Sudah beberapa hari aku mencari Prof. Khalif Muammar,
namun hari ini baru berjumpa. Tujuannya meminta masukan dan perbaikan atas
proposal tesisku. Namun, ada satu hal yang tak kusangka, setelah konsultasi
selesai, tiba-tiba beliau menanyaiku:
“Anda bisa membaca tulisan Jawi, edi?”.
“Insya Allah”, jawabku.
“Bisa terjemahkan kitab ini?”, sambil memberikan
sebuah kitab karya Raja Ali Haji, Ulama asal Riau abad ke 19 yang tersohor
dengan Gurindam 12nya itu.
Tanpa banyak fikir langsung aku iyakan saja, “Iya
ustas, insya Allah.
Pertanyaan ini ‘menghantui’ fikiranku. Bukan karena tidak
sanggup atau malas untuk mengerjakannya. Bukan… bukan itu… Aku malah dengan
senang hati menerima pekerjaan ini dan membantu beliau.
“sekali mendayung dua tiga pulau terlampau”, artinya pekerjaan
ini menjadi sarana untuk lebih menguasai tulisan Jawi dan khazalah Alam Melayu.
Tapi, mengapa dia mempercayaiku? Itulah pertanyaan yang tak terjawab. Padahal
teman-teman sekelas ada yang lebih dan berpengalaman dalam bidang Jawi.
Yah… pertanyaan-pertanyaan ini aku tinggalkan. Boleh
jadi tujuan beliau untuk mendidikku agar lebih menguasi khazanah Alam Melayu.
Namun yang pasti, aku sungguh sangat bersenang hati menerima dan mengerjakan
tugas beliau ini. Barangkali jika tidak ada tugas yang beliau berikan, bukan
tidak mungkin tapi sedikit lambat aku mengetahui pemikiran Raja Ali Haji.
Sungguh ini sebuah gerbang ilmu bagiku.
*****
Tanpa berfikir panjang, secara berangsur-angsur tugas inipun langsung
aku kerjakan. Berawal dengan membaca halaman demi halaman, lalu perlahan-lahan
aku goyangkan jariku untuk menari-nari di atas keyboard laptop mungilku.
Di tengah kesibukan kuliah, ternyata dalam dua hari sudah belasan halaman
dikerjakan.
Setelah berjalan sejauh itu, aku memutuskan menemui
beliau untuk menanyakan metode translasi dan beberapa kata yang masih asing. Hari
itu setelah kuliah aku langsung ke ruangan beliau:
“Assalamu ʿalaikum”, ucapku.
“Waʿalaikum wasalam”, jawabnya dari ruangan.
Tidak aku putuskan untuk masuk tanpa dipersilahkan
atau beliau membuka pintu. Inilah adab yang Islam ajarkan jika kita bertamu.
Namun tidak lama kemudian, suara sepatu beliau menghentak-hentak di lantai
menuju arah pintu.
“Oh… Edi… silahkan masuk”.
“Terimakasih ustas”.
Saya langsung memulai pembicaraan,
“Ustas, saya datang karena ada hajat. Meminta
kejelasan metode translasi dan menanyakan beberapa kata yang masih asing dan
baru aku ketahui”.
Tanpa fikir panjang aku keluar laptop dari tasku dan
aku perlihatkan pekerjaanku.
“Oh Edi… anda belum nyambung kemarin ya? Saya meminta
untuk mengetik ulang tulisan Arab Melayunya, bukan terjemah ke Rumi (Romawi).
Kalau terjemahnya sudah”, beliau menjelaskan sambil mencari terjemahan tersebut
di antara tumpukan kertas kerja beliau di atas mejanya.
“Nah.. ini sudah…”, beliau sodorkan terjemahan
tersebut.
Dalam beberapa waktu aku terpaku dihapan beliau. Lalu
aku memohon maaf, “maaf ustas mungkin saya belum nyambung kemarin”, meskipun
dalam hatiku ada rasa keyakinan bahwa permintaan beliau untuk menterjemahkan
beberapa waktu lalu. Nah… lagi-lagi kita juga bertemu dengan persoalan adab
terhadap guru. Kita harus memilih kata-kata yang tepat jika mau bertanya atau
jika kita berbuat salah pun harus mengakui kesalahan kita dan meminta maaf.
“Bagaimana, bisa kerjakan tulisan Jawinya?”, beliau
menegaskan kembali.
“Sebelumnya saya mohon maaf ustas, saya tidak terbiasa
dengan pengetikan Jawi (Arab), tapi kalau romawi tangan saya sudah lancar”.
“Ini ada keyboard Arab, silahkan dibawa”, beliau
sambil menunjukkan keyboard komputer di meja kerjanya.
“Nanti ustas mengetik pakai apa?”, tanyaku.
“Saya masih ada satu lagi”.
Keyboard sudah disodorkan dan dari wajah beliau tampak
sangat berharap aku bisa membantunya. Lalu tanpan berfikir panjang, “Insya
Allah ustas akan saya kerjakan, tapi saya belum bisa fokus untuk mengerjakan
itu sekarang, mungkin setelah progress report tesis nanti”.
“O iya, gak apa-apa”.
Lalu aku masukkan keyboard tersebut kedalam dan
aku langsung pamit pulang. Sungguh pekerjaan ini berat bagiku, di tengah
perjalanan, aku termenung, lalu cepat-cepat aku alihakn fikiran itu, “INILAH
HADIAH DARI GURUKU”. Kerjakan dulu baru menilai. Jika memang tidak
sanggup, maka aku akan berterus terang nanti, yang pasti segala potensi dan
keikhlasan dikerahkan untuk mengerjakannya. Selama ini sudah banyak jasa beliau
padaku. Atas pertolongan beliau aku bisa aku bisa mencicipi kuliah S 2 dan
dibebaskan biaya SPP. Apa yang aku kerjakan sungguh tidaklah setimpal dari jasa
beliau. Mungkin, itu pula “HADIAHKU UNTUK BELIAU”. Bukankah
Allah telah memerintahkan, “jika engkau dihormati dengan suatu penghormatan, maka
balaslah dengan yang setimpal atau lebih”. Hidup ini akan indah jika saling
tahu peran masing-masing. Bukan begitu kawan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar