Jumat, 05 Juli 2013

Babak Baru Generasi Noe-Sophist




Baru-baru ini sebuah kuliah Pluralisme Agama dalam bentuk seri mingguan diselenggarakan oleh sebuah organisasi yang menyematkan dirinya dengan ‘Jaringan Islam Liberal’ di kawasan Utan Kayu, Jakarta. Kuliah ini dihadiri oleh para mahasiswa yang berasal dari berbagai Perguruan Tinggi, terutama yang berada di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sementara sang guru adalah aktifis organisasi tersebut yang selama ini banyak menyebarkan faham-faham yang ‘nyeleneh’ di tanah air.
Setiap peserta diwajibkan menulis sebuah artikel dengan tema Pluralisme Agama sebagai syarat kelulusan yang dipublikasikan melalui situs organisasi tersebut. Dalam sebuah artikel, dengan sangat lugu seorang peserta mengatakan, “Penulis meyakini, pintu menuju Tuhan itu tidak hanya satu, tetapi banyak, sebanyak pikiran manusia. Seperti kata Al-Quran: “Wahai anak-anaku, janganlah kalian masuk dari satu pintu yang sama, tapi masuklah dari pintu-pintu yang berbeda” (QS Yusuf: 67). … Hal ini menyimpulkan bahwa, sebenarnya agama itu hanya sebuah jalan menuju Tuhan. Meskipun jalan itu beragam, warna-warni, luas, plural, tetapi semuanya akan menuju ke arah vertikal yang sama: Tuhan Yang Maha Esa”.[1]

Belajar Memaafkan dari Buya Hamka


Artikel diwabah ini bukan karyaku, melainkan aku ambil dari situs Salam – Online Klik Disini. Melihat isinya yang bagus, aku tertarik. Semoga menjadi amal jariah bagi penulisnya dan menjadi ibrah pula bagi anda yang membacanya.
___________

“Janganlah pandang hina musuhmu karena jika ia menghinamu, itu ujian tersendiri bagimu,” (syair Imam Syafi’i).

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan Buya Hamka adalah ulama besar yang meninggalkan jejak kebaikan bagi umat dan bangsa ini.

Semasa hidup, ulama kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini dikenal sebagai sosok ulama yang santun dalam bermuamalah, namun tegas dalam akidah.

Kamis, 04 Juli 2013

Belajar kepada Imam Zakariya al-Anshari


Oleh: Edi Kurniawan*



Suatu siang, daripada melewatkan waktu begitu saja maka aku memutuskan untuk berkunjung ke Perpustakaan Dar al-Hikmah kampus International Islamic University Malaysia (IIUM), Selangor Malaysia. Perpustakaan ini boleh dikatakan sebagai Perpustakaan terlengkap dalam kajian keislaman untuk kawasan Asia Tenggara. Karena itu, ia menjadi tempat favoritku dalam menghabiskan waktu luang.

Di depan Dar al-Hikmah

Rabu, 03 Juli 2013

Neo- Muʿaththilah


Oleh: Edi Kurniawan[1]



Beberapa waktu lalu sebuah artikel dengan judul Neo-Zahiri ditulis oleh Prof. Azyumardi Azra dalam sebuah Harian Nasional. Menurutnya, secara terminologi neo-zahiri berasal dari pemikiran Islam klasik yang disebut dengan mazhab Zahiri, yaitu paham yang hanya melihat ayat al-Qur’an dan Hadis Shahih, Mutawatir secara lahir, harfiah atau literal saja. Salah satu contoh pemikiran neo-zahiri ala Indonesia yang disebutkan oleh Azra dalam tulisannya seperti anjing bukanlah najis karena tidak ada ayat al-Quran secara eksplisit menyatakan hal demikian. Al-Quran hanya berbicara tentang haramnya memakan bangkai, khinzir (babi), dan darah mengalir (al-Baqarah 2: 173; al-Maidah 5: 3). Dalam hal terakhir ini karenanya darah yang sudah dibekukan menjadi marus (semacam ‘tahu’) boleh saja  dimakan.