Selasa, 13 Desember 2011
Kamis, 08 Desember 2011
MENUJU PERUBAHAN
MENUJU
PERUBAHAN
(Refleksi Terhadap Hari
Anti Korupsi)
Oleh:
Edi Kurniawan*
Berbagai
kasus korupsi di negeri ini yang banyak menimpa para pejabat, baik dari
kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Mulai dari pemerintah pusat, daerah, kecamatan, dan desa
yang menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999,
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan peran Komisi Pemberantasan Korupi
(KPK), tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial
masyarakat.
Kasus
korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan
gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para
pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai
tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi
pesakitan. Kasus Century, Bulog, Wisma Atlet Palembang dalam skala nasional,
atau dalam skala kedaerahan seperti kasus pembangunan Jembatan Batang Hari II,
Jembatan Timbang, Izin Proyek Batu Bara, dan kasus penyuapan seleksi CPNS yang
melibat para pejabat daerah, ataupun kasus dana non bugeter DKP yang
begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara
dalam upaya mewujudkan good goverment dan clean goverment.
Runtuhnya
rezin Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun menjadi langkah awal dari
reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya
serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan
harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang
impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu
menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya, yang
salahsatunya adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang merupakan
salahsatu penyakit akut dan warisan orde baru yang mengakibatkan sistem
ekonomi, politik, kekuasaan dan lapisan birokrasi yang berasaskan kekeluargaan.
Dalam
upaya serius pemberantasan tersebut, maka didirakanlah KPK atau Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan harapan KPK bekerja optimal tanpa pandang bulu
dalam membersihkan “tikus-tikus kantor” atau “tikus-tikus tengik”, meminjam
istilah Iwan Fals. Begitu pula dengan ditetapkan dan disahkannya Undang-undang
Nomor 28 tahun 1999 tentang penyeenggaraan negara yang bersih. Hal ini membuktikan bahwa satu sisi
pemerintah beri’tikad keras untuk membasmi “tikus-tikus” ini. Namun di sisi
lain, timbul simalakama karena perkara korupsi bukanlah monopoli dari kalangan
elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan
sedikit.
Korupsi
bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan
agama. Adalah suatu kesalahan besar jika kita mengatakan bahwa korupsi bisa
diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan
kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi
semakin meningkat. Jadi, dalam upaya pemberantasannya harus ada kesimbangan
antara peraturan dan kesadaran objek hukum.
Permasalahan pokok yang menyebabkan
ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila
bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial
masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata
aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering
dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan
masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi
jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan
kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus
matarantainya.
******
Hari
ini, 9 Desember 201I, adalah Hari Anti Korupsi Sedunia. Di Indonesia, momentum
ini dirayakan dengan beragam cara. Berbagai elemen masyarakat di sejumlah
daerah memperingatinya, mulai dengan berunjuk rasa, mengeluarkan pernyataan
sikap, jumpa pers, hingga memberikan pendidikan anti korupsi bagi anak-anak
usia Sekolah Dasar. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bagian dari masyarakat
Indonesia
atas berbagai kasus korupsi yang terus bermunculan dan menunggu penyelesaian.
Energi besar bangsa untuk memberantas korupsi tersedot ke sini bahkan hampir
menyamai energi untuk mengatasi bencana lain yaitu bencana alam yang juga silih
berganti terjadi.
Menarik
untuk dicermati pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa peritangatan hari
anti korupsi sedia ini bukan hanya seremonial saja, tapi berbicara berbicara
kongkret yang tajam dan fakta yang ada yang akan disampaikan ke publik pada
hari ini. Auditorium Masjid Agung Semarang menjadi fakta sejarah atas seremoni
ini.
Dalam
hemat penulis, kegamangan presiden atau kegamangan kita semua atas kasus
korupsi yang terjadi di negeri ini dan begitu pula upaya keras pemerintah dalam
upaya membentuk good geverment akan tercapai apabila semua pihak sadar
dan memulai “perang terhadap korupsi”, di samping juga kita butuh hukuman yang
mempunyai efek jera dan penegak hukum yang amanah dengan jabatannya.
Sebagai
penutup, marilah kita simak ungkapan hikmah dari Aa. Gym, lalu kita jadikan
sebagai titik tolak perubahan dan bumbu perayaan ini, “Mulailah dari diri
sendiri. Mulai dari hal yang terkecil. Dan mulailah saat ini”. Ketika orang
lain sibuk sikut-sikut sana
sikut sini, maka kita harus memulai menjadi orang yang jujur saat ini juga.
Ketika orang-orang tidak jujur maka kita harus memulai dari diri sendiri untuk
berlaku jujur.
Begitulah
secuil hikmah seorang Aa. Gym. Artinya, persoalan mendasar adalah memulai dari
diri sendiri yang dilandasi dengan kesadaran. Begitu pula dengan korupsi,
ketika seseorang sadar bahwa korupsi akan merugikan orang lain, bangsa, dan
menyengsarakan rakyat dan bertentangan dengan niai agama, tentu dia tidak akan
melakukan itu. Namun, nafsu syahwat keduniaan (hedonisme) terkadang menutup
mata untuk berbuat kebajikan. Jadi, untuk memulai perubahan tersebut, nafsu
syahwat keduniaan pada diri sendiri harus ditundukkan. Wallahua’lam! *
Selasa, 06 Desember 2011
Bagaimana Dengan Kita ?
Anak-anak adalah usia yang produktif untuk menghapal. Alangkah indahnya mereka tumbuh menjadi penghapal al-Qur'an.
Bayangkan,
cuma 5 kali pertemaun PAMI, mereka bisa menghapal surat Al-'Alaq yang
terdiri dari 19 ayat. Dengan kalkulasi ini, insyallah dalam waktu kurang dari satu tahun
mereka bisa menghapal satu juz al-qur'an (juz 30), meskipun sebagian
mereka masih belajar iqro'.
Hahahaha . . . . .
lucu .... qiro'ahnya masih a ba ta ya, subhanallah, mereka sudah bisa
lancar dari al 'alaq sampai an-nas dalam waktu kurang lebih 3 bulan.
Ajaib bukan?
Hmmmm..... ada pesan dari Nabi kita, "sebaik-baik manusia adalah orang yang belajar al-Qur'an dan mengajarkannya".
hayooooo . . . . . . bagaimana dengan kita? berepa yang sudah kita hapalkan dari al-qur'an? Apakah g' malu dengan anak-anak? ^_^
Rabu, 23 November 2011
Kamis, 03 November 2011
Lapal Menghapal
(kado
untuk anak-anak kelas II A dan B SDIT Ahmad Dahlan Jambi)
di balik tubuh ini
ada jiwa yang meretas ingin
memoles keindahan kata di atas bibir
lalu terlapal, dihapal kalimat al-karim
awalnya…
engkau lugu aku berlagu
patah lidahmu menyemangatkanku
aa, baa, taa,
yaa, melencong lidahmu menggugurkan
daun
kini…
lugumu mulai berlagu
sepucuk setunas lamyakunil lah terhapal
sedahan seranting aa, baa,
taa, yaa, fasih bernyanyi
al-qadar datang
menyerakkan, indahkan lagu kuatkan batang
bataya-sabata-walama, hijaiyah
bersambung luruskan lidah
secarik kugores semempai kupetik
terasyik jiwa kitapun tersihir
lapal menghapal lah muridku…
saat tunas hijaumu menunas mencari
mentari
bukan saat daun tuamu lah gugur jatuh ke bumi
jangan hilang bersama ai…
menyauh bersama wai…
dan mendayung dengan dahan lapuk…
Jambi, 28 Oktober 2011
Senin, 10 Oktober 2011
Minggu, 28 Agustus 2011
ZAKAT
ZAKAT
Nishab, Ukuran dan Cara Mengeluarkannya
Makna Zakat
Menurut Bahasa(lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10)
Menurut Hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy)
Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.
Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
Syarat seseorang wajib mengeluarkan zakat
1. Islam
2. Merdeka
3. Berakal dan baligh
4. Memiliki nishab
Nishab
Nisab adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakatnya. (Qs. Al Baqarah: 219)
1. Nishab emas
Nishab emas sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud adalah dinar Islam.
1 dinar = 4,25 gr emas. Jadi, 20 dinar = 85gr emas murni.
1 dinar = 4,25 gr emas. Jadi, 20 dinar = 85gr emas murni.
Dalil nishab ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun – yaitu dalam emas – sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya zakat ½ dinar. Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada zakat pada harta, kecuali setelah satu haul.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi).
Dari nishab tersebut, diambil 2,5% atau 1/40. Dan jika lebih dari nishab dan belum sampai pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab awal. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.
Contoh: Seseorang memiliki 87 gr emas yang disimpan. Maka, jika telah sampai haulnya, wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 x 87gr = 2,175 gr atau uang seharga tersebut.
2. Nishab perak
Nishab perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gr, sebagaimana hitungan Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/104 dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas.
3. Nishab binatang ternak
Syarat wajib zakat binatang ternak sama dengan di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu binatanngya lebih sering digembalakan di padang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.
“Dan dalam zakat kambing yang digembalakan di luar, kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor…” (HR. Bukhari)
Selangkapnya sebagai berikut:
a.
a. Onta
Nishab onta adalah 5 ekor. Dengan pertimbangan di negara kita tidak ada yang memiliki ternak onta, maka nishab onta tidak kami jabarkan secara rinci -red.
b. Sapi
Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.
Nishab sapi adalah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya.
Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Sapi | Jumlah yang dikeluarkan |
30-39 ekor | 1 ekor tabi’ atau tabi’ah |
40-59 ekor | 1 ekor musinah |
60 ekor | 2 ekor tabi’ atau 2 ekor tabi’ah |
70 ekor | 1 ekor tabi dan 1 ekor musinnah |
80 ekor | 2 ekor musinnah |
90 ekor | 3 ekor tabi’ |
100 ekor | 2 ekor tabi’ dan 1 ekor musinnah |
Keterangan:
1. Tabi’ dan tabi’ah adalah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
2. Musinnah adalah sapi betina yang berusia 2 tahun.
3. Setiap 30 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor tabi’ dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya adalah 1 ekor musinnah.
c. Kambing
Nishab kambing adalah 40 ekor. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
Jumlah Kambing | Jumlah yang dikeluarkan |
40 ekor | 1 ekor kambing |
120 ekor | 2 ekor kambing |
201 – 300 ekor | 3 ekor kambing |
> 300 ekor | setiap 100, 1 ekor kambing |
4. Nishab hasil pertanian
Zakat hasil pertanian dan buah-buahan disyari’atkan dalam Islam dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. Al-An’am: 141)
Adapun nishabnya ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Zakat itu tidak ada yang kurang dari 5 wasaq.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Satu wasaq setara dengan 60 sha’. Sedangkan 1 sha’ setara dengan 2,175 kg atau 3 kg. Demikian menurut takaaran Lajnah Daimah li Al Fatwa wa Al Buhuts Al Islamiyah (Komite Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia). Berdasarkan fatwa dan ketentuan resmi yang berlaku di Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian adalah 300 sha’ x 3 kg = 900 kg. Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (atau menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20).” (HR. Muslim 2/673)
Misalnya: Seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran zakat yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) adalah 1000 x 1/20 = 50 kg. Bila tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg.
5. Nishab barang dagangan
Pensyariatan zakat barang dagangan masih diperselisihkan para ulama. Menurut pendapat yang mewajibkan zakat perdagangan, nishab dan ukuran zakatnya sama dengan nishab dan ukuran zakat emas.
Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan sama dengan syarat-syarat yang ada pada zakat yang lain, dan ditambah dengan 3 syarat lainnya:
a. Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah, dan yang sejenisnya.
b. Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
c. Nilainya telah sampai nishab.
Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli), lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.
Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah total sebesar Rp. 200.000.000 dan laba bersih sebesar Rp. 50.000.000. Sementara itu, ia memiliki hutang sebanyak Rp. 100.000.000. Maka perhitungannya sebagai berikut:
Modal – Hutang:
Rp. 200.000.000 – Rp. 100.000.000 = Rp. 100.000.000
Jadi jumlah harta zakat adalah:
Rp. 100.000.000 + Rp. 50.000.000 = Rp. 150.000.000
Zakat yang harus dibayarkan:
Rp. 150.000.000 x 2,5 % = Rp. 3.750.000
6. Nishab harta karun
Harta karun yang ditemukan, wajib dizakati secara langsung tanpa mensyaratkan nishab dan haul, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dalam harta temuan terdapat seperlima (1/5) zakatnya.” (HR. Muttafaqun alaihi)
Cara Menghitung Nishab
Dalam menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?
Imam Nawawi berkata, “Menurut mazhab kami (Syafi’i), mazhab Malik, Ahmad, dan jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya – dan (dalam mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak, dan binatang ternak- keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah hitungan haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut.” (Dinukil dari Sayyid Sabiq dari ucapannya dalam Fiqh as-Sunnah 1/468). Inilah pendapat yang rajih (paling kuat -ed) insya Allah. Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1423 H, lalu bulan Rajab pada tahun itu ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya.
Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga) hartanya bertambah hingga mencapai nishab, maka dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkannya zakatnya. Sekian terimakasih!!!!
Minggu, 14 Agustus 2011
Puasamu Akan Melatih Emosionalmu
Pada hakikatnya berpuasa bukan hanya menahan diri untuk tidak makan dan minum yang disertai dengan niat dari terbitnya pajar sampai terbenamnya matahari. Akan tetapi puasa juga menahan diri dari hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasa. Betapa banyak orang-orang yang berpuasa akan tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Berpuasa, tapi lisan tidak dijaga dari perkataan yang mubazir. Berpuasa, tapi mata tidak dijaga dari hal-hal yang dilarang. Berpuasa, tapi tangan dan kaki digunakan untuk menzolimi saudara atau untuk kemaksiatan.
Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Nasa’i, Allah swt. berfirman: “Semua amalan manusia adalah untuk dirinya, kecuali puasa, karena itu adalah untuk-Ku dan aku yang akan memberinya ganjaran. Dan puasa merupakan benteng dari perbuatan maksiat, maka ketika datang saat puasa, janganlah seseorang berkata keji atau berteriak-teriak atau mencaci maki. Dan seandainya dicaci oleh seseorang atau diajak berkelahi, hendaklah dijawab, ‘aku ini berpuasa’ sampai dua kali…”.
Hadis ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa puasa ini adalah salah satu cara mendidik emosional diri agar menjadi orang yang sabar. Simaklah, meskipun orang mencaci maki dan mengajak kita berkelahi, maka katakanlah kita dalam keadaan berpuasa.
Begitulah puasa ini mendidik diri kita agar menjadi orang yang mempunyai balas kasih dan menjaga emosional diri. Meskipun dicaci dan diajak oleh seseorang untuk berkelahi, maka emosional pun tetap dijaga, lalu kita katakanan, “Aku dalam keadaan berpuasa”.
Betapa agungnya didikannya dan betapa mulianya orang-orang yang dapat menahan dirinya ketika marah. Sampai-sampai Rasulullah saw. mengingatkan kita bahwa orang yang kuat bukanlah orang yang dapat melumpuhkan lawannya ketika bergulat. Melainkan orang yang kuat adalah orang dapat mengendalikan dirinya ketika amarah.
Dalam hadis yang lain juga disebutkan bahwa pada suatu hari seorang laki-laki meminta wasiat kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, berilah wasiat kepaku!”. Maka Rasulullah saw menjawab, “Jangalah engkau marah”.
Maka wajarlah Rasulullah saw. mengatakan, al-bir atau kebaikan adalah husnul khulq atau kepribadian yang yang baik. Sementara al-ismu atau dosa adalah ‘mâ hâka fî shadrik’ ‘apa-apa yang menyesakkan dadamu’.
Kepribadian yang baik dan dada yang sesak, semuanya bersumber dari hati. Jika hati kita bersih makan seluruh anggota tubuh akan baik, dan jika hati kita kotor maka hancurlah (buruk) seluruh anggota tubuh, begitulah Rasul kita menjelaskan.
Maka salah satu cara untuk membersihkan hati adalah dengan cara berpuasa. Dengan demikian, ketika hati seseorang bersih maka emosionalnya pun akan terjaga.
Hikmah Puasa
Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Nasa’i, dijelaskan bahwa, Allah swt berfirman: “Semua amalan manusia adalah untuk dirinya, kecuali puasa, karena itu adalah untuk-Ku dan aku yang akan memberinya ganjaran. Dan puasa merupakan benteng dari perbuatan maksiat, maka ketika datang saat puasa, janganlah seseorang berkata keji atau berteriak-teriak atau mencaci maki. Dan seandainya dicaci oleh seseorang atau diajak berkelahi, hendaklah dijawab, ‘aku ini berpuasa’ sampai dua kali. Demi Tuhan yang nyawa Muhammad berada dalam tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat dari pada bau kasturi. Dan orang yang berpuasa itu akan memperoleh dua kegembiraan yang menyenangkan hati: pada saat berbuka, ia akan bergembira dengan berbuka itu, dan pada saat ia menemui Tuhannya nanti, ia akan gembira karena puasanya”.
Hadis ini menjelaskan lima hal kepada kita, yaitu pertama, bahwa ganjaran pahala bagi orang yang berpuasa, maka Allah sendirilah yang akan memberinya. Hal ini memberikan hikmah kepada kita bahwa begitu agungnya nilai puasa ini sampai-sampai Allah swt. sendiri yang akan memberikan ganjaran pahalanya. Bahkan di dalam hadis yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Abu Daud dinyatakan, “Puasa itu adalah untuk-Ku, dan akulah yang akan memberinya ganjaran. Sedangkan setiap kabajikan itu akan mendapatkan ganjaran sepuluh kali lipat”.
Kedua, puasa menjadi benteng diri dari perbuatan maksiat. Sebab, dengan berpuasa maka syahwat seseorang akan terjaga, karena sumber dari segala kemaksiatan adalah perut yang terlalu penuh. Makanya sampai-sampai dalam hadis yang lain Rasulullah saw mengingatkan kepada para pemuda untuk menikah jika sudah mampu. Namun apabila tidak mampu, maka Rasulullah saw menganjurkan untuk berpuasa karena puasa itu dapat menenangkan diri dan nafsu dari hal-hal yang diharamkan Alla swt.
Ketiga, kesabaran. Meskipun dicaci maki oleh musuh dan diajak berkelahi, maka katakanlah kepada musuh tersebut bahwa aku sedang berpuasa. Karena puasa mengajarkan diri untuk mengendalikan nafsu amarah. Hal ini memberikan hikmah kepada kita bahwa puasa itu mengajarkan diri untuk bersabar.
Keempat, bau mulut orang yang berpuasa busuk di dunia, namun Allah akan memberikan ganjaran yang tak terhingga, sehingga sampai-sampai Allah swt sendiri bersumpah memberikan sindiran bahwa bau mulutnya lebih harum dari minyak kasturi. Hal ini memberikan hikmah bahwa keagungan pahala orang-orang yang berpuasa meskipun bau mulutnya agak berbau, namun Allah swt akan menggantikannya keharuman yang luar biasa di akhirat kelak.
Kelima, kegembiraan dan kepuasan diri yang tak tertukar dengan materi. Hal ini terdapat diri pada orang yang berpuasa pada dua hal yaitu saat berbuka dan bertemu wajah Allah swt. Kita sendiri dapat merasakan pada diri kita bagaimana rasa senangnya hati ketika berbuka meskipun itu hanya dengan segelas air putih dan sebiji kurma. Itu baru kesenangan di dunia. Di akhirat nanti lebih dari itu, diberikan kesenangan pada saat bertemu wajah Allah swt, manakala pada masa itu wajah-wajah pemaksiat tertunduk malu dan penyelesalan diri. Wallahua’lam!
Jumat, 12 Agustus 2011
Beribrah Pada Perang Badar
Oleh: Edi Kurniawan
Di tengah terik matahari yang amat panas, hingga menyengat tubuh. Dan di tengah gurun pasir tandus, hingga mengalirkan keringat yang menganak sungai di sekujur tubuh. Dan dalam dalam keadaan lapar, perut tanpa terisi, serta kekongkongan kering menahan rasa haus karena berpuasa. Serta dalam keadaan tanpa adanya persiapan untuk berperang, kumandang untuk berjihad telah ditabuhkan, Allah swt. memerintahkan kaum muslimin kala untuk berangkat ke medan juang, ke subuah tempat yang dinamakan Badar.
Maka berangkatlah Rasulullah saw beserta para sahabatnya yang sekiligus beliau menjadi pemimpinnya. Dengan jumlah pasukan yang hanya 313 orang beserta perlengkapan perang yang hanya sekedarnya berupa 3 ekor kuda, 9 baju besi, 8 buah pedang, dan 70 ekor unta, yang membuat sebagian mereka bergantian mengendarai seekor unta. Sementara dari pihak musuh (kafir Makkah) berjumlah 1000 orang yang lengkap dengan perlengkapan perang berupa 700 ekor unta, 100 ekor kuda dan mempunyai persenjataan lengkap serta persediaan makanan mewah yang cukup untuk beberapa hari. Dengan hitungan logika dan matematis, sesuatu hal yang tidak memungkin untuk meraih kemenangan kemenangan dalam peperangan tersebut.
Namun dengan kekuatan ketakwaan dan keimanan Nabi saw. dan para sahabatnya, Allah berikan kemenangan. Allah turunkan 3000 para malaikat yang bersorban putih dan hijau untuk membantu kaum muslimin, hingga pada akhirnya musuh pun kotar katir ketakutan. Ada yang lari tunggang-langgang. Ada yang terbunuh. Dan ada pula yang menyerah kepada kaum muslimin, hingga kemenangan berada pada pasukan kaum mislimin.
Dalam literatur shirah nabawiyyah atau Sejarah Nabi, perang ini disebut dengan Perang Badar yang terjadi pada tanggal 7 Ramadhan atau dua tahun setelah Hijrah.
Meskipun dalam keadaan berpuasa, kobaran semangat mereka amatlah membara. Tidak ada alasan karena puasa mereka meninggalkan kewajiban jihad ini. Bahkan bukan hanya sebatas perang badar saja kobaran jihad kaum muslimin membara. Sejarah juga telah membuktikan, penaklukan kota konstantinopel oleh Shalahuddin Al-Ayyubi juga terjadi pada bulan puasa dan proklamasi kemerdekaan bangsa ini juga terjadi pada bulan puasa.
Jika dari beribrah dengan kobaran semangat perang bada dan berkaca dengan keadaan bangsa kita, hati ini terasa teriris pilu melihat berbagai keadaan. Dengan alasan berpuasa beberapa oknum PNS menjadikan alasan untuk datang terlambat, padahal jam kerjanya sudah telah dikurangi. Dengan alasan lapar dan haus di siang hari, oleh sebagian kita ini dijadikan justifikasi pemuasan nafsu perut ketika berbuka. Korupsi merajalela. Penegakan hukum yang pandang bulu. Hukum diperjual belikan. Perilaku konsumtif merebah di mana-mana. Kesemuanya berujung pada hancurnya ukhuwah berbangsa dan kepercayaan pada sesama.
Korupsi, kriminalitas, dan aksi yang memalukan dari pejabat Negara kita menjadi isu hangat yang dihidangkan kepada kita. Memang benar, persoalan korupsi, kriminalitas, dan keterlambatan, secara umum lebih pada persoalan biokrasi yang berurusan dengan Negara. Ketika seseorang melakukan koruspi dan tindakan kriminal, maka pertanggungjwabannya lebih besar kepada Negara. Negara telah membuat dan menetapkan sistim hukum. Namun, jika keshalehan itu dilakukan secara berjamaanh, maka angka atau peluang terjadi tindakan-tindakan yang mengarah pada pidana pun akan mengicil. Bukankah salah satu tujuan berpuasa adalah untuk menimbulkan rasa social pada sesame.
Belajar dari kekuatan iman dan ketakwaan yang telah dicontohkan Nabi saw. dan para sahabatnya ketika berhadapan dengan persoalan yang secara matematis dan logika tidak mungkin, tapi itu akan mungkin. Bukankah janji Allah swt. akan membantu dan menolong serta memberikan rezeki kepada hambanya yang bertakwa dengan cara yang tak disangka-sangka dan penjuru yang tak terduga. Perang Badar telah memberikan ibrah penting kepada kita bahwa lapar dan dahaga di siang hari pada bulan yang mulia ini tidaklah menjadi penghalang bagi kita untuk meraih kemenangan, karena kekuatan terbesarnya adalah terletak pada keimanan dan ketakwaan kita. Inilah yang ingin dicapai dari syari’at berpuasa ini, yaitu ketakwaan (Q. S. 2: 183).
Jika jihad yang dilakukan Rasulullah saw. dan para sahabatnyan adalah dalam makna yang sesungguhnya, yaitu perang di jalan Allah. Tentu makna jihad ini tidak terbatas pada ranah tersebut. Dalam arti luas, kita yang berada dalam bangsa yang damai (baca: berperang dengan mengangkat senjata). Perang terhadap korupsi, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, menjalan tugas yang diamanahkan dengan sebaik-baiknya bagi abdi Negara, juga bisa dikatakan jihad.
Berbagai persoalan dan beragam hiruk pikuk yang terjadi pada bangsa ini berawal dari elemen-elemen yang ada di dalamnya menjadi hamba atas nafsunya. Korupsi misalnya, ini terjadi karena mata sang pelakunya terbius oleh keindahan dunia, lalu dengan segala macam usaha dicoba untuk mendapatkan, maka merajalelah korupsi. Begitu juga dengan kasus skandal seks yang memalukan dari beberapa pejabat bangsa, juga karena penghambaan terhadap nafsu.
Jihad yang terbesar dan tertinggi di antara jihad-jihad yang adalah jihad melawan hawa nafsu. Rasulullah saw sendiri telah menjelaskan ini kepada kita bahwa ketika beliau dan para sahabatnya usai dari sebuah peperangan beliau berujar, “kita beralih dari perang yang kecil menuju perang yang besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu. Itulah jidad yang tertinggi, jihad melawan hawa nafsu.
Orang yang menang adalah orang yang bertakwa kepada Tuhannya. Dan bangsa yang menang juga bangsa yang bersyukur dan mempunyai ciri-ciri ketakwaan. Mengambil hak yang bukan milik kita atau korupsi, tentu bukan ciri dari sebuah ketakwaan. Berpoya-poya dengan uang Negara dan fasilitas yang ‘wah’ yang dilakukan sebagian pejabat bangsa, tentu bukan menunjukkan sikap bangsa yang bersyukur. Bukankah Rasulullah saw. dan para sahabatnya dapat mengalahkan musuh yang begitu besar dan kuat dalam perang badar tersebut karena mereka tidak menjadi hamba atas nafsunya? Meskipun dalam keadaan berpuasa, puasanya tidak dijadikan alasan untuk bermalas-malasan.
Sudah sepatutnya bangsa ini beribrah pada hikayat tersebut bahwa jika bangsa ini ingin menjadi bangsa, meminjam istilah al-Qur’an disebut ‘baldatun thayyibun wa rabbun ghafur’ atau bangsa yang damai, sejahtera serta penuh dengan keampunan maka bangsa ini juga tidak bisa menjadi hamba atas hawa nafsu. Dan bagi kita kaum muslimin yang menjadi penduduk terbesar bangsa ini, jangan jadikan puasa sebagai kambing hitam untuk bermalas-malasan dan lalai dengan amanah. Semoga nafsu kita terdidik melalui puasa ini. Wallahua’lam!
Kamis, 11 Agustus 2011
Orang-Orang Yang Kuat
Dalam arena tinju, orang yang kuat adalah orang yang dapat mengalahkan lawannya. Chris John misalnya, kemampuannya dalam arena tinju tidak diragukan lagi dan sudah tidak terhitung berapa jumlah lawan yang ia kalahkan. Begitupula dalam ranah beladiri, silat, karate, tekwondo dll, mereka yang menjadi pemenang adalah mereka yang dapat mengalahkan lawannya.
Namun di luar konteks olah raga, sering kali kita menyaksikan orang yang bangga dengan kekuatan ototnya hingga menggetarkan lawannya. Ototnya besar. Jiwanya bengis. Dan tatapan matanya tajam menggetarkan. Atau kita juga sering menyaksikan, baik itu dengan mata kepada kita sendiri maupun melalui media, betapa banyak terjadi kasus kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) hingga suami atau istri atau anaknya babak belur dan memar. Di luar konteks oleh raga, apakah orang yang seperti ini disebut orang yang kuat ?
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah kekuatan itu dinilai dengan adu kuat (gulat), namun yang kuat itu adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah”. (Muttafaqun ‘Alaih)
Hadis ini menggambarkan nilai sebuah kesabaran di tengah menaiknya emosi diri bahwa kekuatan yang hakiki bukanlah terletak pada kekuatan otot dan badan, namun kekuatan hakiki merupakan kekuatan maknawi, yaitu kesabaran. Oleh karena itu, orang yang kuat bukanlah orang yang selalu menang dalam setiap pertarungan, tetapi orang yang mampu menahan dan mengalahkan hawa nafsunya ketika kemarahan memuncak. Sehingga ia tidak terjatuh kedalam perbuatan dzalim maupun perkataan-perkataan yang menyakitkan hati saudaranya.
Dalam hadis yang lain Rasulullah saw. juga menambahkan agar kita tidak marah, ‘laa taghdhab’, artinya ‘Janganlah engkau marah’. Dimana menurut Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam dalam bukunya Taudhih Al-Ahkam Min Bulugh Al-Maram, hadis ini mempunyai dua pengertian, yaitu: pertama, hadis ini merupakan wasiat Nabi agar selalu bersikap pemaaf, tidak tergesa-gesa, malu, tidak menyakiti seseorang, berlaku lemah lembut, berdamai, menahan amarah dan sebagainya. Karena jiwa yang dibentuk oleh akhlak yang terpuji seperti ini, lalu mendarah daging dalam tubuh kita, maka ia akan menjadi pengendali hawa nafsu amarah.
Kedua, Nabi saw. mengajarkan kita agar tidak meperturutkan hawa nafsu amarah, tetapi mengendalikannya. Karena apabila hawa nafsu amarah berhasil menguasai kita, maka ia akan mengendalikan kita dan pada akhirnya maka jatuhlah kita kedalam hal-hal yang dilarang agama.
Jika hikmah puasa ditilik lebih dalam, maka puasa merupakan salah satu sarana mendidik diri kita menjadi orang yang sabar, bijak dalam berbuat, serta tidak mudah mengikuti hawa nafsu. Sekiranya saja kita sukses mendidik diri kita pada bulan ini menjadi orang yang kuat, sungguh itu sebuah anugerah yang luar biasa. Karena sifat pemarah itu adalah sifat iblis, maka kala itu iblis telah bertengger di hati kita dan kita pun telah bersekutu dengannya.
Sungguh begitu indahnya bulan ini, betapa ia mendidik kita untuk menundukkan nafsu amarah. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Puasa itu merupakan benteng perbuatan maksiat, maka ketika datang saat berpuasa, janganlah seseorang berkata keji atau berteriak mencaci maki! Dan seandainya dicaci oleh seseorang atau diajak berkelahi, hendaklah dijawab, ‘Aku ini berpuasa’ samapi dua kali”.
Ramadhan sebagai syahruttarbiyyah, semoga dengan ramadhan ini kita bisa mendidik nafsu amarah dan melatih emosional kita hingga kita menjadi orang yang kuat. Dan mudah-mudahan gelar ‘takwa’ dapat kita capai melalui madrasah ramadhan ini.
Langganan:
Postingan (Atom)