Oleh:
Edi Kurniawan, S. Sy*
Pada tangal
3 Desember 1469, di Florence, sebuah kota di Italia, lahirlah seorang bayi
mungil yang diberi nama Niccolo Machiavelli. Dalam perkembangannya, ia tumbuh
menjadi seorang politikus dan memegang peranan penting pada pemerintahan
Florence. Namun karena peralihan kekuasaan, ia disingkirkan dari publik dan
kemudian berkonsentrasi di bidang penulisan sejarah, filsafat politik, dan
drama.
Namun
bagi orang-orang setelahnya dan sampai hari ini ia lebih dikenal dengan
filosof, terutama dalam bidang politik dan pemerintahan. Salah satu karyanya
yang terkenal adalah The Prince atau Sang Pangeran dalam
terjamahan Indonesianya, yang memuat masalah politik dan pemerintahan.
Ia
terkenal karena nasihatnya yang blak-blakan dalam bidang politk dan
pemerintahan. Menurutnya, seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan
memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta,
digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan.
Satu
sisi ia dikutuk oleh banyak orang sebagai bajingan yang tak bermoral. Namun di
sisi lain, ia dipuja oleh sebagian orang karena realis tulennya yang berani
memaparkan keadaan dunia apa adanya. Dia menjadi salah satu dari sedikit
penulis yang hasil karyanya begitu dekat dengan studi, baik filosof maupun
politikus.
Secara
garis besar, benang merah yang dapat ditarik dari teori politik dan
pemerintahan yang ia tulis dalam The Prince (Sang Pangeran)
adalah bagi seorang pemimpin atau raja hendaklah: pertama, perlu diadakan tindakan-tindakan yang keras pada rakyat
sehingga menimbulkan penderitaan yang besar bagi rakyat tersebut
dengan tujuan agar rakyat tidak melawan kepada penguasa.
Kedua, apabila suatu negara yang baru saja direbut, dan
rakyatnya sudah terbiasa hidup bebas dan mengikuti hukum, maka cara yang lebih
baik untuk mempertahankan kekuasaan adalah menghancurkan kota itu. Karena kalau tidak maka
sang penguasa akan mengalami kesulitan dan bukan tanpa disadari ia akan hancur
sendiri.
Ketiga, ada dua cara untuk menjadi
penguasa di wilayah baru, yaitu melalui kemampuan sendiri dan karena faktor
nasib mujur. Dalam usaha sendiri, langkah yang bisa ditempuh adalah menciptakan
kerusuhan, membuat negara berontak sehingga ia memperoleh kekuasaan dengan aman
dari sebagian negara yang sudah dikuasai penguasa lain.
Keempat, dalam hal persekutuan dengan penguasa lain terutama dalam
rangka mencapai suatu tujuan, maka sah-sah saja menggunakan tipu muslihat karena
itu dapat dibenarkan untuk
melanggengkan jalan menuju kekuasaan.
Kelima, ketika penguasa menggunakan kekuatan perang asing atau
bayaran, maka setelah perang usai maka seharusnya pasukan bayaran itu dibantai
habis. Kejahatan itu diperlukan demi keselamatan negara, karena jika ia
menampakkan kebaikan, justru akan membahayakan dan membawa kehancuran.
Keenam, seorang raja tidak perlu bermurah hati untuk membuat
dirinya tersohor, kecuali kalau ia mempertaruhkan dirinya. Karena jika itu dilakukan maka ia akan menjadi rakus dan menghindari dirinya dari kemiskinan, sehingga ia dibenci oleh rakyatnya.
(Machiavelli:2008)
Machiavellism
Konon, dalam sejarah dunia, ada begitu banyak penguasa yang
mengikuti teori kepemimpinan ala Machiavelli. Seperti Napoleon, Stalin, Hitler, Benito Mussolini,
Slobodan Milosevic, Pinochet, hingga Pol Pot,
merupakan tokoh-tokoh yang mengambil langkah radikal dalam kepemimpinannya untuk bertahan pada tampuk kekuasaan.
Mussolini
memuji-muji Machievalli di depan umum sebagai tokoh inspirator dan memilih subjek thesis untuk memperoleh gelar doktornya. Sementara
Napoleon sendiri menyimpan buku The Prince
di bawah bantalnya agar dapat dibaca dengan berulang-ulang. (Trijaji: 3: 2008). Hingga nantinya mengilhaminya untuk melancarkan serangan ke berbagai negeri yang
membuat Perancis menjadi salah satu negara paling ditakuti. Untung saja
Napoleon lebih bijak dan selektif dalam penerapannya sehingga ia tidak menjadi
pemimpin yang brutal.
Namun sayang,
empat Abad kemudian, buku ini menjadi pegangan Hitler, Musolini dan Stalin.
Kita sudah tahu akibatnya. Hitler mempelopori PD II yang membunuh puluhan juta
orang. Musolini berkoalisi dengan Hitler, sementara Stalin membunuh jutaan
rakyatnya.
“Machiavelli” Ala Soeharto,
Khadafy, Husni Mubarok, Zainal Abidin Bin Ali
Teori
kepemimpinan yang diusung oleh Machievelli merupakan salah satu model
kepemimpinan yang banyak digunakan oleh para pemimpin diktator, yang nantinya menginspirasikan penyebutan untuk para diktator oleh publik
dengan istilah “Machiavellis”.
Menurut
Machiavelli, penguasa itu mepunyai dua pilihan, yaitu pilihan untuk dicintai
atau ditakuti. Tapi kedua pilihan itu
tidak boleh disandang sekaligus, karena lebih mudah
bagi seorang penguasa adalah ditakuti, bukan
dicintai. Apabila penguasa memilih untuk dicintai maka ia harus siap-siap untuk mengorbankan
kepentingan demi rakyat yang mencintainya.
Dalam sejarah modern
indonesia, Presiden kedua bangsa ini, Soeharto,
memegang tampuk kekuasaan selama 32 tahun (1968-1998)
setelah Partai Komunis Indonesia gagal melakukan kudeta di negeri ini. Bagi
rakyat Indonesia, sosok Soeharto merupakan tokoh dan pemimpin yang dicintai
sekaligus dibenci rakyatnya sebagaimana pemikiran Machiavelli. Tokoh-tokoh oposisi tidak diberikan ruang gerak demi melanggengkan
jabatannya.
Beberapa tahun
setelah lengsernya kekusaan Soeharto, pada kawasan Afrika Utara lengser pula
sosok semacam Khadafy, Mantan Presiden Libya yang memerintah selama 41 tahun, Husni
Mubarok, mantan Presiden Mesir yang memerintah selama 30 tahun, dan Zainal
Abidin Bin Ali, mantan Presiden Tunisia yang telah memerintah selama 23 tahun.
Jika dalam
sejarah bangsa Indonesia, Soeharto dilengserkan secara paksa oleh rakyatnya
sendiri yang sudah muak dengan gaya kediktatorannya. Sementara Khadafy juga diturunkan
secara paksa dan dibunuh oleh rakyatnya sendiri setelah membantai ribuan rakyatnya
dengan tank-tank, bom-bom, dan peluru-peluru. Husni Mubarok dan Zainal Abidin Bin
Ali juga dilengserkan secara paksa oleh rakyatnya sendiri yang juga karena
sudah muak atas kediktatorannya.
Namun apakah Soeharto,
Khadafy, Husni Mubarok, dan Zainal Abidin
Ali pernah mempelajari Filsafat yang dibangun Machiavelli? Jawaban yang pasti penulis sendiri tidak dapat menyakini, namun tindak
tanduk beliau semasa kepemimpinannya dapat kita lihat dan sebagaimana yang
telah Machiavelli jelaskan dalam
beberapa point di atas.
“Machiavelli” Ala Bashar Al-Assad: Akankah Segera Berakhir ?
Bashar al-Assad
adalah penguasa Suriah yang berkuasa sejak tahun 2000 M. Dunia
Internasional terbelalak melihat apa yang sedang terjadi di Suriah saat ini. Menurut laporan Lembaga Hak Asasi Manusia PBB, sudah lebih 20 ribu
rakyat Suriah yang dibantai oleh rezim Syi’ah-Alawiyyin yang dipimpin
Bashar Al-Assad.
Kontak
senjata antara pasukan oposisi dan rezim berkuasa terus berlanjut. Dan simpah
darahpun belum terhentikan. Rakyatnya sendiri diperlakukan layaknya seperti binatang.
Tank-tank, roket-roket, dan peluru menciut di sana-sani. Kota Houla dihujani dengan
peluru dan digempur dengan tembakan senjata berat, hingga 108 orang penduduk
Houla kehilangan nyawa. Itu dilakukan hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan menghentikan
gerakan rakyat Suriah yang menginginkan rezim Al-Assad itu segera pergi.
Apakah
gaya kepemimpinannya karena pengaruh Filsafat yang dibangun Machiavelli? Jawaban yang pasti
juga penulis tidak bisa menebak, tapi lagi-lagi poin-poin teori filsafat politik
Machiavelli dipakai oleh Al-Assad.
Al-khatimah
(sebagai peutup), setidaknya kita bisa mengambil dua kesimpulan
dari yang telah diuraikan: pertama, sebijaknya bagi Al-Assad mengambil ibrah
atas pemimpin-pemimpin diktator yang telah tumbang. Karena sudah sunnatullah-nya
setiap kejayaan sebuah kepemimpinan akan tumbang atau berganti, apakah menggoreskan luka ataukah kerinduan. Luka hati rakyatnya
telah membesar, dan kecaman dunia internasional bisa saja melahirkan agresi
layaknya yang terjadi pada Libya pada beberapa waktu lalu. Dan bisa saja
Al-Assad akan mengikuti jejak Khadafy.
Kedua, belajar dari sejarah, pemimpin-pemimpin yang diktator akan lengser
dengan tragis dan mendatangkan kerusakan dan kehancuran disana-sini. Maka bagi
seluruh pemimpin sehendaknyalah bersikap arif dan bijaksana dalam mengayomi
rakyatnya, bukan bersikap “Machiavellis” yang sesat lagi menyesatkan dan menghilangkan
jutaan nyawa.*(Kolomnis, Alumni Fak. Syari’ah IAIN STS
Jambi dan Peneliti Pada Forum for Studies of Islamic Thought and Civilisation)