Indah dibicarakan dan senang didengar, itulah cinta. Bagi
pujangga, ‘cinta’ dipoles dalam bait indah. Bagi pemabuk asmara, ‘cinta’
membuat lupa masa dan gila pada yang dicintai bak legenda Laila Majnun dalam
sastra Arab yang terkenal itu. Bagi thalib al-juhd, ‘cinta’ itu kala
membaca dan mengulang kaji. Bagi Ahli Taṣṣawwuf, ‘cinta’ disebut mahabbah,
yakni muraqabah ila Allah.
Oh… Pantas saja Ibn ʿArabī mengkinayahkan cinta hamba
kepada Tuhan Pencipta Alam Raya bak seorang laki-laki yang benar-benar mencintai
seorang perempuan, lalu ia akan menacari jalan untuk mendepatkan cintanya
dengan cara menikahi wanita itu. Ia berkata:
ولما أحب الرجل المرأة، طلب الوصلة أي غاية الوصلة التي
تكون في المحبة، فلم تكن في صورة النشأة العنصرية أعظم وصلة من النكاح.) أي، الجماع.
(و لهذا تعم الشهوة أجزاءه كلها، ولذلك أمر بالاغتسال منه، فعمت الطهارة، كما عم الفناء
فيها عند حصول الشهوة.) أي، ولأجل أن الرجل أحب المرأة والمرأة الرجل، وطلب كل منهما
الوصلة إلى الآخر غاية الوصلة، عمت الشهوة جميع أجزاء بدنهما.
Cinta hakiki, tidak akan anda dapatkan kecuali dengan
mengenal pasti terlebih dahulu, “siapa anda”?
“Siapa
yang mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya”
Oh… Pantas saja Ahli Tasawwuf
menjadikan hadith ini sebagai dasar cinta.
Ibn
ʿArabī berkata:
“Pengenalan Insan akan hakikat dirinya merupakan
tonggak awal untuk mengenal akan Tuhannya, karena dengan dia mengetahui
Tuhannya merupakan hasil dari mengenal dirinya”. (Lihat, Ismaʿil al-Nabalusi, Jawahir
al-Nushush fi hal kalimat al-fushush: II: 422).
Dan Raja Ali Haji, ulama dan pujangga itu bersenandung dalam baitnya sya’irnya, Gurindam Dua Belas, Gurindam I:
Barang siapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada
boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang
yang ma'rifat.
Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegahnya tiada
ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan
Tuhan yang bahri.
Barang siapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang
teperdaya.
Barang siapa mengenal akhirat, tahulah Ia dunia
mudarat.
Dan Imam al-Ghazālī pula menjelaskan:
“Ketahuilah [oleh mu] pengetahuan
tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan, sesuai dengan ayat: “Akan Kami tunjukkan ayat-ayat kami di dunia
ini dan di dalam diri mereka, agar kebenaran tampak bagi mereka”, dan hadits Nabi: “Siapa yang mentetahui
dirinya sendiri, niscaya akan
mengetahui Tuhannya”. Nah, tidak ada yang
lebih dekat kepada anda
kecuali diri anda sendiri. Jika anda tidak mengetahui diri anda sendiri, bagaimana anda bisa mengetahui Tuhan anda?.
Jika anda berkata: “Saya mengetahui diri saya”, [jika] engkau maksudkan bentuk
zahir
anda [berupa]
badan, muka dan anggota-anggota badan lainnya - pengetahuan seperti itu tidak akan
pernah bisa menjadi kunci pengetahuan tentang Tuhan. Demikian pula halnya jika
pengetahuan anda hanyalah sekedar bahwa kalau lapar anda makan, dan kalau marah
anda menyerang seseorang; akankah anda dapatkan kemajuan-kemajuan lebih lanjut
di dalam lintasan ini, mengingat bahwa dalam hal ini hewanlah kawan anda?
Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya, ada
dalam pengetahuan tentang hal-hal
berikut ini: Siapakah
anda, dan dari mana anda datang? Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak
di sini, serta di manakah kebahagiaan anda dan kesedihan anda yang sebenarnya berada?
Sebagian sifat anda adalah sifat-sifat
binatang, sebagian yang lain
adalah sifat-sifat setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat. Mesti anda temukan, mana
di antara sifat-sifat ini yang aksidental
dan mana yan gesensial (pokok). Sebelum anda ketahui hal ini, tak akan bisa anda temukan letak
kebahagiaan anda yang sebenarnya”. (Selengkapnya lihat, Kimiya al-Saʿadah, pasal: Maʿrifat
al-Nafs).