Minggu, 13 September 2015

Tanpa Uang Aku Sekolah

Malam ini, langit di atas sana, tidak gelap dan tidak pula terang. Tiupan sepoi angin yang berlabuh pada pepohonan, mengalunkan musik alam, krisik dedaunan dalam melodi. Kucoba pejamkan mata, tetapi tak bisa.

Jarum jam sudah menunjukkan 1.40 AM. Ohh… hampir satu jam mataku terpejam. Jiwa terjaga. Terbang ke kampung halaman. Mengingat masa-masa kecil. Bernostalgia dengan teman-teman. Menyepet ikat di penghujung minggu. Menggetah burung. Bermain motor-motoran dengan asap debu dimasukkan ke celana. Namun hal yang lebih mengesankan, pagi ke sekolah, sore ke madrasah, mencari kambing menjelang maghrib, dan mengaji antara Magrib dan Isa. Rutinitas. Terkadang menjemukan. Jika membandel, pecutan sebilah rotan, berlabuh ke telapak tangan. Pedih. Pinta ampun.

Sekelumit cerita tentang anak kampung. Anak seorang petani yang hidup pas-pasan. Tetapi, dalam soal pendidikan, meskipun ayahnya cuma tamat SMP dan ibunya tidak tamat SD, mereka berpandangan ke depan. “Nak, jika hidupmu ingin berubah, sekolah  yang benar. Jangan seperti kami”, nasehat yang sering disenandungkan.

Hidup mereka tidak berlebih, malahan terkadang berhutang, yang penting anak-anaknya sekolah. Anak-anaknya juga tahu, bagaimana keadaan dan penderitaan ayah mereka. Terkadang dicemoohkan. “Hidup pas-pasan, masih juga menyekolahkan anak, tidak akan sampai”, kata orang.

Hari ini, pencemooh, menggigit jari. Ramalan mereka salah. Bahkan tak tahu malu, sebahagian malah meminta menjadi menantu. Memang begitu, sunnatullah, emas bila mulai terlihat, tanpa diundang pendulang kan datang.

Dalam hitungan matematika duniawi, mereka ada benarnya. Tapi mereka lupa, ini persoalan tauhidi. Imām al-Shāfiʿī, hidup dalam kemiskinan, tapi dia menjadi Imām. Sederet lagi kisah mereka yang berhasil di atas kemiskinan. Tapi di sini, bukan tempat menghikayahkan.

Aku hanya menghikayahkan perjuangan seorang bapak, tujuh tahun sudah dia tiada. Anaknya yang pertama menyelesaikan pendidikan S1-nya dalam bidang Ekonomi. Anaknya yang kedua menyelesaikan pendidikan S1-nya dalam bidang pendidikan. Setelah kepergiannya, anaknya yang ketiga menyelesaikan pendidikannya S1-nya dalam bidang Syari’ah; dan atas izin Allah pula menunggu ujian akhir Tesis S2-nya dalam bidang Pemikiran dan Filsafat Islam. Anaknya yang keempat, setelah menyelesaikan pendidikan Aliyahnya di Pondok Pesantren, sekarang berada di semester lima dalam bidang Bahasa Inggris. Terakhir, anaknya yang terkecil, kelas enam SD dan meminta masuk Pondok Pesantren.

Selesai SMP, ayah mengirimku ke Jambi. MAKN, jenjang pendidikan selanjutnya. Dua orang kakakku, juga di Jambi. Kuliah. Setiap bulan setidaknya 1 juta untuk kami bertiga. Tanggungan yang besar bagi ayah. Namun, amat tidak mencukupi untuk kami. Bertahun-tahun seperti itu. Tapi beliau tidak mengeluh. Meskipun, di kampung, aku tahu terkadang beliau dan ibu berlaukkan cabe giling.

Menutupi kekurangan, kakakku tertua kuliah sambil bekerja. Sementara aku, di asrama. Hanya menerima dan bersyukur apa yang ada. Setiap bulan keperluanku Rp. 250.000.  Manakala teman-temanku ada yang 500.000-1.000.000/bulan. Iri? Terkadang iya. Namun apa nak dikata. Hanya mengulum jari. Setelah beranjak dewasa, baru kutahu, apa itu perjuangan. Banyaknya uang jajan, bukan jaminan. Malah, itu bisa melengahkan. Tanpa bantuan orang tua, juga bisa bersekolah. Asalkan ada keyakinan.

Tidak bermaksud memuji diri, tapi seluruh keadaan itu, tidak melemahkan cita. Al-Azhar, ya… cita-cita selanjutnya. Namun, hamba hanya bercita, Tuhan jua yang menentukan. Semua telah tercatat di Lauḥ al-MaḥfūẓNya. Takdir mengantarkanku pada IAIN Jambi.

Di sini, cerita baru bermula. Untuk kuliah, aku mesti pulang kampung, menyadap karet. Lama juga. Hasilnya, untuk ongkos ke Jambi dan mendaftar ke IAIN. Pembayaran-pembayaran itu, hasil keringatku.

Tak sampai di situ, ujian yang lain pun datang kembali. Baru menjejakkan kaki di Kampus Biru, bulan Ramadan tepatnya, “ Edi, ayah sudah tiada!”, telefon dari Kampung. Beliau yang kucinta dipanggil kehadirat yang Maha Kuasa. Sesaklah dada. Tetapi apa nak dikata. Kullu nafs dhāiqatu l-mawt. Anda, saya, dan kita semua, pasti kan mati jua.

Kini, ada dua pilihan. Kuliah dengan mandiri, atau pulang kampung. Aku memilih yang pertama. Al-Ḥamdulillāh - puji dan syukur hanya kepadanya, Tuhan sarwa alam dengan al-AsmāʾNya, al-ʿAlīm dan al-Ḥakīm, telah mencurahkan sifat al-RaḥmānNya berupa cahaya ilmu kepada setiap makhlukNya - tanpa beliau, aku sarjana.

Tidak mudah. Pasti. Berbekalkan ilmu yang ada, aku tinggal di Masjid. Lapar menjadi sahabat. Satu minggu tidak punya beras, hal biasa. Aku tidak menyerah. Pucuk ubi dan buah pepaya muda, cukup mengganjal perut. Andi, Yusuf, Sarnubi, dan Habibi, bersama mereka, aku melalui ini. Cerita lah menjadi kenangan. Bila diingat, meneteslah air mata. Hari ini, mereka adalah orang luar biasa. Andi melanjutkan S2, tanpa “uang”. Yusuf, di ansuransi Takaful, dan ada tanda-tanda menjadi orang kaya. Sarnubi, guru. Habibi, banker.

Aku merasa tidak cukup dengan bangku kuliah. Lalu mencoba masuk organisasi. Ternyata aku menjiwai. Posisiku selalu di tempat strategis. Terakhir, aku menjabat ketua sebuah organisasi Kampus. Dari sini aku mulai berkembang. Mulai kenal dengan pejabat dan orang-orang penting. Mulai tahu manajemen organisasi.

Kembali ke cerita. Tak terasa kuliahpun selesai. Semangat untuk kuliah tidak memudar. Tujuan selanjutnya ialah: ISTAC, IIUM, IIUP, UIN Jakarta, dan terakhir sekali almamater lama, IAIN Jambi. Dua tahun kemudian, Tuhan pun mengantarkankku ke CASIS – UTM, “ISTAC” lah juga.

Di sini babak baru kedua bermula. Mau daftar ke UTM aku tidak punya uang. Mau beli tiket tidak punya uang. Tapi, Dia dan sifat al-RaḥmānNya, memudahkan itu semua.

Kusampaikan kepada kakakku tertua dalam linangan air mata, “hatiku telah mantap untuk sekolah lagi. Apapun keadaan yang dihadapi, kan kuhadapi. Kerja bangunan sekalipun, tidak masalah, aku lah menempah diri”.

Aku berangkat ke KL dengan uang bersih di tangan 3 juta kala itu. Si I aku tanya, bawa uang berapa? 7 juta. Sementara si M, 100….. hehehe (bayangkan sendiri). Kedatangan kami KL sebagai kelanjutan daripada kerja IAIN – CASIS. Lebih tepatnya, wakil IAIN. Malangnya, dikatakan wakil, tapi... ah… maklumlah. Kita tahu sendiri. Pejabat kampus diributkan dengan carut marut politik kampus berbanding mencetak generasi. Kampus, terkadang layaknya TK. Prof. dan Dr. TK?

Pagi itu, sebelum berangkat, kami bertiga dipanggil dan menghadap Rektor. Pelbagai nasehat diberikan. Kami kira, sebagai wakil resmi kampus, ada basa-basi, nih untuk tambahan ongkos seadanya. Bukan berharap, tapi ini persoalan harga diri. CASIS dengan niat lillah, berani menjanjikan uang semester selama tiga semester. Sementara kita… ah…. Lagi-lagi maklumlah! TK? Teringat kisah ini, muncul rasa muak untuk pulang. Tapi, bisikan nurani dan demi pengabdian untuk bangsa, suatu saat kan pulang jua.

Pengalaman itu mengajarkanku bersandar kepadaNya. Beberapa bulan kemudian, beasiswa PEMDA Jambi dibuka. Aku mendaftar. Seorang teman menawarkan kabel yang dia miliki, dengan lembut aku tolak. Bagiku keberkahan ilmu jauh lebih penting daripada uang berpuluhan juta. Dia, dengan sifat al-ḥayyNya, tidak tidur dan alpa dari niat dan usaha hambaNya, murni, aku lulus. Dia, yang menawarkanku, tidak lulus. ʿAsā an tuḥibbū shayʾā fahuwa sarru l-lakum, wa ʿasā an tukrihū shayʾā fahuwa khayru l-lakum. Boleh jadi engkap mencintai sesuatu, namun ia buruk untukmu. Boleh jadi pula engkau membenci sesuatu, namun itu baik untukmu.

Hari dalam hitungan jam. Jam dalam hitungan menit. Menit dalam hitungan detik. Waktu bergulir. Biaya hidup di KL dan enam semester yang harus dilalui, beasiswa itu sangat tidak mencukupi. Dua semester terakhir, aku berhutang kepada UTM hampir RM. 12.000. Dalam hitungan matematika dunia, tidak terbayar. Hampir Rp. 40.000.000 kalau uang kita. Namun ini wilayah tauhidi. Semuanya mungkin dengan kalimah mustajabnyaNya, kun.

Ringkas cerita, sedikit demi sedikit, hutang itu berkurang tanpa “uang”. Terakhir, tinggal RM. 8000. Di sini, keajaiban Dia yang al-ḥayy (Maha Hidup) dan al-razzāq (Maha Memberi Rezeki) berlaku. Hari itu, dua minggu sebelum batas akhir tesis disubmit, aku menghadap pembimbing meminta izin untuk perpanjangan semester. Dia bertanya: “kenapa?”. Aku diam. Sampai empat kali beliau bertanya demikian dengan suara semakin meninggi. Lalu aku jelaskan. Beliau tidak sepakat. Namun, tanpa aku sangka, beliau memberikan jalan. Dibayar dengan tabung zakat. Lagi-lagi tanpa “uang”, alhamdulillah ‘ala kulli hal. Aku tidak meminta. Tetapi karena raḥmānNya lah menggarakkan hati hati hambaNya untuk membantu. Tesis sudah disubmit dan menunggu viva.

Ternyata, tali, apabila terlalu kencang, tanda kan putus. Panas, apabila terlalu lama, tanda kan datang hujan. Kesempitan hidup, apabila dihadapi dengan sabar dan doa, petanda kemudahan kan datang. Fa Inna Maʿa l-ʿUsri Yusrā, Inna Maʿa l-ʿUsri Yusrā. Sanya bersama kesulitan kan ada kemudahan, sungguh bersama kesulihatan kan ada kemudahan.

InsyaAllah, selanjutnya, S3, juga “tanpa” uang.  CASIS - UTM, SOAS – University of London, Chicago University, atau McGill University? Wallahū aʿlām, kita lihatlah nanti.

Rabu, 08 Juli 2015

Lampu Merah Pertama

Hahahahaaa......... sakitnya tu di sini (ketika baca dapat email ini). Bukan karena isi emailnya, tapi something behind it..:-D gimana gue mau submit kalo... dan kalo.... Eitzz... kalonya bukan karena gue gak sanggup menyelesaikan tesis gue ya - alhamdulillah draft pertama udah selesai - tapi.... hahahahaa.... semoga Allah mudah jalan.. Aminnn.... (doa yg serring dilafalkan sehabis lima waktu)

Oke brooo sebelum tanggal tersebut tesis akan saya submit..;-)
___________________________

Dear students,
Based on our system, you are in the final semester of your studies. We would like to remind you that you must submit your thesis this semester.

Please take note that failure to submit the thesis the latest by 3/9/2015 will result in your record as a student of Universiti Teknologi Malaysia be terminated and you will not be awarded the degree.

Thank you.

Best regards,

NOR DIYANA ZAKARIYA,
School of Graduate Studies (Postgraduate)
Universiti Teknologi Malaysia
81310 Skudai, Johor

Phone : 07-5537827
Fax : 07-5537592
Website: www.sps.utm.my

Senin, 04 Mei 2015

Genap Sepuluh

Aku berada dalam posisi memilih, disuruh menarik dan mengambil – setelah kembangkan jari dan hitung 1, 2, 3, 4, dst ternyata -  satu dari 10. Kok bisa? Akupun tak habis fikir, karena sesuatu yang tak kusangka dan tak kuduga, siapalah aku! Namun ini memang fakta.

Ku hikayatkan sebuah cerita, berawal dari dua bulan lalu, mungkin lebih kurang itulah estimasi waktu, hitungannya berawal satu. Datang lagi, hitungannya dua. Datang lagi, hitungan tiga, dan begitu seterusnya. Namun ku katakan, aku bukanlah penggombal kata, apatah lagi berlagak seperti anak SMA. Aku jaga diriku untuk jauh dari itu.

Tiga minggu lalu aku pulang kampung, ternyata aku jadi berita. Aku ini bukan artis bukan idola, apalagi nak mengalahkan pamor Ariel, sungguh aku pun tak faham mengapa. Orang tua atau orang yang diwakilkan datang silih berganti. Alamakk…. Apa nak ku kata.

Dari kampung aku pulang ke Jambi. Ternyata aku juga ditawarkan rezeki. Makkk…. Apa nak ku kata.

Satu minggu yang lalu, embun putih mengirimkan wakil dan bertanya. Kira-kira elang sudah siap belum untuk menerkam. Mak apa nak ku kata.

Beberapa hari yang lalu, empun putih pun ada yang mengisytiharkan diri, tanpa utusan, melainkan empun itu sendiri dengan membawa mikrofon, mengumumkan dan mengata. Lagi2… mak… apa nak ku kata.

Ku angkat jari dan mulai menghitung, ohh ternyata genap sepuluh.
Ohh demi Allāh, aku benar-benar takut riyak dan takabbur datang melanda.
Ya udah deh, kabur saja. Daaaa…….

Sabtu, 02 Mei 2015

Duʿā for Istikhārah



\


My translation: “O Allāh, I seek Your guidance [in making a choice] by virtue of Your knowledge, and I seek ability by virtue of Your power, and I ask You of Your great bounty, because You have power, while I do not; You know [everything], while I do not; and [because also] You are the Knower of hidden things.


O Allāh, if in Your knowledge, this matter …….. is good for me both in this world and in the hereafter (meaning: in my religion, my livelihood and my affairs), then ordain it for me, make it easy for me, and bless it for me. And if in Your knowledge it is bad for me and for my religion, my livelihood and my affairs (for me both in this world and the next), then turn me away from it, [and turn it away from me], and ordain for me the good wherever it may be and make me pleased with it.”

Kamis, 19 Februari 2015

Al-Qur'an Edisi Kritis

Oleh Adnin Armas

Setelah mengungkapkan problema sejarah Al-Qur'an, Jeffery ingin mengedit Al-Qur'an. Dalam pandangannya, Al­Qur'an memiliki banyak kelemahan. Ia ingin menyusun se­buah Al-Qur'an dengan bentuk yang baru. Al-Qur'an dengan bentuk yang baru inilah Al-Qur'an edisi kritis (a critical edition of the Qur'an).

Dalam pikiran Jeffery, format Al-Qur'an edisi kritis ter­sebut memiliki empat jilid. Jilid pertama, mencetak teks Hafs yang diklaim sebagai textus receptus. Teks tersebut akan dire­konstruksi menurut sumber-sumber terlama, yang berkaitan dengan tradisi Hafs. Teks tersebut akan dicetak menurut nomor ayat Flugel. Referensi yang relevan akan dicantumkan di pinggir halaman tersebut beserta apparatus criticus pada catatan kaki setiap halaman. Segala varian bacaan dari buku­buku tafsir, kamus, hadith, teologis, filologis, dan bahkan dari buku-buku Adab, akan dihimpun. Setelah itu, diberi berbagai simbol, yang menunjukkan nama para Qurra' yang dikutip untuk setiap varian. Ini akan menunjukkan apakah para Qurra' yang dikutip lebih dahulu atau lebih belakangan dibanding dengan qira'ah sab'ah. Sekalipun, apparatus criticus tidak dapat diharapkan akan sempurna karena terlalu berseraknya varian bacaan, namun semua sumber-sumber yang lebih pen­ting yang tersedia akan dimanfaatkan. Jilid kedua akan diisi dengan pengenalan (introduction), untuk para pembaca ba­hasa Inggris. Edisi ini dalam bahasa Jerman sudah tersedia dalam edisi kedua karya Noldeke Geschichte des Qorans. Jilid ketiga akan dilengkapi dengan anotasi-anotasi, yang pada

dasarnya merupakan komentar terhadap apparatus criticus. Berbagai varian bacaan tersebut perlu dijelaskan lebih men­dalam. Penjelasan tersebut mencakup asal-mula, derivasi dan pentingnya qira'ah. Ini akan bermanfaat jika terjadi perdebat­an mengenai sebuah bacaan. Para sarjana akan mendapat informasi tambahan sehingga mereka bisa menilai. Jilid keempat, berisi kamus Al-Qur'an. 112 Jeffery membayangkan Kamus Al-Qur'an tersebut seperti Kamus Grimm-Thayer atau Kamus Perjanjian Baru Milligan-Moulton. Kamus yang be­lum pernah dibuat oleh para mufasir Muslim, Kamus Al­Qur'an tersebut akan memuat makna asal dari kosa-kata di dalam Al-Qur'an.113

Selain dari empat jilid tersebut, Jeffery juga mendambakan untuk mengeluarkan serial Studi Sejarah Teks Al-Qur'an (Studien zur Geschicte des Koran-texts), sebagaimana yang telah digagas oleh Bergstrasser. Berbagai karya, termasuk karya yang sudah diedit oleh Bergstrasser sendiri, yaitu karya Ibn Jinni;114 karya Ibn Khawalayh;115 manuskrip-manuskrip Ibn Abi Da'ud;116 al-'Ukbari; al-Mabani;117 lbn al-Anbari tentang Waqf wa Ibtida' dan yang lain, harus,diterbitkan. 118 Pencarian intensif juga perlu giat dilaksanakan untuk mencari qira'ah yang hilang, di samping menerbitkan mushaf-mushaf Kufi.119 Jadi, akhir dari penerapan metodologi Bibel dalam studi AI-Qur'an adalah mengkritisi dan mengedit Mushaf 'Uth­mani. Padahal, status teks Bibel dan Al-Qur'an tidaklah sama. Menggunakan metodologi Bibel yang sekular ke dalam studi Al-Qur'an akan mengabaikan sakralitas Al-Qur'an. Kalangan Kristen mengakui Bibel sebagai karangan manusia sedangkan Al-Qur'an diturunkan dari Allah dan bukan karangan Muhammad. Allah swt. berfirman yang artinya: "Yang tidak datang kepadanya (AI-Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijak­sana lagi Maha Terpuji."120 Metodologi Bibel sarat dengan se­jumlah permasalahan mendasar di dalam Bibel yang memang mustahil untuk diselesaikan. Oleh sebab itu, metodologi Bibel akan berakhir dengan kesimpulan mengedit Bibel secara kri­tis. Bagaimanapun, pengalaman tersebut tidak sepatutnya di­terapkan oleh sarjana Muslim.121

Selain itu, sejak zaman para Sahabat hingga kini menye­pakati Al-Qur'an Mushaf `Uthmani. Abu `Ubayd (m. 224 H), seorang yang termasuk paling awal menulis mengenai qira'ah menyatakan: "Kita menilai seseorang itu kafir bagi siapa saja yang menolak apa yang ada diantara dua sampul khususnya, dan itu telah tetap di dalam (mushaf) Imam, yang ditulis oleh `Uthman dengan persetujuan Muhajirin dan Ansar, dan menggugurkan apa selainnya, kemudian ummat menyepakatinya, tidak ada perbedaannya di dalamnya, yang bodoh di kalangan ummat mengetahuinya sebagaimana yang pintar di kalangan mereka, berabad-abad mewariskannya, anak-anak mempelajarinya di sekolah, dan ini merupakan salah satu tindakan 'Uthman yang mulia, dan sebagian di kalangan yang menyimpang (ahl zaygb) mencelanya, kemudian bagi manusia ke­sesatan mereka menjadi jelas mengenai hal tersebut."122

NOTE
 
112. Arthur Jeffery, Progress, 143.
113.  Ibid., 5.
114.  Lihat G. Bergstrauer, Nichtkanonische Koranlesarten irn Muhtasab des Ginnl (Munich: Sitzungsberichte der Bayerischen Akademie der Wissenchaften, 1933).
115. Ibn Khalawayh, Abu 'Abdillah al-Husayn ibn Ahmad, al-Mukhtasar t7 Shawadhdh al-Qira'at, editor G. Bergstraver (Kairo: 1934).
116. Arthur Jeffery telah mengedit manuskrip karya Ibn Abi Da'ud, Kitab al­ Masahif pada tahun 1937.
117. Arthur Jeffery telah mengedit manuskrip Mabani pada tahun 1954.
118. G. Bergstrauer mengedit juga karya Ibn al-Jazari, Ghayat al-Nihayah fi Tabaqat al-Qurra', 3 jilid (Istanbul: 1355/1916).
119.  Arthur Jeffery, Progress, 144.
120. Surah Fussilat (41: 42); lihatjuga al-Shu`ara' (26: 192); al-Sajdah (32: 2);
al-Zumar (39: I ); al-Mu'min (40: 2); Fussilat (41: 2); al-Jathiyah (45: 2); al-Ahqaf (46: 20) al-Waqi'ah (56: 80); al-Haqqah (69: 43).
121. Taufik Adnan Amal, seorang dosen 'Ulum AI-Qur'an di IAIN Alaudin Ujung Pandang ingin mengedit Mushaf 'Uthmani. Ia menyatakan: "Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan AI-Qur'an sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortograti teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan permasalahan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis AI-Qur'an." Lihat Taufik Adnan Amal, "AI-Qur'an Edisi Kritis," 78, dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: TUK, 2002).
12
2. Abu 'Ubayd menyatakan: "...wa nahkum bi al-kufr `ala al jahid li hadha alladhi bayna al-lawhayn khassah, wa huwa ma thabata fi al-imam alladhi nasakhahu `Uthman bi ijma' min al-muhajlrin wa al-ansar, wa isqatlim5siwahu thumma at baqat 'alayhi al-urnmah, falam yakhtalif fi shay'in rninhu ya 'rifirhu jahiluhum kama ya 'rifu 'allimuhum, wa tawarathahu al-qurun baduha 'an ba'din, wayata'alamuhum al­ wildan fi al-maktab, wa kanat hadhihi ihday manaqib 'Uthman al-`izam, wa qad kana ba `d ahl al-zaygh ta 'ana fihi, thumma tabayyana linnasi dal5luhum fi dhalika. " Lihat Abu 'Ubayd al-Qasim Ibn Sallam, Fada'il AI-Qur'an, 193-94.


Jumat, 06 Februari 2015

Khalaqa

Khalaqa
Oleh Edi Kurniawan

Hamba yang sadar, mencari kepada siapa sepatutnya ia mencinta guna kelangsungan hidupnya: Aisyah, Fatimah, Zahrah, atau Zulaikha?
Lalu hamba yang sadar berfikir sedalam-dalamnya tentang wujud dan kewujudan diri. Bernatijahlah hamba, adanya hamba bukan karena diadakan oleh dan diri hamba; bukan pula diniatkan dan dititahkan oleh dan diri hamba; dan bukan pula dirancang oleh dan diri hamba. Hamba tiada kuasa, apatah lagi memiliki mukjizat Nabiyyullāh ʿIsā ʿAlayhi ʾl-Salām!
Hamba pun sadar dalam mengartikan tujuan melangsungkan hidup sepatutnya mengetahui, bahwa di dalamnya ada Pemberi kewujudan, dan ada Pemberi hidup padanya, oleh dan siapa yang menjadikan, dan oleh siapa yang menahan dan meniadakan.
Tuhan pun berkata:
“Sesungguhnya telah datang kepada manusia suatu ketika dimana ia belum sedikitpun ada. Kemudian Kami jadikan manusia itu dari setetes air yang bercampur, supaya Kami menguji dia; lalu Kami jadikan dia mendengar lagi melihat. Sesungguhnya Kami menunjuki ke arah jalan ke benaran, maka ada yang berterimakasih di antara mereka dan ada pula yang ingkar.”
Hamba dengan sadar merenungkan ini, menatijahlah bahwa hamba sepatutnya mendekapkan buah cinta kepada pemilik cinta.

Hai… bukan Aisyah bukan Fatimah dan bukan pula Zahrah atau Zulaikha!


Kuala Lumpur, 5 Februari 2015

Minggu, 18 Januari 2015

Semakin Bodoh Orang Semakin Religius ?

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Pada tahun ini saya berkesempatan mengunjungi kembali beberapa negara Eropah.  Banyak fakta yang menarik untuk dibagi bersama. Diantara yang menarik adalah ketika saya berkunjung ke Inggeris, Maret 2010. Di Nottingham saya dapat cerita bahwa sebuah penelitian di Universitas Nottingham menemukan korelasi bahwa semakin bodoh seseorang  itu ia semakin religius dan sebaliknya semakin sekuler dan bahkan atheist ia semakin cerdas. Saya tidak baca hasil riset itu. Tapi setahu saya, menurut hasil riset W.Cantwell Smith definisi religion di Barat itu masalah, dan otomatis arti “religiusitas” pun begitu. Makna cerdas pun juga masalah. Sebab kini berkembang istilah kecerdasan spiritual. Jadi desain penelitian tersebut nampaknya perlu dipersoalkan. 

Benarkah masyarakat Barat sekuler sekarang ini cerdas. Perlu dikaji lebih lanjut. Jika maksudnya adalah kecerdasan intelektual itupun masih perlu ujian lebih mendalam. Sebab kecerdasan itu bukan karena pandangan hidup sekulernya, mungkin faktor lain. Jika maksudnya adalah kecerdasan spiritual, jelas sekali tidak benar. 

Buktinya di Manchester, sinagog yang telah menjadi Museum, dan gereja yang telah menjadi Masjid. Di Birmingham, masjid Mu’az adalah bekas gereja dan seminari. Beberapa gereja di daerah Aston, Birmingham sudah menjadi sarang burung dara. Jumlah jemaat gereja kalah banyak dibanding “jama’ah” yang antri  masuk bar. Gereja sudah tidak lagi dikunjungi banyak orang. Di sana tidak ke gereja berarti tidak religius lagi. Mungkin karena sudah putus asa, di Manchester terdapat nama gereja “A Church for those who don’t like to go to church”.  Itulah  arti pernyataan “spirituality has gone to the east”. Persis seperti kata Prof.David Thomas, dosen teologi di universitas Birmingham Barat itu maju tanpa agama. Artinya semakin sekuler, semakin rendah spiritualitasnya. Mungkin itu sebabnya mengapa di Barat training kecerdasan spiritual menjamur. Jadi riset diatas tidak reliable. Apalagi menurut Islam spiritualitas dan intelektualitas itu hampir tidak beda.  

Benarkah jalan sekuler adalah pilihan cerdas dan solusi segala masalah. Ternyata tidak. Menyingkirkan agama dari publik malah bermasalah. Di Perancis, Jerman, Swiss dan beberapa negara Eropah yang anti agama, pemerintahnya mulai mengurusi agama. Di Inggeris pemerintah terpaksa membolehkan Muslim buka mahkamah syariah. Kini di Amerika malah muncul idea de-privatization of religion, artinya agama tidak lagi bersifat privat. Harvey Cox, yang pernah menjual idea sekularisasi agama-agama, akhirnya mengoreksi idenya itu. Ia lalu menulis makalah berjudul Reconsidering Secularism. Barat kini seperti dalam kebingungan.  

Menjadi sekuler ternyata juga tidak membuat orang bijak berstari. Bulan lalu saya menyampaikan public lecture di Universitas Wienna, Austria. Temanya tentang moderasi dan toleransi. Seorang peserta bertanya, mengapa di Indonesia orang bisa lebih toleran tapi disini dan negara Eropah tidak. Jawab saya, Barat itu terlalu sekuler dan bahkan terlalu kaku, sehingga tidak toleran pada agama. Di Indonesia agama bisa muncul di ruang publik. Ceramah agama-agama bisa muncul di TV. Tabligh akbar, Natalan atau peringatan hari keagamaan bisa diadakan diruang publik. Sesuatu yang mustahil terjadi di Barat. Ini bukti lain bahwa menjadi sekuler itu tidak membuat orang arif dan toleran. Sekuler malah bisa berarti ekslusif.

Tapi anehnya, yang kini dituduh ekslusif adalah sikap keberagamaan. Itupun berdasarkan analisa abad ke 16 dan 17, disaat mana sekte-sekte agama di Eropah waktu itu sering konflik. Sekte-sekte, atau agama-agama itu punya tuhannya sendiri-sendiri (teori geosentris) dan saling menyalahkan. Konflik bermuara pada pembunuhan. Andrew Sullivan di The New York Times Magazine menggambarkan bahwa gara-gara perang salib, inquisisi dan perang agama Eropah abad 16 dan 17 berlumuran darah.  Bahkan lebih banyak dibanding di dunia Islam. 

Tapi anehnya situasi itu dianggap terus terjadi hingga sekarang. Yang jadi sample adalah peristiwa 11/9 yang sejatinya penuh misteri itu.  Padahal konflik agama selama ini, jikapun ada,  tidak sebesar konflik politik. Tidak sebesar perang teluk dan invasi AS ke Irak dan Afghanistan. Jumlah yang mati sia-sia pun lebih banyak konflik politik. Tidak puas dengan sample peristiwa Jack Nelson-Pallmeyer, merujuk kepada kitab suci. Ia lalu menulis buku “Is Religion Killing Us? Evidence in the Bible and the Qur’an”.  Intinya, kedua kitab ini memerintahkan pembunuhan. 

Tapi konflik antar agama bukan satu-satunya alasan. Konflik yang sebenarnya justru antara agama dan sekularisme. Peter Berger terus terang, sekularisme gagal dan diganti dengan pluralisme. Sikap ekslusif itu diganti menjadi sikap inklusif dan pluralis. Secara teologis agama yang banyak itu, oleh John Hick, diteorikan menjadi bertuhan sama. Teologi agama-agama itu diperkirakan nantinya akan bersatu. Itulah teori global theology John Hick. Anehnya teori yang bermasalah ini ada pengikutnya, termasuk di Indonesia. 

Di Leed, saya melewati sebuah gereja.  Di depan gereja itu tertulis, “all race, all nation, all religion but one god”. Saya lalu segera menyimpulkan ini pasti penganut paham global theology.  Dalam perjalanan saya dari Leed ke London saya kebetulan duduk berdampingan dengan seorang pendeta berkulit hitam.  Saya lalu bertanya tentang tulisan gereja di Leed itu. Ternyata bagi dia itu benar. 

Ketika saya berkunjung ke Centre of Islam-Christian Relation, di Selly Oak College, Birmingham, disitu terpasang gambar Jesus tapi kepalanya seperti gambar dewa Wishnu dalam agama Hindu. Itu simbul pluralisme dan kesamaan Tuhan agama-agama. 

Di Universitas Salzburg, setelah kuliah umum saya sempat diskusi dengan dosen systematic theology Professor Hans Joachim Sander. Saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa teori pluralisme John Hick itu tidak populer. Dan dalam Kristen idenya itu dianggap sudah usang.  Pluralisme teologi itu, katanya adalah proyek Amerika. Bahkan dia terus terang “liberalisme itu omong kosong”. Ia juga sepakat ketika saya katakan bahwa semua agama sekarang ini sedang dipinggirkan dan bahkan ditindas. Alatnya adalah pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama.  Lucunya, menindas agama tapi masih mencari jalan spiritualitas.  Artinya menjadi sekuler atau liberal bukan pilihan cerdas tapi membingungkan diri sendiri dan orang lain. Begitulah nestapa masyarakat yang telah kehilangan misykat. Wallahu a’lam.


Minggu, 11 Januari 2015

KRISTEN MASUK INDONESIA ABAD VII ?


Bebebrapa penulis Kristen seperti Dr. Huub J.W.M. Boelaars dan Jan Baker, SJ menyimpulkan bahwa agama Kristen telah sampai di Indonesia pada abad ke Tujuh Masehi. Namun, kesimpulan ini seakan-akan dimentahkan oleh tokoh Kristen sendiri, Adolf Heuken SJ, dosen Cipta Loka Caraka Foundation, Jakarta, Indonesia. Adolf mengatakan: Some Indonesian writers took the conclusion that the fi rst Christians had arrived in the seventh century and established a community in Northern Sumatra. As we have seen above this opinion can not be based on solid facts for the seventh until the ninth centuries. (Lihat, Christianity In Pre-Colonial Indonesia”, dalam A History of Christianity in Indonesia ed. Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink (Leiden Boston: Brill, 2008), hlm. 6)
Kemudian dia menambahkan dalam catatan kaki sebagai berikut:
In the fi rst chapter of the fi ve volume history of Catholicism in Indonesia, published in Indonesian in the early 1970s, the Jesuit Jan Bakker wrote the chapter on the pre-colonial period. Bakker identifi ed in the text of Abu Salih al-Armini Fahsur with the place Fansur or modern Baros in Sumatra and took for granted that the various churches of that place were a sign of a Christian community, already in existence in the middle of the seventh century or about 650 CE. Th is latter fact was an amplifi cation of the reference to Christians in Kalah, in a letter by Iso’yabh III, Nestorian Metropolitan of Erbil and Mosul. (Muskens 1972-I:27–36; cf. R. Duval 1905:182).(ibid)
        Dua kesimpulan yang berbeda ini, awalnya, saya ingin meneliti lebih lanjut dan membuat sebuah artikel tentangnya. Sebab, data-data yang didapat dari kesimpulan para tokoh Kristen bahwa Kristen telah sampai di Nusantara pada ke-Tujuh akan bermuara pada keterangan Abu Shalih al-Armini, lalu, timbullah keinginan besar untuk meneliti buku ini: benarkah demikian? Namun, ketika saya sudah mulai mengumpulkan bahan-bahan tentang ini, ternyata saudara Susiyanto telah menulis permasalahan ini di Hidayatullah. Niat pun diurung, dan terimakasih kepada saudara Susiyanto.

Berikut tulisan Susiyanto: