Senin, 24 November 2014

God and Philosophy



Book Review: God and Philosophy – By Etienne Gilson

by Jeremiah Dahl



The Author
Étienne Gilson (1884–1978) was a French philosopher and educator. He taught the history of medieval philosophy at the Sorbonne, took the chair of medieval philosophy at the College de France, and in 1929 helped found the Pontifical Institute of Mediaeval Studies in Toronto, Canada. Although primarily a historian of philosophy, Gilson was also one of the leaders of the Roman Catholic neo-Thomist movement. Honored by universities around the world, he wrote many books, including The Spirit of Mediaeval Philosophy and Wisdom and Love in Saint Thomas Aquinas. 

Selasa, 04 November 2014

From ‘Hard’ to ‘Soft’ Colonialism In Brunei


 By Edi Kurniawan*

According to the data given by Harun Abdul Majid (2007:3) the size of Brunei is 5,270 square kilometres, of which three-quarters is still pristine rain forest. The population (2002 estimate) is 343,700. The population comprises Malays (between 64% and 67%) and Chinese (between 16% and 20%). In terms of religion, Muslims make up 63% of the population, while 14% are Buddhists, 8% are Christians and 15% are indigenous and people with other beliefs.
This data informs us of how small Brunei is; perhaps many of us are asking about why Brunei Darussalam is so small a country and how could that has happened?
To answer this question, let us look at the history of the country. In the early 15th Century, with the decline of the Majapahit kingdom and widespread conversion to Islam, Brunei became an independent Sultanate, in which it was greatly influential in the spreading of Islam.
From the 16th to the 19th century, the Sultanate of Brunei ruled over Borneo, Sulu, Moro, Cebu, Oton, Manila and some islands adjacent to it. Brunei enjoyed particular prominence during the era of Sultan Bolkiah. This era is regarded as the golden age of the Brunei Empire, with territories stretching far and wide as mentioned above.

Sabtu, 01 November 2014

Three Dimensions of the Ruh


Ibn 'Arabî's "hagiographical" work, the Ruh al-Quds fî munâsahat al-nafs, opens with the rather emphatic declaration "it is rare, these days, for companionship (suhba) to be based on anything save flattery (mudâhana)". [1] What follows in his introduction is a vicious attack on contemporary Sufism, mentioning the adoption of Sufi dress, the khânaqâh system, and a twice-iterated "ban" on the Sufi practice of samâ'. However, self-criticism by "Sufi" authors is in no sense a new genre initiated by Ibn 'Arabî. Indeed, the Shaykh tells us here that al-Qushayrî "most severely rebukes them at the beginning of his Risâla". (p. 42) It remains to be seen then, what positive contribution Ibn 'Arabî offers in his criticisms and in particular: if companionship is now "flattery-based", how is it that in this corrupt age, Ibn 'Arabî himself manages to form over fifty meaningful companionships of which, moreover, he has recorded some but "kept quiet" concerning most? (p. 139)
The work is naturally divided into three sections of roughly equal length by those biographical accounts. More fundamentally, however, as we shall see, there is a thematic division corresponding to the classic Sufi itinerary of mi'râj (ascent), pp. 31-88; the ruju' (return), pp. 139-176; and the divine sphere (mushâhada) where these multiple mi'râjs and ruju's actually take place, pp. 88-139.

Senin, 20 Oktober 2014

Pandangan Hidup Menurut Prof Naquib Al-Attas

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas (tengah) bersama guru-guru dan pelajar CASIS
Oleh: Fiqih Risalah
(Kandidat Doktor di Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization (CASIS-UTM Malaysia/Topik ini sengaja diambil untuk mengulas kembali kuliah Prof. al-Attas mengenai Islamic Worldview)

KEMANA kah hidup kita yang singkat ini harus diarahkan? Pertanyaan yang remeh ini kiranya sesuai diutarakan kembali untuk melihat kondisi umat Islam di belahan bumi manapun yang sedang dilanda krisis akut dewasa ini. Identitas seorang Muslim semakin hari semakin ter-“Barat”-kan, dalam hal ini aspek yang sangat mendasar ialah pola pikirnya. Jika hal ini yang terjadi maka yang perlu dicermati dari krisis utama umat ini adalah krisis keilmuan yang tidak lagi mengindahkan wahyu ilahi sebagai landasan filosofisnya.
Melalui tulisan ringkas ini, penulis ingin mengajak para pembaca sekalian untuk menyimak kembali pandangan hidup Islam menurut sarjanawan Muslim kontemporer yang pandangan-pandangannya sangat tajam dan akurat dalam menganalisa problem umat Islam yaitu, Professor Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Tulisan ini memaparkan kembali pembahasan singkat tetapi padat yang diberikan oleh beliau ketika acara peluncuran magnum opus beliau yang berjudul “Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam.”
Tulisan ini adalah bagian dari ringkasan pidatonya dalam peringatan 14 tahun magnum opus (tepatnya tanggal 24 Juni 1996), yang dari segi kandungannya masih sangat relevan untuk melihat kondisi umat Islam sekarang ini, khususnya di Indonesia dengan maraknya ‘Westernisasi’ dalam semua sendi kehidupan.

Minggu, 19 Oktober 2014

الكهف و الرقيم في شرح بسم الله الرحمن الرحيم




Al-Kaḥf waʾl-Raqīm fī Sharḥ BismiʾlLāh al-Raḥmānir-Raḥīm atau gua dan tulisan tentang penjelasan kalimat Basmalah merupakan tafsiran Sufi atas kalimat Basmalah. Kitab ini dikarang oleh ʿAbd al-Karīm al-Jīlī yang meninggal tahun 832. Silahkan di download disini:Al-Kaḥf waʾl-Raqīm 

Cinta




Indah dibicarakan dan senang didengar, itulah cinta. Bagi pujangga, ‘cinta’ dipoles dalam bait indah. Bagi pemabuk asmara, ‘cinta’ membuat lupa masa dan gila pada yang dicintai bak legenda Laila Majnun dalam sastra Arab yang terkenal itu. Bagi thalib al-juhd, ‘cinta’ itu kala membaca dan mengulang kaji. Bagi Ahli Taṣṣawwuf, ‘cinta’ disebut mahabbah, yakni muraqabah ila Allah.

Oh… Pantas saja Ibn ʿArabī mengkinayahkan cinta hamba kepada Tuhan Pencipta Alam Raya bak seorang laki-laki yang benar-benar mencintai seorang perempuan, lalu ia akan menacari jalan untuk mendepatkan cintanya dengan cara menikahi wanita itu. Ia berkata:


ولما أحب الرجل المرأة، طلب الوصلة أي غاية الوصلة التي تكون في المحبة، فلم تكن في صورة النشأة العنصرية أعظم وصلة من النكاح.) أي، الجماع. (و لهذا تعم الشهوة أجزاءه كلها، ولذلك أمر بالاغتسال منه، فعمت الطهارة، كما عم الفناء فيها عند حصول الشهوة.) أي، ولأجل أن الرجل أحب المرأة والمرأة الرجل، وطلب كل منهما الوصلة إلى الآخر غاية الوصلة، عمت الشهوة جميع أجزاء بدنهما.



Cinta hakiki, tidak akan anda dapatkan kecuali dengan mengenal pasti terlebih dahulu, “siapa anda”?



من عرف نفسه فقد عرف ربه


“Siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya”


Oh… Pantas saja Ahli Tasawwuf menjadikan hadith ini sebagai dasar cinta.

Ibn ʿArabī berkata:

“Pengenalan Insan akan hakikat dirinya merupakan tonggak awal untuk mengenal akan Tuhannya, karena dengan dia mengetahui Tuhannya merupakan hasil dari mengenal dirinya”. (Lihat, Ismaʿil al-Nabalusi, Jawahir al-Nushush fi hal kalimat al-fushush: II: 422).


Dan Raja Ali Haji, ulama dan pujangga itu bersenandung dalam baitnya sya’irnya, Gurindam Dua Belas, Gurindam I:

Barang siapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.

Barang siapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang yang ma'rifat.

Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.

Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.

Barang siapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang teperdaya.

Barang siapa mengenal akhirat, tahulah Ia dunia mudarat.



Dan Imam al-Ghazālī pula menjelaskan:

“Ketahuilah [oleh mu] pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan, sesuai dengan ayat: “Akan Kami tunjukkan ayat-ayat kami di dunia ini dan di dalam diri mereka, agar kebenaran tampak bagi mereka”, dan hadits Nabi: “Siapa yang mentetahui dirinya sendiri, niscaya akan mengetahui Tuhannya”. Nah, tidak ada yang lebih dekat kepada anda kecuali diri anda sendiri. Jika anda tidak mengetahui diri anda sendiri, bagaimana anda bisa mengetahui Tuhan anda?.

Jika anda berkata: “Saya mengetahui diri saya”, [jika] engkau maksudkan bentuk zahir anda [berupa] badan, muka dan anggota-anggota badan lainnya - pengetahuan seperti itu tidak akan pernah bisa menjadi kunci pengetahuan tentang Tuhan. Demikian pula halnya jika pengetahuan anda hanyalah sekedar bahwa kalau lapar anda makan, dan kalau marah anda menyerang seseorang; akankah anda dapatkan kemajuan-kemajuan lebih lanjut di dalam lintasan ini, mengingat bahwa dalam hal ini hewanlah kawan anda?

Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya, ada dalam pengetahuan tentang hal-hal berikut ini: Siapakah anda, dan dari mana anda datang? Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagiaan anda dan kesedihan anda yang sebenarnya berada? Sebagian sifat anda adalah sifat-sifat binatang, sebagian yang lain adalah sifat-sifat setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat. Mesti anda temukan, mana di antara sifat-sifat ini yang aksidental dan mana yan gesensial (pokok). Sebelum anda ketahui hal ini, tak akan bisa anda temukan letak kebahagiaan anda yang sebenarnya”. (Selengkapnya lihat, Kimiya al-Saʿadah, pasal: Maʿrifat al-Nafs).



Jumat, 10 Oktober 2014

The Travel of Ibn Baṭṭūṭah in The Malay World


 (Translated by Noor Idayu Abd Wahid, Aisyah Ngadiran, and Edi Kurniawan, from the book of Riḥlah Ibn Baṭṭūṭah, Chapter Min Banjālah Ilā Jāwah [from Bengal to Java])

We ride the junk and after fifteen days we arrived at a place named Barahnakar. The men there have mouths that look like dog’s mouth. They do not embrace Hinduism or any other religions. Their houses are made of cane, roofed with dried leaves, and built along the beachside. Their land is rich with banana trees and betel, and areca nuts. Their men look like us except that their mouths look like dog’s mouth, unlike their women, they are brilliantly beautiful.
            Their men do not wear any clothes and are always naked except for one man who always covers his genital with a pouch made of carved bamboo, hanged around his stomach. The women on the other hand cover their bodies with dried leaves. There are also amongst them Muslims who come from Bengal and Java, living in an area. These Muslims told me that the Barahnakar people make love like animals; they do not wear clothes and do it in open. One man can have up to 30 wives and they do not commit infidelity. If one man is caught red handed, they will be crucified to death or his friend or slave will be crucified to death as a replacement and he will be freed. The woman on the other hand will be raped by all of the King’s slaves one by one to her death in front of the King. And the corpse will be thrown into the sea.

The Short History of Jambi


The Jambi region, around the basin of the Batanghari River in central Sumatra, was the site of the pre-Islamic kingdom of Melayu. It also sometimes served as the capital of the empire of Sriwijaya (Srivijaya). Jambi was an important pepper port in the seventeenth century and later supplied dragon’s blood resin to China and Europe. Jambi resisted Dutch control until the early twentieth century.

The earliest references to the region are found in Chinese texts, which recorded an embassy from Melayu to the Chinese court around 644 C.E. A stone inscription suggests that Sriwijaya and Melayu were linked during this period, and the writings of I-Tsing (IChing) (635–713 C.E.) have been taken to indicate that Jambi was the capital of Sriwijaya at that time. In the ninth century and again in the eleventh century, Jambi sent further missions to the Chinese court.

The large Buddhist complex of Muara Jambi, 26 kilometers downstream from the modern capital, probably dates from the ninth century, but there is evidence that it was still of importance in the thirteenth, when Melayu seems again to have been the capital of Sriwijaya. Trade in forest products and control of the Straits of Melaka through which foreign shipping passed were key to Jambi’s importance.

Oxford-Pershing Square Graduate Scholarships, University of Oxford, UK


The Oxford Graduate Scholarships have been established through a groundbreaking new matched funding initiative to enable the creation of fully-funded scholarships for graduate students of the highest calibre from across the world. 2013-14 saw the very first Oxford Graduate Scholars begin their studies.
Scholarships are awarded to applicants who have demonstrated excellent academic ability, who will contribute to the University’s groundbreaking research, and who will go on to contribute to the world as leaders in their field, pushing the frontiers of knowledge. The University contributes 40% of the funds for these scholarships, together with 60% from generous donations provided by numerous supporters of the University and its colleges.
The Pershing Square Foundation supports exceptional leaders and innovative organizations that tackle important social issues and deliver scalable and sustainable impact. The Oxford-Pershing Square Graduate Scholarships for Oxford 1+1 MBA students provide a means to cultivate future leaders who will create positive change around the world. Oxford 1+1 MBA scholars combine intelligence and business acumen to result in meaningful and innovative action to solve problems like povertyclimate change and overpopulation, particularly in a complex world that changes so quickly. The Pershing Square Foundation is a private family foundation, established by Karen and Bill Ackman in 2006, and is based in New York city.
The scholarship will cover 100% of University and college fees and a grant for living costs (of at least £13,863). Awards are made for the full duration of your fee liability for the MBA course.

Rabu, 08 Oktober 2014

Teralamat Untukmu Bidadari Hati

Edi Kurniawan

Izinkan aku bercerita tentang
gemuruh cinta di dada, biar nanti tercatat dan engkau tahu

Ku terjatuh, lalu ku bangkit; jatuh, lalu bangkit kembali. Berulang dan berkali
Hanya untuk dirimu!

Izinkan aku berkisah tentang
pengorbanan cinta: sungguh, dua tahun lebih aku paksakan diriku untuk memahamimu; setiap kemolekan tubuh dan gaya bahasamu, aku ikuti dan pelajari. Sekiranya lalat-lalat nakal hinggap padamu, takkan kuizinkan. Apalagi kotoran najis; anjing dan babi
Betapa besarnya cintaku padamu!

Biarlah cerita ini melekat bersama embun pagi, supaya nanti engkau tahu bahwa aku bersungguh untuk mengkhitbahmu

Selasa, 07 Oktober 2014

Pembuka dan Penghalang Pintu Rizki



Tanpa sadar, setelah bertemu Prof…., hatiku langsung berdetak untuk menulis catatan ini. rizki! Ya, itulah yang akan dibincangkan.
Malam tadi, Prof… menginbox saya supaya menjumpai beliau di kantornya esok. Lalu saya jawab, “iya, insyaAllah saya akan datang”. Namun ada pertanyaan yang terdetak dalam hati, “untuk apa?”.  Mikir… mikir… dan mikir… jawabannya ada dua kemungkinan: 1. Memberikan ujrah atas pertolongan riset beliau beberapa hari lalu. 2. Memberikan projek baru. Brummm….. ternyata poin yang kedua yang betul, projek baru; poin pertama gak ada atau belum ada? Saya gak tahu.xixixixi..:-)
Setalah sampai, saudara Z sudah ada di kantor beliau. Lalu Prof…, menjelaskan:
“Edi, kita ada projek untuk mengedit, mentahqiq dan mentakhrij hadīth kitab Sayr al-Sālikīn karya Syeikh ʿAbd al-Ṣamad al-Falimbānī”, sembari beliau menyodorkan kitab tersebut kepada saya.

Mereka Para Pekerja “Kotor”


Sambil duduk di ruang riset, tiba2 seorang makcik datang menghampiriku:
“Dek, boleh tolong isikan pulsa ini”, sembari beliau menyodorkan HP dan kartunya.
“Boleh makcik, sini”, jawabku dengan logat Indonesia yang kental karena saya sudah yakin bahwa dia orang Indonesia.
“Awak orang Indonesia ke?”, dengan logat Melayu yang kental.
“Iya”
“Saye pun orang Indonesia. Asal daripada mane?       
“Sumatra, Jambi”
“Ohhh… saye dari Surabaya”.
“Belajar bagian ape kat sini”.
“Buat Pengajian Islam makcik”.

Senin, 29 September 2014

Kasyaf


Ahai… alunan gambus Turki dan tarian mistik Jalaluddin Arrumi lah mengantarkanku pada melodi yang melembutkan jiwa; menghanyutkan, diiringi melodi alam, labuhan angin pada dedaunan; menghanyutkan, diiringi pijar dan kerdipan bintang di tengah kegelapan malam tujuh petala langit dan bumi; menghanyutkan, bersama seteguk anggur Ankara.



Kuala Lumpur, 29 September 2014

Minggu, 28 September 2014

THE THEORY OF ʿAṢABIYYAH IN IBN KHALDŪN’S POLITICAL THOUGHT


THE THEORY OF ʿAṢABIYYAH IN IBN KHALDŪN’S POLITICAL THOUGHT

Its Relevance to Modern Muslim States




By Edi Kurniawan*



Abū Zayd ʿAbd al-Raḥmān ibn Muḥammad ibn Muḥammad ibn al-Ḥusayn ibn Muḥammad ibn Jābir Khaldūn Al-Ḥaḍramī or Ibn Khaldūn, is a well-known Muslim scholar, known as the father of Sociology through his book, Kitāb al-ʿIbar wa Dīwān al-Mubtadaʾ wa al-Khabar fī Ayyām al-ʿArab wa al-ʿAjam wa al-Barbar wa man ʻĀarahum min Dhawī al-Sulṭān al-Akbar. He however also masters in political, economic, and Islamic jurisprudence sciences. In the field of political science, one of the most important of his theory is his theory of ʿaṣabiyyah (Arabic: عصبية). ʿAṣabiyyah literally means al-muḥāmah and al-mudāfaʿah or those who is defensed and protected. However ʿaṣabiyyah that meant by Ibn Khaldūn here is not only limited to a family relationship attributed by kinship, but also a relationship arising from brotherhood and partnership. It is understood as consanguinity which has the power to bind the community. Thus, its bond will make a group of people feels as if they are in the same feeling; like one body, when part of it is hurt then the whole body will feel pain.

Kamis, 25 September 2014

Sejarah



Tengah malam, baru saja aku pulang dari kampus. Tiba-tiba Isma’il, teman serumah baruku, memulakan percapan dan duduk disampingku.
“Edi, I have a nice poetry”.
“Dia tahu sekali aku lagi tergila-gila sama Sya’ir Arab”, kataku dalam hati.
“What poetry is that”, aku bertanya.
Lalu ia membuka dan menyodorkan buku kepadaku, langsung ku tancap dan lihat judulnya, al-Islām fī Nījiriyā; artinya, Islam di Nigeria.
“Oh… the history of Islam in your country!”, gumamku.
Lalu dia menunjukkan bait-bait Syai’r tersebut. Subhanallah. Sungguh saat indah:



لَيْسَ بِاِنْسَانٍ وَلَا عَاقِلٍ  #   مَنْ لَّا يَعِي التَّارِيْخَ فِي صَدْرِهِ
وَمَنْ وَعَي أَخْبَارَ مِنْ قَبْلِهِ   #   أَضَافَ أَعْمَارًا اِلَي عُمْرِهِ

Bukan manusia dan bukan pula orang yang berakal   #   mereka yang tidak memahami sejarah [hingga terhujam] dalam dadanya.
Siapa yang memahami kabar-berita tentang orang-orang sebelumnya  #  seakan-akan ia telah menambahkan banyak umur pada hidupnya.


Dinukil dan diterjemahkan dari buku  al-Islām fī Nījiriyā karya Adam ʿAbdullah al-Ileri, ulama agung asal Nigeria, Afrika.

Ilmu dan Kemaksiatan


شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ   #   فَأَرْشَدَنِيْ إِلَى تَرْكِ اْلمَعَاصِيْ

وَقَالَ: اِعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ نُوْرٌ  #  وَنُوْرُ اللهِ لاَ يُؤْتِى لِعَاصِيْ!


Aku mengadu kepada Waqīʿ perihal buruknya hafalanku  #  maka ia menunjukiku supaya meninggalkan maksiat.

Dia (Waqīʿ) berkata: ketahuilah bahwa ilmu itu cahaya  #  dan cahaya Allah tidak akan mendatangi orang yang melakukan maksiat.

~ Dikutip dan diterjemahkan dari Dīwān al-Shāfiʿī, Syaʿir no. 51, hlm. 72 ~

Senin, 22 September 2014

Tit.. Tit… Rezeki


Hari ini, tidak seperti biasanya, Kuala Lumpur cukup panas, dan ditambahkan kebisingan disana-sini, membuat rasa malas keluar rumah. Namun, tetap saja kupaksakan. “dari pada di rumah, aku tidak bisa berbuat apa2, lebih baik ke Kampus”, pikirku.
Setelah zuhur, aku pun meninggalkan rumah, menyusuri lorong-lorong kecil di bawah rindangan pepohonan, senyuk, ditambah dengan sepoi angin. Lumayan, cool.
10 menit kemudian, setelah memasuki gerbang kampus, “tit… tit… tit….”, suara klakson motor dari belakang. Aku tak memperhatikan dan fokus saja pada jalanku.
Lalu, setelah sampai, ku parkirkan motor setengah tua ini di tempat biasa, dan “tit.. tit.. tit…”, suara klakson berbunyi lagi.
“Ngapain orang ini. Mau apa dia?, pikirku.
Ku lihat, ohhh… ternyata Bg Arif.
“Hayoo… ngapain ke kampus. Gajian ya?, dia memulai percakapan sembari membuka senyum khas ala sundanya.

Kamis, 18 September 2014

Cinta...


Galau sebentar ya..hahahahaaa
Karena lagi kurang mud meneruskan riset Tesis, jadi saya memilih baca yang lain saja, kumpulan Sya'ir Imām al-Shāfiʿī dalam karyanya, Dīwān al-Shāfiʿī. Yuuukkk kita bersyair..:-D

أنت حسبي، وفيك للقلب حبُ # ولحسبي إن صحَّ لي فيكَ حبُ
ما أبالي متى ودادك لي صحَّ # مِنَ الدَّهْرِ مَا تَعَرَّضَ خَطْبُ

Bagiku cukuplah engkau, karena dalam dirimu ada cinta untukku # dan cukuplah untukku jika benar cinta padamu itu untukku.
Aku tak peduli kapan cintamu benar-benar menjadi milikku # karena sepanjang waktu tak akan ada kesusahan yang dihadapi. 
(Dīwān al-Shāfiʿī (Damaskus: Dār al-Qalam, 1999), hlm, 45).





أكثر الناس في النساء وقالوا ان حب النساء جهد البلاء 
ليس حب النساء جهدا ولكن قرب من لا تحب جهد البلاء 

Kebanyakan manusia punya persepsi tentang perempuan, [bahwa] menurut mereka mencintai perempuan itu sukar. Namun [sebenarnya] bukanlah mencintai perempuan itu yang sukar, akan tetapi dekat dengan perempuan yang tidak menyukaimu, itulah juhdul balāʾ (hal yang sukar). 
(Ibid., hlm, 44).





Nb. Sayalah yang bertanggungjawab atas terjemahan sya'ir ini. Jika menurut anda terjemahannya kurang pas, mohon masukannya. Thanks.:-)