Oleh: Edi Kurniawan*
Suatu siang, daripada
melewatkan waktu begitu saja maka aku memutuskan untuk berkunjung ke
Perpustakaan Dar al-Hikmah kampus International Islamic University Malaysia
(IIUM), Selangor Malaysia. Perpustakaan ini boleh dikatakan sebagai
Perpustakaan terlengkap dalam kajian keislaman untuk kawasan Asia Tenggara.
Karena itu, ia menjadi tempat favoritku dalam menghabiskan waktu luang.
Di depan Dar al-Hikmah |
Awalnya aku mengunjungi
rak-rak buku tasawwuf, maka di sana aku jumpai sebuah kitab yang cukup tebal
karya Imām Zakariyā al-Anshārī. Kemudian rak-rak buku ini aku
tinggalkan, lalu menuju rak-rak buku Fiqh. Di rak-rak buku Fiqhpun aku jumpai
kitab yang cukup tebal, juga karya Imam Zakariya al-Anshari dalam bidang
Fiqh dengan judul al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah.
Ada rasa penasaran, siapa dia? Maka kitab yang tebalnya sebelas jilid itu aku
ambil dan ditumpukkan diatas meja baca, lalu menuju ke rak-rak buku tasawwuf
untuk mencari kitab yang aku jumpai diawal tadi. Namun sayang, karena
pertemuan yang tidak disengaja dan ditambahkan dengan banyaknya kitab-kitab
disana maka kitab itupun tidak berhasil ditemui lagi.
Sekilas Tentang Imam Al-Anshari dan al-Ghurar
al-Bahiyyah
Nama lengkapnya adalah Zakariya bin Muhammad
al-Anshari. Beliau merupakan seorang Qadhi (hakim), Mufassir, penghafal
Hadis, Faqih dan ahli tasawwuf serta penganut mazhab Syafi’ī. Tak ada kepastian
tahun kelahirannya. Menurut Imam al-Sayuthi, ulama yang hidup
semasa yang juga kawannya memprediksi, tahun kelahiran Al-Anshari adalah 824 H,
di Sunaikah, desa kecil yang terletak antara kota Bilbis dan Al-Abbasiyah,
timur Mesir.
Dari kecil beliau sudah
hafal al-Qur’an. Dan semenjak balita beliau ditinggal wafat oleh ayahnya,
sehingga hidup menjadi anak yatim. “Beliau tumbuh dalam keadaan fakir
miskin”, begitulah catatan muhaqqiq (editor) kitab al-Ghurar
al-Bahiyyah dalam bab pengantar. “Selama belajar di al-Azhar, aku sering
kelaparan karena tidak punya uang untuk membeli makanan”, kata Syeikh Abdul
Wahab dalam mengulangi ungkapan Imām Zakariya Al-Anshari.
Kitab al-Ghurar al-Bahiyyah
fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah ini merupakan syarahan atau
penjelasan beliau atas kitab al-Bahjah karya ‘Umar Bin
Mazfur Bin ‘Umar Bin Muhammad Bin Abi al-Faris Abu Hafd Zainuddin Bin al-Wardi
al-Mu’arri al-Kindi atau lebih dikenal dengan al-Imam al-Wardi yang hidup
antara 1292-1349 M/691-749 H. Dalam terbitan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut
– Libanon, kitab al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah
ini terdiri dari 11 jilid yang berisikan seputar permasalah fikih dalam mazhab
Syafi’i.
Di Indonesia, kitab ini
merupakan salah satu rujukan penting bagi para ulama, peneliti hukum dan
guru-guru pesantren dalam memahami masalah fiqh. Sementara di lingkungan
pesantren sendiri beliau terkenal melalui karyanya Fath al-Wahhab: bi
Syarh Manhaj al-Thullab yang dikaji oleh para santri dalam
masalah fiqh.
Hikmah
Meskipun beliau berasal dari keluarga yang
serba kekurangan, akan tetapi hari-hari beliau dihabiskan untuk belajar,
membaca, menelaah dan menulis kitab-kitab dan mengajar hingga mengantarkan
beliau menjadi orang yang alim di Mesir pada penghujung abad ke 14 Masehi dan awal
abad 15 Masehi.
Jika karya-karya beliau
disusun rapi, barangkali tingginya hampir separuh tinggi orang dewasa atau
lebih. Apa pelajaran yang dapat diambil? Cinta, semangat dan berkarya. Ya,
itulah kata tepat. Meskipun beliau berasal dari keluarga miskin, namun
semangatnya tidaklah miskin.
Sikap kecintaan kepada ilmu
seperti beliau jarang kita temui pada diri pemuda sekarang ini. Amat
menyedihkan ada diantara keluarga, teman, atau masyarakat kita yang diberikan
kelebihan, baik itu harta maupun kemampaun, namun kelebihan itu tidak digunakan
dengan semestinya.
Ilmu agama dikesampingkan.
Orang-orang lebih bangga memasukkan anak-anaknya pada Perguruan Tinggi umum
dari pada Perguruan Tinggi Agama. Orang-orang lebih rela membayar tinggi
les-les bahasa Inggris, sementara peran guru ngaji dikesampingkan. Kebanyakan
para pelajar sudah salah niatnya, belajar sebagai perantara untuk mendapatkan
pekerjaan. Alhasil, terciptalah generasi hedonisme yang lupa pada
agamanya.
Siapa membaca akan
mengetahui. Siapa menulis tak akan mati. Demikianlah inskripsi-inskripsi kuno
dalam piramid, di dinding-dinding gua, atau batu-batu cadas peninggalan ribuan
tahun dahulu kala. Juga karya-karya ulama dalam manuskrip-manuskrip atau
kitab-kitab. Para penulisnya telah lama tiada, namun apa yang telah ditulis
seakan kekal abadi. Imam Zakariya al-Anshari adalah salah satu dari banyak
ulama yang wajib kita teladani. “Demi huruf nun dan demi pena serta apa yang
mereka goreskan”, firman Allah dalam kitab suci al-Qur’an (QS. 68:1).
Sumber bacaan:
Zakariya bin Muhammad al-Anshari, al-Ghurar
al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah. (Beirut – Libanon: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah), jilid I, hlm. 3-6.
*Mahasiswa Master di Centre for Advanced Studies on
Islam, Science and Civilization (CASIS) – Universiti Teknologi Malaysia Kuala
Lumpur
Artikel ini telah dimuat dalam Majalah Islamedia Online, 7 Juli 2013: Klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar