Oleh: Edi Kurniawan[1]
Beberapa waktu lalu sebuah artikel dengan
judul Neo-Zahiri ditulis oleh Prof. Azyumardi Azra dalam sebuah Harian
Nasional. Menurutnya, secara terminologi neo-zahiri berasal dari
pemikiran Islam klasik yang disebut dengan mazhab Zahiri, yaitu paham yang
hanya melihat ayat al-Qur’an dan Hadis Shahih, Mutawatir secara lahir, harfiah
atau literal saja. Salah satu contoh pemikiran neo-zahiri ala Indonesia
yang disebutkan oleh Azra dalam tulisannya seperti anjing bukanlah najis karena
tidak ada ayat al-Qur’an secara eksplisit
menyatakan hal demikian. Al-Qur’an hanya berbicara tentang
haramnya memakan bangkai, khinzir (babi), dan darah mengalir (al-Baqarah
2: 173; al-Maidah 5: 3). Dalam hal terakhir ini karenanya darah yang sudah
dibekukan menjadi marus (semacam ‘tahu’) boleh saja dimakan.
Solusi ini perlu diapresiasi. Namun menurut penulis,
sikap tasamuh dan tawazun itu jangan dibatasi hanya pada neo-zahiri
saja, tetapi neo-muʿaththilah juga, karena kedua-duanya sama bahayanya. Yang
satu terlalu kaku dalam memahami teks agama dan yang satu terlalu liberal dalam
memahami dan menafsirkannya.
Tulisan ini akan membahas pemikiran neo-muʿaththilah
sebagai lawan neo-zahiri yang luput dari pembahasan Azra. Hal ini mengigat,
kelompok ini juga telah berkembang dan banyak melahirkan ‘fatwa nyeleneh’ dalam
masalah keagamaan. Sebut saja misalnya menghalalkan homoseksual, lesbian,
pernikahan beda agama, meragukan keotentikan al-Qur’an, untuk menyebutkan
beberapa contoh.
Neo-muʿaththilah yang penulis maksud disini adalah merujuk kepada
tulisan Yusuf al-Qaradhawi dengan judul Dirasah fi Fiqh Maqashid al-Syariʿah.
Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Fikih
Maqashid Syariʿah. Dalam bahasa al-Qaradhawi, kelompok ini disebut al-muʿaththilah
al-judud (penganulir baru). Menurutnya, istilah ini merujuk kepada
golongan yang mewarisi penganulir zaman dahulu yang kerjanya menganulir
nama-nama Allah swt. dari hakikat maknanya. Kelompok ini berani melawan
teks-teks agama yang diabawa oleh wahyu makshum, baik Qur’an ataupun Sunnah.
Mereka menolak teks-teks tersebut tanpa peduli, serta membekukannya tanpa ilmu
dan petunjuk kecuali mengikuti hawa nafsu atau golongan yang ingin membuat
fitnah terhadap agama Allah swt.[3]
Ciri-cirinya menurut al-Qaradhawi ada tiga,
yaitu pertama, dangkal pemahamannya terhadap sunnah. Kedua,
berani berpendapat tanpa ilmu. Ketiga, mengikuti pemikiran Barat (ʿabid
al-fikr al-gharbi).[4]
Jika disempitkan ala neo-muʿaththilah Indonesia; ciri-ciri yang pertama tidaklah bisa dibenarkan semua
dan disalahkan semua sebab sebagian dari mereka adalah alumni
Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam yang tentu tahu tafsir, hadits, fikih dan
pengetahuan agama lainnya. Cuma karena pemikiran sofis sudah mengental, merakapun
pura-pura tidak tahu atau sudah tahu tapi ragu (sophist), sehingga
membuat tafsiran mereka itu kabur.
Ciri-ciri yang kedua
juga sama seperti pertama, tidak bisa dibenarkan dan disalahkan semua. Dan ciri-ciri
yang ketiga menurut Qaradhawi adalah ʿabid al-fikr al-gharbi. Inilah
menurut penulis yang menjadi sumber ‘malapetaka’ terbesar dari ketiga ciri-ciri
ini.
