Minggu, 31 Juli 2011

Marhaban Yâ Ramadhân



Pada bulan ini kita dihadapkan kembali dengan tamu agung, yaitu bulan yang mulia yang penuh ampunan di dalamya serta pernghulu segala bulan. Bulan yang diturunkannya al-Qur’an di dalamnya. Bulan yang di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan atau dikenal juga dengan malam lailatul qadr. Bulan yang amal ibadah dilipat gandakan pahalanya. Bulan yang segala syaitan dan iblis dibelenggu dan Allah juga membuka pintu syurga dan menutup pintu neraka. Bulan yang dirindu-rindukan oleh oleh orang-orang yang beriman akan kedatangannya. Dalam bahasa al-Qur’an (Q. S. al-Baqarah: 183), tamu agung itu disebut disebut dengan syahru ramadhân atau bulan Ramadhan.
Kata ramadhân berasal dari kata dasar ‘ramadha’, yang bararti ‘panas’ atau ‘panas yang menyengat’. Kata ini berkembang sehingga artinya membawa maksud ‘menjadi panas atau sangat panas’, atau diartikan juga sebagai ‘hampir membakar’. Oleh karena itu makna ramadhân bisa diringkaskan sebagai waktu atau keadaan di mana seseorang merasa panas, mulut terasa kering dan tekak terasa haus disebabkan sedang berpuasa.
Pada bulan ini umat Islam diwajibkan berpuasa dengan tujuan, ‘la’allakum tattakun’, agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa (Q. S. al-Baqarah: 183). Jadi jelas, tujuan dari berpuasa adalah menciptakan insan-insan yang bertakwa. Ketakwaan merupakan tingkat tertinggi di sisi Allah swt. Tidak ada yang membedakan antara hamba yang satu dengan hamba yang lainnya, kecuali ketakwaannya. Hal ini berlandaskan pada ayat yang berbunyi, ‘inna akramakum ‘inda Allâhi atqâkum’, artinya, sesungguhnya orang yang mulia di antara kamu adalah orang yang bertakwa.
Dalam sebuah hadis yang berbunyi: ‘man shâma ramadhânan îmânan wahtisâban ghufiralahû mâ taqaddama min zanbihî’, artinya, barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, niscaya Allah swt akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Barangkali berangkat dari pemahaman hadis ini, dalam tradisi masyarakat terutama masyarakat Melayu, dikenal berbagai macam acara dalam menyambut datangnya bulan yang mulia ini. Ada acara shadaqahan, pawai akbar, pawai akbar dengan kobaran obor yang disertai shalawatan pada malam hari, dan berbagai bentuk lainnya yang telah mengakar dan membudaya serta hidup di tengah masyarakat yang bersumber dari ekspresi hadis tersebut.
Bahkan dalam beberapa daerah di tanah air telah merumuskan Perda tentang pelarangan tempat hiburan untuk beroperasi selama bulan ramadhan berlangsung, seperti di daerah DKI Jakarta, dll. Begitupun untuk daerah Kabupaten Kota di Provinsi Jambi, pemerintah yang diwakili Satpol PP, Polisi, Abri, dan bahkan beberapa kepada daerah pun turut turun dalam penertiban tempat-tempat hiburan seperti warung remang-remang, kafe-kafe, serta bar-bar. Serta dalam skala isu Nasional, perwakilan dari tokoh-tokoh agama yang resmi di Indonesia berkumpul bersama menandatangi kesepakatan bersama untuk menghormati bulan ini.  
Rasulullah saw. sendiri, saking rindu dan berharapnya beliau untuk bertemu dengan bulan yang ini, pada bulan Rajab dan Sya’ban sering beliau melapalkan do’a: ‘Allâhumma bâriklanâ fî rajab wasya’bân wa balighnâ ramadhân’, artinya, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada bulan rajab dan sya’ban, dan pertemukanlah kami dengan bulan ramadhan’. Tercatat, berdsasarkan ijma’ ulama (konsensus) semasa hidupnya beliau melakukan puasa ramadhan sebanyak sembilan kali semenjak datangnya perintah untuk berpuasa ini pada tahun ke dua Hijriyyah.
Sebagai bentuk ekspresi diri kita dari hadis di atas, mari kita tunaikan puasa kita dengan penuh keimanan dan keikhlasan kepada Allah swt., niscaya Allah swt akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan tiada kata lain yang keluar dari lisan kita dalam menyambut tamu agung ini, melainkan ‘Marhaban Yâ Ramadhân’, ‘Selamat Datang Bulan Ramadhan’. Selamat menunaikan ibadah puasa!

Marhaban Yâ Ramadhân



Oleh: Edi Kurniawan    
Pada bulan ini kita dihadapkan kembali dengan tamu agung, yaitu bulan yang mulia yang penuh ampunan di dalamya serta pernghulu segala bulan. Bulan yang diturunkannya al-Qur’an di dalamnya. Bulan yang di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan atau dikenal juga dengan malam lailatul qadr. Bulan yang amal ibadah dilipat gandakan pahalanya. Bulan yang segala syaitan dan iblis dibelenggu dan Allah juga membuka pintu syurga dan menutup pintu neraka. Bulan yang dirindu-rindukan oleh oleh orang-orang yang beriman akan kedatangannya. Dalam bahasa al-Qur’an (Q. S. al-Baqarah: 183), tamu agung itu disebut disebut dengan syahru ramadhân atau bulan Ramadhan.
Kata ramadhân berasal dari kata dasar ‘ramadha’, yang bararti ‘panas’ atau ‘panas yang menyengat’. Kata ini berkembang sehingga artinya membawa maksud ‘menjadi panas atau sangat panas’, atau diartikan juga sebagai ‘hampir membakar’. Oleh karena itu makna ramadhân bisa diringkaskan sebagai waktu atau keadaan di mana seseorang merasa panas, mulut terasa kering dan tekak terasa haus disebabkan sedang berpuasa.
Sementara ash-shiyậm yang secara bahasa berarti ‘menahan’. Orang yang diam disebut dengan shậ’im, karena dia menahan diri dari perkataan.  Sementara menurut istilah atau menurut hukum syara’, ash-shiyậm berarti menahan diri dari hal-hal tertentu dengan suatu niat (ketika melakukannya) pada waktu yang telah ditentukan.
Jadi, Ash-Shiyậm Ar-Ramadhân atau ‘Puasa Ramadhan’ ialah menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa seperti makan dan minum atau hal-hal yang dapat mengurangi nilai puasa dari terbitnya pajar sampai terbenamnya matahari yang dilakukan pada bulan ramadhan dengan niat beribadah kepada Allah swt.
Namun yang perlu digarisbawahi bahwa berpuasa bukan hanya menahan diri untuk tidak makan dan minum yang disertai dengan niat dari terbitnya pajar sampai terbenamnya matahari. Akan tetapi puasa juga menahan diri dari hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasa. Betapa banyak orang-orang yang berpuasa akan tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Berpuasa, tapi lisan tidak dijaga dari perkataan yang mubazir. Berpuasa, tapi mata tidak dijaga dari hal-hal yang dilarang. Berpuasa, tapi tangan dan kaki digunakan untuk menzolimi saudara atau untuk kemaksiatan. 

Visi Tamu Agung
Jika merujuk pada surah al-Baqarah ayat 183 yang menjadi dasar kewajiban pelaksaannya, maka akan ditemukan bahwa tujuan berpuasa adalah la’alakum tattakun, agar kamu menjadi hamba Allah yang bertakwa. Hal ini berlandaskan pada ayat yang berbunyi, ‘inna akramakum ‘inda Allâhi atqâkum’, artinya, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang-orang yang bertakwa. Dan puasa inilah yang menjadi salah satu jalan menuju tercapainya hakikat ketakwaan kepada Allah swt. dan ketakwaan adalah salah satu bukti nyata akan kesungguhan seorang muslim di dalam menghayati ke-Islamannya.
Karena itulah ibadah ini disertai dengan pencabutan kesenangan material dan seseorang pasti akan mengalami kesulitan khususnya ketika di bawah terik panasnya matahari. Begitu pula pencabutan kesengan diri dari hal-hal yang dapat membatalkannya seperti berkumpulnya suami istri pada saat puasa, atau hal-hal yang dapat mengurangi nilainya seperti mengunjing, memfitnah, ghibah dan hal-hal tercela lainnya.
Dan karenanya pula untuk mendapat gelar tattakun atau hamba Allah yang bertakwa tersebut, seorang hamba yang benar-benar ingin mencapainya sudah barang tentu menghiasi diri dari akhlak yang mulia dan meningkatkan ibadahnya di bulan ini seperti tilawah al-Qur’an, menghidupkan qiyamullail, memenuhi lisan dengan zikir, shalat berjama’ah dan berbagai hal-hal terpuji lainnya dengan niat lillahi ta’ala.
Dengan demikianlah, wajarlah meraka yang benar-benar berpuasa akan keluar dari bulan ini menjadi hamba yang bertakwa. Bagi mereka yang setengah hati, maka gelar tattakun tersebut tidak akan tercapai.
Karena itulah Allah swt. menggunakan kata la’alla (Q. S: 2: 183) yang secara literalik diartikan “agar atau supaya” yang menurut ulama tafsir hasilnya bisa bertakwa dan bisa tidak. Tergantung apakah dilakukan dengan kesungguhan dengan mengharap keridhaan Allah swt, ataukah hanya seremonial belaka yang dilakukan dengan setengah hati.

Ekspresi Diri
Dalam sebuah hadis yang berbunyi: ‘man shâma ramadhânan îmânan wahtisâban ghufiralahû mâ taqaddama min zanbihî’, artinya, barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, niscaya Allah swt. akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Barangkali berangkat dari pemahaman hadis ini, dalam tradisi masyarakat terutama masyarakat Melayu, dikenal berbagai macam acara dalam menyambut datangnya bulan yang mulia ini. Ada acara shadaqahan, pawai akbar, pawai akbar dengan kobaran obor yang disertai shalawatan pada malam hari, dan berbagai bentuk lainnya yang telah mengakar dan membudaya serta hidup di tengah masyarakat yang bersumber dari ekspresi hadis tersebut.
Bahkan dalam beberapa daerah di tanah air telah merumuskan Perda tentang pelarangan tempat hiburan untuk beroperasi selama bulan ramadhan berlangsung, seperti di daerah DKI Jakarta, dll. Begitupun untuk daerah Kabupaten Kota di Provinsi Jambi, pemerintah yang diwakili Satpol PP, Polisi, Abri, dan bahkan beberapa kepada daerah pun turut turun dalam penertiban tempat-tempat hiburan seperti warung remang-remang, kafe-kafe, serta bar-bar. Serta dalam skala isu Nasional, perwakilan dari tokoh-tokoh agama yang resmi di Indonesia berkumpul bersama menandatangi kesepakatan bersama untuk menghormati bulan ini. 
Rasulullah saw. sendiri, saking rindu dan berharapnya beliau untuk bertemu dengan bulan yang ini, pada bulan Rajab dan Sya’ban sering beliau melapalkan do’a: ‘Allâhumma bâriklanâ fî rajab wasya’bân wa balighnâ ramadhân’, artinya, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada bulan rajab dan sya’ban, dan pertemukanlah kami dengan bulan ramadhan’. Tercatat, berdsasarkan ijma’ ulama (konsensus) semasa hidupnya beliau melakukan puasa ramadhan sebanyak sembilan kali semenjak datangnya perintah untuk berpuasa ini pada tahun ke dua Hijriyyah.
Sebagai bentuk ekspresi diri kita dari hadis di atas, mari kita tunaikan puasa kita dengan penuh keimanan dan keikhlasan kepada Allah swt., niscaya Allah swt. akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan tiada kata lain yang keluar dari lisan kita dalam menyambut tamu agung ini, melainkan ‘Marhaban Yâ Ramadhân’, ‘Selamat Datang Bulan Ramadhan’. Selamat menunaikan ibadah puasa!



Sabtu, 30 Juli 2011

Si Badru


 (The funny stories)

Badru very often did not go to school without a clear reason and word.
One day he was scolded by his teacher.

Teacher: “Badru, if you did not go to school because of illness or any other matter, you have to send a letter!”.

Badru: "I once sent a letter, but my letter was never returned. I was so lazy to make the letter again”. hahahahaha.:-D

His teacher was silent and shook his head without a word arguments.
Bardu broke the discussion.

Akar Kuning: Petunjuk Pengobatan Nabi


Membaca buku ini akan membuka hati kita bahwa seorang Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, di samping seorang ulama, beliau juga orang yang pakar dalam ilmu kedokteran. Tentu dalam hal kedokteran islam. Dengan piawai beliau menjabarkan ilmu kedokteran islam yang lengkap dengan dalil-dalilnya yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Buku yang terdiri dari empat bab ini menceritakan pola kehidupan sehari-hari. Pada bagian pertama dengan piawai beliau jabarkan Jenis-Jenis Penyakit. Bagian dua beliau jabarkan berbagai Macam Ramuan Alami yang didapat dari alam sekitar kita. Mulai dari ramuan penyembuhan demam, diare, amandel, penyakit jantung, pengobatan jerawat, yang jika diuraikan tidak kurang dari 40 jenis ramuan yang beliau jabarkan. Bagian tiga berisi tentang Formula Islam dan Obat-Obatan Alamiah. Pada bagian ini dengan piawai beliau menjabarkan do’a-do’a yang diajarkan Rasulullah saw untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Begitu pula dengan obat-obatan alamiah yang ia kaji perpspektif nash.

Begitulah seorang Ibnu Qayyim, ulama, faqih, pemikir, dan thabib yang langka pada zamannya. Melalui goresan penanya dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari tafsir al-qur’an, ilmu kalam, ilmu astronomi, ilmu fiqh, ushul fiqh, ilmu hadis, ilmu tasawuf, serta kedokteran, beliau mengajarkan kepada kita bahwa menjadi seorang muslim harus banyak membaca. Membaca disiplin ilmu apa saja selagi bermanfaat untuk pengetahuan. Maka wajarlah jika wahyu yang pertama adalah Iqra’, bacalah, dengan menyebut nama tuhanmu yang telah menciptakan.

Jumat, 22 Juli 2011

Tabarruj


Siang itu gedung Prof. Dr. Khatib Quzwen dipenuhi sesak manusia dengan susunan anai laik tak usang. Hari itu hari yang dinantikan oleh orang tua dan sanak famili, menyaksikan topi toga anugerah serjana kepada putra-putrinya. Senyum riang dengan lesung pipit di pipi menghiasi rona wajah mereka. Seakan-akan hati berkata, akulah orang kampung yang sukses mengenyam pendidikan di kota ini.
Waktu terus berlalu. Sungai Batanghari tetap mengalir membelah kota jambi dengan aliran pada jalannya. Matahari dengan teriknya tersenyum kepada generasi bangsa ini. Di seluruh santreo gedung mereka asik befoto ria dengan sanak saudara dan kerabat dekat. Mengenang masa yang hanya satu kali dalam hidupnya.
Tiba-tiba salah seorang teman di sebelahku berceloteh, “kok penampilan si A beda banget ya…”, sambil mengacungkan jari menunjuk pada salah seorang peserta wisudawati.
Seluruh orang yang ada di dekatku tersentak, lalu memalingkan wajah.
“mana… mana?”, tanya salah seorang.
“itu”, ia acungkan jari menunjuk kembali.
“oh…. Biasa itu” Jawabnya.
“bukankah kecantikan itu terletak pada kesederhanaan?”, imbuhnya.
“ya biasa saja. Wong memang momen satu kali seumur hidup”.
“oh.. tidak bisa. Kecantikan itu tetap terletak pada kesecerhaan titik”, sembari ia mengeluarkan kata dengan nada yang cukup tinggi.
Awalnya aku tidak menghiraukan dialog antara mereka. Tapi tiba-tiba aku putar tubuhku 180 derajat searah jarum jam. Dan keperthatikan objek yang mereka dialogkan secara seksama. Dari atas sampai bawah. Kudapati. Wajah yang tidak asing lagi bagiku. Wah… ternyata ada yang berbeda.
 “Pantasan…” pikirku. 

Jilbab putih menutupi kepalanya dengan lilitan modis. Make up, bedak, lipstik, celak mata, memang sudah berlebihan. Pipi dan bibirnya memerah pekat, bukan karena terpaan matahari tapi solekan yang sudah berlebihan. Putih wajahnya bukan lagi putih alami, tapi putih bedak yang sudah berlebihan. Kerlipan-kerlipan butiran  bedak imitasi mutiara menyilau mata dibawah terpaan matahari. Rok songket yang  dikenakan dengan bahan tipis dan ketat. Untung saja ditutupi baju toga yang dalam (kalau nggak, wah… hehehe). Barangkali sebelum berangkat ia mampir terlebih dahulu ke salon kecantikan.
Jika kecantikan itu terletak pada kesederhanaan, mengapa harus mengeluarkan kocek yang tebal untuk membeli alat kecantikan ini dan itu. Bukankah  kesederhanaan akan menjaga mereka dan harga diri mereka serta terhindar dari mata liar yang dapat menimbulkan fitnah ?.
Tapi, begitulah naluri manusia. Nafsu mengajak untuk memerkan diluar batas karunia penciptanya. Hanya mereka yang benar-benar menjaganya saja yang selamat dari sikap tabarruj.
Apa itu tabarruj?
Menurut bahasa, tabarruj adalah wanita yang memamerkan keindahan dan perhiasannya kepada laki-laki (Ibnu Manzhur: Lisan Al-‘Arab). Tabarrajatil mar’ah artinya wanita yang menampakkan kecantikannya, lehernya, dan wajahnya. Ada yang mengatakan, maksudnya adalah wanita yang menampakkan perhiasannya, wajahnya, kecantikannya kepada laki-laki dengan maksud untuk membangkitkan nafsu syahwatnya.
Menurut syariah, tabarruj adalah setiap perhiasan atau kecantikan yang ditujukan wanita kepada mata-mata orang yang bukan muhrim. Termasuk orang yang mengenakan cadar, di mana seorang wanita membungkus wajahnya, apabila warna-warnanya mencolok dan ditujukan agar dinikmati orang lain, ini termasuk tabarruj jahiliyah terdahulu. Seperti yang disinyalir ayat,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33).
Kepada seluruh saudari muslimahku, semoga saudari terjaga dari sikap seperti ini. Tatalah akhlakmu dengan akhlak terpuji. Bukankah “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalehah”? begitulah Rasul kita Muhammad saw menjelaskan. Lalu, bersabarlah, karena suatu saat engkau akan menemui yang halal dihadapanmu. Bersoleklah untuknya. karena bersolekmu merupakan ibadah. Insyaallah syurga akan Allah karuniakan untukmu.