepertiga Waktu


di samudra hikmah kalamMu
zikir hatiku melapalkan Alif-Lam-MimMu

di telaga iqro’Mu
labuhan angin pada sepertiga malam, waktu yang merambat
malam-malam serasa sunyi

di luas langit ciptaMu
lukisan bulan cahaya purnama
kerlipan bintang butiran cahaya
mengelunkan melodi habbati
bait-bait indah ayat-ayatMU

dibalik sujud sembah dan tadah tangan padaMu
ada jiwa yang meretas rindu
disetiap menit putaran berlalu
yang mengharapkan ampunan-ridhoMu
dalam lintasan panjang bukit dan lereng kesemuan ini


Jambi, 240412

Selasa, 17 April 2012

TEORI MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM PENALARAN HUKUM ISLAM


TEORI MAQASHID AL-SYARI’AH
DALAM PENALARAN HUKUM ISLAM

Oleh: Edi Kurniawan
(Alumni Fakultas Syari’ah IAIN STS Jambi)

A.    Pengertian
Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu: maqashid dan al-syari’ah. Sebelum menjelaskan pengertian maqashid al-syari’ah secara istilah terlebih dahulu dijelaskan pengertiannya secara bahasa (lughawi). Apa itu maqashid dan apa itu syari’ah?
Secara bahasa, maqashid jama’ dari kata maqshid yang berarti kesulitan dari apa yang dituju atau dimaksud.[1] Secara akar bahasa, maqashid berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang teguh, dan sengaja.[2] Atau dapat juga diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi).[3] Sebagaimana firman Allah SWT : ‘Wa’alallahi Qashdussabili”, artinya, Allah lah yang menjelaskan jalan yang lurus.[4]
Sedangkan kata  syari’ah berasal dari kata syara’a as-syai yang berarti menjelaskan sesuatu. Atau diambil dari asy-syar’ah dan asy-syari’ah dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang datang ke sana tidak memerlukan alat.[5] Atau berarti juga sumber air, di mana orang ramai mengambil air. Selain itu al-syari’ah yang akar kata berasal dari kata syara’a, yasri’u, syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu pekerjaan.[6] Dengan demikian al-syari’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan dan menunjukkan jalan. Syar’a lahum syar’an berarti mereka telah menunjukkan jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan.[7] Jadi, secara bahasa syari’ah menunjukkan kepada tiga pengertian, yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.[8]
Dengan mengetahui pengertian maqashid dan al-syari’ah secara bahasa, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian yang terkandung dalam istilah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan syari’at, dimana menurut al-Syatibi adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.[9]
Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa maqasid al syariah adalah nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-syari' dalam setiap ketentuan hukum.[10]
Yusuf Al-Qardhawi mendefenisikan maqashid al-alsyari’ah sebagai tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan  manusia. Baik berupa perintah, larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah, dan umat.[11] Atau juga disebut dengan hikmat-hikmat yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, baik yang diharuskan ataupun tidak.[12] Karena dalam setiap hukum yang disyari’atkan Allah kepada hambanya pasti terdapat hikmat,[13] yaitu tujuan luhur yang ada di balik hukum.[14]
Ulama Ushul Fiqih mendefinisikan maqashid al-syari’ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyari’atkan suatu hukum bagi kemashlahatan umat manusia. Maqashid al-syari’ah di kalangan ulama ushul fiqih disebut juga asrar al-syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa kemashlahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Misalnya, syara’ mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah SWT.[15] Kemudian dalam perkembangan berikutnya, istilah maqashid al-syari’ah ini diidentik dengan filsafat hukum islam.[16]

B.     Urgensi
Pemahaman seorang mujtahid tentang maqashid al-syari’ah sangat penting. Karena hal ini akan membantunya ketika berijtihad yang akan membangun hukum-hukum syari’ah serta menjelaskan aspek-aspek hukum tersebut.[17] Ibnu Asyur mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Ahsan Lihasanah, bahwa wajib bagi para ulama untuk mengetahui ‘illat-‘illat tasyri’ serta tujuannya secara tersurat (zahir) maupun tersirat (bathin). Jika ditemukan sebagian hukum yang tersembunyi, karena mereka sudah mengetahui tujuannya, baik itu secara tersurat maupun tersirat, niscaya mereka mengerti dalam  memberikan fatwa-fatwa hukum.[18] Pemahaman-pemahaman tersebut meliputi: pertama, mengetahui perkataan-perkataan dan faedah dalil-dalil dalam bentuk lughawi dan kaidah-kaidah lafziyah untuk menemukan hukum-hukum fiqh; kedua, membahas dalil-dalil yang bertentangan dari yang sudah dinashakhkan, atau mengaitkan tujuan pengamalannya, atau menjelaskan hubungan dalil yang satu dengan dalil yang lain; ketiga, Qiyas digunakan jika aqwal syara’ (perkatan-perkataan syara’)  belum ditemukan hukumnya; keempat, memberikan suatu hukum yang tidak ada nash dan qiyas didalamnya; kelima, menemukan hukum-hukum syari’ah yang bersifat ta’abbudi jika sekiranya tidak ada pembahasan tentang illat-illat hukum.[19]
Dengan demikian, maqashid al-syari’ah ini akan membantu para mujtahid dalam menentukan kedhabitan aturan-aturan hukum serta mashlahah dan mafsadah, pengetahuan tentang maqashid al-syari’ah, dan pengetahuan tentang illat-illat hukum.
Dalam upaya mengembangkan pemikiran hukum Islam, terutama dalam memberikan pemahaman dan kejelasan terhadap berbagai persoalan hukum kontemporer, para mujtahid perlu mengetahui tujuan pensyari’atan hukum Islam. Selain itu, tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka mengenal pasti, apakah suatu ketentuan hukum masih dapat diterapkan terhadap suatu kasus tertentu atau karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat lagi dipertahankan. Dengan demikan, pengetahuan mengenai maqashid al-syari’ah menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya.[20] Karena mengingat, hukum itu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan tempat, zaman, dan keadaan. Seperti hukum perempuan yang keluar dalam perjalanan (musafir) tanpa disertai muhrimnya dan perjalanan tersebut bukanlah perjalanan dalam bermaksiat kepada Allah. Hal ini pada zaman Rasulullah, beliau sangat melarangnya karena takut akan timbul fitnah dan keselamatan perempuan tersebut. Namun seiring dengan berkembangnya tempat, zaman, dan keadaan. Para perempuan bisa berjalan dengan sendiri dengan aman dan nyaman tanpa ada merasa takut gangguan, maka hukum ini tentunya juga akan berubah. Atau ada suatu kasus yang dalil untuk menetapkan hukumnya tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, di sinilah peran maqashid al-syari’ah untuk memecahkan hal-hal tersebut dengan berlandaskan kepada kemashlahatan.
Khusus dalam menghadapi persoalan-persoalan fiqih kontemporer, terlebih dahulu dikaji secara teliti hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap suatu kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan  dalilnya. Dengan kata lain, kandungan nash harus diteliti secara cermat, termasuk tujuan pensyari’atan hukum tersebut.[21]
Setelah itu baru dilakukan kategorisasi masalah (tanqih al-manat), apakah ayat atau hadits tertentu layak dijadikan dalil bagi kasus baru tersebut. Mungkin ada suatu kasus baru yang hampir sama dengan kasus hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-hadits. Jika ternyata tidak ditemukan kesamaan atau kemiripan antara persoalan baru dengan kasus hukum yang ada pada kedua sumber hukum tersebut, maka konsekuensinya persoalan baru tersebut tidak dapat disamakan hukumnya dengan kasus hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Di sinilah letak urgen atau pentingya pengetahuan tentang maqashid al-syari’ah (tujuan pensyari’atan hukum) dalam hukum Islam.[22]

C.    Tujuan al-Syari’ah
Substansi maqashid al-syari’ah adalah kemashlahatan.[23] Kemashlahatan dalam taklif  tuhan dapat berwujud dua bentuk, yaitu: pertama, dalam bentuk hakiki, yakni manfaat langsung dalam arti kausitas; kedua, dalam bentuk majazi, yakni bentuk yang merupakan membawa kepada kemashlahatan.[24]
Maka di sini kemashlahatan dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: maqashid al-syari’ (tujuan pembuat hukum/tuhan) dan maqashid al-Mukallaf (tujuan mukallaf), sebagai berikut:[25]
1.      Maqashid al-syari’ah dalam arti maqashid al-syari’ mengandung empat aspek, yaitu:
a.       Kemashlahatan
Islam sebagai agama samawi mempunyai kitab suci al-Qur’an sebagai sumber hukum utama, al-Qur’an mengandung berbagai ajaran. Di kalangan ulama ada yang membagi kepada tiga kelompok besar, yaitu aqidah, khuluqiyah, dan amaliyah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, khluqiyah berkaitan dengan etika, dan amaliyah berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang muncul dari aqwal (ungkapan-ungkapan) dan af’al (perbuatan-perbuatan manusia). Kelompok terakhir ini dalam sistematika hukum Islam dibagi ke dalam dua besar, yaitu ibadat (pola hubungan manusia dengan tuhan) dan muamalah (pola hubungan manusia dengan manusia).[26]
Sebagai sumber ajaran, al-Qur’an tidak memuat aturan-aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Dari 6360 ayat al-Qur’an hanya terdapat 368 ayat yang berkaitan dengan aspek-aspek hukum.[27]
Dari sini dapat dipahami bahwa sebagian besar masalah-masalah hukum Islam, oleh tuhan hanya diberikan dasar-dasar dalam al-Qur’an. Bertitik tolak dari prinsip-prinsip ini, dituangkan pula lewat hadits Rasulullah SAW. Berdasarkan atas dua sumber inilah kemudian, dari aspek hukum terutama dalam konteks muamalah dikembangkan oleh ulama di antaranya al-Syatibi (W.790) yang telah mencoba mengembangkan pokok atau prinsip yang terdapat dalam dua sumber ajaran Islam itu  dengan mengaitkan dengan maqashid al-syari’ah.[28]
Dalam karyanya, al-muwafaqat, Asy-Syatibi menggunakan kata yang berbeda-beda yang berkaitan dengan maqashid al-syari’ah. Kata tersebut adalah maqashid al-syari’ah,[29] al-maqashid al-syari’ah fi al-syari’ah,[30] dan maqashid min syar’i hukm.[31] Pada prinsipnya, penemaan kata-kata yang berbeda tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu tujuan hukum yang diturunkan Allah SWT.[32]
Syari’at Islam datang sebagai rahmat bagi umat manusia, memberikan nasehat bahkan penyembuh terhadap apa-apa yang terdapat di dalam hati, karena itu Islam dalam pelaksanaan hukum-hukumnya terbagi kepada  tiga segi (unsur). Pertama, sebagai pendidikan secara individu untuk mampu menciptakan kebaikan secara kolektif; kedua, untuk melaksanakan keadilan dalam kehidupan masyarakat Islam secara keseluruhan yang nantinya kedudukan manusia sama di depan undang-undang dan putusan. Sehingga tidak dibedakan lagi antara si kaya dan si miskin, yang kuat dan yang lemah; ketiga, dari aspek hukum Islam, esensi dan substansinya yaitu kemashlahatan,[33] sebab apa yang disyari’atkan Islam lewat nash di dalamnya terdapat hakekat maslahat.[34]
Setiap seruan Allah dapat dipahami oleh akal, kenapa Allah menyuruh, tentunya ada kemashlahatan untuk umat manusia, apakah dijelaskan sendiri alasannya atau tidak, maupun menjelaskan kenapa suatu perbuatan dilarang, tentunya juga ada kemashlahatan untuk manusia agar manusia tidak masuk kedalam kehancuran. Sebagaimana yang dijelaskan al-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat-Nya:
“Syari’at itu bertujuan untuk kemashlahatan manusia (hamba), cepat ataupun lambat secara bersamaan, dan ajakan ini pasti berasal petunjuk tuhan, apakah itu membawa kemashlahatan (shihhah) ataupun kehancuran (fasad).[35]

Apabila diteliti pernyataan al-Syatibi ini, dapatlah dipahami bahwa kandungan maqashid al-Syari’ah adalah untuk kemashlahatan manusia. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa seluruh ajaran yang tertuang dalam Al-Quran maupun al-Sunnah menjadi dalil adanya maslahat. Meskipun sumber syara’ tersebut tidak semuanya berbicara mengenai kemashlahatan secara langsung, akan tetapi ada beberapa dalil yang bisa mengindikasikan terhadap eksistensi maslahat dalam syari’at Islam.  Secara umum, alasan yang dikemukakan  jumhur ulama dalam menetapkan maslahat sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:[36]
1.      Hasil induksi terhadap ayat atau hadits yang menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
2.      Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, maka akan membawa kesulitan bagi umat manusia.
3.      Jumhur ulama juga beralasan pada beberapa perbuatan sahabat yang seringkali berbuat dan membuat kebijakan dengan berdasar pada maslahat.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa semua kewajiban (taklif) diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Dan ini juga menunjukkan bahwa ta’lil peletakan al-syari’ah dari sisi kuantiti (jumlah), dan menghubungkannya dengan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.[37] Dan tujuan syara’ adalah untuk kemashlahatan yang terdiri dari atas lima pengayoman yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal manusia. Sehingga menurut al-Ghazali, segala sesuatu yang mengayomi lima hal tersebut, maka itulah mashlahah, dan segala susuatu yang menghancurkan lima hal tersebut, maka itulah mafsadah.[38]
b.      Sesuatu yang Harus Dipahami
Maqashid al-syari’ah dalam arti maqashid al-syari’ mengandung empat aspek, salah satunya adalah sebagai sesuatu yang harus dipahami. Aspek ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar syari’at itu dapat dipahami, sehingga dapat dicapai kemashlahatan yang dikandungnya.
Metode memahami maqashid al-syari’ah diidentik dengan pengetahuan tentang pengkajian kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah. Secara faktual, nash terdiri dari huruf-huruf arab atau bahasa arab dengan sejumlah kaidahnya, maka salah satu cara untuk memahami maqashid al-syari’ah adalah pemahaman kebahasaan. Namun pendekatan kebahasaan saja tidaklah cukup, sebab syari’at itu sering kali memakai bahasa di luar pengertian lafaz dan kaedah kebahasaan.
Memahami hukum secara benar hanya bisa terjadi apabila benar-benar memahami  uslub bahasa arab dan teori dalalah di dalamnya. Dan dipahami pula dalil-dalil yang menunjukkan bahwa lafaz-lafaz tersebut berbentuk mufrod (singular) atau murokkab (tersusun).[39]
Para ulama ushul fiqh sangat  memperhatikan uslub-uslub bahasa arab, ungkapan, dan mufrodat (sinonim)-nya. Dari hasil research (istiqra’) dan ketetapan para ulama bahasa, maka  mereka mengambil kaidah-kaidah dan batasan-batasan lalu menjaganya, sehinggga mereka bisa memahami hukum-hukum dari nash-nash syar’iyah dengan pemahaman yang benar yang sesuai dengan pemahaman orang arab. Dengan kaidah-kaidah dan batasan itu pula mereka bisa menjelaskan nash-nash yang masih bersifat samar-samar, mentarjihkan nash yang bersifat kontradiksi, mentakwili nash yang ada petunjuk (dalil) untuk ditakwili, dan lain-lain yang ada hubungannya dengan pengambilan hukum-hukum dari nash.[40]
Oleh karena itu, para mujtahid dalam menggali hukum yang terkandung dalam syari’at sering keluar dari konteksss bunyi lafaz dan memakai teks dengan arti baru. Cara ini disebut dengan metode ma’nawi.[41]
1)      Mamahami al-syari’ah melalui bunyi lafaz.
Ada dua kemungkinan pemahaman disebabkan oleh dua hal yaitu:
a)      Lafaz itu digunakan untuk dua maksud dengan pemahaman yang sama, misalnya kata quru’ (QS. al-Baqarah : 228) yang berarti suci atau haid.[42] Kata ‘aqdatu al-nikah[43] (QS. al-Baqarah: 237) yang mengandung arti wali atau istri. Kemudian kata “lamastumu[44] (QS. an-Nisa : 43) dapat berarti bersetubuh atau bersentuh kulit.
b)      Lafaz yang menggunakan nama atau kiasan yang menurut lahirnya mendatangkan keraguan. Keraguan itu disebabkan penggunaan sifat yang ada pada manusia untuk Allah SWT., padahal Allah SWT tidak sama dengan makhluknya. Umpamanya penggunaan kata “wajah” atau “muka” [45] untuk Allah (al-Rahman: 27) dan penggunaan kata “bersemayam” [46] untuk Allah (QS. Yunus : 3).[47]
Berdasarkan kedua bentuk pemahaman lafaz tersebut, maka semua mujtahid tidak dapat keluar dari konteks lafaz, mereka hanya berbeda dalam hal sejauh mana kedekatan ijtihadnya dengan lafaz. Masalah apapun yang timbul dalam kehidupan umat manusia, tidak mungkin memberi nilai syari’at tanpa menghubungkan dengan bunyi lafaz, baik dikaitkan dengan arti majazi maupun arti substansinya.
2)      Memahami al-syari’ah melalui makna lafaz
Yang dimaksud dengan makna lafaz di sini ialah makna secara hakiki[48] dan majazi[49] termasuk makna musytarak.[50] Misalnya, QS al-Maidah (5) : 33 :
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tƒur Îû ÇÚöF{$# #·Š$|¡sù br& (#þqè=­Gs)ム÷rr& (#þqç6¯=|Áム÷rr& yì©Üs)è? óOÎgƒÏ÷ƒr& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYムšÆÏB ÇÚöF{$#

Artinya: “sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediaman”.

Kata “dibuang” (auyanfu) pada ayat tersebut mengandung arti hakiki dan majazi, arti hakiki ialah “mereka dikeluarkan dari negeri mereka ke negeri lain”. Sedangkan arti majazi adalah “mereka dimasukkan ke dalam penjara”. Imam Abu hanifah memilih arti hakiki “diusir” ke negeri lain.[51]
3)      Memahami al-syari’ah melalui makna di luar nash
Metode memahami syari’at melalui makna di luar nash yaitu metode istihsan dan al-mashlahah al-Mursalah.
a)      Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentuk (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah, meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.[52]
Secara istilah, al-Ghazali mengatakan bahwa istihsan adalah Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[53]
Adapun istihsan menurut ulama ushul ialah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (qiyas nyata) kepada qiyas khafi (qiyas samar) atau dari hukum kulli kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan ia mencela akalnya, dan dimenangkan perpindahan ini.[54]
Maksudnya, apabila seorang mujtahid menghadapi suatu perkara yang tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, sedang untuk mencari hukum terdapat dua jalan yang berbeda-beda, jalan yang satu sudah jelas dan yang lainnya masih samar-samar, yakni dapat menetapkan hukum dan dapat pula menetapkan hukum yang lain, padahal pada diri mujtahid tersebut terdapat suatu dalil yang dapat digunakan untuk mentarjihkan jalan yang samar-samar, lalu ia meninggalkan jalan yang nyata tersebut untuk menempuh jalan yang samar-samar tersebut. Demikian pula bila ia menetapkan suatu hukum, kemudian setelah ia mendapatkan dalil yang lain yang mengecualikan suatu hukum dari dalil kulli tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh dalil-dalil kulli itu. Kedua jalan inilah yang dimaksud dengan  istihsan.[55]
Istihsan ada dua macam: Petama, mentarjihkan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atas qiyas yang nyata berdasarkan suatu dalil. Hal semacam ini menurut kalangan hanafiyah disebut dengan istihsan qiyas atau qiyas khafi. Contoh, Sisa minum dari burung yang busa menurut istihsan adalah suci, sedangkan menurut qiyas adalah najis.[56]
Kedua, Mengecualikan hukum juz’iyah dari hukum kuliyah dengan suatu dalil. Hal semacam ini menurut kalangan hanafiyah disebut dengan istihsan darurat. Sebab penyimpangan dari hukum tersebut adalah karena darurat atau karena suatu kepentingan yang mengharuskan adanya penyimpangan dengan maksud untuk menghadapi keadaan yang mendesak atau menghindari kesulitan. Contoh, syara’ melarang mengadakan perikatan dan memperjual belikan barang-barang yang belum ada pada saat perikatan. Tetapi menurut istihsan, syara’ memberikan rukhsah muamalat tersebut dengan diperkenankan menjalankan salam[57] dan istishna’[58]. Keduanya adalah perikatan dalam bentuk lintas perdagangan, tetapi barang yang diperdagangkan belum terwujud pada saat perjanjian dibuat. Hukum kulli pada cohtoh ini adalah tidak sahnya memperjualbelikan barang yang belum berwujud pada saat perikatan terjadi. Tetapi oleh karena perikatan itu sangat dibutuhkan dan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, maka dikecualikanlah dari hukum kulli tersebut suatu hukum juz’i, yaitu masalah istishna’. Dengan kata lain, segi istishsannya ialah kebutuhan dan kebiasaan dalam masyarakat.[59]
b)      Al-Mashlahah al-Mursalah
Secara etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.[60] sedangkan al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi “rasala” dengan penambahan huruf alif di awalnya sehingga menjadi “arsala”. Secara bahasa artinya “terlepas” atau dalam arti mutlaqah (bebas). Kata lepas dan bebas di sini dihubungkan dengan kata mashlahah maksudnya adalah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.[61]
Secara istilah, mashlahah al-mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ sesuatu hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau mengabaikannya.[62] Hal ini muncul setelah wahyu selesai diturunkan serta tidak ada dalil yang memerintah agar diperhatikan atau tidak.[63]
Misalnya menghimpun dan menulis al-Qur’an dalam satu mushaf. Baik nash dari al-Qur’an maupun hadits tidak memerintahkan dan tidak pula melarang hal tersebut. Tapi perbuatan semacam ini sangat mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin, maka apa yang dirintis oleh Abu Bakar dan sahabat-sahabat yang lain dalam masalah tersebut merupakan mashlahah mursalah. Demikian juga halnya seperti surat nikah yang diadakan oleh Negara sebagai bukti sahnya perkawinan, mengadakan lembaga pemasyarakatan (penjara) dan mencetak mata uang sebagai alat pertukaran resmi. Hal semacam ini tidak ada nash yang menyuruhnya dan tidak ada pula nash yang melarang, itu dimaksud untuk muwujudkan kemashlahatan dan mempermudah urusan dalam kehidupan. Maksud syari’at Islam itu tidak lain untuk mewujudkan kemashlahatan manusia, yakni menarik manfaat dan menolak mafsadat, dan menghilangkan kesusahan. Kemashlahatan manusia tidak terbatas macamnya dan tidak terhitung jumlahnya.[64]
(1)  Objek Maslahah al-Mursalah
Adapun yang menjadi objek al-maslahah al-mursalah adalah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash (al-Qur’an dan al-Hadits) yang dapat dijadikan dasar. Prinsip yang disepakati oleh kebanyakan pengikut mazhab yang ada dalam fikih. Menurut Imam al-Qarafi ath-Thusi sebagaimana yang dikutip oleh Totok Jumantoro bahwa mashlahat al-Mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang muamalah dan semacamnya, sedangkan dalam soal ibadah adalah Allah SWT yang menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadah tersebut.[65]
(2)  Kehujjahan Maslahah al-Mursalah
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fikih yang paling banyak dan luas penerapannya. Untuk menjadikan al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil, ulama malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan: pertama, kemashlahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemashlahatan yang didukung secara umum; kedua, kemashlahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan sehingga hukum yang ditetapkan melalui al-Maslahah al-Mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari kemudharatan; ketiga, kemashlahatan itu menyangkut orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil.[66]
Kemudian kalangan syafi’iyah pada dasarnya juga menjadikan mashlahah al-Mursalah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi Imam syafi’i memasuknya dalam qiyas.[67]
Kemudian jumhur ulama menerima mashlahah al-Mursalah sebagai metode istinbath hukum, dengan alasan: pertama, hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemashlahatan bagi umat manusia; kedua, kemashlahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, maka akan membawa kesulitan[68]
c.       Hukum Taklif yang Harus Dilakukan
Hukum Taklifi, yaitu hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf, atau melarang mengerjakannya,  atau pilihan antara melakukan dan meninggalkan.[69] Contoh, sebagaimana kewajiban orang mukallaf untuk membayar zakat yang terdapat dalam al-Qur’an Surah at-taubah ayat 103 dan Ali Imran ayat 97, kemudian perintah akan kewajiban melaksanakan shalat dalam Surah al-Baqarah ayat 43. atau yang berbentuk larangan seperti larangan menggunjing atau mengolok-olok antara orang yang satu dengan orang yang lain, dan golongan yang satu denga golongan yang lain yang terdapat dalam Surah al-Hujarat ayat 11. Kemudian larangan mendekati zina yang terdapat dalam Surah al-Isra’ ayat 32, kemudian juga larangan menikahi wanita musyrik yang terdapat dalam Surah al-Maidah ayat 221. Sedangkan hukum yang menghendaki pilihan bagi mukallaf antara melakukan dan meninggalkan. Contoh, pilihan bagi orang yang telah melaksanakan shalat untuk bertebaran di muka bumi sebagimana yang terdapat dalam Surah an-Nisa’ ayat 101 dan pilihan bagi mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan  berburu setelah menyelesaikan ibadah haji yang terdapat dalam Surah al-Jumu’ah ayat 10.
Hukum taklifi mengandung tuntutan (taklif) kepada mukallaf untuk mengerjakan sesuatu atau melarangnya, atau melakukan antara mengerjakan dan meninggalkan. Sedangkan hal-hal yang orang mukallaf yang diperintah antara mengerjakan dan meninggalkan, inilah yang disebut taklif (tuntutan/pembebanan).[70]
Ketetapan Allah yang telah diberikan terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf seperti hukum harus, makruh, wajib dan sebagainya. Sedangkan iqtidha adalah suatu tuntutan, baik tuntutan meninggalkan ataupun tuntutan dalam arti perintah. Hukum haram misalnya merupakan larangan yang pasti dan wajib menunjukkan perintah yang pasti.
Kontekss maqashid al-Syari’ah dalam arti maqashid al-Syari’ (Allah dan Rasul) yang mengandung empat aspek, salah satunya sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan. Aspek ini berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan syari’at dalam rangka mewujudkan kemashlahatan. Ini juga berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Karena Hakikat pemberlakuan syari’at adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia. Kemashlahatan itu dapa diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara.[71]  Ketika Allah memerintahkan untuk mengerjakan sesuatu tentu ada hikmah di balik itu semua, begitu juga ketika Allah memerintah untuk meninggalkan sesuatu tentunya juga ada hikmah di balik itu semua.
d.      Membawa Manusia Kebawah Naungan Hukum
Tujuan Allah SWT menetapkan syari’at Islam untuk dibebankan pelaksanaannya adalah untuk melepaskan mukallaf dari pengaruh hawa nafsu, sampai hamba Allah memilih, sebagaimana hamba Allah memilih hal (keperluan) yang amat mendesak. Dengan beberapa alasan antara lain:
1)      Adanya nash yang jelas menunjukkan bahwa manusia diciptakan untuk menyembah Allah dan memperhatikan perintah dan larangannya (QS. adz-Dzariyat : 65 dan QS.  4 : 36).
2)      Kejelekan yang bertentangan dengan tujuan syari’at seperti larangan yang bertententangan dengan perintah Allah dan kejelekan dari orang yang berpaling dari Allah yang tunduk pada hawa nafsunya. Bahkan setiap Allah menetapkan penyebutan “al-hawa” dan kejelekan mengikutinya.
Karena itulah tujuan Allah SWT menetapkan syari’at Islam untuk dibebankan pelaksanaannya kepada mukallaf dari berbagai aspek. Sebab pembenahan itu disadari atas kesanggupan mukallaf untuk melaksanakannya. Sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf, maka hal itu tidaklah dibebankan oleh syara’.
Sementara itu asas-asas penerapan syari’at Islam terdapat tiga asas yang disepakati para ahli ushul, yaitu bahwa syari’at tidak memberatkan dan  tidak mempersempit, tidak banyak tuntutan dan dilaksanakan secara bertahap.
Berdasarkan hal ini, maka segenap amal yang diperintahkan syari’at selalu disertai kemampuan bagi mukallaf. Bagi mereka yang tidak mempunyai kemampuan untuk menunaikan suatu perintah, maka akan terbebas dari kewajiban tersebut dan tidak dibebani tanggung jawab sedikitpun atasnya.
Lebih dari itu syari’at sebagai pedoman hidup jika ditaati perintah dan larangannya, manusia mampu terbebas dari hal-hal yang merusak dan merugikan hidupnya. Itulah sebabnya mengapa kandungan syari’at selalu bertentangan dengan selera nafsu manusia, artinya syari’at mengarahkan manusia untuk dapat mengendalikan nafsunya. Ketika hal ini dapat dilakukan, syari’at itu akan membawa manusia kebawah naungan hukum Allah, yang tidak akan bercampur antara yang haq dan bathil, dan jauh dari hawa nafsu. Ketika hukum-hukum Allah terjalankan, maka tentunya akan membawa mashlahah untuk manusia sebagai mana tujuan dari maqashid al-Syari’ah.

2.      Maqashid al-Syari’ah dalam arti maqashid al-Mukallaf
Tujuan syari’at dalam arti tujuan mukallaf yang berujung pada kemashlahatan sebagai substansinya, dapat terealisasikan apabila lima unsur  pokok dapat diwujudkan  dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu adalah: (a) agama, (b) jiwa, (c) keturunan, (d) akal, dan (e) harta.[72]
Dalam upaya mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok ini, al-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah-Nya membagi kepada tiga tingkatan, yaitu:[73] pertama, kebutuhan dharuriyat (primer), yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemashlahatan mereka. Hal ini dapat disimpulkan kepada lima sendi utama yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Bila sendi ini tidak terpelihara dengan baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemashlahatan tidak akan terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.[74]
Pemeliharaan kelima sendi utama tersebut berdasarkan skala prioritas, artinya sendi yang berada pada urutan pertama (agama) lebih utama dari sendi kedua (jiwa), sendi kedua lebih utama dari sendi ketiga (akal), dan begitu seterusnya sampai sendi kelima.[75]
Kedua, kebutuhan hajiyyat (sekunder) yaitu segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan.[76] Artinya, ketiadaan aspek hajiyat tidak sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja.
Prinsip utama dalam aspek hajiyat adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan urusan mereka. Untuk maksud tersebut, Islam menetapkan sejumlah ketentuan dalam beberapa bidang muamalat dan uqubat (pidana).[77]
Ketiga, kebutuhan tahsiniyah, yaitu tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan al-Mukarim al-Akhlaq, serta pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat dan muamalah.[78] Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan mausia tidak akan terancam kekacauan, seperti kalau tidak terwujud aspek dharuriyyat dan juga tidak membawa kesusahan seperti tidak terpenuhinya aspek hajiyyat. Namun, ketiadaan aspek ini akan menimbulkan suatu kondisi yang kurang harmonis dalam pandangan akal sehat dan adat kebiasaan, menyalahi kepatuhan, dan menurunkan martabat pribadi dan masyarakat.
Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang peringkat maqhid al-Syari’ah ini, berikut akan dijelaskan kelima pokok kemashlahatan berdasarkan kepada tingkat kepentingan atau kebutuhan masing-masing,[79] yaitu:
a.       Memelihara Agama (Hifzh al-Din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
1)      Memelihara agama dalam tingkatan dharuriyah, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk tingkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Jika kewajiban ini diabaikan maka eksistensi agama akan terancam.
2)      Memelihara agama dalam tingkatan hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama  dengan maksud menghindarkan dari kesulitan. Seperti pensyari’atan shalat jamak dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya mempersulit orang yang melakukannya.
3)      Memelihara agama dalam tingkatan tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tingggi martabat manusia sekaligus menyempurnakan pelaksanaan kewajiban kepada tuhan.
b.      Memelihara Jiwa (Hhifz al-Nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
1)      Memelihara agama dalam tingkatan dharuriyyat, seperti pensyari’atan kewajiban memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika kebutuhan pokok itu diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
2)      Memelihara jiwa dalam tingkatan hajiyyat, seperti dibolehkan berburu dan menikmati makanan  yang halal dan bergizi. Jika ketentuan ini diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya.
3)      Memelihara jiwa dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti disyari’atkannya aturan tata cara makan dan minum. Ketentuan ini hanya berhubungan dengan etika atau kesopanan. Jika diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
c.       Memelihara Akal (Hifzh al-‘Aql)
Memelihara akal, dilihat dari kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan
1)      Memelihara akal dalam tingkatan dharuriyyat, seperti diharamkan mengkonsumsi minuman yang memabukkan (minuman keras). Jika ketentuan ini tidak diindahkan maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
2)      Memelihara akal dalam tingkatan hajiyyat, seperti anjuran menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya aktivitas ini tidak dilakukan maka tidak akan merusak akal, namun akan mempersulit diri seseorang, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
3)      Memelihara akal dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berguna. Hal ini berkaitan dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
d.      Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga tingkat:
1)      Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyyat, seperti pensyari’atan hukum perkawinan dan larangan melakukan perzinaan. Apabila ketentuan ini diabaikan maka eksistensi keturunan akan terancam.
2)      Memelihara keturunan dalam tingkatan hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada saat akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar tidak disebutkan, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi dan kondisi rumah tangga tidak harmonis.
3)      Memelihara keturunan dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti disyari’atkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka menyempurnakan kegiatan perkawinan. Jika ia diabaikan tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula akan  mempersulit orang yang melakukan perkawinan, ia hanya berkaitan dengan etika atau martabat seseorang.
e.       Memelihara Harta (Hifzh al-Mal)
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1)      Memelihara harta dalam tingkatan dharuriyyat, seperti pensyari’atan aturan kepemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang illegal. Apabila aturan ini dilanggar maka akan berakibat terancamnya eksistensi harta.
2)      Memelihara harta dalam tingkatan hajiyyat, seperti disyari’atkannya jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak akan  mengancam eksistensi harta melainkan hanya akan mempersulit seseorang yang memerlukan modal.
3)      Memelihara harta dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari penipuan. Karena hal iitu berkaitan dengan moral dan etika dalam bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada keabsahan jula beli tersebut, sebab pada tingkatan ketiga ini juga merupakan syarat adanya tingkatan kedua dan pertama.
Mengetahui urutan peringkat mashlahat seperti di atas sangat penting, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya. Jika terjadi kontradiksi dalam penerapannya maka tingkatan pertama (dharuriyyat) harus didahulukan dari pada tingkatan kedua (hajiiyyat) dan tingkatan ketiga (tahsiniyyat).[80]

D.    Maqashid al-Syari’ah Dalam Ijtihad
Ulama ushul mengatakan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW, sudah ada petunjuk yang mengacu peranan penting dari pada maqashid al-syari’ah dalam pembentukan hukum Islam. Misalnya, dalam sebuah hadits , Rasulullah SAW melarang orang-orang Islam di Madinah menyimpan daging qurban, kecuali sekedar bekal untuk selama tiga hari. Beberapa tahun kemudian, ada beberapa orang sahabat yang menyalahi ketentuan Rasulullah SAW itu dengan menyimpan daging qurban lebih dari sekedar pembekalan selama tiga hari. Peristiwa tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW. Tapi Rasulullah SAW membenarkan serta menjelaskan bahwa : “dahulu aku melarang kalian menyimpannya (daging qurban) karena kepentingan ad-daffah (para pendatang dari perkampungan  Badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging qurban). Sekarang simpanlah daging-daging qurban itu (karena tidak ada lagi para tamu yang membutuhkannya).[81] Kemudian dalam hadits lain Rasulullah SAW melarang ziarah kubur karena dikhawatirkan akan menjadi pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap roh-roh orang yang di kuburan, sehingga menimbulkan kesyirikan. Tapi kemudian, Rasulullah SAW membenarkan atau membolehkan umat Islam untuk menziarahi kuburan.[82]
Dari peristiwa itu ada petunjuk dan arti penting maqashid al-syari’ah dalam penetapan hukum. Seperti kasus daging qurban di atas, larangan menyimpan daging qurban adalah memberi kelapangan kepada Badui yang datang dari perkampungan. Ini adalah maqashid al-syari’ah dari larangan menyimpan daging qurban. Akan tetapi setelah orang badui tersebut tidak lagi membutuhkan, maka larangan menyimpan dagingpun tidak diberlakukan lagi. Begitu juga dengan hadits yang kedua tentang perempuan yang menziarahi kuburan dikarenakan takut jatuh kedalam kesyirikan, akan tetapi ketika beberapa tahun kemudian di mana keimanan mereka sudah bagus, maka Rasulullah SAW tidak melarangnya lagi. Ini membuktikan bahwa maqashid al-Syari’ah telah ada pada zaman Rasulullah SAW, akan tetapi hal tersebut belumlah diistilahkan dalam kategori ilmu-ilmu (ushul fiqih).
Begitu juga sebagai contoh kasus Utsman ibn Affan yang menikahi Nailah, anak Farfisah Kalbiyah (bani Kalb) yang beragama Nashrani, lalu perempuan tersebut masuk Islam sesudah menikah dengannya.[83] Maka di sini jelas tujuan al-Syari’ah dibolehkan menikahi wanita Nashrani adalah untuk ekspansi dakwah Islam, sebagaimana Utsman dapat mengislamkan istrinya Nailah setelah menikah dengannya, di mana sebelumnya memeluk agama Nashrani.
Peranan maqashid al-syari’ah telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabatnya dalam berijtihad, karena perobahan kondisi zaman, tempat dan keadaan yang jauh berbeda dari zaman sebelumnya. Karena itu dalam berbagai praktek ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat, terutama di bidang muamalah selama diketahui tujuan hukumnya, maka dengan itu dapat dilakukan pengembangan hukum melalui metode qias dalam rangka menajawab persoalan baru yang belum ada pada masa Rasulullah SAW.[84]
Dengan demikian bahwa ayat-ayat hukum yang jumlahnya terbatas akan mampu menjawab perubahan-perubahan yang tidak terbatas jumlahnya. Di samping itu dengan mengetahui tujuan syari’at, seorang mujtahid dapat menjadikan sebagai tolok ukur untuk mengetahui apakah suatu ketentuan hukum  masih bisa diterapkan atau tidak. Begitu juga dengan seorang mujtahid dalam men-istinbaht dan menerapkan hukum harus senantiasa mengacu pada maqashid al-syari’ah.[85]
Sudah menjadi kenyataan bahwa kebutuhan akan ijtihad merupakan keniscayaan. Kemajuan ilmu dan tekhnologi dalam berbagai bidang, bagaimanapun, selalu menimbul masalah-masalah baru yang menuntut penyelesaian hukum dalam arti yang luas. Walaupun setiap bidang pengetahuan merupakan kajian yang berdiri sendiri dengan ontologinya, sebagai tindakan manusia, ia tidak dapat lepas dari jangkauan hukum.[86]
Setiap kali temuan baru diperkenalkan, akan selalu timbul permasalahan yang tidak mungkin lepas dari jangkauan hukum. Oleh karena itu, hukum akan senantiasa dituntut agar tanggap dan siap merespon segala permasalahan akibat perkembangan masyarakat yang dinamis. Perkembangan akan senantiasa membuka peluang lahirnya masalah baru yang tidak dikenal sebelumnya. Karenanya, ijtihad merupakan suatu hal yang musti.[87]

