Antara
Fakta dan Fiksi Sejarah Jambi
(Catatan
Untuk Wenny Ira)
Oleh: Edi Kurniawan*
Dua tulisan Wenny Ira R, S.IP., M.Hum dalam harian
Jambi Ekspres, Sabtu, 11 Januari 2014 (Refleksi Spiritual Keagungan Melayu
Jambi Pada Seni Budaya) dan Selasa, 03 Desember 2013 (Membuka Gerbang
Peradaban Masyarakat Jambi) tentang peradaban Jambi, wabil khusus
ketika dikaitkan dan diperbandingkan antara fakta Peradaban dan Budaya Jambi, penuh
masalah.
Kata-kata “diidentik”, “citra”, dan “dianggap”, tanpa
adanya analisis perbandingan yang mendalam ketika dilabelkan atas sumbangan
Islam terhadap Peradaban Jambi bak permainan kata-kata dan menutup mata
sebelah. “…mengenai isu kemelayuan yang identik dengan islam dan dianggap
paling mendominasi dalam menyusun peradaban Jambi” katanya. Lalu dengan
tergesa-gesa dia katakan, “perlu juga ditilik kemasa lampau, apalagi dengan
adanya warisan cagar budaya candi Muara Jambi…” Tulisan keduanya pun juga
kental dengan nilai-nilai ‘pemujaan’ kepada situs ini disamping beberapa seni
hasil budaya Jambi.
Tidak bisa dinafikan bahwa Jambi mempunyai sejarah
yang agung di masa silam. Jambi
pernah menjadi Ibu Kota Kerajaan Melayu, pusat perdagangan dan pusat
pesinggahan bagi para musafir yang lalu lalang dari Cina ke Nalanda, Bengal. Kata ‘Melayu’, menurut Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Pakar Sejarah dan Perabadan Alam Melayu, itu diambil dari nama suatu penduduk
yang mendiami wilayah tua di kawasan Sumatra yang dikenal
oleh
orang orang Cina pada pertengahan abad ke
tujuh sebagai ‘Mo-Lo-Yeou’, yang terletak di Jambi.[1]
Dalam sumber-sumber tertulis, nama ‘Melayu’ muncul
pertama kali pada tahun 644 M. ketika Yijing yang menghabiskan waktunya di
Palembang dan Jambi pada tahun 671 dan 689-695. Bahkan Yijing telah menyaksikan
bahwa Foshi [nama tempat dalam catatan I-Tsing] - apakah dibawah
kerajaan atau bagian dari Sriwijaya – telah berkembang pusat pengajian Buddha,
sehingga ia menyarankan kepada Pendeta-Pendeta Buddha dari Cina untuk belajar
agama di Foshi selama satu atau dua tahun sebelum mencari kebijaksanaan.[2]
Beberapa
sejarawan mencoba menghubungkan pusat agama Buddha tersebut (Foshi)
adalah Candi Muaro Jambi, yang menjadi Universitas
Buddha terbesar di Sumatra. Di Universitas ini kita menganal Atisha, pembaharu
Buddha di Tibet yang pernah belajar di Candi Muaro Jambi di bawah Dharmakitri.
Namun sayangnya kata O. W. Wolters, “Jambi became
known to the Chinese as ‘Ṥrīvijaya’ [Sriwijaya]”,[3]
sehingga peradaban agung Jambi pada zaman Buddha tertupi oleh Sriwijaya.
Faktor inilah yang sedikit menyulitkan para sejarawan dalam mengungkap Misteri
Candi Muaro Jambi yang disebabkan bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad lamanya
Jambi berada di bawah kekuasaan Sriwijawa.[4]
Terlepas bagaimana Misteri Candi Muaro Jambi dan segala
keagungannya di masa silam, namun ada yang aneh menurut al-Attas bahwa
sekiranya ada 1000 Rahib Buddha di Sumatra pada akhir abad ke-6 serta ada pula
seorang tokoh agung Buddha semacam Atisha, namun sayangnya filsafat Buddha
tidak berkembang dengan baik di Sumatra yang disebabkan, boleh jadi agama
tersebut tidak berminat menyampaikan kepada masyarakat awam atau boleh jadi
pula pendeta Buddha tersebut bukan berasal dari Pribumi, melainkan dari India
Selatan yang ramai datang ke sana untuk mencari suasana sunyi dan damai untuk
melakukan semedi. Lalu beliau menyimpulkan, “Sejauh yang kita ketehui, baik
Hindu Melayu maupun Buddha melayu tidak pernah melahirkan seorang pun pemikir
atau pun filosof yang terkenal [dari kalangan Pribumi]” (Neither the Hindu-Malay nor the Buddha Malay, as
far as we know, have produced any thinker or philosopher of note).[5]
Sungguh aneh sekiranya orang-orang yang tinggal di
sekitar Candi Muaro Jambi atau Jambi secara umum kala itu yang masih bergelut
dalam Ateisme atau tidak beragama sama sekali, sementara di tempat mereka ada
pelita. Patut dipertanyakan hakikat penerangan pelita itu: khusus untuk pemilik
pelita sajakah atau ada sesuatu yang bermasalah dari pelitanya sendiri. Lebih
aneh lagi ketika Wenny Ira mengatakan: “Citra budaya melayu yang identik
dengan Islam di Jambi memang lebih dominan sejak keruntuhan peradaban melayu
kuno yang lebih dominan dengan Budha”. Tampaknya beliau belum bisa
membedakan hakikat penyebaran pelita agama samāwī dan mana pelita agama arḍī.
Apanya yang dominan? Tidak ada hujah dan batasan ilmiah yang jelas
diberikan.
Wenny Ira lebih terkesima dengan bukti fisik,
ketimbang melihat hakikat ruh sejarah yang sebenarnya. Sebenarnya framework
kajian sejarah semacam Wenny Ira tidak ada yang baru. Van Leur, serjana Belanda
telah mendahului itu. Baginya, dalam menilai sejarah hanya dipandang dari sisi
seni bina dan bangunan seperti Candi-Candi, keindahan pahatan-pahatan batu dan
berbagai jenis wayang. Sehingga yang nampak di wajahnya dalam menilai peradaban
adalah keindahan bentuk fisik.
Kita memang tidak menafikan bahwa kesenian adalah
suatu ciri yang mensifatkan peradaban, namun pandangan hidup semacam itu
merupakan kebudayaan estetik dan klasik yang dalam penelitian konsep peradaban
sejarah bukanlah menandakan keluhuran budi dan akal serta pengetahuan ilmiah.
Sejarah telah memberitakan bahwa semakin indah dan rumit gaya seni rupa, maka
semakin menandakan kemerosotan budi dan akal, seperti yang tampak pada
Acropolis Yunani, Perseporis Iran, dan Piramida Mesir.
Sepatutnya kita tidak boleh lupa bahwa bangunan-bangunan super wah, ternyata menjadi bukti kezaliman penguasa kepada rakyat.
Piramida di Mesir, Tembok Besar Cina di Cina, Colosseum di Italia, telah memakan ribuan bahkan jutaan korban jiwa hanya untuk
membentuk suatu peradaban lewat bangunan super wah. Karena itu, perlu juga penelitian yang mendalam sejarah
super wah Borobudur dan sisi gelap penguasa, termasuk juga Candi Muaro
Jambi dengan pertimbangan keluasan dan keunikan bangunannya serta
artifak-artifak yang ditemukan dengan kondisi teknologi pada masa itu.
Fakta
Sejarah dalam Bingkai Peradaban
Kedatangan
Islam dalam kemasan metafisika tasawwuf telah memunculkan semangat rasional dan
intelektual yang masuk ke dalam pikiran masyarakat, menimbulkan kebangkitan
rasionalisme dan intelektualisme yang tidak kelihatan pada masa pra-Islam,
termasuk juga di Jambi.
Dalam bidang intelektual - meskipun tidak mencapi kecemerlangan
seperti peradaban Islam di bawah dinasti Abbasiyyah dan Umayyah – di Alam
Melayu telah melahirkan orang-orang lokal yang menjadi tokoh intelektual
seperti Abdussamad al-Falimbani, Khatib al-Minangkabawi, Abdurrauf al-Sinkili
dan lain-lain.
Di Jambi sendiri kita mengenal adanya KH.Ahmad Syukur
pendiri Pondok Pesantren Sa’adatuddaren, KH. Abdul Majid pendiri madrasah Nurul
Iman. KH. Khotib
Mas’ud, Haji Abdus Shomad Khop, Kms. H.M. Sholeh, Syeh Haji Usman, dll. Sementara
pada zaman Buddha, sejauh yang kita ketahui, kita belum mengenal adanya tokoh
pribumi (baja: Jambi) yang menjadi sebagi sosok intelektual, apatah lagi dari
kelompok Ateisme.
Dalam bidang rasional pula, secara berangsur-angsur
paham-paham mistis mulai dilupakan masyarakat, lalu diganti paham rasionalisme
ketauhidan. Lalu aneh, sebagian paham-paham mistis yang berlawanan dengan
nilai-nilai ketauhidan seperti dikatakan Wenny, “ini tidak bisa dihapuskan
atas nama apapun”. Lalu bagaimana dengan masyarakat yang telah terhujam
ketauhidan, patutkah Wenny menghukumi seperti itu. Bukankah telah terhujam
dalam adat Melayu Jambi bahwa adat bersendi kepada syara’, syara’ bersendi
kepada kitabullah. Tentu, bagi kaum kubu atau segelintir masyarakat yang masih
bergelut dalam Ateisme, tidak ada kuasa bagi kita memaksakan, yang jelas
kewajiban seorang Muslim adalah mendakwahkan.
Selain itu, Islam
di
Alam Melayu ini diterima
bukan hanya dalam golongan bangsawan atau di istana serta muncul pula pusat-pusat
ilmu, falsafah, pendidikan Islam di seluruh
Nusantara, bukan seperti kasus Buddha dan Hindu.
Di jambi sendiri kita mengenal akan kewujudan
Pesantren Tahtul Yaman yang menjadi pusat penyebaran Islam ke hilir dan ke
hulu. Lalu bagaimana dengan Universitas Buddha tertua di Muaro Jambi itu? Apa
sumbangannya kepada masyarakat dari hilir sampai hulu? Sepertinya Wenny Ira
terlalu harus objektif dalam menilai ini.
Selain itu juga muncul
dan tersebar satu sistem
akhlak yang baru yang umum untuk semua masyarakat. Sistem akhlak tersebut
berdasarkan al-Qurʾān, Sunnah dan syariah, mengantikan sistem
tabu dan adat-istiadat yang sebelum Islam. Karenanya,
dalam sumber tak tertulis, seluko-seloko adat Jambi kental akan
nilai-nilai akhlak dan pengajaran. Sementara dalam bidang undang-undang, muncul pula satu sistem
undang-undang yang adil dan berlaku tidak hanya untuk rakyat yang lemah, tapi
menyeluruh.
Karenanya, bagi seorang Muslim dalam menilai peranan dan kesan sejarah Islam, ciri-ciri yang harus dicari bukanlah pada tugu, candi
dan wayang atau ciri-ciri yang mudah dipandang
jasmani, atau juga kekuatan
lainnya seperti jumlah tenaga manusia atau kekuatan bala tentera, walaupun
berperan dalam membantu kekuatan suatu bangsa, namun itu bukanlah kekuatan
hakiki, apatah lagi memberikan arah dan makna dalam pembangunan yang menyeluruh.
Hal ini juga diakui oleh Ibn Khaldūn, ahli filsafat sejarah kita dalam karyanya
al-Muqaddimah.[6] Sementara bagi al-Attas, kekuatan
hakiki dan penilaian tersebut berada pada bahasa
dan tulisan yang sebenarnya yang mencarakan daya budi dan akal merangkum
pemikiran.[7]
Pernyataan dua tokoh ulung ini boleh kita uji
kebenarannya. Bangsa Jerman meskipun berhasilkan menaklukkan Imperium Roma
sebelum sebelum abad ke-6 Masehi, namun mereka juga terpaksa mengakui
keistimewaan dan keagunangan kaum yang ditaklukkan, persis seperti Bangsa
Mongol, meskipun berhasil menghancurkan Baghdad sebagi pusat peradaban Islam
pada abad ke-12 Masehi, namun setelah itu pun mereka terislamkan.
Akhir kata, pernyataan-pernyataan di atas bukan
bermaksud menyudutkan agama dan kepercayaan lain atau pun menafikan keberadaan
situs Candi Muaro Jambi. Namun, tempatkanlah secara adil yang sesuai pada
porsinya masing-masing. Jangan hanya terpikat karena iklan sampo lalu oli pun dijadikan
sampo. Dalam kata lain, jangan mengaburkan
fakta sejarah menjadi fiksi
dan fiksi menjadi fakta, bak dalam legenda Aladdin yang menukarkan lampu
ajaib dengan lampu baru hanya karena terpesona dengan keindahan zahir lampu
baru; itu namanya dungu!. Wallahuaʿlam! [*]
(*Penulis
adalah putra Jambi yang sedang bergelut dalam Studi S2 dalam bidang Filsafat
dan Peradaban Islam di Centre for Advanced Studies on Islam, Science, and
Civilization (CASIS) – UTM International Campus Kuala Lumpur atas utusan IAIN
STS Jambi).
[2]
Selengkapnya
lihat Leonard Y. Andaya, “The Search for the ‘Origin’ of Melayu” dalam Journal
of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 3 (Oct.,
2001), hlm. 319.
[3] Lihat selengkapnya, “A Note
on the Capital of Śrīvijaya
during the Eleventh Century” dalam Artibus
Asiae, Vol. 23, (1966), hlm. 225.
[4]
Selengkapnya
lihat, Ibid., h. 225-239; O. W. Wolters, “Śrīvijayan
Expansion in the Seventh Century” dalam Artibus Asiae,
Vol. 24, No. 3/4 (1961), h. 417-424.
[5]
(Lihat, Preliminary
Statement on A General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago (Kuala
Lumpur, 1969, h. 3-4)
[6] Lihat,
al-Muqaddimah, Penj. Franz Rozenthal (New Jersey: Bollingen/Princeton
University Press), h. 2013-214
Daftar Bacaan
Ibn Khaldun, al-Muqaddimah,
Penj. Franz Rozenthal (New Jersey: Bollingen/Princeton University Press).
Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction,
(Kuala Lumpur: UTM Press, 2011).
__________
, Islam dan
Sejarah Kebudayaan Melayu (Kuala Lumpur: ABIM, 1999).
___________ ,Preliminary Statement on A General
Theory of the Islamization of the
Malay-Indonesian Archipelago (Kuala Lumpur, 1969)
Leonard Y.
Andaya, “The Search for the ‘Origin’ of Melayu” dalam Journal of
Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 3 (Oct.,
2001).
O. W. Wolters, “A Note on the Capital of Śrīvijaya during the Eleventh Century” dalam Artibus Asiae,
Vol. 23, (1966).
__________ , “Śrīvijayan
Expansion in the Seventh Century” dalam Artibus Asiae,
Vol. 24, No. 3/4 (1961)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar