Rabu, 25 Mei 2011

M. Nazaruddin – SBY – Demokrat (Kesungguhan atau Pemulihan Citra?)


Oleh : Edi Kurniwan, S.Sy
(Penulis adalah Alumni Fakultas Syari’ah IAIN STS Jambi/peneliti pada Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization)

            Sejak menggelindingnya isu suap Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga dan percobaan suap Mahkamah Konstitusi yang dilakukan M. Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat (selanjutnya disingkat: PD) hingga menimbulkan berbagai asumsi miring terhadap partai pemenang Pemilu 2009 ini.
Ada yang mengatakan PD merupakan banker korupsi. Atau juga keputusan DKPD (Dewan Kehormatan Partai Demokrat) tidak berdasarkan kesungguhan atau pemulihan citra belaka.
            Keputusan pemecatan M. Nazaruddin yang dikeluarkan oleh DKPD beberapa waktu lalu menuai siulan merdu dari M. Nazaruddin. Ia mengancam buka-bukaan untuk membeberkan berbagai persoalan atau boroknya partai pemenang Pemilu 2009 ini. “Ancam Buka-Bukaan”, begitulah rilis sebuah Media Massa.
Apa yang dikatakannya terbukti benar adanya. Lihatlah misalnya ia menuding Andi Malarrarangeng dan Amir Syamsuddin, dua politikus PD lainnya, merekayasa pencopotannya dari Bendahara Umum. Ia juga menuding Choel Mallarangeng, adik Andi, memainkan proyek Kemenpora atas pengetahuan Andi Mallarangeng.
Lagi-lagi SBY selaku Ketua Pembina PD sekaligus orang nomor wahid di negeri ini harus membuktikan ucapannya bahwa ia sendiri yang akan turun tangan untuk memberantas tikus-tikus busuk alias koruptor.
Kesungguhannya tampak dalam menyelesaikan kasus korupsi yang menimpa besannya sendiri tahun lalu. Akankah SBY memberantas kasus M. Nazaruddin ini tanpa memandang dia sebagai kader PD? Ataukah keputusan DKPD hanyalah keputusan setengah hati demi pemulihan citra PD di mata publik? Tulisan ini mencoba untuk mengenengahkan itu semua.


Sekilas Sepak Terjang M. Nazaruddin
M. Nazaruddin tersandung dua kasus besar. Pertama, ia disebut-sebut terlibat dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet Palembang untuk SEA Games XXVI. Dalam kasus itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam bersama Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang dan Manajer PT Duta Graha Indah Muhammad El Idris. KPK menyita cek senilai Rp 3,2 miliar di kantor kementerian tersebut. Kedua, seperti diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD bahwa Nazaruddin pada September 2010 memberi uang 120.000 dolar Singapura (Rp830 juta) kepada Sekretaris Jenderal MK Janedjri M Gaffar. 


Jika ditilas balik sepak terjangnya, M. Nazaruddin sudah beberapa kali tersandung pidana. Ia pernah mendekam di penjara pada tahun 2005 karena memalsukan dokumen perusahaannya guna mengikuti tender proyek pengadaan proyek pengadaan pada Departemen Perindustrian. Pada tahun yang sama, ia juga tersandung kasus pemalsuan dokumen garansi yang seakan-akan diterbitkan oleh Bank Syari’ah Mandiri dan Asuransi Takafful.(TJ/25/05/11)
            Pada tahun 2008 ia tersandung dugaan penipuan dan penggelapan uang senilai Rp 7 miliar. Kemudian pada 2010 ia tersandung kasus pemberian uang 120 dolar Singapura kepada Sekjen MK. Dan pada 2011 ia kembali tersandung kasus penyuapan Rp 3,2 miliar kepada sekretaris Menpora. .(TJ/25/05/11)


SBY - Demokrat: Kesungguhan Atau Pemulihan Citra?
Dalam logika hukum, kekuasaan Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tentulah melebihi (di atas) kewenangan Jaksa Agung untuk mendeponeer perkara, karena kewenangan kejaksaan sendiri adalah bagian dari kewenangan pemerintahan. Jadi, keputusan DKPD yang diketuai SBY yang juga adalah Presiden RI yang menurut konstitusi juga beliau adalah pemegang kekuasaan pemerintahan terhadap kasus Nazaruddin untuk menyerahkannya ke ranah hukum, satu sisi adalah sikap negarawan yang patut diacungi jempol. Namun pada sisi lain  apakah masalah ini betul-betul akan selesai dalam jalur due process of law sebagai bentuk dari supremasi hukum. Ataukah akan diselesaikan sesuai cara SBY sendiri dalam menyelesaikan masalah sengketa dua pejabat pemerintah yang ada di bawah pemerintahannya pada tahun 2007 silam, yaitu antara Taufiqurrahman Ruki (Ketua KPK) dengan Pak Yusril Ihza Mahendra (Sekretaris Negara mantan Menteri Hukum dan HAM) yang saling tuding menuding dalam polemik tentang kebijaksanaan penunjukan langsung pengadaan alat sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan yang  dicium bau korupsinya oleh KPK. Sementara kebijakan penunjukan langsung pengadaan alat sadap oleh KPK yang oleh Yusril dipandang identik dengan kasus yang menimpa kementerian yang pernah dipimpinnya, namun tidak dimasalahkan oleh KPK. Kasus ini berhasil diselesaikan oleh Presiden SBY secara ”Adat”, atau selesai melalui proses ”jabat tangan” dari kedua pihak. Atau juga keputusan ini hanyalah pemulihan citra belaka.
Jika keputusan ini jatuh pada kesungguhan, maka ini membuktikan bahwa di negara Indonesia yang menyatakan diri sebagai negara hukum, tetap memberi ruang adanya penyelesaian tanpa proses penegakan hukum bila hal itu dilakukan oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan. Jadi sangat beralasan kalau sikap Pak SBY untuk menyerahkan kasus Nazaruddin ini ke ranah hukum sepatutnya diacungi jempol, sungguhpun itu akan menjadi pukulan berat bagi PD yang selama ini terus berusaha mencitrakan diri sebagai clean party. Apakah PD bisa membuktikan itu, atau malah kasus ini hanyalah langkah awal pengusutan borok yang lain jika dikatan PD sebagai banker korupsi. Semua ini akan terang benderang bila KPK yang kini dipimpin  Busyro Mukaddas melakukan langkah pro aktif segera menangani masalah ini sesuai kebutuhan publik dan tanpa tekanan politik manapun.
Penyelesaian secara hukum akan menjadi sesuatu yang memberikan multy player effect yang sangat baik, karena bukan saja akan manjadi tradisi baik bagi perjalanan negeri ini menjadi negara hukum, tetapi juga sekaligus akan menjawab berbagai sakwasangka yang akan menjadi fitnah yang berkepanjangan bila tidak dibuka terang-benderang untuk mendapatkan manfaat politik menghadapi pilpres 2014.
Namun jika keputusan ini pemulihan citra belaka, ini membuktikan bahwa hukum hanya diberlakukan hanya untuk mereka rakyat jelata. Nenek imah yang tersandung kasus pencurian tiga buah kakau karena kelaparan pada tahun lalu dituntut dan dihukum diluar batas rukhsah (keringanan). Sementara M. Nazaruddin dengan berbagai macam sandungan kasus yang pernah ia lakukan, jika ditilik secara pidana tentu itu bukan pidana ringan. Namun faktanya M. Nazaruddin masih berleha-leha dan bermain ria tanpa merasa dosa. Maka benarlah adanya embel-embel yang berkembang ditengah masyarakat, “rakyat jelata mencuri ayam karena kelaparan dihukum yang terkadang diluar batas kemanusian. Namun orang besar alias tikus-tikus busuk yang mencuri uang negara bermiliaran rupiah tetap santai dan enjoy saja”. Apakah ini yang namanya negara hukum? Akankah PD masih membutuhkan orang seperti ini dalam perpolitikannya? Bukankah itu hanya mematahkan lidah SBY sendiri dalam memberantas korupsi di negeri ini? Wallahua’lam!

Sabtu, 21 Mei 2011

Jalan-Jalan Ke Angso Duo

para pedagang di pasar angso duo
Hari ini saya kedatangan dua orang tamu istimewa, paman dan adik sepupu. Mereka datang dari kampung nun cukup jauh di sana, Desa Jelutih, Muaro Bulian. 

Sekitar jam 11.00 WIB tiba-tiba HP ku berdering, ternyata ada telepon dari paman tatkala aku lagi asyik-asyiknya online di dunia maya mengelola blogku, maka langsung saja aku off kan dan sekejap kemudian langsung menuju lokasi. Dan sejurus kemudian aku ajak mereka menuju rumahku. 

            Tanpa banyak basa-basi,  aku tawarkan diri apa yang bisa saya bantu untuk mereka. Pamanku punya urusan tersendiri dan adik sepupuku mau ikut mendatar ke UNJA. Namun saying, mereka datang pada waktu libur. Yah… terpaksa menunggu sampai hari senin. Pamanku tidak punya waktu banyak dan sorenya langsung pulang, sementara adik sepupuku terpaksa tinggal bersamaku dalam beberapa hari. 

            Nah, ketika aku dan adik sepupu jalan-jalan, inilah sebuah kisah yang perlu kita renungi bersama. “Wajah Angso Duo, Gambaran Negeri Ini”. 

            Puas aku dan adik sepupu mutar-mutar di pasar, namun yang di antara tempat yang sangat terkesan adalah pasar Angso Duo. Pasar tradisional kebanggaannya Provinsi Jambi. Kalau sahabat bloofer bertanya dengan orang Jambi, insyaallah ketika disebutkan pasar angso duo, pasti mereka tahu. Amat kebangetan jika ada yang tidak tahu. 

Namun sayang, pasar yang menjadi kebanggaannya orang Jambi ini tidak terkelola dengan baik. Jalannya hancur-hancur. Kalau hujan becek minta ampun. Kalau panas berdebu. Belum lagi bauk amis yang memuntahkan bekas dari sampah sayur-sayuran dan segala pernak-perniknya. Pokoknya kagak nahan. Aku tidak bisa membuktikan kepada sahabat bloofer. Kalau sahabat bloofer mau membuktikan, silahkan berkunjung saja. 

            Sebenarnya bukanlah pemerintah tidak mampu mengelola pasar ini. Ini dibuktikan beberapa tahun lalu, pasar ini sungguh amat bersih. Namun hari ini wajah itu berubah total. Bambang-Sum di bawah kepemimpinannya, salah satu visinya adalah Jambi bersih. Begitu pula dengan HBA, Gubernur Jambi, di bawah kepemimpinannya dengan visi Jambi EMAS. Salah satu agenda yang diaumkan adalah Jambi Sehat. Namun, sayang di sayang… sayang… visi Walikota dan Gubernur Jambi ini belum meretas sepenuhnya. Mengapa? “apakah mereka tidak mampu memberikan solusi, ataukah masyarakat Jambi yang susah di atur, membuang sampah sembarangan. Atau pula ini adalah hibah dari rezim sebelumnya?”. Wallahua’lam. Apapun jawaban yang diberikan, patut untuk dihargai dan dihormati karena faktanya begitulah wajah angso duo hari ini.  

hiruk-pikuk pasar
               Wajah angso duo hanyalah sebagian keadaan negeri kita hari ini. Tanpa bermaksud memburuk-buruk negeri Jambi tempat aku dilahirkan. Namun dalam hematku, sebagian besar pasar-pasar tradisional yang ada di negeri ini tak terkelola dengan baik. Wajahnya tak jauh berbeda dengan pasar Angso Duo. 

            Jika dilihat dan dibentangkan potensi alam yang dimiliki bangsa ini, suatu yang amat naas kekayaan yang begitu besar tak termenej dengan baik. Mengapa? potensi alamkah, atau potensi manusianya? Jawabannya tentu saja potensi manusianya. Pasar angso duo dan segala hiruk-pikuknya sudah menjadi gambaran negeri ini. Pengelolaannya yang kurang oftimal, jika tidak mau dikatakan tidak. Sampai pada hiruk-pikuk kegiatan manusianya. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, beberapa orang buruh pasar yang lalu lalang dengan bawaan beban di atas kesanggupan mereka cuma demi sesuap nasi. Pengemis-pengemis menadahkan tangan mengharap balas kasihan. Penjual-penjual berpanas-panas hingga menghitam yang tak mendapatkan tempat. Wanita-wanita uzur yang seharusnya tidak bekerja lagi menenteng barang-barang dagangan di luar beban mereka. 

            Apa yang aku ceritakan, hanyalah wajah besar keadaan negeri ini. Di kota manapun kita berlabuh, pandangan yang sama akan mudah ditemukan. Buruh-buruh, penjual-pejual, wanita-wanita tua, anak-anak terlantar, dan segala macamnya dengan ditemukan. Maka di sini dapatlah kita tegaskan, “wajah angso duo hanyalah gambaran kecil keadaan negeri ini”.



             Semoga saja seluko adat negeri kita dapat terwujud:
“Aek ning ikannyo jinak
Rumput mudo kerbaunyo gemuk.
Negeri aman padinyo menjadi
Aman kampung kareno dek yang tuo
Ramai kampung kareno dek yang mudo
Kak kusut samo-samo uraikan
Kak keruh samo-samo kita jernihkan”           
           
Semoga!!!

Jambi, 21 Mei 2011


Allah Mengabulkan Do’a Orang Yang Bertaubat


Di zaman Nabi Daud as, hidup bertahta seorang raja yang zalim sewenang-wenang. Rakyat negeri itu sangat menderita. Mereka lalu datang menjumpai Nabi Daud as dan mengadukan nasibnya. Nabi Daud kemudian memberi petunjuk agar rakyat bersatu padu menentang raja dan kemudia menghukumnya. Rakyat menuruti perintah Daud dan mereka berhasil mematahkan kekuasaan raja. Raja ditangkap dan dihukum dengan jalan mengurungnya lalu diasingkan di puncak gunung.

Dalam kesendiriannya, raja menjadi takut. Tak ada seorangpun yang dapat dimintai pertolongan. Ia kemudian berdoa kepada Allah SWT agar dibebaskan dari kesulitan. Tak ada petunjuk sedikitpun ia peroleh. Raja menjadi kecewa dan berpalinglah ia kepada matahari dan bulan. Ia memohon petunjuk agar terbebas dari kesusahan itu.

“Tuhanku, hamba memohon lindunganmu dari kesulitan yang menimpa hamba”
Tapi tak ada petunjuk yang ia peroleh. Dalam keputusasaan itu, raja kembali berdoa kepada Allah SWT.

“Ya Allah…hamba telah ingkar kepadaMu. Sekarang hamba kembali ke Tuhan Yang Maha Benar. Ya Allah,tolonglah hamba”

Allah yang Maha Pengampun mendengar do’a raja dan Ia mengabulkan do’anya itu. Allah kemudian menurunkan firmanNya, “Orang ini selalu mengabdi kepada tuhannya, tetapi ia tidak beroleh manfaat dari tuhan-tuhannya itu. Hari ini ia telah kembali kepadaKu dan berdo’a,maka Aku mengabulkannya. Aku mengabulkan doa hambaKu bila ia memohon. Wahai Jibril, bebaskanlah hambaKu ini dan letakkanlah ia diatas bumi dengan selamat.”

Pagi hari berikutnya, rakyat beramai-ramai menuju puncak gunung. Mereka ingin melihat bagaimana keadaan raja zalim itu setelah dikurung seharian.

Ternyata, setelah mereka sampai, raja sudah tidak berada di dalam kurungan lagi. Raja berada diluar kerangkeng itu dengan tak ada kekurangan apapun. Mereka lalu memeriksa kurungan, tetapi tak ada tanda-tanda bahwa raja berhasil merusakkan salah satu bagiannya dan keluar dari sana. Ini adalah peristiwa yang menakjubkan,pikir mereka.

Beramai-ramailah rakyat itu menuju rumah Daud, menceritakan apa yang dilihatnya. Mereka memberitahukan kepada Daud, telah terjadi keajaiban atas diri raja. Daud segera berangkat menuju puncak gunung untuk melihat sendiri cerita rakyat itu. Dan ia pun menyaksikan kejadian itu dengan heran dan takjub. Daud segera sembahyang dua rakaat dan memohon petunjuk.

“Ya Allah,beritahukanlah kepadaku mengenai peristiwa yang menakjubkan ini”.


Allah lalu berfirman kepada daud, “Wahai Daud, hambaKu ini telah memohon perlindungan padaKu. Aku mengabulkan permohonannya itu. Bila Aku tidak mengabulkannya seperti tuhan-tuhannya yang terdahulu itu, lalu apakah bedanya Aku dengan tuhan-tuhannya itu? Aku mengabulkan do’a orang yang mau bertaubat kepadaKu. Wahai Daud, jelaskanlah masalah keimanan kepada orang ini. Tentunya ia akan beriman dengan baik. Aku selalu berkata benar dan memberi petunjuk.”

Jumat, 20 Mei 2011

RAHASIA DI BALIK UJIAN

HARI ini (Jum’at, 20 Mei 2010) aku menunaikan shalat Jum’at di Masjid Kampus, tempat yang dulu aku pernah menuntut ilmu selama 4,5 tahun. Karena ada beberapa kesibukan yang menunda, aku datang ketika mu’azin telah mengumandangkan azan kedua, dan selang beberapa waktu khatib memulai khutbahnya. Sayang, kalau mengikut petunjuk Rasulullah, hari ini aku hanya mendapatkan telor ayam(^_^), padahal seyogya bergegas mendapat sapi atau minimal lembu (pahala ^_^).

            Di awal khutbahnya, khatib mengutip dua buah ayat: “Wamaiyattaqillahi yaj’allahu makhraaja” (barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah mempermudahkan segala urusannya), dan “Wamaiyattaqillahi yarzuqhu min haisu laa yahtasib” (barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya).

Sejenak aku tertegun tatkala khatib menjabarkan ayat ini dengan penuh hikmah. Beberapa waktu lalu cobaan berat bertubi-tubi menimpa hidupku. Jika difikirkan secara akal sehat dan hitungan sistematis, rasanya suatu hal yang tak sanggup untuk menerima kenyataan hidup. Seumur hidupku, baru kali ini merasakan penderitaan yang bertubi-tubi semacam ini. Tapi alhamdulillah masih ada Allah di hati, masih ada tempat mengadu kepadanya.

            Diawali dengan ibuku yang tercinta tiba-tiba jatuh sakit, tak sanggup bergerak seperti biasanya. Yah... barangkali sudah umurnyalah yang butuh istirahat banyak dan sudah mulai uzur(^_^). Lalu kemudian adikku tercinta yang sekarang sedang meminba ilmu di sebuah Ponpes, yang tiba-tiba butuh uang banyak untuk membayar uang sekolah. Ya ampun.... biasanya ada ibu yang membantu, tapi beban itu dikembalikan padaku. Mau cari ke mana.

            Belum lagi selesai urusan yang satu, beberapa hari setelah itu cobaan baru datang lagi. Seorang sahabatku berobah total. Biasanya aku dan dia sering bercanda, namun kala itu dia diam dan diam seribu bahasa. Dan cobaan ini belum lagi selesai, tiba-tiba kakakku yang tertua menambah beban pikiranku lagi atas ulahnya.

            “Yaa Allah... kepadaMu lah hamba mengadu dan kepadaMu lah hamba meminta pertolongan. Permudahkan urusanku yaa Allah... sembuhkanlah ibu... limpahkan nikmatmu kepada sahabatku... permudahkanlah hamba membantu ibu dalam membiayai adik hamba yaa Allah... permudahkan urusan kakakku yaa Allah... engkau telah menjanjikan, tidaklah engkau membeni seorang hamba kecuali atas kesanggupannya. Berikanlah kesabaran dan keikhlasan kepada hambaMu yaa... Allah....”, do’a inilah selalu terpatri sehabis shalat dan sujudku dengan linangan air mata, penuh harap dan pinta.

Sekiranya atas cobaan ini aku berfikir matematis dan menjauhkan diriku dari Allah, suatu hal yang tak sanggup aku menahan beban itu semua. Maka jadilah aku hamba yang kufur. Kufur ketika nikmat Allah itu dicabut. 

Empat ujian beruntun terjadi. Belum lagi selesai yang satu, yang satu sudah menunggu. Tapi Alhamdulillah masih ada Allah tempat mengadu. Aku tingkatkan ibadahku kepada Allah untuk mencapai manisnya ibadah. Aku dekatkan diriku kepadaNya. Memohan kemudahan kepadanya. Berdo’a disetiap akhir sahalat dan sujudku. Alhamdulillah akhirnya keajaiban Allah itu pun datang. Ibuku yang tadinya sakit parah, alhamdulillah Allah sembuhkan. Adikku yang butuh uang sekolah, entah dari mana Allah memudahkan rizkiku. Sahabatku yang tadinya diam seribu bahasa, alhamdulillah kami sudah bercanda ria seperti biasanya. Kakakku yang tadi cik cok keluarga, alhamdulillah Allah berikan ketenangan pada keluarganya. JanjiMu itu benar yaa Allah... “tidaklah Allah membebani seorang hamba, kecuali atas dasar kesanggupannya”. 

            Sahabat bloofer^_^... Dalam setiap pernak-pernik kehidupan, jadikanlah Allah hadir di setiap langkah kita. Dialah tempat kita mengadu. Berdo’alah kepadanya dengan penuh harap dan pinta. Berikhtiyarlah dengan sungguh-sungguh menjemput rizkiNya. Bersabarlah dalam setiap ujianNya. Lalu serahkan semuanya kepadaNya. Yakinlah janji Allah itu benar, “di balik kesusahan akan ada kemudahan. Sungguh, di balik kesusahan akan ada kemudah”. “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya dari penjuru yang tak terduga... keep istiqamah saudaraku^_^... jadilah hamba Allah yang selalu bersyukur ketika nikmat itu diberi. Dan jadilah hamba Allah bersabar dan ikhlas ketika nikmat itu dicabut. ^_^ Mudah-mudahan syurga Allah yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, dipan-dipannya dari mutiara, bidadari cantik jelita, kolam-kolam susu mengalir indah, kebun-kebun kurma yang mengindahkan mata, itu diberikan kepada kita. Ameen...^_^.


Jambi, 20 Mei 2010
           

Kamis, 19 Mei 2011

Justifikasi Pernikahan Beda Agama Perspektif Islam Liberal



  Justifikasi Pernikahan Beda Agama Perspektif 
Islam Liberal
(Kritik Terhadap Konsep Ahl al-Kitab, Musyrik, dan Kafir)


Oleh: Edi Kurniawan, S. Sy
(Penulis Adalah Alumni Fak. Syari’ah IAIN STS Jambi & Peneliti Pada Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization)

Pendahuluan
Dengan meminjam istilah yang dikategorikan oleh Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: A Source Book[1] yang mengkategorikan Islam Liberal yang ia maksud dalam bukunya tersebut ada tiga kategori, salah satunya adalah interpreted shari’ah.[2] Di sinilah mereka dapat dipahami sebagai interpreted syari’ah karena mereka berasumsi bahwa Islam membuka kemungkinan liberal pada masalah-masalah yang dimungkinkan munculnya penafsiran (interpreted). Mereka menggunakan teks-teks sebagai dalil, namun mengedepankan suatu epistemologi yang menekankan perlunya keragaman di dalam menafsirkan al-Qur’an, termasuk di dalamnya teks-teks ayat yang dianggap melarang pernikahan beda agama. Ayat yang berkaitan dengan ini antara lain Surah al-Baqarah ayat 221, al-Maidah ayat 5, dan al-Mumtahanah ayat 10.
Berangkat dari tiga ayat di atas, maka ada tiga hal yang harus di-clear-kan mengenai pernikahan tersebut, yaitu konsep ahl al-kitab, musyrik, dan kafir.

Konsep Ahl al-Kitab
Konsep ahl al-kitab[3] pada masa awal kedatangan Islam mengacu kepada dua kelompok, yaitu Yahudi dan Nashrani. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ada beberapa pendapat yang menambahkan bahwa ahl al-kitab itu tidak hanya mencakup Yahudi dan Nashrani saja, Namun lebih dari itu. Orang-orang yang mempunyai kitab seperti hindu, budha, konghucu dan lain-lain juga bisa disebut sebagai ahl al-kitab. Pendapat ini akan mempunyai konsekuensi bahwa mereka pun (wanita hindu, budha, konghucu, dll) boleh dinikahi. Dan jika ahl al-kitab itu hanya tertuju kepada Yahudi dan Nashrani saja, maka konsekuensinya yang boleh dinikahi hanya kedua tersebut. Atau ahl-kitab itu tertuju kepada Yahudi dan Nashrani yang berasal dari keturunan Israel, maka yang boleh dinikahi Yahudi dan Nashrani dari keturunan Israel saja.

Memang terjadi perbedaan pendapat yang berkembang dikalangan ulama mengenai cakupan ahl al-kitab: (a) kebanyakan ulama berpendapat bahwa ahl al-kitab hanya mengacu kepada kepada kelompok Yahudi dan Nashrani. Bahkan Imam Syafi’i lebih ketat lagi, term ahl al-kitab menurutnya hanyalah penganut agama Yahudi dan Nashrani yang berasal dari Bangsa Israel.[4] Alasannya menurut beliau, karena nabi Musa dan Isa hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan untuk bangsa lain.[5] Mengenai penganut agama selain dari Yahudi dan Nashrani menurut pendapat ini mereka disebut dengan syibh ahl al-kitab.[6]`(b) ada yang mengatakan bahwa ahl al-kitab itu tidak hanya terbatas pada Yahudi dan Nashrani saja. Majusi juga termasuk ahl al-kitab, sebagaimana pandangan Dzahiriyah.[7]Abu Hanifah dan ulama Hanafiyah serta sebagian hanabilah berpendapat, siapa pun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang diturunkan Allah, maka ia termasuk ahl al-kitab, tidak terbatas pada kelompok agama Yahudi dan Nashrani saja. Dengan demikian, bila ada suatu kelompok yang hanya percaya kepada Zabur, Shuhuf, dan Syits saja, maka ia termasuk dalam jangkauan pengertian ahl al-kitab.[8] Abu al-‘Aliyah (w.39.H), seorang tabi’, mengatakan bahwa kaum shabi’un adalah kelompok ahl al-kitab yang membaca kitab suci zabur.[9]

Di sinilah dengan meminjam istilah yang dikategorikan oleh Kurzman, interpreted shari’ah.[10] Di sinilah mereka dapat dipahami sebagai interpreted syari’ah karena mereka berasumsi bahwa Islam membuka kemungkinan liberal pada masalah-masalah yang dimungkinkan munculnya penafsiran (interpreted), dalam hal ini khusus pada makna dan cakupan ahl al-kitab.

Menurut Cak Nur (nama sapaan Nurcholis Madjid) sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Daud Rasyid, M.A. dalam makalahnya, ketika diskusi di TIM Oktober 1992, Cak Nur dengan mengutip pendapat Abdul Hamid Hakim, tokoh pembaharu asal Padang Panjang, Sumatera Barat dalam bukunya al-Mu’min al-Mubin, ia menyatakan bahwa ahl al-kitab bukan hanya agama-agama samawi saja (Yahudi dan Nashrani). Menurutnya, semua pemeluk agama di luar Islam adalah ahl al-kitab.[11] Kemudian dalam makalah tersebut ia mengutip kembali pendapat Abdul Hamid Hakim yang mengklaim bahwa Rasyid Ridha mengatakan bahwa yang termasuk ahl al-kitab tidak hanya orang-orang Yahudi dan Kristen kemudian Majusi saja, tetapi orang Hindu, Budha, dan penganut agama Cina, Jepang, dan lain-lain. Menurut Abdul Hamid Hakim, mereka adalah penganut kitab suci yang memuat ajaran dasar tauhid atau ketuhanan Yang Maha Esa sampai sekarang.[12]

Senada dengan Cak Nur, kemudian belakangan diikuti pula oleh orang-orang yang se-ide dengan Cak Nur. Zainun Kamal misalnya (kontributor JIL), menurutnya, kalau merujuk pada kitab-kitab tafsir, sebenarnya ahl al-kitab tidak hanya terbatas pada Yahudi dan Nashrani saja. Kedua golongan ini populer disebut ahl al-kitab karena kedua agama ini memiliki penganut agama yang cukup banyak. Padahal, lanjutnya, bila seseorang sudah percaya kepada salah satu Nabi, maka ia bisa dikategorikan ahl al-kitab. Secara eksplisit Kamal mengatakan bahwa penganut agama-agama yang diakui di Indonesia adalah ahl al-kitab. Ia memulai pandangannya secara makro, al-Baghdadi dalam al-Farq Baina al-Firaq mengatakan bahwa agama Majusi atau Zoroaster sekitar Arab juga bisa disebut ahl al-kitab. Hal ini karena Zoroaster dianggap sebagai Nabi. Bahkan Ibn Rusyd menyebut Aristoteles juga sebagai Nabi. Kemudian dalam konteks Indonesia, dengan mengutip pendapat Ridha dan Tafsir al-Manar-nya, ia menyatakan bahwa agama Budha, Hindu, atau agama Konghucu dan Shinto, juga disebut ahl al-kitab, karena ada kitab yang dibawa oleh Nabi. Dan Nabi di sini diartikan sebagai pembawa pesan moral. Atas dasar itu menurut Kamal, tidak ada larangan menikah dengan kaum agama lain, dalam konteks Indonesia yaitu agama Hindu, Budha, Kristen, dan Protestan, dengan alasan karena mereka juga mempunyai kitab suci yang berisi pesan moral dan menjadi pegangan hidup.[13]

Hal yang senada juga disampaikan oleh Siti Musdah Mulia. Menurutnya, dengan menyetir pendapat Ridha di atas yang menyatakan bahwa ahl al-kitabahl al-kitab. Karena itu ia menyimpulkan bahwa dalam, “pernikahan beda agama tidak ditemukan dalil berupa teks Al-Qur’an dan Hadits yang secara tegas dan pasti (qath’i)(‘adam al-dalil huwa al-dalil). Artinya menurut Musdah, jika dalam suatu perkara tidak ditemukan nash atau teks yang secara tegas melarang atau menyuruh, maka dikembalikan ke hukum asal. Salah satu kaidah fiqih menyebutkan bahwa dalam urusan muamalah, seperti pernikahan, hukum asalnya adalah mubah atau boleh (al-ashl fi al-asyya’ al-ibadah), maka pernikahan beda agama juga dibolehkan”.[14] tidak hanya sebatas Yahudi dan Nashrani saja, melainkan Budha, Hindu, Konghucu, Shinto dan lain-lain juga disebut melarang atau membolehkan. Menurut kaidah fiqih, ketiadaan dalil itu sendiri merupakan dalil

Sementara Abd. Moqsith Ghazali, aktifis JIL, dengan menyetir pendapat Rasyid Ridha sebagaimana pendahulunya, dan beberapa pandangan para Ulama tentang cakupan ahl al-kitab, ia menyimpulkan bahwa “pengharaman antara perempuan Muslim dengan laki-laki ahl al-kitab dengan mengacu pada al-Qur’an tersebut tidak cukup kuat. Karena al-Qur’an tidak melarang secara tegas, sebagaimana ketegasan al-Qur’an ketika melarang orang Islam menikah dengan orang Musyrik Mekah atau orang Kafir Mekah”.[15]

Dari beberapa argument tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memahami cakupan ahl al-kitab, mereka lebih cenderung kepada pemahan Rasyid Ridha. Begitu pula ketidakrelevannya larangan perkawinan antara wanita Muslimah dengan laki-laki ahl al-kitab dengan waktunya dan larangan tersebut tidaklah kuat. Karena itu, perlu ditelaah lebih lanjut kesimpulan tersebut sebagai berikut:


Cakupan Ahl Al-Kitab
Untuk mengawali analisis ini, ada baiknya penulis kutipkan kritik Daud Rasyid kepada Cak Nur ketika diskusi TIM 1992, Daud Rasyid mengatakan: “Ungkapan aneh ini[16] kemungkinan besar muncul karena tidak memahami secara utuh jalan pikiran Rasyid Ridha tentang ahli kitab; atau sengaja mengangkat sisi-sisi kelemahan dari ijtihad Rasyid Ridha dan membesar-besarkannya untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah”.[17]

Hemat penulis, kritik Daud Rasyid ada benarnya. Jika kita merujuk kembali pada Tafsir al-Qur’an al-‘Azim atau dikenal juga dengan Tafsir al-Manar jilid VI, di penghujung penafsirannya tentang Surah al-Maidah (5) ayat 5 ini, Rasyid Ridha memperingatkan dengan serius bahaya mengawani wanita ahl al-kitab jika si istri akan mencelakakannya sehingga suami mengikuti agama istrinya, bukan dia yang menarik istrinya ke dalam Islam. Hal ini, kata Ridha, banyak terjadi pada zamannya, di mana lelaki Muslim yang lemah imannya menikahi wanita-wanita Eropa sehingga mereka tertipu. Atas dasar itu menurut Ridha, sadd zari’ah wajib diberlakukan dalam Islam. Ridha menulis:

“Apabila seseorang takut sang istri yang akan menarik sang suami kepada perbuatan, kecantikan, kejahilan, dan akhlak-nya yang buruk, sebagaimana yang banyak terjadi pada zamannya (Ridha), di mana laki-laki Muslim yang lemah menikahi wanita-wanita Eropa atau juga menikahi wanita kitabiyyat sehingga mereka itu (laki-laki yang lemah) tertipu oleh mereka (wanita-wanita Eropa atau kitabiyyat). Atas dasar itu, sadd al-zari’ah wajib diberlakukan dalam Islam”.[18]

Di sini jelaslah Ridha sangat memperingati kepada laki-laki terutama laki-laki yang lemah imannya untuk tidak menikahi wanita ahl al-kitab, di mana mereka sering tertipu, bukannya mereka yang mengajak kepada Islam, tapi malah sebaliknya mereka yang mengikuti agama sang istri. Dalam kondisi semacam ini, menutup jalan atau tidak memberikan peluang agar kasus seperti ini tidak terjadi (sad al-zari’ah) wajib diberlakukan.

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh Islam Liberal terutama JIL dan kontributornya yang telah penulis paparkan pada bagian terdahulu, ternyata tidak ada satu pun di antara mereka yang mengutip peringatan Ridha ini, cuma mengutip pendapat Ridha tentang konsep dan cakupan ahl al-kitab saja. Hal ini tentunya sebuah ketidakadilan dalam mengutip, menerima apa yang sesuai dengan selera dan menolak apa yang tidak sesuai.

Mengenai cakupan ahl al-kitab, Muhammad Quraish Shihab dalam wawasan al-Qur’an, setelah menguraikan panjang lebar pandangan dan pendapat para ulama tentang ahl al-kitab, ia berkesimpulan bahwa ahl al-kitabahl al-kitab hanya terbatas pada kedua golongan tersebut, yaitu Yahudi dan Nashrani.[19] Senada dengan Quraysh Shihab, Muhammad Ghalib dalam disertasinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, setelah menguraikan panjang lebar pendapat para ulama, ia berkesimpulan bahwa istilah ahl al-kitab hanya tertuju pada dua komunitas, yaitu Yahudi dan Nashrani.[20] adalah semua penganut agama Yahudi dan Nashrani. Karena menurutnya bahwa penggunaan al-Qur’an terhadap istilah

Jika dicermati pada masa awal Islam, dua golongan inilah yang ditujukan sebagai ahl al-kitab. Dan inilah pendapat yang terkuat di antara beberapa pendapat, dan ini dipegangi oleh Jumhur Ulama. Sebab, secara historis ketika pada masa awal Islam datang yakni pada masa Rasulullah dan para sahabat, kedua kelompok inilah yang disebut sebagai ahl al-kitab. Untuk mempertegas argumen ini, ada 3 alasan yang diajukan sebagi berikut: (a) surat-surat dakwah Rasulullah SAW yang dikirim kepada sejumlah penguasa di luar Semenanjung Arabia juga memberikan petunjuk bahwa ahl al-kitab hanya terbatas pada kaum Yahudi dan Nashrani. Surat dakwah Rasulullah SAW yang dikirim kepada Heraclius[21] dan Muqauqia yang beragama Nashrani, diakhiri dengan seruan kepada kaum ahl al-kitab untuk mengadakan kata sepakat, atau paling tidak mereka mau mengakui eksistensi kaum Muslimin. Akan halnya surat yang dikirim kepada raja al-Najjasi, raja Ethiopia yang juga menganut agama Yahudi, meskipun diakhiri dengan seruan semacam itu, tetapi dalam surat tersebut Rasulullah SAW menyatakan pengakuannya atas Nabi Isa AS yang menunjukkan ada persambungan akidah antara ajaran yang beliau bawa dengan ajaran yang pernah dibawa Nabi Isa AS,[22] (b) surat perjanjian antara kaum Muslimin Muhajirin dan Anshar dengan masyarakat Yahudi yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta benda mereka dengan syarat timbal-balik,[23] dan (c) dalam al-Qur’an Surah Ali Imran (3) ayat 64 lebih jelas lagi seruan kepada ahl al-kitab (Yahudi dan Nashrani) untuk menggunakan kalimah yang sama (kalaimatissawa’) untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukannya dengan apa pun.[24] Hal inilah yang digambarkan oleh Husain Haekal bahwa ahl al-kitab, yakni umat Yahudi dan Nashrani diajak untuk mengesakan Allah. Umat Nashrani diajak untuk saling berdo’a, sedangkan pihak Yahudi sudah ada perjanjian perdamaian.[25]

Kemudian pendapat yang mengatakan bahwa orang-orang Majusi disebut juga sebagai ahl al-kitab. Hemat penulis, pendapat ini kontradiksi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Ja’far bin Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali dari bapaknya. Di mana Rasulullah SAW memerintah untuk memperlakukan orang-orang Majusi seperti ahl al-kitab. Perintah Rasulullah ini untuk “memperlakukan” orang-orang Majusi seperti ahl al-kitab, tentunya orang Majusi itu bukan ahl al-kitab, hanya perintah memperlakukan saja dan ini tidak mengandung pengertian bahwa mereka adalah ahl al-kitab. Ditambah lagi dengan sikap khalifah Umar ibn Khattab yang banyak membicarakan sekitar permasalahan orang-orang Majusi, sekiranya ia memahami ahl al-kitab mencakup kaum Majusi, tentunya Umar tidak mempermasalahkan mereka.[26]

Sementara pendapat yang mengatakan bahwa shabi’un juga termasuk ahl al-kitab, ini bertolak belakang dengan pemaknaan awal pada zaman Rasulullah dan para sahabat, bahwa ahl al-kitab itu hanya mengacu kepada Yahudi dan Nashrani.

Dan pendapat Ridha, yang menjadi pegangan tokoh-tokoh di atas yang menyatakan bahwa Hindu, Budha, dan Konfisius juga termasuk ahl al-kitab. Hemat penulis, pendapat ini adalah pendapat yang lemah di antara bebarapa pendapat yang ada. Argumen yang digunakan Ridha yang kemudian dijadikan hujjah oleh mereka adalah sasaran awal al-Qur’an adalah masyarakat Arab dan orang Arab belum melakukan perjalanan ke India, Cina, dan Jepang sehingga tidak mengetahui golongan lain.[27]

Sebelum menelaah dan menguji pendapat ini lebih lanjut, ada baiknya kita melihat sejumlah agama besar, kitab suci, dan pendirinya. Berikut daftarnya:[28]
No
Nama Agama
Pembangun Agama
Kitab Suci
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Yahudi
Brahma
Zarathustra
Buddha
Jaina
Shinto
Konghucu
Tao
Kristen
Islam
Sikh

Musa (lk. 1200 SM)
………. (lk. 2000 SM)
Zarathustra (660-583)
Sidharta (563-483 SM)
Mahavira (556-429 SM)
………. (lk. 660 SM)
Konghucu (551-429 SM)
Lao Tze (604-524 SM)
Jesus (lk. 1-30 SM)
Muhammad saw (570-632 M)
Guru Nanak (1469-1538 M)

Taurat
Veda
Avesta
Tripitaka
Agamas
Kojiki/Nihongi
Lun Yu, dll
Tao The King
New Testment
Al-Qur’an
Adi Granth


Selain 11 agama yang disebutkan di atas, tentunya masih banyak lagi agama yang lain di muka bumi ini, sepertia Baha’i yang berpusat di Israel dan Jainisme (agama non-kekerasan dari India yang yang diajarkan oleh Mahavira pada abad ke-5 SM, bersamaan dengan munculnya Budhisme).[29] Kemudian pula dalam daftar penandatanganan naskah deklarasi bernama, “Declaration Toward a Global Etik”, sebagaimana yang dikutip oleh Adian Husaini bahwa pada tanggal 28 Agustus 1993 di Chicago ternyata sejumlah wakil-wakil dari agama seperti Baha’i, Brahma Kumaris, Budhisme, Kristen, agama-agama Asli, Hinduisme, Jainisme, Yudaisme, Islam, Neo Pagan, Sikh, Taois, Teosofis, Zoroasterian, dan sebagainya.[30]

Dengan melihat begitu banyak jenis agama di atas, maka muncul pertanyaan, apakah agama Hindu, Budha, Konghucu, Sinto adalah ahl al-kitab? Jika iya, lalu bagaimana dengan agama-agama yang lain seperti Sikh, Jainisme, Baha’i, Tao, Neo Pagan, Teosofis, dan sebagainya, bisakah disebut ahl al-kitab? Mereka juga mempunyai kitab dan mereka juga mempunyai Nabi (Nabi dalam perspektif Kamal, yaitu pembawa pesan moral)? Mengapa mereka tidak disebut-sebut sebagai ahl al-kitab? Secara logika, tentu sebuah ketidakadilan jika mereka tidak dimasukkan ke dalam golongan ahl al-kitab.

Jika dengan argumen orang-orang Arab belum melakukan perjalanan kala itu, sehingga mereka belum mengenal agama-agama yang ada di Cina dan di Dunia Arab hanya dikenal Majusi dan Musyrik. Dengan berjalannya waktu, mereka telah mengenal Budha, Hindu, Sinto, dan Konghucu. Namun pada hari ini mereka juga telah mengenal agama di luar itu, tapi mereka tidak dikategorikan ahl al-kitab.

Ringkasnya menurut hemat penulis, jika masih tetap memasukkan agama Budha, Hindu, Sinto, dan Konghucu, maka pemaknaan semacam ini akan bias kepada agama-agama yang lain. Selain Yahudi dan Nashrani jika masih tetap disebut sebagai ahl al-kitab, hal ini akan berdampak yang sangat serius, yaitu berujung pada “penyamaan agama” yang populer disebut sebagai “teologi pluralis”.[31]


Pernikahan Antara Wanita Muslimah Dengan Laki-Laki Ahl Al-Kitab

Klaim pernikahan antara wanita muslimah dengan laki-laki ahl al-kitab dibolehkan dengan dasar ikhtifa’ (menyembunyikan suatu bagian sebagai pertanda mengikuti bagian yang lainnya) sehingga bisa berlaku di sini mafhum mukhalafah sebagaimana yang diungkapkan oleh Musdah Mulia[32] dan Abd. Moqsith Ghazali.[33]

Para ulama bersepakat bahwa Surah al-Maidah (5) ayat 5 hanya memberikan kebolehan bagi laki-laki muslim untuk menikahi wanita ahl al-kitab, bukan sebaliknya. Seandainya pernikahan semacam ini dibolehkan, tentu Allah akan menegaskan. Dan jika pendekatan kebolehannya menggunakan mafhum mukhalafah,[34] tentu ini bertentangan dengan prinsip mafhum mukhalafah yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul. Sebab, dalam teori mafhum mukhalafah kata “mukhshanat”, yaitu perempuan yang menjaga diri dan kehormatannya, ini berbentuk dalam redaksi mantiq (tekstual) sehingga Surah al-Maidah (5) ayat 5 tersebut membatasi masuknya “mukhshanun”, yaitu laki-laki yang menjaga diri dan kehormatannya. Sehingga ulama ushul atau juga dalam kajian ulum al-Qur’an, mafhum mukhalafah semacam ini dikategorikan sebagai mafhum al-shifah. Oleh karenanya, ayat ini menurut jumhur ulama, menunjukkan atas keharaman pernikahan dengan pria ahl al-kitab dengan wanita muslimah.[35]

Demikian pula halnya dengan hadits Nabi sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al’Azim, hadits yang diriwayatkan dari Jabir yang menyatakan bahwa para kaum muslimin boleh menikahi perempuan-perempuan ahl al-kitab, tapi mereka (laki-laki ahl al-kitab) tidak boleh menikahi perempuan-perempuan kami.[36]

Selain itu, ada juga hadits dari Zaid bin Wahab bahwa khalifah Umar berpesan yang menyatakan bahwa seorang muslim boleh menikahi perempuan Nashrani, tetapi laki-laki Nashrani tidak boleh menikahi perempuan Muslimah.[37]

Menurut Ath-Thabari sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Katsir bahwa meskipun sanad haditsnya-hadits tersebut agak sedikit bermasalah, akan tetapi dikarenakan maknanya telah diterima dan disepakati oleh kaum muslimin, maka otoritasnya sebagai dalil dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun demikian, apabila dibandingkan dengan hadits riwayat Syahr ibn Husyab yang mengisahkan bahwa Umar menyuruh Thalhah dan Hudzaifah untuk menceraikan istri-istri mereka yang ahl al-kitab, maka kualitas hadits di atas menurut Ath-Thabari lebih baik.[38]

Hal ini mengingat bahwa kualitas hadits yang melarang pernikahan wanita muslim dengan laki-laki ahl al-kitab dikuat oleh ijma’, dan hadits yang lain yang semakna. Maka hadits yang semula kualitasnya dhaif dapat meningkat menjadi hasan li ghairihi.[39] Sementara hadits hasan sendiri, dari segi posisinya sebagai dalil hukum, sama dengan hadits shahih.[40] Selain itu, ada kaidah fiqh yang menyatakan pada dasarnya dalam masalah farj (kemaluan) itu adalah haram (al-ash fi al-abdha’i al-tahrim).[41] Karenanya, apabila dalam masalah farj (kemaluan) wanita terdapat dua hukum (perbedaan pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum yang mengharamkan.[42]

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapat yang dikemukan oleh kalangan Islam Liberal atau JIL dan kontributornya sebagaimana yang telah mereka tegaskan di atas yang menyatakan bahwa tidak ada nash yang secara tegas melarang pernikahan antara wanita muslimah dengan laki-laki ahl al-kitab, hal ini menurut penulis tidaklah mengena dan telah terbantahkan dengan sendirinya.



Konsep Musyrik
Musyrik, menurut Zainun Kamal, tidak setiap perbuatan syirik menjadikan secara langsung pelakunya disebut musyrik. Karena pada kenyataannya Yahudi dan Nasrani telah melakukan perbuatan syirik, namun Allah tidak menyebut dan memanggil mereka sebagai musyrik, namun tetap dipanggil dengan ahl al-kitab. Hal ini dapat dilihat dalam surat An-Nisa’ ayat 171, Al-Maidah: 5 dan Ali Imran: 64.[43]

Senada dengan Kamal, Siti Musdah Mulia dengan meyetir pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mengatakan bahwa musyrik yang dimaksud dalam Surah al-Baqarah ayat 221 adalah khusus untuk perempuan Musyrik Arab pada masa Nabi saja. Dengan demikian, karena Musyrik Arab tidak lagi, maka ayat tersebut tidak relevan lagi dengan konteks sekarang. Dan indikasinya bahwa dalam teks ayat tersebut di samping disebutkan larangan menikah dengan orang musyrik juga diikuti anjuran menikah dengan budak. Karena itu ia berkesimpulan bahwa konteks musyrik adalah orang-orang musyrik pada masa Nabi, dan mereka sudah tidak ada lagi sekarang. Sebagaimana halnya kelompok budak.[44]

Sementara menurut Abd. Moqsith Ghazali, dengan mengikuti jejak pendahulunya, yang memahami Surah al-Baqarah ayat 221 tentang konsep Musyrik dengan mengikuti pendapat Muhammad Rasyid Ridha yang menyatakan bahwa kalimat yang diungkapkan oleh ayat tersebut menggunakan ungkapan yang bersifat umum, namun ia memiliki pengertian yang khusus, yaitu hanya mengacu pada perempuan Musyrik Arab saja. Dengan demikian, ungkap Moqsith, “sebenarnya ayat tersebut hanya mencakup Musyrik Arab saja”.[45] Kemudian setelah menjelaskan panjang lebar mengenai pernikahan dengan orang Musyrik, ia berkesimpulan bahwa, “… pernikahan umat Islam dengan orang-orang Musyrik tersebut tak melulu bersifat teologis, tetapi lebih tepat bersifat politis. Pada saat ketegangan dan sandungan politis antara umat Islam dan kaum Musyrik itu sudah tidak ada, boleh jadi, konsekuensinya, hukum yang melarang umat Islam menikah dengan orang Musyrik itu pun bergeser”.[46] Intinya menurut Moqsith bahwa larangan pernikahan antara orang Muslim dengan orang Musyrik bukanlah larangan tersebut berbentuk teologis semata, tapi lebih pada nuansa politik. Karena itu, pernikahan dengan orang Musyrik dibolehkan.

Atas dasar ini, mereka lebih banyak mengacu pada konsep Musyrik yang dinyatakan oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menyatakan bahwa Musyrik yang dimaksud dalam Surah al-Baqarah ayat 221 hanya meliputi perempuan Musyrik Arab saja. Maka konsekuensi logisnya, karena Musyrik Arab tidak ada lagi, maka pernikahan dengan orang Musyrik pun dibolehkan.
Hal ini perlu dianalisis lebih jauh, apa itu musyrik dan siapa yang ditujukan oleh ayat tersebut.[47]

Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan agama, seorang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan satu aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama kepada Allah, dan kedua kepada selain-Nya.[48] Kemudian, Kata musyrik merupakan isim maf’ul dari asyaraka-yusyriku-isyrakan yang berarti menyekutukan sesuatu dengan sesuatu. Akan tetapi kata syirik lebih sering dipahami sebagai upaya menyekutukan Allah dengan benda-benda atau sesuatu yang lain. Dan orang yang melakukan perbuatan syirik atau isyrak disebut musyrik.[49]

Selengkapnya, berikut bunyi surah al-Baqarah (2) ayat 221 tersebut:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik dari pada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan (laki-laki) musyrik (dengan perempuan beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik dari pada laki-laki musyrik  meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke syurga dan ampunannya dengan izinnya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran”.[50]

Menurut berapa tokoh yang berhaluan Liberal sebagaimana yang telah disebutkan di atas dengan mengacu kepada pendapat Rasyid Ridha dan Ath-Thabari bahwa orang musyrik yang haram dinikahi adalah orang musyrik Arab saja.[51] Pendapat ini mendapat bantahan dari kalangan ahli tafsir dan fikih yang merupakan pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa wanita musyrikah itu bukan hanya terbatas pada wanita musyrik Arab saja, melainkan juga mencakup semua wanita musyrikah non-Arab di manapun mereka berada.[52]

Dalam memahami ayat tersebut, ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ulama yaitu: (a) pendapat yang dimotori oleh Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa haramnya menikihai wanita musyrik pada ayat tersebut telah di-nasakh-kan hukumnya terhadap sebagian daripada wanita ahl al-kitab, dan halalnya menikahi wanita ahl al-kitab terdapat pada Surah al-Maidah (5) ayat 5. Pendapat ini didukung pula oleh Imam Malik bin Anas, Sufyan bin Sa’id Assauri dan ‘Abdurrahman bin Sa’id Al-Auza’i, dan (b) Qatadah dan Sa’id bin Jubir kemudian didukung pula oleh Imam Syafi’i mengatakan bahwa lafaz ayat 221 pada surah al-Baqarah tersebut berlaku umum untuk setiap wanita kafir/musyrik, sedangkan untuk wanita ahl al-kitab sudah dibahas secara khusus dalam Surah al-Maidah (5) ayat 5.[53]

Dari pendapat tersebut, pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan musyrikat adalah wanita musyrik yang harbiyyat dan seluruh wanita ahl al-kitab, sebagaimana pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas dan al-Auza’i, dengan alasan bahwa orang Yahudi menyatakan bahwa Uzair adalah anak Allah dan orang Nashrani menyatakan bahwa Isa adalah anak Allah.[54] Namun, ayat ini telah di-mansukh-kan oleh Surah al-Maidah (5) ayat 5.[55]

Maka di sini tampak bahwa perselisihan ulama tersebut hanya menyangkut pada tataran, apakah wanita ahl al-kitab masuk ke dalam cakupan al-Baqarah (2): 221 atau bukan. Jika dicermati lebih lanjut lagi pendapat  tersebut, untuk konteks wanita musyrik pada surah al-Baqarah (2) ayat 221 tersebut tidak bisa di-ta’wil-kan terhadap wanita ahl al-kitab, melainkan berlaku umum terhadap seluruh orang kafir.[56] Sebab, surah al-Baqarah (2) ayat 221 tersebut secara tegas melarang pernikahan dengan wanita atau laki-laki musyrik, bentuk ungkapan tersebut menggunakan ungkapan plural dan diimbuhi al-ma’rifah (the definite article). Sehingga menurut kaidah bahasa, bentuk ini menerangkan keseluruhan (lil-istagraq); larangan perkawinan dengan wanita musyrik tanpa pandang bulu dan batas regional, apakah itu dari musyrik Arab atau bukan.[57] Karena itu, pendapat yang dikemukakan oleh Ath-Thabari dan Rasyid Ridha merupakan pendapat yang lemah, sementara jumhur ulama memahami seluruh orang musyrik tanpa batas regional.


Konsep Kafir dan Penafsirannya
Secara etimologi, kufr berarti tabir, tutup, tirai, dan pengingkaran. Sesuatu yang menutupi sesuatu dapat disebut kufr. Dengan demikian, malam juga bisa disebut kafir, karena malam menutupi segala sesuatu. Debu yang menutupi sesuatu juga disebut kafir.[58]

Term kufr dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 525 kali dalam al-Qur’an. Secara umum, pengertian kufr yang tercantum dalam al-Qur’an dapat dikembalikan pengertiannya kepada kebahasaan di atas, misalnya: (a) kufr berarti kelompok yang menutupi buah, penyebutannya  muncul satu kali dalam al-Qur’an (Q.S. al-Insan (76) ayat 5), yang diartikan sebagai nama suatu mata air di syurga yang airnya putih, baunya sedap serta enak rasanya, (b) kuffar, (bentuk jamak dari kafir), terdapat dalam surah al-Hadid ayat 20 yang berarti para petani, (c) kaffarah, berarti benda penebus dosa atas kesalahan tertentu, penyebutannya muncul sebanyak empat kali dalam al-Qur’an (Q.S al-Maidah (5) ayat 45, 89, 95), kaffarah dalam ayat tersebut diberikan dalam bentuk sedekah atau berpuasa, (d) kaffara - yukaffiru yang berarti menutupi, menghapuskan atau menghilangkan, ini ditemukan sebanyak empat belas kali dalam al-Qur’an, semuanya berkaitan dengan penghapusan dosa.[59]

Konsep tentang “Kafir” munurut para penulis Fikih Lintas Agama yang membagi jenis kekafiran yang disebutkan dalam al-Qur’an menjadi beberapa bentuk, yaitu:[60] (a) Kafir (kufr) ingkar, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, Rasul-Rasul-Nya dan seluruh ajaran yang mereka bawa, (b) kafir (kufr) juhud, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap ajaran-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah benar, (c) kafir munafik (kufr nifaq), yaitu kekafiran yang mengakui Tuhan, Rasul dan ajarannya dengan lidah tetapi mengingkarinya dengan hati, menampakkan iman dan menyembunyikan kekafiran, (d) kafir (kufr) syirik, berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu, selain dari-Nya, sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan. Syirik digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari kekuasan Tuhan, juga mengingkari Nabi-Nabi dan wahyu-Nya, (e) kafir (kufr) nikmat, yakni tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan menggunakan nikmat itu pada hal-hal yang tidak diridhoi-Nya, (f) kafir murtad, kembali menjadi kafir sesudah beriman atau keluar dari Islam, (g) kafir ahl al-kitab, yakni non-Muslim yang percaya kepada Nabi dan kitab suci yang diwahyukan Tuhan melalui nabi kepada mereka.

Dari pembagian kafir dalam al-Qur’an yang mereka pegangi,  kemudian mereka menampilkan dalil-dalil yang menguatkan pendapat mereka tentang perbedaan antara kafir musyrik dan kafir ahl al-kitab.

Menurut Siti Musdah Mulia bahwa larangan pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir pada surah al-Mumtahanah (10) ayat 10, itu juga tidak relevan lagi dengan konteks sekarang. Mengingat, konteks turunnya ayat tersebut dalam keadaan perang antara kaum mukmin dengan kaum Kafir Quraisy. Karena itu menurut Musdah, jika peperangan tidak ada lagi, maka konsekuensi logisnya pernikahan dengan orang Kafir pun dibolehkan atau larangan tersebut tidak berlaku lagi dengan sendirinya.[61] Selain itu menurut Musdah, bahwa Surah al-Mumtahanah (10) ayat 10 ini telah di-naskh-kan oleh Surah al-Maidah (5) ayat 5.[62]

Hal yang senada juga disampaikan oleh Abd. Moqsith Ghazali. Moqsith, setelah menjelaskan panjang lebar pandangan ulama tentang Surah al-Mumtahanah (10) ayat 10 tersebut, ia berkesimpulan bahwa larangan pernikahan dengan orang-orang Kafir Mekah tersebut bukan karena argumen teologis-keyakinan, melainkan lebih sebagai argumen politik. Sebab menurut Moqsith, kalau perkawinan bersifat teologis, bukannya perkawinan yang dilarang, melainkan seluruh jenis komunikasi dengan orang Kafir harus ditutup, termasuk komunikasi dengan Abu Thalib kala itu (paman Nabi).[63] Karena itu menurutnya, “dalam konteks masyarakat atau Negara yang menjamin kebebasan beragama dan kesederajatan seluruh warga Negara, maka pelarangan pernikahan dengan orang yang ingkar (kafir) yang bernuansa politik kurang relevan. Tapi hal ini sangat berpotensial menimbulkan konflik pada tingkat keluarga…”.[64] Jadi intinya menurut Moqsith, larangan pernikahan dengan orang Kafir bukan berlandaskan teologis-keyakinan semata, tapi lebih kepada faktor politik.

Berbeda dengan penulis Fikih Lintas Agama, Ibn Mazhur menguraikan bagaimana pandangan para ahli dalam memberikan pengertian kufr, menurutnya sebagai berikut: (a) kufr al-Inkar, yaitu mengingkari ke-esa-an Tuhan dengan hati dan lisannya, (b) kufr al-Juhud, yaitu mengingkari ke-esa-an Tuhan dengan lisan, meskipun hatinya mengakui hal tersebut, seperti pengingkaran Iblis, (c) kufr al-Mu’anadat, yaitu mengetahui Allah dengan hatinya dan mengakui dengan lisannya, akan tetapi enggan untuk memeluk agama Islam karena kedengkian dan permusuhan yang menyelimuti dirinya, (d) kufr al-Nifaq, yaitu mengakui dengan lisannya padahal hatinya tidak meyakini.[65]

Penjelasan tersebut menunjukkan, term kufr dalam al-Qur’an tidak selamanya menunjukkan pengertian pengingkaran terhadap Tuhan dan Rasul-Rasulnya. Dengan kata lain, perilaku kufr tidak selamanya datang dari orang-orang ateis, musyrik, dan non-Muslim lainnya. Orang-orang yang mengaku Muslim, bisa saja terjerumus dalam perilaku kufr dalam pengertian tertentu.[66]

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang diberikan predikat kafir apabila mendustakan kerasulan Muhammad SAW dan ajaran-ajaran yang dibawanya. Artinya, predikat tersebut diberikan kepada mereka yang tidak menerima Islam yang dibawa Muhammad SAW sebagai pedoman hidupnya. Khususnya untuk ahl al-kitab, meskipun ada di antara mereka yang kafir, tapi al-Qur’an memanggilnya dengan sebutan ahl al-kitab.[67]

Jika merujuk kepada al-Qur’an, ditemukan satu ayat yang secara eksplisit yang menerangkan hukum pernikahan dengan orang-orang, yaitu surah al-Mumtahanah (60) ayat 10 sebagai berikut:

$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB xsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( w £`èd @@Ïm öNçl°; wur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 wur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ÌÏù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºs ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOÅ3ym

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayarkan (kepada mantan istri yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui, Maha Bijaksana”.[68]

Jika pendekatan ayat tersebut menggunakan pendekatan literalik dan analisis kebahasaan, lafaz  laa hunna hillullahum wala lahum hillu lahunna (mereka para wanita mukminah tidak halal menjadi menjadi istri-istri pria-pria kafir. Dan mereka (pria kafir) tidak halal juga menjadi suami-suami sejak kini dan masa yang akan datang). Kata hillu pada ayat tersebut adalah menggunakan bentuk mashdar yang menunjukkan bahwa sejak sekarang hal itu tidak halal dan kata yahullu menggunakan mudhari’ yang menunjukkan masa yang akan datang juga tidak halal juga, demikianlah pendapat sementara ulama menurut M. Quraish Shihab.[69]

Namun bagi mereka yang berhaluan Liberal (terutama JIL dan kontributornya) lebih mengedepankan pemahaman kontekstual dan meninggalkan teks yang terdapat dalam ayat tersebut. Dengan klaim historisitas teks, ayat tersebut turun pada masa peperangan, jika tidak ada peperangan (damai), maka larangan tersebut tidak berlaku dengan sendirinya. Kelihatannya pendapat semacam ini hanya menerapkan paradigma kontekstual dengan meninggalkan metode tekstual.

Paradigma semacam ini mengandaikan bahwa perintah dan larangan al-Qur’an untuk mewujudkan maqashid al-syari’ah hanya berlaku bagi komunitas pertama kali yang menjadi sasaran (khitab) dan turun merespon mereka saja.[70] Artinya, larangan pernikahan dengan orang kafir hanya berlaku untuk masyarakat Muslim pada abad ke 7, di mana pada waktu itu dalam keadaan perang. Namun, konteks hari ini, jika perang sudah tidak ada, maka larangan tersebut tidak berlaku lagi dengan sendirinya.

Menanggapi paradigma semacam ini, Adian Husaini mengkritik Musdah Mulia yang menafsirkan demikian,[71] ia menyatakan:

“secara literal/tekstual, ayat surah al-Mumtahanah ayat 10 jelas memberikan pemahaman bahwa wanita muslimah haram menikah dengan laki-laki kafir. Sepanjang sejarah Islam tidak pernah ada ulama yang berfikir demikian… Penafsiran semacam ini jelas “sembarangan” dan menjiplak cara sebagian orang Kristen yang menafsirkan Bibel secara kontekstual, dengan meninggalkan makna teks sama sekali. Cara penafsiran semacam ini juga membongkar dasar-dasar Islam, dan merusak keilmuan Islam…kekeliruan yang sangat fatal adalah pada keterpengaruhannya terhadap ideologi ‘gender equality’ yang dianggap sebagai kebenaran, sehingga semua ajaran Islam harus disesuaikan dengan konsep ‘gender equality’ yang belum tentu sesuai dengan  konsep  Islam tentang hubungan laki-laki dan wanita”.[72]

Hemat penulis, pandangan Adian ini ada benarnya, meskipun gaya bahasa yang diungkapkan sedikit dengan nada emosi. Ketika dihadapkan pada suatu persoalan, tidak mungkin bisa meninggalkan teks sama sekali, namun bagi kalangan Liberal, ketika teks berlawanan dengan mashlahat, maka mereka mendahulukan mashlahat dengan meninggalkan teks.

Larangan yang termaktub dalam ayat tersebut, dapat diketahui dengan jelas, sebab ia memang dinamakan larangan karena dituntut untuk menjauhi atau tidak melakukan perbuatan tersebut, sehingga al-Syatibi menyatakan bahwa terlaksananya perbuatan ketika ada sebuah larangan itu sangat ditekankan oleh syari’ (Allah SWT) dan melanggarnya berarti menantang maksud Allah tersebut.[73] Lebih lanjut al--Syatibi menyatakan bahwa syari’at bagi para mukallaf itu bersifat umum dan menyeluruh. Dalam arti bahwa tidaklah hukum itu diberlakukan khusus bagi sebagian mukallaf dan tidak untuk yang lain. Tidak ada yang dikecualikan dari semua hukum syari’at tersebut terhadap seorang mukallaf pun.[74]

Dengan demikian, jelaslah tidak ada pemisahan antara mashid al-syari’ah (mashlahat) dengan bentuk formal hukum yang telah ditentukan secara tersurat dan gamblang di dalam nash al-Qur’an.[75] Bahkan Filsafat Hukum Islam menyatakan bahwa maqashid al-syari’ah telah terwakili dan terserap secara utuh dalam bentuk formal hukum syari’ah, dalam arti bahwa maqashid tidak akan bisa terealisir kecuali dengan dijalankannya bentuk formal hukum sebagaimana yang tersurat dalam teks al-Qur’an.[76]

Para ulama ushul juga membeberkan fakta-fakta seputar asbab nuzul dan tidak pernah menutup-nutupinya bahwa banyak dalil syari’at yang muncul karena peristiwa khusus.[77] Hal tersebut bagi ulama dipahami tidak lain hanya sebagai media pendidikan umat yang bertujuan menyiapkan suasana kondusif dalam proses transisi dari masa jahiliah kepada masyarakat yang diikat oleh nilai dan sistem hukum Islam.[78]

Dengan demikian, memisahkan pemahaman tekstual dan kontekstual pada ayat tersebut, akan melahirkan penafsiran yang pincang. Dalam artian bahwa paradigma seperti ini bertentangan dengan keumuman lafaz syari’ah, sehingga seakan-akan metode khalifah manusia yang telah dirumuskan oleh teks-teks suci al-Qur’an hanya membebankan segelintir manusia dan mengabaikan sedemikian banyak generasi manusia.[79] Padahal metode khilafah menyatakan dengan tegas bahwa aturan tasyri’ membawa aturan bagi semua manusia, tidak hanya dari sudut pemenuhan maqashid al-syari’ah semata, tapi juga satu paket dengan bentuk formal hukum tersebut yang mampu mewujudkan maqashid.[80] Dan ketika teks dijadikan sebagai standar kemaslahatan, maka secara otomatis juga menghilangkan pertentangan antara teks dan kemaslahatan. Namun, jika terus bersandar pada subyektivitas dari trend dan kondisi zaman, maka sudah pasti akan ada benturan yang hebat antara teks dengan sesuatu yang dianggap kemaslahatan.[81] Inilah yang penulis sebut penafsiran yang pincang, yaitu penafsiran yang bersandar pada subyektivitas dari trend dan kondisi zaman atau pemahaman tekstual dengan meninggalkan teks, maka sudah pasti implikasinya akan ada benturan yang hebat antara teks dengan sesuatu yang dianggap kemaslahatan dan ini tentunya akan meninggalkan atau mengaburkan teks. Jika ini yang terjadi, maka fungsi al-Qur’an sebagai wahyu tidak akan berguna lagi.


Penutup
Dari uraian tersebut, nyatalah bahwa dalam justifikisi pendepat mereka, selain dalam kontek pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahl al-kitab, nyatalah mereka memilih pendapat yang lemah dan dalam beberapa hal pendapat yang tidak mendasar sama sekali seperti dalam kasus pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim dengan dengan landasan ikhtifa’ dan mafhum mukhalafah yang sudah sangat jauh melenceng dan lari dari kaidah bahasa dan konsep ilmu ushul fiqh. Dalam hal ini juga termasuk konsep ahl al-kitab, makna dan cakupannya, sebagai landasan letimasi hokum, nyatalah bahwa dengan mengacu pada pendapat Rasyid Ridha, yang sepertinya pendapat yang ganjil di kalangan ulama.


Daftar Pustaka
Charles Kurzman, Wacana Pemikiran Islam Kontemporer  Tentang Isu-Isu Global, Alih Bahasa Bahrul Ulum dkk., (Jakarta: Paramadina, 2001).

Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (Beirut: Maktabah An-Nur al-‘Ilmiyah, 1992), II:

Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab; Makna dan Cakupannya, hlm. 30.

Ath-Thabari, Tafsir al-Thabari, (al-Qahirah: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1954), I: 320.

Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalis dalam Sorotan, (Bandung: Syaamil Publishing, 2006)


Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm. 71.

Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, (Depok: Kata Kita, 2009)

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persolan Kontemporer, (Bandung: Mizan, 1997)

Haekal, Sejarah Hidup Muhammad,

Adian Husaini & Nu’im Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, cet. Ke-3, (Jakarta: Gema Insani, 2004)

Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikri, tt), I

Manna al-Qathan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (t.tp: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, tt), III

Muhammad al-Amdi, Muntaha al-Sul fi ‘Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003)

 Ibnu Yusuf Assai Razi, al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003)

Abd. Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Indonesia: al-Haramain, 2005)

Ali Mustafa Yaqub “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Zaitunah Subhan, dkk., (ed), Membendung Liberalisme,

 ‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, tt).

Jalaluddin Abd. Arrahman Assayuti, al-Asybah wa al-Nazair, (Beirut: Dar al-Fikri, 1996)

Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), IV: 2248-2249

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: Diponegoro, 2005).

Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1991).

Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Hadis, 2002), III.

Azzamakhsyari, al-Kasy-syaf, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 1.

Ibn Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, tt), IX: 501.

Nurcholish Madjid, dkk., Fiqh Lintas Agama, hlm. 156-157.

Fahmi Salim, Kritik Terhadap Metodologi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif: 2010)..

Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani, 2006)

Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003).

Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Muassa-Saturrisalah, 1997).

Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad: Antara Teks, Realitas, dan Kemaslahatan Sosial, Alih bahasa oleh Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdar, (Jakarta: Erlangga.al-Razi, 2002), hlm. 31.


End Note
[1] Charles Kurzman, Wacana Pemikiran Islam Kontemporer  Tentang Isu-Isu Global, Alih Bahasa Bahrul Ulum dkk., (Jakarta: Paramadina, 2001).
[2] Dua bentuk lainnya yaitu, liberal syari’ah, yaitu Islam Liberal yang berpaham bahwa syari’ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Dan silent syari’ah, model pembacaan ini berasumsi bahwa Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer. Islam liberal dimungkinkan terjadi pada masalah-masalah tertentu yang tidak ada presedennya dalam Islam, baik secara normatif maupun historis. Karena Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer, maka diperlukan kreatifitas, terutama menyangkut masalah muamalah. (Ibid., hlm. xxxiii-xxxviii).
[3] Term ahl al-kitab ditemukan sebanyak 31 kali dalam al-Qur’an. Term tersebut terdapat di 7 surah dalam surah-surah Madaniyyah, yaitu al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa’, al-Maidah, al-Ahzab, al-Hadid, dan al-Hasy. Dan 2 surah dalam surah-surah makkiyyah, yaitu al-Ankabut dan al-Baiyyinah. (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an, hlm. 121-122).
[4] M. QuraIsh Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 366.
[5] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (Beirut: Maktabah An-Nur al-‘Ilmiyah, 1992), II: 451-452; Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab; Makna dan Cakupannya, hlm. 30.
[6] Ghalib, Ibid., hlm. 32.
[7] Ibn Hammam, Fath al-Qadir, III: 230.
[8] Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 367.
[9] Ath-Thabari, Tafsir al-Thabari, (al-Qahirah: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1954), I: 320.
[10] Dua bentuk lainnya yaitu, liberal syari’ah, yaitu Islam Liberal yang berpaham bahwa syari’ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Dan silent syari’ah, model pembacaan ini berasumsi bahwa Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer. Islam liberal dimungkinkan terjadi pada masalah-masalah tertentu yang tidak ada presedennya dalam Islam, baik secara normatif maupun historis. Karena Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer, maka diperlukan kreatifitas, terutama menyangkut masalah muamalah. (Ibid., hlm. xxxiii-xxxviii).
[11] Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalis dalam Sorotan, (Bandung: Syaamil Publishing, 2006), hlm. 64-65.
[12] Ibid., hlm. 66-67.
[14] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm. 71.
[15] Lihat selengkapnya, Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, (Depok: Kata Kita, 2009), hlm. 346-356.
[16] Maksudnya pendapat yang menyatakan bahwa Budha, Hindu, Konhucu, dan Shinto adalah termasuk ke dalam golongan ahl al-kitab.
[17] Daud Rasyid, Pembaharuan Islam, hlm. 67.
[18] Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, VI: 141
[19] Selengkapnya lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persolan Kontemporer, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 347-371.
[20] Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 28-29
[21] Berikut bunyi surat tersebut:
“Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad hamba Allah kepada Heraclius pembesar Romawi. Salam sejahtera kepada orang yang sudi mengikut petunjuk yang benar. Amma Ba’du. Dengan ini saya mengajak Tuan mengikuti ajaran Islam. Terimalah ajaran Islam, niscaya tuan akan selamat. Tuhan akan memberi pahala dua kali lipat kepada Tuan. Kalau Tuan mengelak, maka dosa-dosa orang “al-‘arisiyun” menjadi tanggungjawab Tuan. Wahai orang-orang ahl al-kitab, marilah kita berpegang pada kata (kalimatissawa’) antara kami dan Tuan-Tuan, yakni tidak ada yang kita sembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutukannya dengan apa pun, bahwa yang satu tak akan mengambil yang lain menjadi Tuhan selain Allah. Tetapi kalau mereka mengelak juga, katakanlah kepada mereka, saksikanlah bahwa kami ini adalah orang-orang Muslim”. (Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, alih bahasa Ali Audah, (Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2002), cet-XXXVIII, hlm. 423).
[22] Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 37
[23] Selengkapnya isi surat tersebut, lihat Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm. 202-208.
[24] Q.S. Ali Imran (3): 64.
[25] Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm. 225-226.
[26] Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 29.
[27] Selengkapnya dapat dirujuk pada, Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, hlm. 141-142
[28] Data tersebut dikutip oleh Adian Husaini dari buku Agama-Agama Besar di Dunia karya Joesoef Sou’yb. (Adian Husaini & Nu’im Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, cet. Ke-3, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 61).
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Adian Husaini & Nu’im Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, hlm. 61.
[32] Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm. 63.
[33] Moqsith memandang di sini, ketika laki-laki dibolehkan menikahi wanita ahl al-kitab, maka perempuan pun juga dibolehkan menikahi laki-laki ahl al-kitab. Sehingga ia menafsirkan Surah al-Maidah ayat 5 sebagai berikut: “Dihalalkan menikahi perempuan yang menjaga kehormatannya dari kaum mukminah dan Ahli kitab sebelum kalian, sebagaimana dihalalkan menikahi laki-laki yang menjaga kehormayannya dari kaum mukmin dan Ahli Kitab sebelum kamu”. Sehingga ia menyimpulkan bahwa gaya bahasa semacam ini disebut dengan ikhtifa’. Contoh lain lagi yang ia ajukan adalah tentang kewajiban mencari ilmu. Menurutnya, meskipun di dalam hadis tersebut tidak disebutkan perempuan, bukan berarti perempuan tidak wajib mencari ilmu. (Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, hlm. 354).
[34] Dalam kajian ushul dan ulumul qur’an, mafhum mukhalafah merupakan salah satu metodologi untuk memahami petunjuk nash. Para ulama tafsir dan ushul mendefinisikan terminologi ini sebagai ketetapan (hukum) yang berlawanan dengan nash (al-mantuq) dan diambil setelah tidak ada batasan (qayyid) yang jelas (eksplisit) dari mantuq tersebut. Dengan kata lain, mufhum mukhalafah adalah petunjuk lafaz untuk menetapkan sesuatu yang tidak disebutkan secara ekspilisit. Penggunaan mafhum mikhalafah sebagai sumber bukum disepakati oleh Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal. Hanya Abu Hanifah dan para pengikutnya saja yang tidak menggunakannya sebagai hujjah. (Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikri, tt), I: 362; Manna al-Qathan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (t.tp: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, tt), III: 253); Muhammad al-Amdi, Muntaha al-Sul fi ‘Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), 338-340; Ibnu Yusuf Assai Razi, al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), hlm. 124-125); Abd. Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Indonesia: al-Haramain, 2005), hlm. 153-160.
[35] Ali Mustafa Yaqub “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Zaitunah Subhan, dkk., (ed), Membendung Liberalisme, hlm. 146.
[36] Tamim bin al-Muntashir menceritakan kepada kami, mengabarkan kepada kami Ishaq al-Azraqi dari Syarik dari Asy’asy ibn Suwar dari al-Hasan dari Jabir bin ‘Abdullah berkata: berkata rasulullah SAW: “kami menikahi wanita ahl al-kitab, sementara wanita ahl al-kitab tidak boleh menikahi wanita kami”. (Ibn Katsir al-damsiqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, I: 244).
[37] Ibnu Jari berkata: mengabarkan kepada kami Musa bin ‘Abdurrahman al-Masruqi, menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyr, menceritakan kepada kami Sufyan bin Sa’id, dari Yazid bin Abi Ziyad, dari Zaid bin Wahhab berkata: Umar bin Khattab berkata: “seorang muslim boleh menikahi perempuan Nashrani, tetapi laki-laki Nashrani tidak boleh menikahi perempuan Muslimah”. (Ibid)
[38] Ibid.
[39] Menurut ulama hadits, hadits hasan lighairihi adalah hadits yang didalamnya terdapat perawi “mastur” yang belum tegas kualitasnya. Akan tetapi bukanlah perawi yang pelupa atau sering melakukan dalam periwayatannya, bukan pula muttaham bi al-kidzib dalam hadits, dan bukan pula karena sebab lain yang dapat menyebabkan tergolong fasik. Dengan syarat mendapat penguatan dari perawi lain yang mu’tabar, baik status mutabi’ maupun syahid. (‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, tt), hlm. 300).
[40] Ali Mustafa Yaqub “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Zaitunah Subhan, dkk., Membendung Liberalisme, hlm. 148.
[41] Jalaluddin Abd. Arrahman Assayuti, al-Asybah wa al-Nazair, (Beirut: Dar al-Fikri, 1996), hlm. 84.
[42] Ibid.
[43] Zainun Kamal, dalam http://islamlib.com/id/artikel/penganut-budha-dan-hindu-adalah-ahlul-kitab/. Diakses 14 Agutus 2010.
[44] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm. 62.
[45] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, hlm. 336.
[46] Ibid., hlm 340.
[47] Q. S. al-Baqarah (2): 221.
[48] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, I: 473-474.
[49] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), IV: 2248-2249
[50] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: Diponegoro, 2005), hlm. 35.
[51] Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, VI: 141-142.
[52] Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1991). hlm. 5
[53] Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Hadis, 2002), III: 62-63)
[54] Q.S. Attaubah (9): 30.
[55] Azzamakhsyari, al-Kasy-syaf, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 1: 261.
[56] Ibn Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, tt), IX: 501.
[57] Daud Rasyid, Pembaharuan Islam, hlm. 118.
[58] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, V: 3889.
[59] Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 62-63.
[60] Nurcholish Madjid, dkk., Fiqh Lintas Agama, hlm. 156-157.
[61] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm. 63.
[62] Ibid.
[63] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, hlm. 345-346.
[64] Ibid., hlm. 346.
[65] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, V: 3897-3899.
[66] Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 64.
[67] Lihat misalnya, Q. S. Al-Bayyinah (98): 1.
[68] Q. S. Al-Mumtahanah (60): 10.
[69] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, XIV: 173-174.
[70] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Metodologi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif: 2010), hlm. 477.
[71] “Surah Al-Mumtahanah (60): 10 hanya menjelaskan secara secara eksplisit larangan melanggengkan hubungan pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir. Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu, larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dengan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksud  agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya. Argument lain berkaitan dengan Surah Al-Mumtahanah (60) bahwa itu telah di-nasakh oleh Al-Maidah (5): 5”. (Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm. 63)
[72] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 244-245.
[73] Al-Syatibi, al-Muwafaqat, II: 292.
[74] Ibid., hlm. 179.
[75] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Metodologi al-Qur’an Kaum Liberal, hlm. 477.
[76] Ibid.
[77] Al-Ghazali, al-Mustashfa, II: 60.
[78] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Metodologi al-Qur’an Kaum Liberal, hlm. 479.
[79] Ibid., 478.
[80] Ibid.
[81] Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad: Antara Teks, Realitas, dan Kemaslahatan Sosial, Alih bahasa oleh Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdar, (Jakarta: Erlangga.al-Razi, 2002), hlm. 31