‘Perkawinan’ antara Neo-Muaʿaththilah dan Epistomilogi Barat
Sebelum berbicara tentang epistimologi Barat dan
pengaruhnya pada kelompok neo-muʿaththilah, ada baiknya kita defenisikan
terlebih dahulu apa itu kebudayaan Barat.
Menurut Prof. Al-Attas,
ada tiga ciri-ciri kebudayaan Barat, yaitu pertama, kebudayaan Barat adalah
kebudayaan ‘gado-gado’ yang terhimpun dari kebudayaan Yunani, Romawi dan unsur-unsur
lainnya seperti bangsa Jerman, Inggris dan Prancis. Kedua, agama Kristen
meskipun telah berpindah ke Barat, namun ia terjajah oleh kebudayaan yang telah lama
dianuti oleh kebudayaan Barat dan karena itulah kebudayaan Barat dapat
dikatakan bersumber filsafat, bukan agama. Ketiga, berdasarkan pandangan
hidup tragic, yaitu menerima pengalaman kesengsaraan hidup
sebagai kepercayaan mutlak yang mempengaruhi peranan manusia di dunia.[5]
Dalam perkembangannya,
filsafat Barat ini telah menjadi pandangan hidup sekuler atau yang dikenal
dengan paham Humanisme, yaitu paham yang meletakkan kepentingan atas dasar
kemanusiaan, keduniaan dan kebudayaan sehingga agama tidak dapat masuk dan berkembang
dalam paham ini. Intinya, filsafat ini berdasarkan penerimaan paham dualisme atau
penduaan hakikat mutlak, termasuk penduaan nilai kebenaran sebagai kenyataan
yang dianggap benar dan mutlak.[6]
Ketidaksesuaian antara agama, filsafat dan
sains menyebabkan dampak yang besar pada epistemologi ilmu kontemporer, dimana paham
keraguan menjadi epistimologi yang sah dan valid dalam menafsirkan berbagai
ilmu, termasuk agama. Maka tidak heran kemudian muncul ilmuan ateis semacam Friedrich Nietzsche
(1844-1900), Bertrand Russel (1872 –1970), Wittgenstein (1889-1951), Heidegger (1889-1976),
bahkan Paul Johnson telah mencatat dan mengkritisi beberapa tokoh ateis Barat
yang yang mempunyai pengaruh dalam ilmu
pengetahuan seperti Shelley, Karl Marx, Henrik Ibsen, dan
beberapa tokoh lainnya.[7]
Peran agama dikesampingkan.
Apa yang baik menurut akal manusia, itulah kebaikan. Gereja pun demikian, telah
menjelmakan diri sebagai lawan dari ilmu pengetahuan, “In reality there is no
relationship nor friendship nor even enmity between religion and real science:
they live on different stars”, kata Friedrich Nietzsche.[8]
Akibatnya, meskipun Barat maju dalam bidang
sains dan teknologi, tapi kemajuan itu pula yang menjadi malapetaka terhadap
alam dan umat manusia karena tidak dibimbing oleh nilai agama dan akhlak. Lebih
parah lagi ketika ilmu-ilmu sosial diterapkan dalam kajian keagamaan, dimana akhir-akhir
ini disetujui pula oleh kalangan Muslim liberal, dampaknya lahirlah kelompok
yang me-muʿaththilah-kan (membatalkan) agamanya atas nama HAM, Gender,
dan Equality.
‘Perkawinan’
antara neo-muʿaththilah dan epistimologi Barat telah membawa kerusakan pada
epistiomologi dan metodologi agama yang telah dikembangkan dan diamalkan oleh
ulama-ulama yang muktabar dari zaman ke zaman, tentu juga berdampak pada praktek
nilai-nilai agama.
Dalam menyikapi masalah ini, hemat penulis,
benarlah apa yang dikatakan oleh Prof. al-Attas bahwa tantangan terbesar kita
hari ini adalah tantangan ilmu, bukan lawan kejahilan, tapi ilmu yang dipahami
dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat, karena hakikatnya telah
bermasalah yang disebabkan mengangkat keraguan dan dugaan pada tingkat ilmiah
dalam hal metodologi serta menganggap keraguan sebagai sarana epistimologi yang
paling tepat untuk mencapai kebenaran.[9]
Lebih lanjutnya
beliau menjelaskan, worldview ini telah melahirkan kebingungan dan
skeptisisme serta menjadikannya sebagai alat
epistemologi yang sah dalam keilmuwan, menolak
Wahyu dan kepercayaan
agama dalam ruang
lingkup keilmuan dan menjadikan spekulasi filsafat
yang berkenaan dengan
kehidupan sekuler yang menumpukan manusia sebagai makhluk rasional
sebagai dasar keilmuwan.[10]
Sebagai contoh dari hasil
‘perkawinan’ ini misalnya, dalam bidang hukum kita saksikan kelompok ini
menundukkan hukum Tuhan dibawah nilai HAM, Gender dan Humanisme Barat. Hasilnya
muncullah berbagai kerancuan pemikiran seperti penghalalan lesbian dan
homoseksual. Sementara hukum waris,
hudud, qishas, dan jilbab, itu tidak relevan lagi pada zaman modern ini,
katanya.
Dalam
bidang tafsir muncul para pengagum hermeneutika yang menerapkan metode tafsir
ini atas-ayat al-Qur’an. Hasilnya tidak ada lagi konsep qathʿi atau tsawabit,
semuanya boleh ditafsirkan.
Dalam bidang akidah
muncul pula paham pluralisme agama yang merupakan barang impor dari pemikiran Wilfred Cantwell Smith (1916-2000), John Hick (1923-2012)
dan Frithjof Schuon (1907 –1998). Akhir-akhir
ini dengan latah pula golongan pluralis di tanah air mengkampanyekannya.
Pemikiran ini tumbuh dan berkembang dari
Perguruan Tinggi Islam, termasuk juga Perguruan Tinggi Islam yang pernah dipimpin
oleh pak Azra pun, konon, dikatakan sebagai ‘markas’nya neo-muʿaththilah
ini.
Jalan Tengah
‘Ala kulli hal, sikap washatiyyah itu tidak hanya berlaku dan
ditujukan dalam menyikapi neo-zahiri saja, tapi neo-muʿaththilah juga.
Sebab, ia akan menempatkan nash sesuai porsinya.
Ia tidak bergantung pada
teks-teks partikular saja, lalu difahami secara literal, yang menyebabkan jauh dari maksud syari’ah seperti yang difahami kaum neo-zahiri. Dan ia tidak pula bergantung pada
maksud-maksud syari’ah dan ruh agama semata-mata dengan menganulir teks-teks
partikular di dalam al-Qur’an dan Sunnah seperti yang dipraktekkan
oleh kaum neo-muʿaththilah. Namun ia mengembalikan furu’ kepada ushul, partikular kepada global,
mutaghayyirat kepada tsawabit, mutasyabihat kepada muhkamat serta memegang teks-teks qatʿi, baik dari tsubut atau dilalah-nya dengan sangat teguh.[11] Dengan demikian, Islam itu akan shalih likulli zaman wa makan atau
berlaku untuk setiap waktu dan tempat. Wallahuaʿlam!
Tulisan ini telah dimuat dalam Majalah Era Muslim: http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/neo-mu?aththilah.htm#.UcEKQ722rB4
[1] Penulis adalah
Mahasiswa Master Filsafat Islam di Centre for Advanced Studies on Islam,
Science and Civilization (CASIS) – Universiti Teknologi Malaysia, Kuala Lumpur)
[3] Lihat, Fikih Maqashid
Syari’ah, Alih Bahasa Arif Munandar Riswanto (Jakarta: Pustaka al-Kaautsar,
2006), hlm. 84-85)
[5] Lihat, Risalah Untuk Kaum
Muslimin (Kuala Lumpur: Institut Antarabangsa Pemikiran dan Tamadun Islam, 2001),
hlm. 18-19.
[7] Selengkapnya
tokoh-tokoh yang disebutkannya adalah Rousseau, Shelley, Marx, Ibsen, Tolstoy,
Hemingway, Bertrand Russell, Brecht, Sartre, Edmund Wilson, Victor Gollancz,
Lillian Hellman, Cyril Connolly, Norman Mailer, James Baldwin, Kenneth Tynan,
and Noam Chomsky. Lihat selengkapnya, Intellectuals: From Marx and Tolstoy to Sartre and Chomsky
(London: Phoenix Press, 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar