Reading on Ihyā’ ‘Ulūm
al-Dīn
(Juz I Bab Fadilah al-'Ilm)
*catatan intelektual Edi Kurniawan
Pemahaman
terhadap terma “ūlil amri” dalam konteks
sekarang ini selalu dilekatkan kepada pemimpin (political authority). Sehingga
terma ini menjadi alat justifikasi untuk merebut kuasa politik (dalam membuat
perubahan) adalah kelanjutan dari ketaatan kepada Allah dan rasul (sebagaimana
hadist menyinggung hal tersebut) adalah seseorang yang bukan hanya pemimpin
semata, akan tetapi dia juga mempunyai otoritas ilmu dan adil terhadap diri dan
rakyatnya. Berkaitan dengan ini imam al-Ghazālī dalam Ihyā’ bab
keutamaan ilmu (fadail ilm) mengutip sebuah ayat al-Qur’an surah An-Nisā’
ayat 3, “Sekiranya mereka mengembalikan (suatun persoalan) kepada Rasūl SAW dan
ūlil Amr diantara mereka, niscaya mereka yang mengambil kesimpulan tersebut akan
mengetahuinya”. (Al-Imām al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūmuddīn, (Beirut: Dāral-al-Fikr,
tt) Jilid I, hlm. 7)
Jadi,
pemahaman yang dapat diambil adalah ulil amr adalah merera selain
pemimpin juga orang yang berilmu, sebab, mengapa Imām al-Ghzālī memasukkan ayat
ini di dalam bab ilmu, tentu tidak terlepas dari apa kemulian ilmu sendiri.(Kesimpulan
diskusi)
Lebih
lanjut beliau menambahkan surah al-A’rāf ayat 26 tentang perintah menutup aurat
bagi anak Adam, beliau mengatakan bahwa ada yang berpedanpat bahwa sauātikum,
secara literal kata ini bermakna aurat, namun ada yang mengatakan sauāti
yakni ilmu. (Ibid) Jadi berdasarkan pemahaman ini, tidak mungkin
seseorang itu menutup aurat tanpa ilmu. Aurat disini bukan aurat dalam pengertian
sempait, namun dalam artian lebih luas yakni yakni ‘aib. Hal ini disebabkan
karena pemimpin yang tidak berilmu, niscaya tidak ada bisa menjaga muru’ah
(harga diri)-nya. (Kesimpulan diskusi).
Lebih
lanjut Imām al-Ghazālī juga memberikan beberapa contah ayat seperti ayat:
Walaqad Ji’nāhum Bikitāb Fassalnāhu ‘Alā ‘Ilm (sesungguhnya telah datangkan
kepada mereka sebuah Kitab (al-Qur’an), maka kami jelaskan dengan ilmu).
Maksudnya, Allah yang telah turunkan al-Qur’an, maka untuk memahaminya, allah
jelaskan dengan ilmu.
Kemudian
ayat: “walanaqussanna ‘Alaihim bi ’ilm” [maka kami ceritakan/ kisahkan kepada
mereka dengan ilmu. Maksudnya, Allah menjelaskan kisah-kisah umat terdahulu
dengan ilmu.[1]
Kemudia
ayat: “Bal Huwa Āyāt Bayyināt fi Ṣudurillazīna Ūtūl ‘Ilm” [Akan tetapi itulah
aya-ayat yang menjelaskan bahwa di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu].
Maksudnya, tempat ilmu itu berada di dalam dada manusia seperti yang pernah di
jelaskan oleh Prof Al-Attas bahwa “Subjek Ilmu” adalah manusia sebagai penilai
dari dalaman dirinya, sementara “Objektif Ilmu” adalah objek ilmu atau objek
kajian yakni information (ma’lumat). Atau juga selaras dengan perkataan Imām
al-Syāfi’ī bahwa ilmu itu tempat didalam dada, bukan di dalam kitab/buku.
Kemudian
ayat: “Khalaqal Insān ‘Allamahul Baya” [Alla telah menciptakan manusia maka
Allah juga mengajarkannya tentang penjelasan (bayān)]
Markas Mcm, Kuala Lumpur, 15 Maret 2013.
Pukul 10.00 (malam) – 01.00 (dini hari) waktu Kuala Lumpur.
Nb.
Tulisan ini
merupakan hasil Reading Group on Ihyā ‘Ulūm uddīn oleh Mahasiswa
Indonesia yang sedang menempuh Studi di Centre for Anvanced on Islam, Science
and Civilization (CASIS) – UTM Kuala Lumpur. Peserta diskusi: Edi Kurniawan
(Jambi), Metra Wirman (Sumbar - Padang), Rahmat Hidayat (Sumsel – Palembang),
Arif Munandar Riswanto (Jabar - Bandung)
dan Mukhlas Nugraha (Jambi).
[1] Ayat ini belum belum ditemukan berada pada
surah dan ayat apa karena disebabkan pentahqiq dari kitab ini tidak memberikan
keterangan. Sama seperti ayat-ayat yang lain dicantum oleh Imām al-Ghzālī.
Sebagian bisa ditemukan kerana pelacakan dari peserta diskusi yang salah
seorang adalah Hāfiz (Bro. Rahmat Hidayat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar