Minggu, 13 September 2015

Tanpa Uang Aku Sekolah

Malam ini, langit di atas sana, tidak gelap dan tidak pula terang. Tiupan sepoi angin yang berlabuh pada pepohonan, mengalunkan musik alam, krisik dedaunan dalam melodi. Kucoba pejamkan mata, tetapi tak bisa.

Jarum jam sudah menunjukkan 1.40 AM. Ohh… hampir satu jam mataku terpejam. Jiwa terjaga. Terbang ke kampung halaman. Mengingat masa-masa kecil. Bernostalgia dengan teman-teman. Menyepet ikat di penghujung minggu. Menggetah burung. Bermain motor-motoran dengan asap debu dimasukkan ke celana. Namun hal yang lebih mengesankan, pagi ke sekolah, sore ke madrasah, mencari kambing menjelang maghrib, dan mengaji antara Magrib dan Isa. Rutinitas. Terkadang menjemukan. Jika membandel, pecutan sebilah rotan, berlabuh ke telapak tangan. Pedih. Pinta ampun.

Sekelumit cerita tentang anak kampung. Anak seorang petani yang hidup pas-pasan. Tetapi, dalam soal pendidikan, meskipun ayahnya cuma tamat SMP dan ibunya tidak tamat SD, mereka berpandangan ke depan. “Nak, jika hidupmu ingin berubah, sekolah  yang benar. Jangan seperti kami”, nasehat yang sering disenandungkan.

Hidup mereka tidak berlebih, malahan terkadang berhutang, yang penting anak-anaknya sekolah. Anak-anaknya juga tahu, bagaimana keadaan dan penderitaan ayah mereka. Terkadang dicemoohkan. “Hidup pas-pasan, masih juga menyekolahkan anak, tidak akan sampai”, kata orang.

Hari ini, pencemooh, menggigit jari. Ramalan mereka salah. Bahkan tak tahu malu, sebahagian malah meminta menjadi menantu. Memang begitu, sunnatullah, emas bila mulai terlihat, tanpa diundang pendulang kan datang.

Dalam hitungan matematika duniawi, mereka ada benarnya. Tapi mereka lupa, ini persoalan tauhidi. Imām al-Shāfiʿī, hidup dalam kemiskinan, tapi dia menjadi Imām. Sederet lagi kisah mereka yang berhasil di atas kemiskinan. Tapi di sini, bukan tempat menghikayahkan.

Aku hanya menghikayahkan perjuangan seorang bapak, tujuh tahun sudah dia tiada. Anaknya yang pertama menyelesaikan pendidikan S1-nya dalam bidang Ekonomi. Anaknya yang kedua menyelesaikan pendidikan S1-nya dalam bidang pendidikan. Setelah kepergiannya, anaknya yang ketiga menyelesaikan pendidikannya S1-nya dalam bidang Syari’ah; dan atas izin Allah pula menunggu ujian akhir Tesis S2-nya dalam bidang Pemikiran dan Filsafat Islam. Anaknya yang keempat, setelah menyelesaikan pendidikan Aliyahnya di Pondok Pesantren, sekarang berada di semester lima dalam bidang Bahasa Inggris. Terakhir, anaknya yang terkecil, kelas enam SD dan meminta masuk Pondok Pesantren.

Selesai SMP, ayah mengirimku ke Jambi. MAKN, jenjang pendidikan selanjutnya. Dua orang kakakku, juga di Jambi. Kuliah. Setiap bulan setidaknya 1 juta untuk kami bertiga. Tanggungan yang besar bagi ayah. Namun, amat tidak mencukupi untuk kami. Bertahun-tahun seperti itu. Tapi beliau tidak mengeluh. Meskipun, di kampung, aku tahu terkadang beliau dan ibu berlaukkan cabe giling.

Menutupi kekurangan, kakakku tertua kuliah sambil bekerja. Sementara aku, di asrama. Hanya menerima dan bersyukur apa yang ada. Setiap bulan keperluanku Rp. 250.000.  Manakala teman-temanku ada yang 500.000-1.000.000/bulan. Iri? Terkadang iya. Namun apa nak dikata. Hanya mengulum jari. Setelah beranjak dewasa, baru kutahu, apa itu perjuangan. Banyaknya uang jajan, bukan jaminan. Malah, itu bisa melengahkan. Tanpa bantuan orang tua, juga bisa bersekolah. Asalkan ada keyakinan.

Tidak bermaksud memuji diri, tapi seluruh keadaan itu, tidak melemahkan cita. Al-Azhar, ya… cita-cita selanjutnya. Namun, hamba hanya bercita, Tuhan jua yang menentukan. Semua telah tercatat di Lauḥ al-MaḥfūẓNya. Takdir mengantarkanku pada IAIN Jambi.

Di sini, cerita baru bermula. Untuk kuliah, aku mesti pulang kampung, menyadap karet. Lama juga. Hasilnya, untuk ongkos ke Jambi dan mendaftar ke IAIN. Pembayaran-pembayaran itu, hasil keringatku.

Tak sampai di situ, ujian yang lain pun datang kembali. Baru menjejakkan kaki di Kampus Biru, bulan Ramadan tepatnya, “ Edi, ayah sudah tiada!”, telefon dari Kampung. Beliau yang kucinta dipanggil kehadirat yang Maha Kuasa. Sesaklah dada. Tetapi apa nak dikata. Kullu nafs dhāiqatu l-mawt. Anda, saya, dan kita semua, pasti kan mati jua.

Kini, ada dua pilihan. Kuliah dengan mandiri, atau pulang kampung. Aku memilih yang pertama. Al-Ḥamdulillāh - puji dan syukur hanya kepadanya, Tuhan sarwa alam dengan al-AsmāʾNya, al-ʿAlīm dan al-Ḥakīm, telah mencurahkan sifat al-RaḥmānNya berupa cahaya ilmu kepada setiap makhlukNya - tanpa beliau, aku sarjana.

Tidak mudah. Pasti. Berbekalkan ilmu yang ada, aku tinggal di Masjid. Lapar menjadi sahabat. Satu minggu tidak punya beras, hal biasa. Aku tidak menyerah. Pucuk ubi dan buah pepaya muda, cukup mengganjal perut. Andi, Yusuf, Sarnubi, dan Habibi, bersama mereka, aku melalui ini. Cerita lah menjadi kenangan. Bila diingat, meneteslah air mata. Hari ini, mereka adalah orang luar biasa. Andi melanjutkan S2, tanpa “uang”. Yusuf, di ansuransi Takaful, dan ada tanda-tanda menjadi orang kaya. Sarnubi, guru. Habibi, banker.

Aku merasa tidak cukup dengan bangku kuliah. Lalu mencoba masuk organisasi. Ternyata aku menjiwai. Posisiku selalu di tempat strategis. Terakhir, aku menjabat ketua sebuah organisasi Kampus. Dari sini aku mulai berkembang. Mulai kenal dengan pejabat dan orang-orang penting. Mulai tahu manajemen organisasi.

Kembali ke cerita. Tak terasa kuliahpun selesai. Semangat untuk kuliah tidak memudar. Tujuan selanjutnya ialah: ISTAC, IIUM, IIUP, UIN Jakarta, dan terakhir sekali almamater lama, IAIN Jambi. Dua tahun kemudian, Tuhan pun mengantarkankku ke CASIS – UTM, “ISTAC” lah juga.

Di sini babak baru kedua bermula. Mau daftar ke UTM aku tidak punya uang. Mau beli tiket tidak punya uang. Tapi, Dia dan sifat al-RaḥmānNya, memudahkan itu semua.

Kusampaikan kepada kakakku tertua dalam linangan air mata, “hatiku telah mantap untuk sekolah lagi. Apapun keadaan yang dihadapi, kan kuhadapi. Kerja bangunan sekalipun, tidak masalah, aku lah menempah diri”.

Aku berangkat ke KL dengan uang bersih di tangan 3 juta kala itu. Si I aku tanya, bawa uang berapa? 7 juta. Sementara si M, 100….. hehehe (bayangkan sendiri). Kedatangan kami KL sebagai kelanjutan daripada kerja IAIN – CASIS. Lebih tepatnya, wakil IAIN. Malangnya, dikatakan wakil, tapi... ah… maklumlah. Kita tahu sendiri. Pejabat kampus diributkan dengan carut marut politik kampus berbanding mencetak generasi. Kampus, terkadang layaknya TK. Prof. dan Dr. TK?

Pagi itu, sebelum berangkat, kami bertiga dipanggil dan menghadap Rektor. Pelbagai nasehat diberikan. Kami kira, sebagai wakil resmi kampus, ada basa-basi, nih untuk tambahan ongkos seadanya. Bukan berharap, tapi ini persoalan harga diri. CASIS dengan niat lillah, berani menjanjikan uang semester selama tiga semester. Sementara kita… ah…. Lagi-lagi maklumlah! TK? Teringat kisah ini, muncul rasa muak untuk pulang. Tapi, bisikan nurani dan demi pengabdian untuk bangsa, suatu saat kan pulang jua.

Pengalaman itu mengajarkanku bersandar kepadaNya. Beberapa bulan kemudian, beasiswa PEMDA Jambi dibuka. Aku mendaftar. Seorang teman menawarkan kabel yang dia miliki, dengan lembut aku tolak. Bagiku keberkahan ilmu jauh lebih penting daripada uang berpuluhan juta. Dia, dengan sifat al-ḥayyNya, tidak tidur dan alpa dari niat dan usaha hambaNya, murni, aku lulus. Dia, yang menawarkanku, tidak lulus. ʿAsā an tuḥibbū shayʾā fahuwa sarru l-lakum, wa ʿasā an tukrihū shayʾā fahuwa khayru l-lakum. Boleh jadi engkap mencintai sesuatu, namun ia buruk untukmu. Boleh jadi pula engkau membenci sesuatu, namun itu baik untukmu.

Hari dalam hitungan jam. Jam dalam hitungan menit. Menit dalam hitungan detik. Waktu bergulir. Biaya hidup di KL dan enam semester yang harus dilalui, beasiswa itu sangat tidak mencukupi. Dua semester terakhir, aku berhutang kepada UTM hampir RM. 12.000. Dalam hitungan matematika dunia, tidak terbayar. Hampir Rp. 40.000.000 kalau uang kita. Namun ini wilayah tauhidi. Semuanya mungkin dengan kalimah mustajabnyaNya, kun.

Ringkas cerita, sedikit demi sedikit, hutang itu berkurang tanpa “uang”. Terakhir, tinggal RM. 8000. Di sini, keajaiban Dia yang al-ḥayy (Maha Hidup) dan al-razzāq (Maha Memberi Rezeki) berlaku. Hari itu, dua minggu sebelum batas akhir tesis disubmit, aku menghadap pembimbing meminta izin untuk perpanjangan semester. Dia bertanya: “kenapa?”. Aku diam. Sampai empat kali beliau bertanya demikian dengan suara semakin meninggi. Lalu aku jelaskan. Beliau tidak sepakat. Namun, tanpa aku sangka, beliau memberikan jalan. Dibayar dengan tabung zakat. Lagi-lagi tanpa “uang”, alhamdulillah ‘ala kulli hal. Aku tidak meminta. Tetapi karena raḥmānNya lah menggarakkan hati hati hambaNya untuk membantu. Tesis sudah disubmit dan menunggu viva.

Ternyata, tali, apabila terlalu kencang, tanda kan putus. Panas, apabila terlalu lama, tanda kan datang hujan. Kesempitan hidup, apabila dihadapi dengan sabar dan doa, petanda kemudahan kan datang. Fa Inna Maʿa l-ʿUsri Yusrā, Inna Maʿa l-ʿUsri Yusrā. Sanya bersama kesulitan kan ada kemudahan, sungguh bersama kesulihatan kan ada kemudahan.

InsyaAllah, selanjutnya, S3, juga “tanpa” uang.  CASIS - UTM, SOAS – University of London, Chicago University, atau McGill University? Wallahū aʿlām, kita lihatlah nanti.