Minggu, 26 Juni 2011

KULIAH HAPPY; Penuh Kesuksesan


Sesuai dengan Judulnya: KULIAH HAPPY; Penuh Kesuksesan. Buku ini menginspirasikan kepada teman-teman mahasiswa bahwa kuliah ini semestinya dijalani dengan happy, dengan syarat Happy-nya harus mengukir prestasi. Untuk lebih lanjut, berikut sekilas cuplikan buku ini:

Judul : KULIAH HAPPY; Penuh kesuksesan.
Penulis : Edi Kurniawan - Dia Ovita - Haris Juwita Sari
Penerbit : BASMALA PRESS
Cetakan : Pertama Oktober 2010
__________________________


Allah mengkaruniakan waktu yang sama kepada seluruh makhluknya, yaitu 24 jam dalam satu hari satu malam. Di dalamnya ada orang yang sukses dan gagal, senang dan menderita, tertawa dan menangis, bahagia dan duka. Begitu pula dalam kehidupan mahasiswa. Di dalamnya ada yang banyak mengukir prestasi, belajar dengan sungguh. Tapi, ada juga yang gagal dan waktunya dihambur-hamburkan dengan hal yang sia-sia.

“Kepala yang sama hitam, tapi hati berbeda-beda”, itulah pepatah lama yang akan digambarkan di bawah ini bahwa mahasiswa itu berbeda-beda. Ada yang hanya berkutat pada wilayah akademik semata tanpa menghiraukan lingkungan sekitarnya. Datang ke kampus, kuliah, perpus, toko buku, kemudian pulang ke rumah. Hari-harinya hanya berkutat pada masalah akademis semata. IP-nya begitu bagusnya. Atau ada juga yang IP-nya bagus-bagus, tapi di balik itu semua penuh dengan kebohongan. Atau memang ada yang jujur, tapi ia tidak disenangi teman-temannya, karena kepribadiannya yang tercela.

Adalagi yang aktifis organisasi yang sibuknya luar biasa. Sayang, karena terlalu sibuknya, IP-nya pun hancur atau banyak juga yang di drop out dari kampus karena kuliahnya sudah melebihi jangka waktu yang diberikan.

Kemudian adalagi yang dari awal kuliah sampai selesai masih meminta dengan orang tua karena ia belum mandiri atau ia tidak mau belajar untuk mandiri. Setiap bulannya masih mengharap kiriman orang tua dan di rumah atau kontrakannya pun masih belum bisa mengurus diri sendiri. Pakaian masih dicucikan atau memilih jasa pencuci (laundry) untuk mencucinya. Gak bisa masak, sehingga lebih memilih katering-an. Semuanya berakibat kiriman bulanannya membengkak di atas rata-rata mahasiswa lainnya.

Selain itu, ada juga yang biasa-biasa saja. IP-nya tidak terlalu tinggi, tidak ada prestasi, bukan aktifis organisasi, tapi kuliahnya melebihi standar pada umumnya, dan ditambahkan lagi sepenuhnya mengemis kepada orang tua.

Di bagian lain, ada lagi yang begitu banyak mengukir prestasi, IP-nya bagus-bagus, nyontek sana-nyontek sini haram baginya, disenangi dan disayangi teman-teman, ibadahnya begitu luar biasa, orangnya juga sibuk karena ia aktifis organisasi, di rumahnya juga mandiri, keuangannya pun tidak sepenuhnya meminta kepada orang tuanya.

Itulah dunia mahasiswa. Ada yang sukses dan ada yang galal. ada yang yang bahagia dan ada juga yang kecewa. itu semua tergantung kepada diri kita yang menjalaninya. Dan buku ini akan menajawab itu semua. BAB I membahas mengapa kita harus sukses. BAB II membahas Manajemen Waktu Menuju Sukses. BAB III Membahas bagaimana mengoptimalkan tiga kekuatan dahsyat, yaitu Intelektual Quotion (IQ), Emosional Quotion (EQ), dan Spritual Quoution (SQ). BAB IV Mengulas bagaimana menjadi maasiswa yang bukan hanya jago akademis saja, tapi juga jago organisasi, kepribadian juga bagus sehingga disenangi oleh teman-teman, dan kemandirian yang ditandai dengan pintar mengurus diri dan juga berusaha menafkahi diri sendiri tanpa menunggu 100% uang bulanan dari orang tua. 


Atas dasar itu saya menulis buku pada tahun lalu dengan judul “ Kuliah Happy, Penuh Kesuksesan”. Bagaimana kita bisa menjadi mahasiswa idaman. Mahasiswa yang berprestasi. Mahasiswa yang aktifis organisasi. Mahasiswa yang mempunyai kepedulian sosial yang tinggi. Mahasiswa yang mandiri. Mahasiswa yang sukses. Kesemuanya dirangkum menjadi satu. 



Semoga bermanfaat.^_^


Jumat, 24 Juni 2011

Tarian Pena



ku beribrah kepada mereka yang berhikayat ratusan tahun yang lalu, tubuh-tubuhnya lah rapuk dimakan bumi, lalu ku terlena dalam nyanyian sunyi dalam kitab ini. ku hikayatkan mereka semisal: Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Ibnu Taymiyah dan sederet nama lain tak tersiulkan seruling bambu. tubuh mereka lah hancur bersama turab, lagunya mengkilapkan dedaunan mentari pagi. menyilaukan mata anak negeri. sepanjang waktu yang tak pandang henti

ku beribrah kepada shuhuf-shuhuf yang berserakan di gua-gua, lembah-lembah, dan terbenam di dalam tanah serta relief-relief di dalam candi, piramida dan kuil-kuil yang ditarikan pena penari, catatan sejarah. ribuan tahun dari abad ini. perlambang peradaban umat yang lah pergi. penarinya lah pergi, lagunya di-iqra’-kan dan dinyanyikan generasi. “apakah kamu tidak memperhatikan kaum sebelummu?’ secercah embun pagi sapa Ilahi dalam makrifat abadi.

bukalah mata bukalah hati, mengenyam kisah bersama mereka. ulu balang lah memberikan pena, raja lah memberikan istana, sementara guru memberikan mutiara. maka ku wasiatkan: asahlah lenturan tarianmu hingga menusuk.

jika engkau bertanya, mengapa aku menari?

maka ku katakan aku menari bukan untuk dipuja, itu perlambang hidupkan celaka. aku menari untuk dikenang, diri dan anak bangsa. aku menari melenturkan diri, menempatkan tawazun agar tak rubuh. aku menari karena iqra’ perintah Ilahi, agar masa kan mencatat. aku manari karena tubuhku penat melihat sorak-sorai akhlak anak negeri. aku menari karena aku tahu tari itu seni ‘aqli, lalu… tunas-tunaspun kan mengembang. nyanyianku kan mengalun syahdu

lalu ku nyanyikan lagu hati:

tari mari menari, karena kisahkan abadi
tari mari menari, karena akal kan terpatri
tari mari menari, karena pembacaan kenang di badan
tari mari menari, karena engkau akan hidup seribu abad lagi



Jambi, 240511

(Puisi ini terinspirasi dari pertanyaan Asriani Amir, sahabat bloofer, Sulawesi Selatan)


Kamis, 23 Juni 2011

Seharusnya Kita Berterimakasih Kepada-Nya



kau lambaikan tangan dengan kebisuan dan tarian hujan yang tak bermuara. hingga angin berhembus meyapu debu-debu nokhta, tercatat di balik zikir ini. maka ku terbitlah do’a yang tersulam dari relung hati nan dalam penuh pinta harap pada-Nya, di tengah badai datang memporak-porandakan gedung-gedung indah menawan mata dan kota megah itu. ah… memang menyejukkan tapi tak terasa. menyegarkan tapi mendingin. ketika angin berhembus menyapa muka. karena kita memang seharusnya berterimakasih kepada-Nya.


180611

Selasa, 21 Juni 2011

Tarian Senja














ku coba melukiskan apa yang terjadi sembari mencicipi rasa dan menuangkan madu, indah terasa. hingga tercatat di balik zikir ini, memuja asma-Nya.

kupuja karena:
aku tahu itu asin, garam lah tertuang
aku tahu itu manis, gula lah tercicipi

kulukis karena kan menyilaukan mata
mengindah rona-rona. menuangkan senyum
namun apabila sembilu menghunus bathin, pedih oh… terasa

sabarlah karena senja lah menguning, memancarkan merah saga. petanda gelap malam kan tiba. berjalan dengan cercah cahaya menuju-Nya

lalu ku jemput pagi dengan riang gembira dikala embun-embun pagi menghijaukan dedaunan hingga mentari menyingsing
mengeringkan
mengilap

kembali…
senjapun kembali menari


100611

Bintang Berkedip


Kupandang bulan yang mulai menampakkan purnamanya di malam ini. Kukenang ciptaan maha sempurna-Nya. Kilauan bintang turut menyapa lamunanku bersama hembusan angin malam yang berlabuh pada dedaunan hingga menusukkan tulang. Satu persatu kerdipan bintang, mengindahkan mata memandang. Ingin kugapai. Inginku miliki. Ingin bermain bersamamu. Kerdipan yang tak diberi energi. Hingga menghanyutkanku dalam mimpi. Mengantarkanku pada nyanyian malam. Oh... indahnya ciptaan-Mu.

100611

Kalimah Dalam Sunyi













1.
aku menafsirkan derasnya ombak yang memecahkan karang, tiba-tiba berhenti
sehingga damailah layar terkembang.

asinnya laut mengeraskan karang
kencangnya angin mengubah haluan
hingga perahu nelayan merapat ke dermaga, persinggahan.


2.
ku coba membentangkan layar dan melihat peta angin: topan atau sepoi-sepoikah ia?

bila kukatakan gugusan bintang gemintang yang berkelip, memancarkah ia?
atau bila kukatakan dua pasukan menghadang yang siap berperang, merah darahkah ia?
atau bila kukatakan kain putih yang membentang, sucikah ia?
atau bila kukatakan pelangi yang timbul di penghujung hujan, berbinarkah ia?
atau bila kukatakan pasukan salib yang menghancurkan Konstantinopel, garangkah ia?
yang tersisa hanyalah tafsir dan tanda tanya: benarkah?


3.
mentari menyapa, bulan bersinar
layar tetaplah terkembang, kapal tetaplah melaju
nakhkoda handal tetaplah lincah mendesir ombak


4.
ku lebarkan layar untuk mengatur laju kapal
ku rapatkan pada dermaga Ilahi untuk memecahkan misteri mimpi di pojok malam dikala orang-orang asyik dalam mimpi
hingga nakhkoda pun menadah kedua tangan di setiap ushalli

urat-urat mengendor kelembutan di setiap istikharah dan hajat
Tuhan pun membukakan tabir misteri.

secarik secercik, selangkah selari, sealun selimbai
cahaya masuk ke hati, dan tanda tanya mulai ku mengerti.

zikir pagi sudah terpatri
cerah mentari menyapa diri



580511

Sabtu, 11 Juni 2011

Bebayang Mozaikku

 
Malam terus berlarut, hingga hening menemani. Kugoreskan pena, merangkaikan kata. Bukan terpaksa, karena mata sayupku yang belum bisa terpejam. Kiri dan kanan badan kuputar, yang tampak hanyalah bayang-bayang dari serpihan kehidupan yang memintaku mencatat. Mencatat agar tak lupa. Mengenang untuk dikenang. Merangkai agar tercapai. Hati berbisik dan bercengkrama dengan kesunyian malam. Mengapa aku mencoba mencicipi asin laut sementara asam gunung bernyanyi ria. Mengapa aku menghadang badai sementara tubuh kurusku terbawa angin. Merana tak berarti karena akan berujung pada lara diri. Menangkappun tak kuasa karena kucing lebih lihai menerkam. Aku tak tahu apa yang terlintas: hitamkah atau putihkah ia. Yang menari bersama bebayangan yang tak kenal arti. Goresan-goresan pena yang takkan henti sampai topan menerpa diri. Menenang diri itulah sapa. Bernyanyi diri, bermaksud gembira. Mengobati gersang yang berkelana. Pijamkan mata larutlah malam. Aku ingin terhanyut dalam mimpi-mimpuku. Bersama sunyi malam dan detikan jam dinding serta musik air yang menetes dari kran: tik... tik... tik...

Kenang mari mengenang
Musik alam nan indah tenan
Imajinasi merangkai dingin, di tengah kabut malam semakin merinding
Berlari bukanlah lari. Diam diri bukan tak memberi. Musafir bukanlah fakir.
Tapi nyanyian hati yang mencatat diri.
‘Mozaik” dicatat untuk dikenang


100611:02.32 am 




Cerita Anak Negeri






di kolong malam itu nenek tua dengan pakaian compang camping megeluh dan meresah kepada kelam langit, dan bintang tak berkedipan

secuil senyum di pipinya: mendengar kicau anak-anak negeri yang tak kunjung henti.
di kolong malam itu ia terpangku: “Ah... kapankah bangsa ini memperhatikan orang-orang seperti kami”.
"bangsa yang lucu, negeri nan lugu", katanya.

himpitan ekonomi bersorak-sorai
maling teriak dinding
kucing mengeong kambing
singa berselimut kera
badak mengaku singa
sementara anak negeri itu berkicau dan berkicau merebut kursi



Jambi, 25 Februari 2011



MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS DAN BERKEADILAN (Apresiasi Terhadap Pendidikan Pancasila)


MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS DAN BERKEADILAN  
(Apresiasi Terhadap Pendidikan Pancasila)

                                                    
Oleh: Edi Kurniawan
(Peneliti pada Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization)
Pancasila sebagai dasar negara telah dirumuskan dan disepakati bersama oleh pendiri bangsa ini. Ia adalah jati diri, falsafah, ideologi, serta alat pemersatu bangsa. Ia juga merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk.
Atas dasar itulah sehingga dalam sistem pendidikan nasional juga berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan budaya. (Pasal 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Maka wajarlah jika Pendidikan Pancasila pernah dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional, namun karena dikendarai sebagai alat politik Orla (Orde Lama) dan Orba (Orde baru), akhirnya pada era reformasi Pendidikan Pancasilapun dihapus. Namun akhir-akhir ini isu ini mencuat kembali untuk diajarkan dan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan pada sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi. Adalah suatu hal yang harus diapresiasi di tengah bobroknya akhlak bangsa ini dalam upaya mengembalikannya pada khittah-nya.

Sebab, pada dasarnya pendidikan nasional berfungi sebagai mana yang termaktub dalam Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 bahwa: “pendidikan nasioanl itu berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Karena itulah untuk kembali pada khittah tersebut, perhatian pada pendidikan merupakan suatu yang musti. Pendidikanlah yang membnetuk anak bangsa yang bermoral, bermartabat, serta memiliki nilai jual.
Institusi atau lembaga pendidikan, baik itu umum maupun agama pada dasarnya diciptikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa. Tidak hanya cerdas dari penguasaan ilmu dan pengetahuan, melainkan juga cerdas dalam akhlak atau budi pekerti sebagaimana tujuan pendidikan itu sendiri.
Namun tujuan ini menjadi syubhat (abu-abu) di tengah merebaknya berbagai praktek “pelacuran” pada institusi pendidikan. Mulai dari jual kursi, SPP yang di atas rata-rata hingga sampai pada sumbangan yang berkedok uang pembangunan yang jumlahnya berpuluh-puluh juta.

Realitas dan Apresiasi
Setiap Institusi Pendidikan, baik itu sekolah maupun Perguruan Tinggi mempunyai alur penerimaan siswa atau mahasiswa dengan cara yang hampir sama, yaitu proses penyeleksian. Ketika ingin memasuki sebuah sekolah, maka disana ada tes kelayakan penerimaan. Begitupun dengan Perguruan Tinggi, di sana ada namanya SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), UMB (Ujian Masuk bersama) bagi Perguruan Tinggi Negeri. Begitu pula dengan Universitas-Universitas Swasta, juga mempunyai uji kelayakan yang sama dengan Perguruan Tinggi Negeri. Itu semua dilakukan untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas.
Tidak sampai di situ saja, ketika sudah duduk di sebuah sekolah atau Perguruan Tinggi, maka Institusi Pendidikan tersebut menggodok para siswa atau mahasiswanya menjadi anak-anak bangsa yang berkulitas.
Jika dilihat sekilas sebenarnya tidak ada yang salah dengan penyeleksian dan berbagai upaya menggenjotkan kualitas pendidikan. Namun dalam prakteknya ditemukan berbagai macam ketimpangan dan kejanggalan. Mulai dari kasus jual kursi, SPP yang sudah di atas rata-rata, sumbangan yang berkedok dengan sumbangan pembangunan, uang les, dan berbagai macam bentuk lainnya yang di luar kewajaran. Sehingga yang menjadi korban dan terbebani adalah para orang tua mahasiswa terutama dari kelas bawah.
Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas maka orang tua siswa atau mahasiswa berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya di tempat-tempat yang berkualitas dan ternama. Pada waktu itulah praktisi-praktisi busuk pendidikan memanfatkan momen.
Atau juga lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dengan sekolah uang (baca: keperawatan, kebidanan dan kedokteran). Yang dapat menikmatinya hanyalah mereka yang dari kelas menangah ke atas. Sementara yang dari kelas bawah hanya menjadi penonton dan menggigit jari meskipun banyak di antara mereka yang sebenarnya berhak untuk mendapatkannya (berkualitas). Itu belum lagi tingginya biaya pendidikan.
Akhirnya lembaga-lembaga yang berkualitas dan ternama itu menjadi syubhat (abu-abu) karena diisi oleh dua hal: pertama, mereka yang benar-benar berpotensi. Dan kedua, mereka yang mempunyai uang dan dari kalangan anak pejabat serta dari keluarga orang dalam (nepotisme). Maka disinilah letak syubhat-nya karena satu sisi diambil dari mereka yang berpotensi, dan pada sisi yang lain diambil dari mereka yang tidak berpotensi, hingga bercampur menjadi satu. Jadilah pertarungan dua sisi yang menampakkan kezoliman dan kesenjangan, bukan pemerataan serta keadilan.
Anehnya, mereka yang mempunyai berpotensi inilah yang dijual-jual demi mengharumakan istitusi tersebut. Padahal di balik itu betapa bobroknya, namun uang bisa melicinkan semuanya.
Di sinilah letak ketidakadilannya. Oleh-oleh dari praktisi busuk pendidikan. Padahal sila kelima menyatakan, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”. Dimanakah letak keadilan itu?
Begitu pula dalam UU No. 20 pasal 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa: “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Namun di lapangan prakteknya berbeda. Mereka yang bisa memperoleh pendidikan yang bermutu hanyalah mereka yang benar-benar pintar atau mereka dari anak pejabat dan anak konglomerat. Bahkan terkadang, mereka yang mempunyai potensi dari kalangan masyarakat menengah ke bawah tidak bisa menikmati pendidikan di tempat yang bekualitas dan ternama karena berbenturan dengan biaya pendidikan yang tinggi. Lihatlah misalnya pada sekolah kedokteran, keperawatan dan kebidanan yang biayanya sangat melambung.

Miris bukan? Karena dalam faktanya kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan itu ada. Bertolak belakang dengan dasar negara kita dan UU pendidikan.
Karenanya hemat penulis, upaya pemerintah untuk memasukkan kurikulum Pendidikan Pancasila adalah suatu upaya yang harus diapresiasi. Namun tidak bisa sampai di situ saja tanpa ada evaluasi dan kesadaran diri. Sebab banyak kita temukan praktisi pendidikan yang “melacurkan” institusi pendidikan dengan kedok pendidikan berkualitas.
Pemerintah harus tegas serta harus ada sistem yang baik dengan evaluasi yang matang. Di samping itu, pengawasan masyarakat juga diperlukan. Jika tidak, untuk mencapai pendidikan nasional yang berkualitas agaknya akan terhambat oleh praktisi-praktisi busuk institusi pendidikan. Wallahua’lam! 

Kamis, 09 Juni 2011

Yang Terlintas Dan Yang Tersurat




Apapun yang terlintas, bebayangkah ia ?
malaikat atau ibliskah yang berbisik ?

Demikian pula jika ku katakan ini atau itu
tahukah kalian wahai tuan
atau ku jabarkan.
 
Demikian pula jika ku katakan musim: semi atau gugur, panas atau hujankah ia ?
Demikian pula jika ku katakan begitu agungnya nilai yang terkandung dalam puisiku. atau ku katakan: daku terpesona atas kemolekan tubuh mulus alam semesta.

Demikian awan-awan jika ku katakan ia menangis di siang hari, atau di sepertiga gelap malam, atau bunga-bunga tersenyum menguntum tatkala mentari menyingsing di pagi hari.
atau purnama terang tersenyum di pipi cahaya empat belas
atau mentari atau gemerlipan bintang
atau kilat yang menyambar
atau guntur yang menyesakkan dada
atau angin sepoi-sepoi yang menghanyutkan dalam lamunan dunia khayal
atau hamparan sawah hijau memandang
atau barisan-barisan gunung hijau pagar betis
atau utara, selatan, timur, barat petunjuk arah
atau bebukitan, pepuingan dan bebatuan
atau taman, lingkungan, kawasan dan cagar alam
atau ku katakan putri jelita raja dan hulu balang nan molek bak mentari terbit atau gemintang.

Setiap yang ku sebutkan hendaklah dipaham wahai tuan
yang datang dari pencipta kemolekan semesta alam
yang diturunkan kepada mata hati dan kasysyaf, karakter suci nan tinggi
yang menjadi saksi kebenaran sejati


Jambi, 15 April 2011




Jumat, 03 Juni 2011

Aneh…

Beberapa waktu lalu aku berkesempatan mengunjingi kota Rimbo bujang dalam rangka proyek survey dari Lingakaran Survey Indonesia (LSI) mengenai Pemilukada ulang Kabupaten Tebo. Tebo tercatat sebagai Kabupaten pertama di Provinsi Jambi yang Pemilukadanya dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketika dalam perjalanan pulang dari sebuah desa yang cukup pelosok di Kecamatan Rimbo Bujang, aku dan teman-teman menyempatkan diri mampir sebentar di Kota Rimbo. Disinilah sebuah kisah yang sangat menarik yang belum pernah terdengar dan ditemukan di tempat manapun. Kami berenam dengan mengendarai tiga sepeda motor. Karena kami orang baru di Rimbo, tanpa disengaja kami menyalahi sebuah aturan lalu lintas. Jalan keluar kami gunakan untuk masuk.

Tiba-tiba, prit… prit… prit… prit… prit… seruit panjang. Tanpa kami hiraukan seriut itu dan kami tetap mengendarai kendaraan kami. Namun naas, dua orang temanku yang berkendara paling belakang di hadang oleh DLAJ yang aku kira awalnya Polisi Lalu Lintas. Temanku ditilang dan kami tetap melaju.

Tanpa banyak pikir panjang dan pertimbangan karena aku diamahkan oleh teman-teman sebagai ketua dari Kelompok Survey ini, jadi aku harus bertanggungjawab atas seluruh anggota kemlompokku.
 
“Do”, pinta ku pada Widodo. “Stop!”.

“Kenapa bang?”, jawab Widodo.

“Si Nanda dan Toni ditilang Polisi. Ayo kita samperin”.

“Ok Bang”, jawab Widodo.

Aku langkahkan kakiku menuju pos penjagaan. Lalu aku buka helm dan jaketku.

“Assalamu’alaikum”, salamku pada dua orang DLAJ yang sedang menilang dua temanku.

“Wa’alaikumsalam”, jawab seorang laki-laki bertubuh tegap dan hitam dengan tampang melayakinkan. Sementara teman yang satunya hanya diam duduk di pojok pos penjagaan.

“Maaf bang, apa ada yang salah dari kami?

“Iya, ada. Kamu telah melanggar lalu lintas. Apakah mata kalian tidak melihat rambu-rambu lalu lintas itu”, bentaknya sambil menunjuk pada rambu lalu lintas yang tegap berdiri mematung di pinggir jalan. Tanda kurang dalam lingkaran. Petanda jalan keluar.

Melihat sikap si tegap hitam itu dengan nada cukup keras, sebenarnya naluri kejantananku cukup terpancing, namun aku tahan. Dengan nada merendah dan penuh penghormatan aku sampaikan pada mereka:

“Maaf bang, kami orang baru di sini. Bukan bermaksud melanggar lalu lintas. Tapi karena kami benar-benar tidak tahu. Kami dari Jambi. Datang kesini dalam rangka Survey dari LSI. Kami akui kami memang salah. Kami mohon maaf”.

Mendengar nadaku yang teratur dan penuh penghormatan kepada mereka, perlahan-lahan mereka juga mulai merendah.

Berunding dan berunding. Ternyata ujung-ujungnya dengan bahasa halus mereka meminta uang rokok sebagai tanda damai.

“Busyet”, pikirku.

Otakku mulai berjalan, “ah… pendidikan dua orang DLAJ ini paling-paling tamatan SLTP atau paling tinggi SMA. Apakah mereka mengerti hukum?. Adu fisik mungkin kami kalah. Namun fisik tidaklah berarti apa-apa kalau otaknya nol”.

Aha… dengan besik Serjana Hukum Islam, tapi Alhamdulillah sedikit banyaknya mengerti hukum umum dan perundangan lalu lintas. Maka aku jabarkan kepada mereka tentang hukum serta peraturan lalu lintas no UU Nomor 22 Tahun 2009. Kumudian aku kenalkan diri bahwa aku aku aktif di ICW cabang Jambi. (padahal boong-boongan saja demi menyelamatkan diri.hehehe). selain itu aku kenalkan aku juga dulu aktifis mahasiswa sewaktu masih aktif di kampu, serta alumni Fakultas Hukum.

Benar, ternyata senjataku ampuh. Mereka yang tadinya berlagak sok, lebih parah lagi si tegap hitam. Akhirnya mengendor dan menaruh penghormatan. Singkat cerita, Alhamdulillah mereka meminta maaf dan kami keluar dari sana tanpa mengeluarkan sepeserpun.

Tiba-tiba, “dek-dek, berapa dipintanya?. Aku terkejut, ternyata suara itu datang dari ibu separuh baya yang berjualan buah-buahan pas di samping pos penjagaan.

“Alhamdulillah tanpa keluar sepeserpun buk”, jawabku.

“Mereka itu memang kurang ajar dek. Sok berlagak polisi. Sudah sering mereka meminta uang dengan dalih seperti itu. Kadang-kadang lima puluh ribu, seratus tibu, seratus lima puluh ribu kepada orang dusun yang tak mengerti apa-apa”.

“O gitu buk ya…?”

“Iya”.

Keadaan perut yang sudah keroncong. Belum ketemu nasi dari pagi. Maklum, kalau di pelosok gak ada rumah makan. Maka kami langsung menyerbu rumah makan yang tak jauh dari pos penjagaan. Hmm… makan dengan lahap. Maknyos…^_^ Alhamdulillah Allah masih memberikan rezeki.

Begitulah contoh kecil negeri kita. Aneh… DLAJ berlagak polisi. Preman berlagak polisi gadungan. Penegak hukum berlindung di balik hukum Pungli dimana-mana. Korupsi bernyanyi ria. Kolusi apa yang nak dikata.



300511

Kamis, 02 Juni 2011

NII: Antara Penegakan Syari’ah dan Rekayasa Politik

Oleh: Edi Kurniawan dan M. Amrullah*

Bendera NII


Sudah hampir 66 tahun negara ini memperoleh kemerdekaannya setelah dijajah oleh beberapa bangsa asing selama tiga ratus tahun lebih. Dalam kurun waktu antara 1945, ketika republik ini diproklamasikan berdirinya, hingga saat ini, berbagai peristiwa telah terjadi dan tidak sedikit yang mengakibatkan munculnya ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara Indonesia.

Salah satu peristiwa penting yang meninggalkan bekas dalam catatan sejarah adalah berdirinya NII (Negara Islam Indonesia) di awal masa kemerdekaan. Isu ini sempat membisu setelah meninggalnya sang pendiri NII, Kartosoewirjo. Namun belakangan ini isu tersebut menghangat kembali setelah media dengan semangat dan gencarnya memberitakan.

NII dikait-kaitkan dengan terorisme. NII disebut dengan gerakan saparatis. NII adalah gerakan cuci otak. NII mencari korban para mahasiswa dan pelajar serta banyak isu lainnya. Benarkah demikian?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami dari KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat IAIN STS mengadakan seminar ilmiah bertajuk, “NII: Antara Penegakan Syari’ah dan Rekayasa Politik” dalam rangka menyambut hari Kebangkitan Nasional. Karena topik ini memang selalu dan akan tetap menarik untuk dibincangkan.

Antara Idiologis dan Kapitalis
Pada tanggal 7 Agustus 1949, Indonesia dikejutkan oleh deklarasi sebuah kekuatan politik yang menamakan diri mereka Negara Islam Indonesia (NII). Sekar Maridjan Kartosoewirjo, teman lama Soekarno yang memimpin tentara di Jawa Barat, mendeklarasikan Darul Islam (DI). Ia memiliki milisi yang cukup kuat sebagai penopang perlawanan politiknya, yaitu Tentara Islam Indonesia (TII). Itulah awal mula gerakan yang sejarah mencatat disebut sebagai “DI/TII”. Beberapa versi menyebutnya sebagai NII.

Martin van Bruinesen (2002) menyebut Darul Islam sebagai akar dari kelahiran Islam Radikal di Indonesia. Darul Islam membangun fragmen kelompoknya dengan kekuatan militer: beberapa pemberontakan lahir di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar), Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar), Jawa Barat (Kartosoewirjo), dan Aceh (Daud Beureueh). Tetapi, yang cukup menjadi tokoh sentral adalah Kartosoewirjo sebagai amir Darul Islam yang memimpin perlawanan dari Jawa Barat.

Jika kembali lagi ke sejarah, muncul NII setidaknya karena dua faktor yaitu gerakan tersebut muncul karena marjinalisasi politik-ekonomi yang dihadapi oleh umat Islam pada era tersebut. Dan adanya kesadaran sejarah dari umat Islam untuk mengembalikan kejayaannya. Karena selama ratusan tahun, umat Islam di Indonesia dimarjinalisasi secara politik oleh praktik kolonialisme. Jadi, perlawanan DI/TII adalah perlawanan antara umat vs negera.

Terlepas dari berbagai asumsi dan pandangan berbagai pengamat tentang NII, jika NII ditelisik lebih lanjut antara NII era 50-an dengan NII yang digembur-gemburkan media saat ini atau lebih dikenal dengan KW 9 dan beberapa makarnya, ada kesenjangan atau perbedaan yang sangat mendasar. NII era 50-an lebih pada visi idiologis untuk membentuk negera yang berlandaskan pada syari’at Islam yang mengacu pada Negara Madinah era Rasulullah SAW. Namun akhir-akhir ini muncul NII yang mengatasnamakan NII KW 9. Banyak pihak dan pengamat menilai NII KW 9 telah menyimpang dari syari’at Islam. Karena semua kegiatan dakwahnya lebih kepada kapitalis atau segala sesuatunya dapat digantikan dengan uang, infaq, atau shadaqah. Bahkan ibadah-ibadah mahdah pun dapat digantikan dengan uang demi gerakan dakwah. Versi inilah yang oleh beberapa pengamat dikaitkan dengan terorisme.


Analisis-Kritis Isu
Setelah gerakan ini tenggelam dengan meninggalnya sang pendiri, Kartosoewirjo. Akhir-akhir ini isu NII kembali muncul ke muka publik. Hal ini tentu tidak lepas dari dua faktor: politis dan mempertahankan keutuhan NKRI.

Dari faktor politik setidaknya hal ini dapat dilihat dari tiga hal: pertama, isu ini berhubungan dengan Pemilu 2014. Mengingat partai berkuasa saat ini dalam keadaan diterpa badai atau ada dari kelompok-kelompok tertentu yang mencoba menghentikan gerakan politik Islam. Lihatlah gerakan partai plitik Islam hari ini sudah memperlihatkan kekuatan politiknya. PKS misalnya yang telah memasang target menjadi 3 besar pemilu 2014. Bergitu pula dengan partai-partai Islam lainnya yang cukup mempunyai pengaruh di parlemen.

Kedua, dengan tujuan untuk memberengus aktifitas Dakwah Kampus. Mengingat, salah satu masa terbesar NII adalah mahasiswa. Maka segala sesuatu yang berkaitan dengan pengajian kampus, diberi topi sinyal agar para mahasiswa menjauhi. Lihatlah misalnya beberapa waktu lalu, pertemuan Rektor se-Indonesia kebakaran jenggot atas isu NII masuk masuk kampus.

Ketiga, dengan tujuan meloloskan UU Inteligen. UU ini diusul DPR pada tahun 2006, namun ormas-ormas Islam menolak UU tersebut dengan alasan UU tersebut akan memarjilinasi dan mendeskreditkan umat Islam. Hal ini ditandai dengan adanya suara dari elit politik dan pejabat pemerintah menghangatkan UU tersebut paska isu NII ini.

Dengan berpijak pada tiga alasan tersebut, maka hasilnya mengarah pada aktifitas Islam politik, di mana ruang gerak dan langkahnya semakin dipersempit dan citra Islam politik semakin buruk. Nah, tentunya sangat mempengaruhi suaru partai Islam pada Pemilu 2014. Begitu pula dengan aktifitas-aktifitas dakwah kampus serta halaqah-halaqah pengajian kampus semakin termarjinilkan paska menghangatnya isu ini.

Selanjutnya, mempertahankan NKRI. Hari ini kita melihat paska mencuatnya isu NII, para elit politik dan pemerintah kita lagi sibuk-sibuknya menyoalkan legalitas serta moralitas pancasila. Maka jadilah Pancasila meskipun sudah disepakati sebagai dasar Negara, namun dasar itu dipersoalkan. Hasilnya, isu ini akan bisa saja menjadi bola salju, kian hari kian membesar, hingga bisa berdampak pada keutuhan berbangsa.

Seyogyanya, persoalan NII dapat diredam dengan meningkatkan wawasan keindonesiaan agar tidak disusupi oleh kelompok macam NII atau sejenisnya. Tentu saja, kita perlu membedakan mana gerakan yang punya visi mengancam NKRI, seperti NII, dan mana gerakan yang praksis gerakannya adalah untuk hidup damai dalam kerangka keindonesiaan.Tentu saja, untuk membedakan hal ini perlu adanya kesadaran untuk melihat. Daya kritis dan rasionalitas harus digunakan untuk berpikir jernih.

Persoalannya bukan terletak pada ideologi, karena itu bisa saja constructed oleh siapapun untuk menutupi tujuan aslinya. Tapi terletak pada defisit kesadaran seseorang. Dengan kesadaran kritis, tentunya dapat melakukan pembentengan diri terhadap ancaman gerakan NII yang tak jelas ujung-pangkalnya dan yang ada tapi yang tak berwujud. Agar tidak menjadi seperti NII, mari bersama-sama tingkatkan kesadaran, daya kritis, rasionalitas, serta kemauan untuk berpikir. Bukan merekayasa isu demi kepentingan kelompok tertentu, tapi bekerja sama merapatkan barisan mempertahankan keutuhan NKRI.

Memang harus diakui bahwa bagi seorang musli, menegakkan syari’at Islam di bumi Allah swt. merupakan kewajiban. Kewajiban ini bukannya tak berlaku lagi ketika kekhalifahan Islam telah melewati masa keemasannya. Justru sebaliknya, sebagai pribadi yang merupakan bagian dari umat Islam di seluruh dunia, harus menanamkan nilai-nilai yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan memulainya dari diri kita masing-masing.

Suatu tujuan besar yang hendak diraih tidak akan tercapai tanpa mengawalinya dari hal yang kecil. Pencapaian yang ideal—mendirikan negara berasaskan syari’at Islam—mungkin akan sangat sulit dilakukan di Indonesia, sebuah Negara yang masyarakatnya amat majemuk. Negara yang bukan berlandaskan pada agama tertentu dan bukan pula Negara anti agama (komunis) dan sekularis, tapi Negara yang memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk beragama dan mengamalkan ajaran agama yang diyakini tanpa ada intervensi dan paksaan dari manapun.

Namun demikian, banyak tahap ke arah ideal tersebut yang dapat dilakukan sebagai umat Islam di negeri ini. Menunjukkan akhlak Islami dalam kehidupan sehari-hari, sedikit banyak dapat memberikan sebuah penyegaran di tengah kebobrokan moral yang dialami bangsa ini. Sesungguhnya, berbuat baik itu dapat menular. Orang lain akan mengikuti perbuatan baik yang kita lakukan karena mereka telah melihat manfaatnya. Dengan demikian, secara berangsur-angsur, orang yang melakukan akhlak Islami semakin lama semakin bertambah. Dan bukan tidak mungkin, secara alami masyarakat akan menerima syari’at Islam sebagai pedoman yang legal bagi mereka dalam melakukan segala tindakan.


Menuju Keutuhan Berbangsa
Timbulnya isu NII akhir-akhir ini, pemerintah seakan-akan tidak berdaya memberengus dan menghentikan akfititas NII. Hal ini karena susahnya mencari informasi dan rujukan yang jelas tentang NII serta NII itu sendiri sebuah Negara tanpa wujud.

Jika isu ini diakaitkan dengan seluruh aktifitas keislaman dan Islam politik, tentu ini tidak mengana, karena pemerintah harus cerdas menilai mana gerakan damai yang berpayung di bawah NKRI dan mana gerakan yang bersifat makar (saparatis).

Mendeskreditkan gerakan dan aktifitas keislaman bukanlah solusi, namun akan menambah masalah baru. Seyogyanya pemerintah dan gerakan-gerakan keislaman serta masyarakat harus bergandeng tangan memberenguskan setiap gerakan yang berorientasi pada makar.

Karena itu, setidaknya ada tiga langkah menuju keberdayaan dan keuutuhan NKRI dari gerakan makar: pertama, harus dibedakan terlebih dahulu mana gerakan yang berorientasi pada makar dan mana gerakan yang mau hidup damai di bawah NKRI.

Kedua, pemerintah dan gerakan Islam damai serta masyarakat harus bekerjasama dan bergandeng tangan membasmi segala aktifitas dan gerakan yang mengarah pada makar.
 
Ketiga, pemerintah melaui Depag dan para da’i harus memberikan pengajaran Islam yang benar kepada kepada masyarakat sehingga mereka bisa menilai mana Islam yang benar dan mana yang salah.

Akhir kata, marilah kita menjadi insan pembelajar yang sadar dan berfikir untuk mempelajari serta mengamalkan Islam. Dengan demikian beban kita sebagai khalifah fil ardhi akan berjalan berimbang yang sesuai dengan manhaj-nya. Wallahua’lam!


(Tulisan ini disadur dari seminar ilmiah bertajuk: “NII: Antara Penegakan Syari’ah dan Rekayasa Politik” dengan sedikit penambahan dan penyempurnaan dalam rangka menyambut hari Kebangkitan Nasional oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat IAIN STS Jambi pada tanggal 28 Mei 2011 di Aula Pola Kantor Gubernur Provinsi Jambi oleh Edi Kurniawan dan M. Amrullah)