E.     Kehujjahan Maqashid al-Syari’ah
Sifat dasar dari maqashid al-syari’ah adalah pasti (qat’i). Kepastian di sini merujuk pada otoritas maqshid al-syari’ah itu sendiri. Apabila syari’ah memberi panduan mengenai tata cara menjalankkan ekonomi, dengan menegaskan bahwa mencari keuntungan melalui praktik riba tidak dibenarkan, pasti hal tersebut disebabkan demi menjaga harta benda masyarakat, agar tidak terjadi kezoliman sosio-ekonomi. Dengan demikian eksistensi maqshid al-syari’ah pada setiap ketentuan hukum syari’at menjadi hal yang tidak terbantahkan. Jika ia berupa wajib maka pasti ada manfaat yang terkandung didalamnya. Sebaliknya, jika ia berupa perbuatan yang dilarang maka sudah pasti ada kemudharatan yang harus dihindari.[88]
Al-Ghazali mengajukan teori maqshid al-syari’ah dengan membatasi pemeliharaan syari’ah pada lima unsur utama yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda. Pernyataan yang hampir sama juga dikemukakan oleh al-Syatibi dengan menyatakan bahwa mashlahah adalah memelihara lima aspek utama, yaitu gama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Artinya, kelima unsur di atas dianggap suci, mulia dan dihormati yang musti dilindungi dan dipertahankan. Maqashid al-syari’ah juga merupakan prinsip umum syari’ah (kulliyat al-syari’ah) yang pasti. Ia bukan saja disarikan dari elemen hukum-hukum syari’ah atau dari sebagian dalil-dalil dan isi kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah. Kesimpulan yang seperti ini kelihatan dapat diterima secara meyakinkan. Apakah ide tersebut diajukan pada abad kelima, di era asas-asas syari’ah, terutama al-Sunnah telah tercatat dengan baik, sehingga hampir tidak mungkin ada al-Sunnah yang tercecer. Jadi, meskipun sama sekali tidak menutup kemungkinan adanya unsur tambahan terhadap kelima maqashid di atas, namun kelimanya sulit dikesampingkan sebagai elemen penting maqashid al-syari’ah.[89]
Mashlahah sebagai tujuan syari’ah dalam bingkai pengertian yang membatasinya, bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar kemashlahatan saja. Tapi mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.
Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal: pertama, kalau akal mampu menangkap maqashid al-syari’ah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu atau hakim sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama.[90] Dan kedua, kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap maqashid al-syari’ah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja, maka batallah keberadaan atsar dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.[91]
Pemeliharaan terhadap aspek yang lima (kulliyat al-khamsah) sebagai pemeliharaan mashlahah dalam tujuan syari’ah dapat diimplementasikan dalam dua metode: pertama, melalui metode konstruktif (bersifat membangun). Dan kedua, melalui metode preventif (bersifat mencegah). dalam metode konstruktif, kewajiban-kewajiban agama dan berbagai sunnah agama yang lainnya dapat dijadikan contoh terhadap metode ini. Hukum wajib dan sunnat dimaksudkan untuk memelihara sekaligus mengukuhkan elemen-elemen maqashid al-syari’ah tersebut. Sedangkan larangan-larangan terhadap perbuatan yang diharamkan atau dimakruhkan bisa dijadikan contoh metode preventif, yaitu mencegah berbagai analisir yang dapat mengancam bahkan menggelimir semua dasar-dasar maqashid al-syari’ah. Kaena itulah, undang-undang pidana dengan berbagai sanksi hukum secara tegas dapat didukung oleh maqashid al-syari’ah. Contoh, apabila jiwa diganggu oleh pembunuhan atau penganiyaan, maka hal tersebut merupakan tindakan pidana yang harus dijatuhi hukuman. Seperti itu juga halnya  apabila kehormatan seseorang dinodai, maka juga dapat dijatuhi hukuman.[92]