Tanpa sadar, setelah membaca dua komentar atas catatan harianku,
Evaluasi Diri Selama Belajar Di CASIS, "Amin", katanya; tangunku bergerak mengeluarkan
laptop setangah usang dari tasku ditengah sunyi malam pojok
kampus, mengisi blog yang lama sudah berpuasa ini. Sunyi! Hanya diiringi suara
kipas angin.
1,5 tahun yang lalu, aku membuat catatan itu. Gundahan dan harapan hati
seorang anak kampung yang sedang berjuang di rantau orang. Iya, tangankulah
yang menulisnya. Dan itu 1,5 tahun yang lalu. “aku ingin menjadi Professor”,
kata anak kampung itu. Dan “itu pula cita-cita tertinggi”-nya, desusnya.
Pola fikir manusia ibarat aliran sungai, semakin ke hujung, semakin
besar dan tenang. Lazimnya, semakin bertambah umur seseorang, maka semakin besar kewibaan
dan tenang pula kepribadiannya.
“Saya ingin menjadi Presiden, Menteri, Gubernur, Dokter, Tentera, Usahawan dll”, kira-kira seperti itu jawaban anda atau teman-teman anda kala SD dulu ketika ditanya Buk/Pak Guru tentang cita-cita. Menjawab sangat enteng. Yah, begitulah anak SD. “ʿUqul”-nya sebatas itu. Ketika masuk jenjang SLTP, yang dicita-citakan mulai berubah. SLTA dan Mahasiswa, jenjang ʿuqulnya berubah pula, seiring dengan penghayatan dan ketawaduan benih ilmu yang diperolehnya.
“Saya ingin menjadi Presiden, Menteri, Gubernur, Dokter, Tentera, Usahawan dll”, kira-kira seperti itu jawaban anda atau teman-teman anda kala SD dulu ketika ditanya Buk/Pak Guru tentang cita-cita. Menjawab sangat enteng. Yah, begitulah anak SD. “ʿUqul”-nya sebatas itu. Ketika masuk jenjang SLTP, yang dicita-citakan mulai berubah. SLTA dan Mahasiswa, jenjang ʿuqulnya berubah pula, seiring dengan penghayatan dan ketawaduan benih ilmu yang diperolehnya.
Aku…. 1,5 tahun yang lalu, dengan lantang mengatakan, “Professor
Radiallahuʿanhu” adalah cita-cita tertingti, titik…”. Itu 1,5 tahun lalu. Sekarang?
Tidak! Sekiranya itu didapat, ia hanyalah hadiah. Sebab, jika anda menanam
padi, pasti anda akan menuai. Hasilnya, tergantung usaha anda memelihara dan
menjaganya. Hakikatnya, adalah keberkahan dari hasil tanaman tersebut. Jika anda gigih
bersekolah lalu mendapatkan gelar akademik, Professor, itu hanyalah gelaran
semata. Hakikatnya, ilmu yang berkah. “Ilmu yang tiada berkah, ibarat pohon
tiada berbuah”, kira-kira seperti itu pepatah Arabnya.
Waktu berjalan dan haluan angin berubah. Hari ini, saya katakan dengan
tegas lagi, Professor, diganti dengan ilmu yang berkah. Cita-cita 1,5 tahun
lalu berubah tajuk. Tohh… ada diluar sana bukan Profesor, tapi keilmuannya
melampaui Professor. Professor, tapi akhlaknya lebih buruk dari orang tak
sekolah tinggi.
Syeikh ʿUsman Bin Fodeo, pendiri Khalifah Sokoto, kerajaan yang
membentang dari Nigeria, dan sebagian Niger dan Kamerun; catatan akademiknya, sama seperti Buya
Hamka, tidak pernah belajar di sekolah formal, tapi karya-karya, sumbangan dan
jasanya, jauh melebihi para Professor.
Iʿtiqadkanlah hati anda belajar karena Allah. Jika digelari professor, itu hanyalah hadiah, tapi jangan jadikan tujuan utama. “Professor tidak menjamin anda masuk surga”, ungkapan Dr. Syamsuddin Arif yang sangat mengenang.
Iʿtiqadkanlah hati anda belajar karena Allah. Jika digelari professor, itu hanyalah hadiah, tapi jangan jadikan tujuan utama. “Professor tidak menjamin anda masuk surga”, ungkapan Dr. Syamsuddin Arif yang sangat mengenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar