[Catatan Kecil Untuk Pak Bahren Nurdin]
Oleh: Edi Kurniawan*
Dalam minggu-minggu ini, di
tengah tumpukan tugas-tugas kuliah di Negeri sebarang, penulis selalu mengikuti
perkembangan terkini yang terjadi di Jambi melalui harian Jambi Ekspres. Ada
satu artikel yang ‘menggelitik’ penulis untuk mengangkat pena: Potret Buram
Disdik Provinsi Jambi oleh Pak Bahren Nurdin (Panggilan takzim penulis
kepada beliau). Terbit hari Sabtu, 02 November 2013.
Setelah menunggu beberapa
hari, ternyata tidak ada jawaban maupun penjelasan, baik dari Disdik atau yang lainnya. Di satu sisi, kita berharap semoga
tulisan Beliau menjadi teguran, nasihat serta muhasabah bagi Disdik. Namun di
sisi lain, karena permasalahan yang diangkat merupakan permasalahan besar yang
sudah kronis lagi kulli - dalam wacana akademis - izinkan penulis berseberangan
pendapat dan menambahkan karena berdasarkan atas pembacaan penulis, tulisan
tersebut lebih pada potret zahir dan analisa ‘diplomatis’ yang hampa analisa
historis dan ‘filosofis/metafisik’.
‘Mengapa semua
persoalan ini terjadi?’ Jawabannya terlalu sederhana dan diplomatis; Politisasi dan Kado-Kado Jabatan. Terlalu
sederhana! Sekali lagi penulis tekankan bahwa ini adalah persoalan besar. Jika
diibaratkan dengan sebuah sungai, ia hanyalah muara dari sungai yang panjang
yang berhulu pada, yaitu kerusakan ilmu. Bukan ilmu lawan dari pada kebodohan,
namun hakikat ilmu itu sendiri. Ketika ilmu sudah rusak, kata Syed Muahammad
Naquib al-Attas, maka hilanglah adab dalam masyarakat. Ketika adab ini hilang,
maka muncullah pemimpin palsu yang tidak mempunyai kualifikasi, moral,
intelektual dan iman (al-Attas: 106: 1993).
Adab, jika merujuk kepada
makna awal, ia berhubungan dengan hikmah. Dan adab juga berhubungan dengan adil;
menempatkan sesuatu pada tempatnya yang pas. Adil kata imam al-Ghazali ada dua
macam, adil yang berhubungan dengan diri sendiri dan adil yang berhubungan
keluar, yakni hubungan (muʿāmalah) antara satu atau kelompok dengan yang
lainnya.
Karena hilangnya adab inilah
kerusakan terjadi di mana-mana. Salah dalam menunjukkan orang atau ‘Politisasi
dan Kado-Kado Jabatan’ adalah berawal dari hilangnya adab. Adab kepada diri sendiri
dan adab kepada Tuhan. Begitu pula adil kepada diri dan adil kepada Tuhan. ‘Bukankah
Aku Tuhanmu, iya kami telah bersaksi Engkau adalah Tuhan kami (Balā Syahidnā)’,
kata Tuhan. Inilah maqam tertinggi dari adab itu. Lalu jika kamu telah
menyaksikan Allah Tuhanmu, mengapa masih ‘sikut sana-sini’? Bukan
Politisasi dan bukan pula Kado-Kado, tapi kita berhadapan dengan persoalan yang
terbesar dalam diri manusia yang menentukan baik dan buruknya manusia itu,
yaitu ‘Ala wahiyal qalb’, itulah hati, kata Nabi SAW.
‘Mengapa semua
persoalan ini terjadi?’ Karena rusaknya ilmu yang berawal ketika penjajahan.
Angka yang pantastis ditunjukkan oleh Edward W. Said dalam bukunya Orientalism bahwa,
“… Periode ekspansi Eropa tak ada tandingannya; dari tahun 1815 M sampailah
1914 M daerah jajahan langsung Eropa meluas dari lebih kurang 35% dari
permukaan Bumi ini menjadi 85%. Semua benua dijajahi, terutama Afrika dan
Asia…” (Said: 52-53: 2001).
Lebih lanjut, di Indonesia
kata Edward W. Said (Said: 273: 2001), Belanda datang membawa Snouck Hurgronje,
seorang pakar Islam asal belanda yang diangkat sebagai penasehat. Karel
Steenbrink mencatat (Karel Steenbrink: 96: 1995) bahwa Snouck Hurgronje
berpendapat, sistem Islam telah menjadi sangat kaku dan tidak mampu lagi
menyesuaikan diri dengan abad baru. Snouck melakukan langkah-langkah untuk
membebaskan kaum Muslimin dari agama mereka. Menurutnya, hanya melalui
organisasi pendidikan yang berskala luas atas dasar yang universal dan netral
secara agamis, pemerintah kolonial dapat membebaskan atau melepaskan Muslimin
dari agama mereka. Pengasuhan dan pendidikan adalah cara untuk mencapai
tujuan tersebut.
