Minggu, 18 Januari 2015

Semakin Bodoh Orang Semakin Religius ?

Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Pada tahun ini saya berkesempatan mengunjungi kembali beberapa negara Eropah.  Banyak fakta yang menarik untuk dibagi bersama. Diantara yang menarik adalah ketika saya berkunjung ke Inggeris, Maret 2010. Di Nottingham saya dapat cerita bahwa sebuah penelitian di Universitas Nottingham menemukan korelasi bahwa semakin bodoh seseorang  itu ia semakin religius dan sebaliknya semakin sekuler dan bahkan atheist ia semakin cerdas. Saya tidak baca hasil riset itu. Tapi setahu saya, menurut hasil riset W.Cantwell Smith definisi religion di Barat itu masalah, dan otomatis arti “religiusitas” pun begitu. Makna cerdas pun juga masalah. Sebab kini berkembang istilah kecerdasan spiritual. Jadi desain penelitian tersebut nampaknya perlu dipersoalkan. 

Benarkah masyarakat Barat sekuler sekarang ini cerdas. Perlu dikaji lebih lanjut. Jika maksudnya adalah kecerdasan intelektual itupun masih perlu ujian lebih mendalam. Sebab kecerdasan itu bukan karena pandangan hidup sekulernya, mungkin faktor lain. Jika maksudnya adalah kecerdasan spiritual, jelas sekali tidak benar. 

Buktinya di Manchester, sinagog yang telah menjadi Museum, dan gereja yang telah menjadi Masjid. Di Birmingham, masjid Mu’az adalah bekas gereja dan seminari. Beberapa gereja di daerah Aston, Birmingham sudah menjadi sarang burung dara. Jumlah jemaat gereja kalah banyak dibanding “jama’ah” yang antri  masuk bar. Gereja sudah tidak lagi dikunjungi banyak orang. Di sana tidak ke gereja berarti tidak religius lagi. Mungkin karena sudah putus asa, di Manchester terdapat nama gereja “A Church for those who don’t like to go to church”.  Itulah  arti pernyataan “spirituality has gone to the east”. Persis seperti kata Prof.David Thomas, dosen teologi di universitas Birmingham Barat itu maju tanpa agama. Artinya semakin sekuler, semakin rendah spiritualitasnya. Mungkin itu sebabnya mengapa di Barat training kecerdasan spiritual menjamur. Jadi riset diatas tidak reliable. Apalagi menurut Islam spiritualitas dan intelektualitas itu hampir tidak beda.  

Benarkah jalan sekuler adalah pilihan cerdas dan solusi segala masalah. Ternyata tidak. Menyingkirkan agama dari publik malah bermasalah. Di Perancis, Jerman, Swiss dan beberapa negara Eropah yang anti agama, pemerintahnya mulai mengurusi agama. Di Inggeris pemerintah terpaksa membolehkan Muslim buka mahkamah syariah. Kini di Amerika malah muncul idea de-privatization of religion, artinya agama tidak lagi bersifat privat. Harvey Cox, yang pernah menjual idea sekularisasi agama-agama, akhirnya mengoreksi idenya itu. Ia lalu menulis makalah berjudul Reconsidering Secularism. Barat kini seperti dalam kebingungan.  

Menjadi sekuler ternyata juga tidak membuat orang bijak berstari. Bulan lalu saya menyampaikan public lecture di Universitas Wienna, Austria. Temanya tentang moderasi dan toleransi. Seorang peserta bertanya, mengapa di Indonesia orang bisa lebih toleran tapi disini dan negara Eropah tidak. Jawab saya, Barat itu terlalu sekuler dan bahkan terlalu kaku, sehingga tidak toleran pada agama. Di Indonesia agama bisa muncul di ruang publik. Ceramah agama-agama bisa muncul di TV. Tabligh akbar, Natalan atau peringatan hari keagamaan bisa diadakan diruang publik. Sesuatu yang mustahil terjadi di Barat. Ini bukti lain bahwa menjadi sekuler itu tidak membuat orang arif dan toleran. Sekuler malah bisa berarti ekslusif.

Tapi anehnya, yang kini dituduh ekslusif adalah sikap keberagamaan. Itupun berdasarkan analisa abad ke 16 dan 17, disaat mana sekte-sekte agama di Eropah waktu itu sering konflik. Sekte-sekte, atau agama-agama itu punya tuhannya sendiri-sendiri (teori geosentris) dan saling menyalahkan. Konflik bermuara pada pembunuhan. Andrew Sullivan di The New York Times Magazine menggambarkan bahwa gara-gara perang salib, inquisisi dan perang agama Eropah abad 16 dan 17 berlumuran darah.  Bahkan lebih banyak dibanding di dunia Islam. 

Tapi anehnya situasi itu dianggap terus terjadi hingga sekarang. Yang jadi sample adalah peristiwa 11/9 yang sejatinya penuh misteri itu.  Padahal konflik agama selama ini, jikapun ada,  tidak sebesar konflik politik. Tidak sebesar perang teluk dan invasi AS ke Irak dan Afghanistan. Jumlah yang mati sia-sia pun lebih banyak konflik politik. Tidak puas dengan sample peristiwa Jack Nelson-Pallmeyer, merujuk kepada kitab suci. Ia lalu menulis buku “Is Religion Killing Us? Evidence in the Bible and the Qur’an”.  Intinya, kedua kitab ini memerintahkan pembunuhan. 

Tapi konflik antar agama bukan satu-satunya alasan. Konflik yang sebenarnya justru antara agama dan sekularisme. Peter Berger terus terang, sekularisme gagal dan diganti dengan pluralisme. Sikap ekslusif itu diganti menjadi sikap inklusif dan pluralis. Secara teologis agama yang banyak itu, oleh John Hick, diteorikan menjadi bertuhan sama. Teologi agama-agama itu diperkirakan nantinya akan bersatu. Itulah teori global theology John Hick. Anehnya teori yang bermasalah ini ada pengikutnya, termasuk di Indonesia. 

Di Leed, saya melewati sebuah gereja.  Di depan gereja itu tertulis, “all race, all nation, all religion but one god”. Saya lalu segera menyimpulkan ini pasti penganut paham global theology.  Dalam perjalanan saya dari Leed ke London saya kebetulan duduk berdampingan dengan seorang pendeta berkulit hitam.  Saya lalu bertanya tentang tulisan gereja di Leed itu. Ternyata bagi dia itu benar. 

Ketika saya berkunjung ke Centre of Islam-Christian Relation, di Selly Oak College, Birmingham, disitu terpasang gambar Jesus tapi kepalanya seperti gambar dewa Wishnu dalam agama Hindu. Itu simbul pluralisme dan kesamaan Tuhan agama-agama. 

Di Universitas Salzburg, setelah kuliah umum saya sempat diskusi dengan dosen systematic theology Professor Hans Joachim Sander. Saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa teori pluralisme John Hick itu tidak populer. Dan dalam Kristen idenya itu dianggap sudah usang.  Pluralisme teologi itu, katanya adalah proyek Amerika. Bahkan dia terus terang “liberalisme itu omong kosong”. Ia juga sepakat ketika saya katakan bahwa semua agama sekarang ini sedang dipinggirkan dan bahkan ditindas. Alatnya adalah pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama.  Lucunya, menindas agama tapi masih mencari jalan spiritualitas.  Artinya menjadi sekuler atau liberal bukan pilihan cerdas tapi membingungkan diri sendiri dan orang lain. Begitulah nestapa masyarakat yang telah kehilangan misykat. Wallahu a’lam.


Minggu, 11 Januari 2015

KRISTEN MASUK INDONESIA ABAD VII ?


Bebebrapa penulis Kristen seperti Dr. Huub J.W.M. Boelaars dan Jan Baker, SJ menyimpulkan bahwa agama Kristen telah sampai di Indonesia pada abad ke Tujuh Masehi. Namun, kesimpulan ini seakan-akan dimentahkan oleh tokoh Kristen sendiri, Adolf Heuken SJ, dosen Cipta Loka Caraka Foundation, Jakarta, Indonesia. Adolf mengatakan: Some Indonesian writers took the conclusion that the fi rst Christians had arrived in the seventh century and established a community in Northern Sumatra. As we have seen above this opinion can not be based on solid facts for the seventh until the ninth centuries. (Lihat, Christianity In Pre-Colonial Indonesia”, dalam A History of Christianity in Indonesia ed. Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink (Leiden Boston: Brill, 2008), hlm. 6)
Kemudian dia menambahkan dalam catatan kaki sebagai berikut:
In the fi rst chapter of the fi ve volume history of Catholicism in Indonesia, published in Indonesian in the early 1970s, the Jesuit Jan Bakker wrote the chapter on the pre-colonial period. Bakker identifi ed in the text of Abu Salih al-Armini Fahsur with the place Fansur or modern Baros in Sumatra and took for granted that the various churches of that place were a sign of a Christian community, already in existence in the middle of the seventh century or about 650 CE. Th is latter fact was an amplifi cation of the reference to Christians in Kalah, in a letter by Iso’yabh III, Nestorian Metropolitan of Erbil and Mosul. (Muskens 1972-I:27–36; cf. R. Duval 1905:182).(ibid)
        Dua kesimpulan yang berbeda ini, awalnya, saya ingin meneliti lebih lanjut dan membuat sebuah artikel tentangnya. Sebab, data-data yang didapat dari kesimpulan para tokoh Kristen bahwa Kristen telah sampai di Nusantara pada ke-Tujuh akan bermuara pada keterangan Abu Shalih al-Armini, lalu, timbullah keinginan besar untuk meneliti buku ini: benarkah demikian? Namun, ketika saya sudah mulai mengumpulkan bahan-bahan tentang ini, ternyata saudara Susiyanto telah menulis permasalahan ini di Hidayatullah. Niat pun diurung, dan terimakasih kepada saudara Susiyanto.

Berikut tulisan Susiyanto: