Minggu, 28 Agustus 2011

ZAKAT


ZAKAT
Nishab, Ukuran dan Cara Mengeluarkannya


 Makna Zakat
Menurut Bahasa(lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10)

            Menurut Hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy)

            Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.

Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.

Syarat seseorang wajib mengeluarkan zakat
1.      Islam
2.      Merdeka
3.      Berakal dan baligh
4.      Memiliki nishab
           
Nishab
Nisab adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakatnya. (Qs. Al Baqarah: 219)

1.      Nishab emas
Nishab emas sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud adalah dinar Islam.
1 dinar = 4,25 gr emas. Jadi, 20 dinar = 85gr emas murni.

Dalil nishab ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun – yaitu dalam emas – sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya zakat ½ dinar. Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada zakat pada harta, kecuali setelah satu haul.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi).

Dari nishab tersebut, diambil 2,5% atau 1/40. Dan jika lebih dari nishab dan belum sampai pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab awal. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.
Contoh: Seseorang memiliki 87 gr emas yang disimpan. Maka, jika telah sampai haulnya, wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 x 87gr = 2,175 gr atau uang seharga tersebut.

2.      Nishab perak
Nishab perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gr, sebagaimana hitungan Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/104 dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas.

3.      Nishab binatang ternak
Syarat wajib zakat binatang ternak sama dengan di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu binatanngya lebih sering digembalakan di padang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.

“Dan dalam zakat kambing yang digembalakan di luar, kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor…” (HR. Bukhari)

Selangkapnya sebagai berikut:  
a.    

a.      Onta
Nishab onta adalah 5 ekor. Dengan pertimbangan di negara kita tidak ada yang memiliki ternak onta, maka nishab onta tidak kami jabarkan secara rinci -red.
b.      Sapi
             Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.
Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

Jumlah Sapi
Jumlah yang dikeluarkan
30-39 ekor
1 ekor tabi’ atau tabi’ah
40-59 ekor
1 ekor musinah
60 ekor
2 ekor tabi’ atau 2 ekor tabi’ah
70 ekor
1 ekor tabi dan 1 ekor musinnah
80 ekor
2 ekor musinnah
90 ekor
3 ekor tabi’
100 ekor
2 ekor tabi’ dan 1 ekor musinnah
Keterangan:
1.      Tabi’ dan tabi’ah adalah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
2.      Musinnah adalah sapi betina yang berusia 2 tahun.
3.      Setiap 30 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor tabi’ dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor musinnah.
c.       Kambing
                        Nishab kambing adalah 40 ekor. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Kambing
Jumlah yang dikeluarkan
40 ekor
1 ekor kambing
120 ekor
2 ekor kambing
201 – 300 ekor
3 ekor kambing
> 300 ekor
setiap 100, 1 ekor kambing

4.      Nishab hasil pertanian
Zakat hasil pertanian dan buah-buahan disyari’atkan dalam Islam dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-An’am: 141)
Adapun nishabnya ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Zakat itu tidak ada yang kurang dari 5 wasaq.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Satu wasaq setara dengan 60 sha’. Sedangkan 1 sha’ setara dengan 2,175 kg atau 3 kg. Demikian menurut takaaran Lajnah Daimah li Al Fatwa wa Al Buhuts Al Islamiyah (Komite Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia). Berdasarkan fatwa dan ketentuan resmi yang berlaku di Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian adalah 300 sha’ x 3 kg = 900 kg. Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (atau menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20).” (HR. Muslim 2/673)
Misalnya: Seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran zakat yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) adalah 1000 x 1/20 = 50 kg. Bila tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg.

5.      Nishab barang dagangan
Pensyariatan zakat barang dagangan masih diperselisihkan para ulama. Menurut pendapat yang mewajibkan zakat perdagangan, nishab dan ukuran zakatnya sama dengan nishab dan ukuran zakat emas.
Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan sama dengan syarat-syarat yang ada pada zakat yang lain, dan ditambah dengan 3 syarat lainnya:
a.       Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah, dan yang sejenisnya.
b.      Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
c.       Nilainya telah sampai nishab.
Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli), lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.
Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah total sebesar Rp. 200.000.000 dan laba bersih sebesar Rp. 50.000.000. Sementara itu, ia memiliki hutang sebanyak Rp. 100.000.000. Maka perhitungannya sebagai berikut:
Modal – Hutang:
Rp. 200.000.000 – Rp. 100.000.000 = Rp. 100.000.000
Jadi jumlah harta zakat adalah:
Rp. 100.000.000 + Rp. 50.000.000 = Rp. 150.000.000
Zakat yang harus dibayarkan:
Rp. 150.000.000 x 2,5 % = Rp. 3.750.000

6.      Nishab harta karun
Harta karun yang ditemukan, wajib dizakati secara langsung tanpa mensyaratkan nishab dan haul, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dalam harta temuan terdapat seperlima (1/5) zakatnya.” (HR. Muttafaqun alaihi)

Cara Menghitung Nishab
Dalam menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?
Imam Nawawi berkata, “Menurut mazhab kami (Syafi’i), mazhab Malik, Ahmad, dan jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya – dan (dalam mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak, dan binatang ternak- keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah hitungan haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut.” (Dinukil dari Sayyid Sabiq dari ucapannya dalam Fiqh as-Sunnah 1/468). Inilah pendapat yang rajih (paling kuat -ed) insya Allah. Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423 H, lalu bulan Rajab pada tahun itu ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya.
Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga) hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkannya zakatnya. Sekian terimakasih!!!!

Minggu, 14 Agustus 2011

Puasamu Akan Melatih Emosionalmu



 Pada hakikatnya berpuasa bukan hanya menahan diri untuk tidak makan dan minum yang disertai dengan niat dari terbitnya pajar sampai terbenamnya matahari. Akan tetapi puasa juga menahan diri dari hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasa. Betapa banyak orang-orang yang berpuasa akan tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Berpuasa, tapi lisan tidak dijaga dari perkataan yang mubazir. Berpuasa, tapi mata tidak dijaga dari hal-hal yang dilarang. Berpuasa, tapi tangan dan kaki digunakan untuk menzolimi saudara atau untuk kemaksiatan. 
Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Nasa’i, Allah swt. berfirman: “Semua amalan manusia adalah untuk dirinya, kecuali puasa, karena itu adalah untuk-Ku dan aku yang akan memberinya ganjaran. Dan puasa merupakan benteng dari perbuatan maksiat, maka ketika datang saat puasa, janganlah seseorang berkata keji atau berteriak-teriak atau mencaci maki. Dan seandainya dicaci oleh seseorang atau diajak berkelahi, hendaklah dijawab, ‘aku ini berpuasa’ sampai dua kali…”.
Hadis ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa puasa ini adalah salah satu cara mendidik emosional diri agar menjadi orang yang sabar. Simaklah, meskipun orang mencaci maki dan mengajak kita berkelahi, maka katakanlah kita dalam keadaan berpuasa.
Begitulah puasa ini mendidik diri kita agar menjadi orang yang mempunyai balas kasih dan menjaga emosional diri. Meskipun dicaci dan diajak oleh seseorang untuk berkelahi, maka emosional pun tetap dijaga, lalu kita katakanan, “Aku dalam keadaan berpuasa”.
Betapa agungnya didikannya dan betapa mulianya orang-orang yang dapat menahan dirinya ketika marah. Sampai-sampai Rasulullah saw. mengingatkan kita bahwa orang yang kuat bukanlah orang yang dapat melumpuhkan lawannya ketika bergulat. Melainkan orang yang kuat adalah orang dapat mengendalikan dirinya ketika amarah.
Dalam hadis yang lain juga disebutkan bahwa pada suatu hari seorang laki-laki meminta wasiat kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, berilah wasiat kepaku!”. Maka Rasulullah saw menjawab, “Jangalah engkau marah”.
Maka wajarlah Rasulullah saw. mengatakan, al-bir atau kebaikan adalah husnul khulq atau kepribadian yang yang baik. Sementara al-ismu atau dosa adalah mâ hâka fî shadrik’ ‘apa-apa yang menyesakkan dadamu’. 

Kepribadian yang baik dan dada yang sesak, semuanya bersumber dari hati. Jika hati kita bersih makan seluruh anggota tubuh akan baik, dan jika hati kita kotor maka hancurlah (buruk) seluruh anggota tubuh, begitulah Rasul kita menjelaskan.

Maka salah satu cara untuk membersihkan hati adalah dengan cara berpuasa. Dengan demikian, ketika hati seseorang bersih maka emosionalnya pun akan terjaga.


Hikmah Puasa


 Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Nasa’i, dijelaskan bahwa, Allah swt berfirman: “Semua amalan manusia adalah untuk dirinya, kecuali puasa, karena itu adalah untuk-Ku dan aku yang akan memberinya ganjaran. Dan puasa merupakan benteng dari perbuatan maksiat, maka ketika datang saat puasa, janganlah seseorang berkata keji atau berteriak-teriak atau mencaci maki. Dan seandainya dicaci oleh seseorang atau diajak berkelahi, hendaklah dijawab, ‘aku ini berpuasa’ sampai dua kali. Demi Tuhan yang nyawa Muhammad berada dalam tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat dari pada bau kasturi. Dan orang yang berpuasa itu akan memperoleh dua kegembiraan yang menyenangkan hati: pada saat berbuka, ia akan bergembira dengan berbuka itu, dan pada saat ia menemui Tuhannya nanti, ia akan gembira karena puasanya”.

Hadis ini menjelaskan lima hal kepada kita, yaitu pertama, bahwa ganjaran pahala bagi orang yang berpuasa, maka Allah sendirilah yang akan memberinya. Hal ini memberikan hikmah kepada kita bahwa begitu agungnya nilai puasa ini sampai-sampai Allah swt. sendiri yang akan memberikan ganjaran pahalanya. Bahkan di dalam hadis yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Abu Daud dinyatakan, “Puasa itu adalah untuk-Ku, dan akulah yang akan memberinya ganjaran. Sedangkan setiap kabajikan itu akan mendapatkan ganjaran sepuluh kali lipat”.

Kedua, puasa menjadi benteng diri dari perbuatan maksiat. Sebab, dengan berpuasa maka syahwat seseorang akan terjaga, karena sumber dari segala kemaksiatan adalah perut yang terlalu penuh. Makanya sampai-sampai dalam hadis yang lain Rasulullah saw mengingatkan kepada para pemuda untuk menikah jika sudah mampu. Namun apabila tidak mampu, maka Rasulullah saw menganjurkan untuk berpuasa karena puasa itu dapat menenangkan diri dan nafsu dari hal-hal yang diharamkan Alla swt.

Ketiga, kesabaran. Meskipun dicaci maki oleh musuh dan diajak berkelahi, maka katakanlah kepada musuh tersebut bahwa aku sedang berpuasa. Karena puasa mengajarkan diri untuk mengendalikan nafsu amarah. Hal ini memberikan hikmah kepada kita bahwa puasa itu mengajarkan diri untuk bersabar. 

Keempat, bau mulut orang yang berpuasa busuk di dunia, namun Allah akan memberikan ganjaran yang tak terhingga, sehingga sampai-sampai Allah swt sendiri bersumpah memberikan sindiran bahwa bau mulutnya lebih harum dari minyak kasturi. Hal ini memberikan hikmah bahwa keagungan pahala orang-orang yang berpuasa meskipun bau mulutnya agak berbau, namun Allah swt akan menggantikannya keharuman yang luar biasa di akhirat kelak.

Kelima, kegembiraan dan kepuasan diri yang tak tertukar dengan materi. Hal ini terdapat diri pada orang yang berpuasa pada dua hal yaitu saat berbuka dan bertemu wajah Allah swt. Kita sendiri dapat merasakan pada diri kita bagaimana rasa senangnya hati ketika berbuka meskipun itu hanya dengan segelas air putih dan sebiji kurma. Itu baru kesenangan di dunia. Di akhirat nanti lebih dari itu, diberikan kesenangan pada saat bertemu wajah Allah swt, manakala pada masa itu wajah-wajah pemaksiat tertunduk malu dan penyelesalan diri. Wallahua’lam!

Jumat, 12 Agustus 2011

Beribrah Pada Perang Badar



Oleh: Edi Kurniawan

Di tengah terik matahari yang amat panas, hingga menyengat tubuh. Dan di tengah gurun pasir tandus, hingga mengalirkan keringat yang menganak sungai di sekujur tubuh. Dan dalam dalam keadaan lapar, perut tanpa terisi, serta kekongkongan kering menahan rasa haus karena berpuasa. Serta dalam keadaan tanpa adanya persiapan untuk berperang, kumandang untuk berjihad telah ditabuhkan,  Allah swt. memerintahkan kaum muslimin kala untuk berangkat ke medan juang, ke subuah tempat yang dinamakan Badar.

Maka berangkatlah Rasulullah saw beserta para sahabatnya yang sekiligus beliau menjadi pemimpinnya. Dengan jumlah pasukan yang hanya 313 orang beserta perlengkapan perang yang hanya sekedarnya berupa 3 ekor kuda, 9 baju besi, 8 buah pedang, dan 70 ekor unta, yang membuat sebagian mereka bergantian mengendarai seekor unta. Sementara dari pihak musuh (kafir Makkah) berjumlah 1000 orang yang lengkap dengan perlengkapan perang berupa 700 ekor unta, 100 ekor kuda dan mempunyai persenjataan lengkap serta persediaan makanan mewah yang cukup untuk beberapa hari. Dengan hitungan logika dan matematis, sesuatu hal yang tidak memungkin untuk meraih kemenangan kemenangan dalam peperangan tersebut.

Namun dengan kekuatan ketakwaan dan keimanan Nabi saw. dan para sahabatnya, Allah berikan kemenangan. Allah turunkan 3000 para malaikat yang bersorban putih dan hijau untuk membantu kaum muslimin, hingga pada akhirnya musuh pun kotar katir ketakutan. Ada yang lari tunggang-langgang. Ada yang terbunuh. Dan ada pula yang menyerah kepada kaum muslimin, hingga kemenangan berada pada pasukan kaum mislimin.

Dalam literatur shirah nabawiyyah atau Sejarah Nabi, perang ini disebut dengan Perang Badar yang terjadi pada tanggal 7 Ramadhan atau dua tahun setelah Hijrah.

Meskipun dalam keadaan berpuasa, kobaran semangat mereka amatlah membara. Tidak ada alasan karena puasa mereka meninggalkan kewajiban jihad ini. Bahkan bukan hanya sebatas perang badar saja kobaran jihad kaum muslimin membara. Sejarah juga telah membuktikan, penaklukan kota konstantinopel oleh Shalahuddin Al-Ayyubi juga terjadi pada bulan puasa dan proklamasi kemerdekaan bangsa ini juga terjadi pada bulan puasa.

Jika dari beribrah dengan kobaran semangat perang bada dan berkaca dengan keadaan bangsa kita, hati ini terasa teriris pilu melihat berbagai keadaan. Dengan alasan berpuasa beberapa oknum PNS menjadikan alasan untuk datang terlambat, padahal jam kerjanya sudah telah dikurangi. Dengan alasan lapar dan haus di siang hari, oleh sebagian kita ini dijadikan justifikasi pemuasan nafsu perut ketika berbuka. Korupsi merajalela. Penegakan hukum yang pandang bulu. Hukum diperjual belikan. Perilaku konsumtif merebah di mana-mana. Kesemuanya berujung pada hancurnya ukhuwah berbangsa  dan kepercayaan pada sesama.

Korupsi, kriminalitas, dan aksi yang memalukan dari pejabat Negara kita menjadi isu hangat yang dihidangkan kepada kita. Memang benar, persoalan korupsi, kriminalitas, dan keterlambatan, secara umum lebih pada persoalan biokrasi yang berurusan dengan Negara. Ketika seseorang melakukan koruspi dan tindakan kriminal, maka pertanggungjwabannya lebih besar kepada Negara. Negara telah membuat dan menetapkan sistim hukum. Namun, jika keshalehan itu dilakukan secara berjamaanh, maka angka atau peluang terjadi tindakan-tindakan yang mengarah pada pidana pun akan mengicil. Bukankah salah satu tujuan berpuasa adalah untuk menimbulkan rasa social pada sesame.

Belajar dari kekuatan iman dan ketakwaan yang telah dicontohkan Nabi saw. dan para sahabatnya ketika berhadapan dengan persoalan yang secara matematis dan logika tidak mungkin, tapi itu akan mungkin. Bukankah janji Allah swt. akan membantu dan menolong serta memberikan rezeki kepada hambanya yang bertakwa dengan cara yang tak disangka-sangka dan penjuru yang tak terduga. Perang Badar telah memberikan ibrah penting kepada kita bahwa lapar dan dahaga di siang hari pada bulan yang mulia ini tidaklah menjadi penghalang bagi kita untuk meraih kemenangan, karena kekuatan terbesarnya adalah terletak pada keimanan dan ketakwaan kita. Inilah yang ingin dicapai dari syari’at berpuasa ini, yaitu ketakwaan (Q. S. 2: 183).

Jika jihad yang dilakukan Rasulullah saw. dan para sahabatnyan adalah dalam makna yang sesungguhnya, yaitu perang di jalan Allah. Tentu makna jihad ini tidak terbatas pada ranah tersebut. Dalam arti luas, kita yang berada dalam bangsa yang damai (baca: berperang dengan mengangkat senjata). Perang terhadap korupsi, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, menjalan tugas yang diamanahkan dengan sebaik-baiknya bagi abdi Negara, juga bisa dikatakan jihad.
Berbagai persoalan dan beragam hiruk pikuk yang terjadi pada bangsa ini berawal dari elemen-elemen yang ada di dalamnya menjadi hamba atas nafsunya. Korupsi misalnya, ini terjadi karena mata sang pelakunya terbius oleh keindahan dunia, lalu dengan segala macam usaha dicoba untuk mendapatkan, maka merajalelah korupsi. Begitu juga dengan kasus skandal seks yang memalukan dari beberapa pejabat bangsa, juga karena penghambaan terhadap nafsu.
Jihad yang terbesar dan tertinggi di antara jihad-jihad yang adalah jihad melawan hawa nafsu. Rasulullah saw sendiri telah menjelaskan ini kepada kita bahwa ketika beliau dan para sahabatnya usai dari sebuah peperangan beliau berujar, “kita beralih dari perang yang kecil menuju perang yang besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu. Itulah jidad yang tertinggi, jihad melawan hawa nafsu.

Orang yang menang adalah orang yang bertakwa kepada Tuhannya. Dan bangsa yang menang juga bangsa yang bersyukur dan mempunyai ciri-ciri ketakwaan. Mengambil hak yang bukan milik kita atau korupsi, tentu bukan ciri dari sebuah ketakwaan. Berpoya-poya dengan uang Negara dan fasilitas yang ‘wah’ yang dilakukan sebagian pejabat bangsa, tentu bukan menunjukkan sikap bangsa yang bersyukur. Bukankah Rasulullah saw. dan para sahabatnya dapat mengalahkan musuh yang begitu besar dan kuat dalam perang badar tersebut karena mereka tidak menjadi hamba atas nafsunya? Meskipun dalam keadaan berpuasa, puasanya tidak dijadikan alasan untuk bermalas-malasan.

Sudah sepatutnya bangsa ini beribrah pada hikayat tersebut bahwa jika bangsa ini ingin menjadi bangsa, meminjam istilah al-Qur’an disebut ‘baldatun thayyibun wa rabbun ghafur’ atau bangsa yang damai, sejahtera serta penuh dengan keampunan maka bangsa ini juga tidak bisa menjadi hamba atas hawa nafsu. Dan bagi kita kaum muslimin yang menjadi penduduk terbesar bangsa ini, jangan jadikan puasa sebagai kambing hitam untuk bermalas-malasan dan lalai dengan amanah. Semoga nafsu kita terdidik melalui puasa ini. Wallahua’lam!

Kamis, 11 Agustus 2011

Orang-Orang Yang Kuat


Dalam arena tinju, orang yang kuat adalah orang yang dapat mengalahkan lawannya. Chris John misalnya, kemampuannya dalam arena tinju tidak diragukan lagi dan sudah tidak terhitung berapa jumlah lawan yang ia kalahkan. Begitupula dalam ranah beladiri, silat, karate, tekwondo dll, mereka yang menjadi pemenang adalah mereka yang dapat mengalahkan lawannya. 

Namun di luar konteks olah raga, sering kali kita menyaksikan orang yang bangga dengan kekuatan ototnya hingga menggetarkan lawannya. Ototnya besar. Jiwanya bengis. Dan tatapan matanya tajam menggetarkan. Atau kita juga sering menyaksikan, baik itu dengan mata kepada kita sendiri maupun melalui media, betapa banyak terjadi kasus kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) hingga suami atau istri atau anaknya babak belur dan memar. Di luar konteks oleh raga, apakah orang yang seperti ini disebut orang yang kuat ?

Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah kekuatan itu dinilai dengan adu kuat (gulat), namun yang kuat itu adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah”. (Muttafaqun ‘Alaih)

Hadis ini menggambarkan nilai sebuah kesabaran di tengah menaiknya emosi diri bahwa kekuatan yang hakiki bukanlah terletak pada kekuatan otot dan badan, namun kekuatan hakiki merupakan kekuatan maknawi, yaitu kesabaran. Oleh karena itu, orang yang kuat bukanlah orang yang selalu menang dalam setiap pertarungan, tetapi orang yang mampu menahan dan mengalahkan hawa nafsunya ketika kemarahan memuncak. Sehingga ia tidak terjatuh kedalam perbuatan dzalim maupun perkataan-perkataan yang menyakitkan hati saudaranya.

Dalam hadis yang lain Rasulullah saw. juga menambahkan agar kita tidak marah, ‘laa taghdhab’, artinya ‘Janganlah engkau marah’. Dimana menurut Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam dalam bukunya Taudhih Al-Ahkam Min Bulugh Al-Maram, hadis ini mempunyai dua pengertian, yaitu: pertama, hadis ini merupakan wasiat Nabi agar selalu bersikap pemaaf, tidak tergesa-gesa, malu, tidak menyakiti seseorang, berlaku lemah lembut, berdamai, menahan amarah dan sebagainya. Karena jiwa yang dibentuk oleh akhlak yang terpuji seperti ini, lalu mendarah daging dalam tubuh kita, maka ia akan menjadi pengendali hawa nafsu amarah.

Kedua, Nabi saw. mengajarkan kita agar tidak meperturutkan hawa nafsu amarah, tetapi mengendalikannya. Karena apabila hawa nafsu amarah berhasil menguasai kita, maka ia akan mengendalikan kita dan pada akhirnya maka jatuhlah kita kedalam hal-hal yang dilarang agama.

Jika hikmah puasa ditilik lebih dalam, maka puasa merupakan salah satu sarana mendidik diri kita menjadi orang yang sabar, bijak dalam berbuat, serta tidak mudah mengikuti hawa nafsu. Sekiranya saja kita sukses mendidik diri kita pada bulan ini menjadi orang yang kuat, sungguh itu sebuah anugerah yang luar biasa. Karena sifat pemarah itu adalah sifat iblis, maka kala itu iblis telah bertengger di hati kita dan kita pun telah bersekutu dengannya. 

Sungguh begitu indahnya bulan ini, betapa ia mendidik kita untuk menundukkan nafsu amarah. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Puasa itu merupakan benteng perbuatan maksiat, maka ketika datang saat berpuasa, janganlah seseorang berkata keji atau berteriak mencaci maki! Dan seandainya dicaci oleh seseorang atau diajak berkelahi, hendaklah dijawab, ‘Aku ini berpuasa’ samapi dua kali”.

Ramadhan sebagai syahruttarbiyyah, semoga dengan ramadhan ini kita bisa mendidik nafsu amarah dan melatih emosional kita hingga kita menjadi orang yang kuat. Dan mudah-mudahan gelar ‘takwa’ dapat kita capai melalui madrasah ramadhan ini.

Bersegeralah



Hidup kita di dunia ini diibaratkan seperti seorang asing atau pengembara yang tidak tahu kapan tiba waktu sampai di kampong halaman atau tempat tujuan. Subuhkah. Atau sorekah. Atau malamkah. Karena waktu perjalanan kita diibaratkan seperti hari-hari yang umurnya pendek. 

Hari ini adalah milik kita, bukan hari kemarin yang telah berlalu dengan segala kenangan kebaikan maupun keburukan di dalamnya, dan juga bukan hari esok yang belum tentu apakah kita menemuinya atau tidak. Hari inilah hari kita, hari yang matahari menyinari kita dan siang menyapa serta nyanyian alam nan merdu yang selalu mengiringi langkah kita.

Bagi kaum muslimin, mulai dari tanggal 1 ramadhan sampai hari ini, haus, lapar, dan dahaga terasa seolah-olah menjadi saudara. Karena itulah seharusnya pada hari yang baik ini kita bertekad mempersempahkan kualitas shalat kita yang khusu’, tilawah al-Qur’an kita yang sarat tadabbur, dzikir dengan sepenuh hati, keindahan akhlak, serta berbuat baik kepada sesama.

Selagi nyawa masih melekat dan selagi ruh belum dicabut oleh Allah, maka menyegerakan ibadah, bukan menunda-nunda merupakan suatu yang musti. Karena esok atau tahun depan belum tentu Allah mengkaruniakan kita untuk bertemu dengan bulan yang mulia ini. Jadi, kapan lagi kalau bukan dari sekarang kita memperbaiki kualitas ibadah kita agar nantinya keluarnya kita dari bulan yang mulia ini gelar ‘taqwa’ melekat pada diri kita. Agar nantinya ketika Allah mencabut ruh dari tubuh ini, lalu Allah masukkan kedalam syurganya yang seluas langit dan bumi. Agar nantinya kita tidak termasuk orang yang menyesal dan merugi ketika bertemu wajah Tuhan kita.

Bagi kita yang bekerja sebagai abdi negara, maka persembahkanlah kinerja baik kita yang sesuai dengan tugas dan wewenang yang diberikan. Bagi kita yang berstatus sebagai mahasiswa atau pelajar, maka pada hari ini juga kita membulatkan tekad baja kita untuk mengarungi samudra ilmu, berteman dengan buku, serta hari-hari yang dibabiskan dengan belajar dan belajar. Begitu pula jika kita sebagai pedagang, bersikap jujur dan jangan berputus asa dalam mencari rezeki Allah. Apapun status, pekerjaan, dan jabatan kita, hari inilah hari kita, bukan esok yang belum tentu kita menemuinya atau kemarin yang telah kita lalui. 

Jika pada hari ini Allah masih memberikan makan kepada kita, mengapa kita harus bersedih atas laparnya kita kemarin atau mengkhawatirkan makanan apa yang akan kita temui esok. Ingat, tugas kita adalah berusaha dengan optimal, berdo’a, lalu apa pun kadar hasilnya, serahkanlah kepada Allah swt sang pemberi rezeki.

Sekiranya kita percaya pada diri sendiri, serta memiliki semangat dan tekad baja, maka kita akan menundukkan diri dan berpegang pada prinsip: “Aku hanya akan hidup hari ini”. Prinsip inilah yang akan menyibukkan kita untuk selalu memperbaiki keadaan, mengembangkan semua potensi dan mensucikan setiap amalan.

Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah saw. mengabarkan kepada kita, “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau orang yang dalam perjalanan. Apabila datang waktu sore maka janganlah engkau menunggu pagi hari. Dan apabila datang pagi hari maka janganlah engkau menunggu sore hari. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, serta hidupmu sebelum ajal menjemputmu”. (H. R. Muslim)

Dan dalam hadis yang lain, Rasulullah saw juga mengabarkan, “Sebaik-baik Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya”. (H. R. Tarmizi)

Dan mari pula kita dengarkan tausiyah Umar bin Abdul Aziz untuk kita, “Jika dunia ini bukan negeri untuk menetap, maka bagi seorang mukmin seharusnya menempatkan diri dalam dua kondisi: (a). ia berada di dalamnya bagaikan orang asing di negeri yang asing, dan (b). ia bersikap bagaikan pengelana yang tidak ada sedikitpun terlintas niat di hatinya untuk bermukim”. 

Jadi, tidak ada waktu untuk berleha-leha dengan hal yang tidak bermanfaat. Bersegeralah! (*)

Selasa, 09 Agustus 2011

Hingga Daun Lidah Pun Bertasbih



aku menafsirkan bahasa angin yang berlabuh pada dedaunan, nyanyian alam.
lalu mentari menyapa pagi dan saga merah berlabuh sore, hening.

tiada kata yang keluar dari lidahnya, hatilah yang berdo’a.
sayup sadu kelopak matanya petanda ingin, apa nak dikata lidah tak tergerak mungkin.

Cuma hati berkata : hingga… “cukuplah daun lidah bertasbih, hati hening”.  



Mereka Yang Tidak Merugi



Setiap hari kita selalu berkompetisi dengan waktu. Jika kita yang mengaturnya, maka kitalah yang akan menjadi pemenang. Namun jika kita yang diatur, maka kitalah yang akan menjadi pecundang atau orang yang merugi.
Pada dasarnya kita semua berpotensi menjadi orang yang merugi, baik di dunia maupun di akhirat. Sikaranya kalau bukan atas nikmat dan hidayah Allah, boleh jadi kita akan berada dalam kerugian. Kalau bukan karena kewaselan petunjuk Rasulullah, tentu saja kita masih berada pada alam kejahilan.
Lalu siapakah mereka yang tidak merugi itu? Menurut al-Qur’an, mereka itu bukanlah yang pangkatnya tinggi atau yang uangnya banyak. Tapi mereka adalah orang-orang yang beriman, beramal shaleh, dan yang suka menasehati dalam kebenaran dan selalu bersabar.
Dalam al-Qur’an Allah swt. berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr: 1-3).
Jika kita memahami ayat tertsebut, tentu kita akan berupaya secara optimal mengamalkannya untuk meraih keuntungan. Dalam kondisi kekinian, banyak sekali ragam aktifitas yang haarus ditunaikan,. Ditambah pula dengan berbagai kendala dan rintangan yang akan dihadapi. Karenanya, kepandaian dalam mengatur segala aktifitas kita agar dapat mengerjakan amal shalih setiap saat, baik secara vertikal maupun horizontal.
Kita benar-benar akan berada dalam kerugian apabila kita tidak memanfaatkan waktu yang telah diberikan oleh Allah secara optimal untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Karenanya, mereka yang masuk ke dalam golongan-golongan yang beruntung adalah mereka yang beriman  dan kemudian mengamalkannya. Serta mereka yang memanfaatkan waktunya untuk saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Sehingga Imam Syafi’i pernah berujar, “Jika kita memahami ayat ini, niscaya sudah cukup untuk hidup kita”. Karena begitu dalamnya sumpah Allah terhadap waktu yang menjadi peringatan bagi manusia.
Pada dasarnya waktu yang kita gunakan tidak ada lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Simaklah, iman, beramal shaleh, serta senantiasa menasehati berbuat kebenaran dan bersikap sabar. Keempat kata kunci ini kalau boleh kita rangkum dalam satu kata dapat bermakna ibadah. Karena ini sejalan dengan tujuan Allah menciptkan manusia, yaitu, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku”.
            Beribadah bukan hanya sekedar shalat, puasa, zakat, atau pun haji saja. Melainkan ibadah dalam pengertian luas, yaitu mencangkup seluruh aspek kehidupan, mulai dari bangun tidur, hingga bangun tidur kembali, semuanya harus diisi dengan ibadah kepada Allah swt. Ini sesuai pula dengan komitmen kita yang selalu diucapkan ketika kita melaksanakan shalat: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semata-mata hanya untuk Allah Ta’ala”.
Jika demikian kita memahaminya lalu kita amalkan sumpah Allah terhadap waktu tersebut, maka insyaallah kita akan tergolong ke dalam orang-orang yang tidak merugi atau beruntung. Karena kita akan selalu memperbaiki kualitas keimanan kita, serta berbuat sholeh kepada sesama, dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesasabaran. Semuanya terngkan dalam bentuk beribadah kepada Allah. Wallahua’lam!

Minggu, 07 Agustus 2011

Puasa dan Kesehatan


 Pada bulan Ramadhan tahun 2009 lalu, kala itu saya masih aktif di organisasi mahasiswa, Lembaga Dakwah Kampus IAIN STS Jambi menggelar seminar yang bertajuk: “Puasa: Hidup Sehat Ala Rasulullah”. Tujuan dari seminar ini adalah menyadarkan diri mahasiswa sebagai kaum intelektual untuk memahami puasa dari sisi kesehatan. Pada bulan Ramadhan sebelumnya (2008), acara yang sama juga pernah digelar dengan tema yang sama.

Beberapa waktu setelah itu saya menemukan buku dengan judul: Fasting: A New Method in Treating Diseases yang ditulis oleh seorang ilmuwan Rusia, Alexy Sufurin. Menurutnya, puasa akan menyembuhkan berbagai penyakit seperti anemia, gangguan pencernaan (dyspepsia), radang usus yang kronis (chronic enteritis), bisul dan bisul bernanah, sakit paru-paru, rematik, encok, sakit gembur-gembur, penyakit pegal pada pinggang (sciatica), beberapa penyakit ophthalmic, diabetes, penyakit kulit, penyakit ginjal, dan sebagainya. 

Bahkan menurutnya, tidak hanya terbatas pada penyakit yang disebutkan tersebut saja, tetapi juga penyakit-penyakit yang berkaitan dengan pokok-pokok tubuh yang meliputi sel-sel tubuh seperti kanker, sipilis, dan pes. Penyakit ini dapat diobati dengan cara berpuasa. (Sufurin: 65).

Lebih lanjut, Syeikh Allamah Kamal Faqih Imani, seorang mufassir dan pemikir Islam kontemporer dalam tafsirnya, Nurul Qur’an, ketika menafsirkan kewajiban berpuasa dalam Q. S: Al-Baqarah: 183 dari, kemudian dikaitkan dengan kesehatan, menurutnya puasa itu berfungsi membakar materi-materi tubuh yang berlebih yang tak terserap. Selain itu puasa merupakan faktor menakjubkan yang bisa mengistrirahatkan organ-organ percernaan. Karena istirahat sangat diperlukan oleh organ tubuh kita di tengah sibuknya kita bekerja setahun penuh.

Lebih lanjut ia menguraikan, puasa yang sehat adalah seperti yang disarankan Islam, tidak boleh terlalu banyak makan ketika berbuka puasa agar dapat menikmati hasil positif berupa dampak puasa bagi kesehatan. Jika tidak, maka yang akan timbul adalah penyakit.

Jika menyibak kembali dalam kajian keislamannya, jauh sebelum pakar kontemporer dan para ilmuan baik barat maupun muslim menguraikan berbagai hikmah puasa dari sisi kesehatan, Rasulullah saw. sendiri dengan kejeniusannya yang menebus masa dan waktu telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadisnya, beliau bersabda: “Berpuasalah, niscaya engkau akan sehat”.

Sedangkan dalam hadis yang lain juga disebutkan, beliau bersabda: “Perut adalah wadah bagi segala penyakit, sedangkan berdiet (penahanan diri) merupakan induk dari segala pengobatan”.

Karenanya, menjalankan ibadah puasa selain berfungsi menunaikan perintah Allah swt., sungguh puasa itu sangat baik untuk menjaga kesehatan kita. Seperti yang kita ketahui bahwa latar belakang penyakit adalah kerakusan. Karena bahan makanan ekstra yang tidak terserap dalam bentuk lemak yang menonjol atau gula berlebih pada darah tetap melekat pada bagian tubuh yang berbeda. Bahan-bahan berlebih ini yang ada di dalam otot badan merupakan bagian lumpur yang berbau di mana jenis-jenis mikroba dari beberapa penyakit menular dapat tumbuh. Cara terbaik untuk mempertahankan diri dari penyakit-penyakit ini adalah dengan memusnahkannya melalui penahanan nafsu dan berpuasa. Alangkah indahnya syari’at puasa yang diturunkan Allah ini. Berpuasa, berpahala, sehat lagi!.