Secara
lebih terperinci, al-Attas (al-Attas: 47: 2001) telah merumuskan cara-gaya
Penjajahan dalam ranah Pendidikan ini bahwa ketika kedatangan Bangsa Barat
menjajahi Negara-Negara kita, mereka telah menjalankan dua tindakan penting
yang membawa kesan besar pada nasib kita, yaitu (1) memutuskan Kaum Muslimin
dari ilmu pengetahuan keislaman melalui sistem pendidikan, dan (2) memasukkan
unsur-unsur halus faham-faham, nilai-nilai serta konsep-konsep Kebudayaan Barat
hingga secara perlahan-lahan menggantikan faham-faham, nilai-nilai serta
konsep-konsep Islam serta memutuskan hubungan kebudayaan Islam di kalangan umat
Islam seluruhnya.
Hasilnya, ketika Kaum
Muslimin merebut dan menegakkan kemerdekaannya sampailah sekarang ini,
perubahan sikap terhadap ilmu dan tujuan hidup, serta orang Islam itu sendiri
tiada lagi mengenal hakikat Islam. Lalu muncullah perasaan hina di kalangan
umat Islam akibat kejatuhan maruah diri sendiri. Setelah itu timbullah
keinginan di kalangan orang Islam untuk menegakkan maruah itu atas
faham-faham, nilai-nilai serta konsep-konsep Kebudayaan Barat, serta timbul
pula pemimpin-pemimpin palsu yang menyesatkan.
Masuk pada era modern,
faham-faham Barat ini semakin canggih dan penyakit lama bertambah kronis.
Serapan sekularisasi pendidikan dan politik yang telah dirancang penjajah,
berjumpa pula dengan Epistomologi Barat yang tidak disaring dengan kebenaran
yang ditanzilkan, serta ditambah pula dengan keruntuhan adab pada masyarakat
kita, hasilnya terciptalah manusia - meminjam bahasa Imam al-Nasafī dalam ʿAqāʾid
al-Nasafiyyah - disebut dengan sūfasthā’iyyah
atau sophisme (al-Taftāzānī: 20-21: 2000). Secara
pendidikan, mereka ini kaum terdidik, tahu tapi jahil; jahil pada hakikat
dirinya dan jahil pula pada hakikat Tuhannya.
Lihatlah misalnya
kasus-kasus ‘borok’, tidak hanya pada tubuh Disdik yang disinggung
penulis artikel tersebut, tapi ‘Disdik-Disdik’ yang lain juga di Negeri ini.
Umumnya – untuk tidak mengatakan keseluruhan – mereka adalah kaum terdidik.
Mengapa ini terjadi, apakah hanya karena ‘Politisasi dan kado-kado jabatan’?
Sekali lagi penulis berani mengatakan bahwa ini hanyalah bagian kecil dan muara
dari apa yang telah penulis sebutkan di atas. Pendidikan! Ya. Karena ialah yang
menelurkan orang ‘terdidik’ itu.
Tujuan menuntut ilmu dalam
Islam kata al-Attas tidak lain kecuali untuk memupuk serta menjelmakan insan
yang sempurna. (al-Attas: 73: 2013) Ini lebih penting dan lebih asasi lagi dari
pada memupuk dan mewujudkan warga Negara yang sempurna, karena insan yang
sempurna sudah tentu menjadi warga Negara yang baik lagi sempurna; sedangkan
sebaliknya, warga Negara yang sempurna itu belum tentu ia menjadi insan yang
baik sempurna.
Sayang, praktek pendidikan
kita lebih mengarah pada menciptakan warga Negara yang baik ketimbang insan
yang sempurna. Cita-cita UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 tahun
2002 tentang tujuan pendidikan nasional dikatakan untuk ‘…meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...’ masih jauh panggang dari pada
api. Untuk mencapai tujuan ini tidaklah mudah jika sistem Pendidikan kita masih
terbelenggu dengan sistem dualisme Barat. Bak kata Horace (65 – 8 SM), ‘Nihil sine
magno labore vita mortalibus dat’, bahwa kehidupan ini tidak memberi
apa-apa tanpa usaha atau ide yang yang besar (Wheelock: 34: 1963). Wallahua’lam!
*[Penulis adalah Mahasiswa Master di Centre for
Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization (CASIS) – Universitas Teknologi
Malaysia Kuala Lumpur]
Tulisan ini dimuat di Harian Jambi Ekspress Tanggal 9 November 2013 [Baca Disini]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar