Rabu, 17 September 2014

Tentang Kebenaran

Ini adalah hasil diskusi saya dengan Pengamat Agama dan Sosbud, Prof. Lias Hasibuan, guru besar IAIN STS Jambi mengenai kebenaran Mutlak dan Relatif beberapa waktu lalu. Meskipun dalam beberapa hal saya sangat tidak sepaham dengan pandangan beliau, namun saya mencoba mengedepankan dalil, hujjah dan adab berdiskusi dalam menyangkal.

Bagi saya, beliau adalah orang yang berilmu; dan kepada siapa pun yang berilmu, saya akan menjaga adab dan takzim kepeda mereka. Namun, sayang, mungkin karena beliau tidak ada waktu luang, capek ngetik, dan diskusi via fb juga yang kurang efektif, sehingga tampak seolah-olah hujjah dan tanggapan beliau terlalu diplomatik dan tidak nyambung. Semoga suatu hari nanti saya dapat jumpa langsung dan diskusi inten dengan beliau. 

Berikut hasil diskusinya: 

berawal dari status beliau:
"Kebenaran yg sesungguhnya ada di sisi Allah SWT dan kebenaran relatif ada pada sisi manusia. Terimalah kbnrn relatif meski dgn nurani yg mungkin penuh tanya".

Diskusi:
Edi Kurniawan Apakah manusia tidak bisa mencapai kebenaran yang sesungguhnya Prof. Semuanya relatif? 21 Agustus pukul 23:21 · Suka
Pengamat Agama Dan Sosbud Tentu tdk krn kebenaran mutlak adalah milik Allah 21 Agustus pukul 23:26 · Suka
Edi Kurniawan Ketika dikatakan 1+1 = 2. Apakah 2 ini kebenaran mutlak, atau relatif? 21 Agustus pukul 23:36 · Suka
Pengamat Agama Dan Sosbud 1+ 1 bisa juga 11. Tergantung teori yg disepakati orang. Jadi tdk hanya 2. Relatifkan? 21 Agustus 
Edi Kurniawan Adakah teori yang mengatakan 1+1 hasilnya bukan 2. 11, 20, 30 dll? Teori apa? 21 Agustus pukul 23:47 · Suka
Pengamat Agama Dan Sosbud Boleh jadi ada nanti penemuan baru 21 Agustus pukul 23:49 · Suka
Ishak Halidi Hahaha....
Ada ada ajah..21 Agustus pukul 23:53 · Suka
Edi Kurniawan Mohon maaf prof, mohon dikoreksi jika saya salah. Karena kekurangan ilmu yg saya miliki, dan latar belakang status Prof. yg juga tidak saya ketahui, saya meminta pencerahan dari Prof. 

1. Benar dalam bahasa agama mempunyai tingakatan: shawab vs khatta'; haq vs bathil; iman vs kufur. tingkatan yg mana yg prof maksudkan disini?

2. jawaban "boleh jadi", merupakan jawaban yg lemah. boleh jadi iya, boleh jadi tidak. Sejauh ini, dan sejauh yang saya ketahui, tidak ada manusia yg memungkiri, 1+1=2. bukankah jawaban boleh jadi ini, pertanda menimbulkan keraguan baru. 

3. Sekali lagi mohon dikoreksi jika saya salah. Perbincangan "benar" telah diulas oleh para ulama kita, salah satunya dalam 'aqaid annasafi. lembaran awal sudah disodorkan "haqaiq asy ya' thabitah, wal ilmu biha mutahaqqiq, khilafan lissufasthaiyah". lalu dilanjutkan dengan metode manusia mencapai ilmu...Dari pemahaman dan pembacaaan saya akan 'aqaid annasafi ini, perkataan "boleh jadi" dalam konteks ini memasukkan dalam "sufasthaiyah"
Pengamat Agama Dan Sosbud Kurang jelas saya maksud yg ditanyakan... 22 Agustus pukul 0:14 · Suka
Edi Kurniawan poin 1. pertanyaan. 
poin 2, & 3, tanggapan. 22 Agustus pukul 0:17 · Suka
Edi Kurniawan O iya, 1 term lagi yang bermakna benar juga. sidiq (vs kizib) 22 Agustus pukul 0:18 · Suka
Edi Kurniawan karena prof mengiringi kata "benar" dengan membawa agama. jadi, jika merujuk kepada agama, sejauh yg saya ketahui, kata benar itu bertingkat2. shawab, haqq, sidiq, dan 1 lagi iman (vs kufur yg juga menjadi perbincangan hangat dalam term ini) 22 Agustus pukul 0:20 · Suka
Pengamat Agama Dan Sosbud Ini sdh menyangkut ilmu ulama dlm perspektif jadi bisa beda2 memahami term ilmu. Saya blm baca pandangan alim ttg ini tapi sepintas saya kira ada benarnya...22 Agustus pukul 0:22 · Suka
Pengamat Agama Dan Sosbud Kbnrn relatif memang bertingkat tingkat makin tinggi otoritas ilmu seseorang maka tinggi pula kbnrn. 22 Agustus pukul 0:24 · Suka
Edi Kurniawan mungkin kebaran yg relatif dalam istilah prof disini merujuk pada shawab, yg contohnya tersebar dalam hasil ijtihad para ulama. dalam tingkatan haqq, seperti yg saya kutipkan di atas: ""haqa'iq asy ya' thabitah, wal ilmu biha mutahaqqiq, khilafan lissufasthaiyah". manusiapun bisa mengetahuinya. 22 Agustus pukul 0:34 · Suka
Edi Kurniawan dalam berbagai tempat dalam al-iqtishad fil i'tiqad, Imam al-Ghazali telah membahas ini. Dan termasuk juga dalam 'aqaid annasafi yg telah banyak disyarahkan......22 Agustus pukul 0:35 · Suka
Pengamat Agama Dan Sosbud Jika ingin tahu lbh dlm ttg istilah2 ini perlu dilihat konteks dari istilah2 tsb. Contoh: al haq min ribbika...dlm hadits: qulil haq walau kana murron. Tapi yg lbh penting lagi ttg qarinah yg ada dlm istilah sprti bentuk ma'rifah dan nakiroh yg memberi penegasan makna. 22 Agustus pukul 8:29 · Batal Suka · 1
Ahmad Musyaffa' Walaupun kebenrn manusia bersifat relatif, akn ttp ad indikator2 yg tlh disepakti para perumus UU yg dijadikan acuan penetapan kebenrn tsb, selain uji materi ats nilai benar dn nilai adil dlm UU tsb, shgga lemah penyangkalnya. 22 Agustus pukul 12:20 · Suka
Edi Kurniawan Ayat yg Prof berikan tidak bisa dipotong hanya sebatas itu saja tanpa melanjutkan sambungannya. Jika dipotong, maka akan memberikan kerancuan pada makna dan pemahaman. Ayat ini berhubungan dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad supaya mencari kebenaran [tentang qiblat] yang datang dari Allah swt, bukan apa yg dikatakan oleh Yahudi dan Nashrani, begitu penjelasannya dalam Tafsir al-Thabari. Maka jawaban dari ayat ini terdapat pada ayat selanjutnya……..”sesungguhnya ketentuan itu [menghadap qiblat] benar2 datang dari Tuhanmu”. وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۖ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Nah, dari ayat ini, tesis Prof sudah tersangkalkan. Karena Prof mengawali dari perspektif agama, tidak ada Muslim yg menolak kebenaran (haqq) menghadap qiblat dalam shalat. Ketetapan yg telah bersifat qat’i. dan banyak contoh lagi dalam agama yg kebenarannya bisa manusia ketahui melalui petunjuk Tuhan. 
Maka dari situlah saya bertanya dari awal, karena keterbatasan kosata kata bahasa Indonesia dalam menyerap kata “benar” dari agama. Benar, dalam maqam apa. Kalau dalam maqam shawab, tentu tidak disangkal. Namun dalam maqam haqq, dalam pemahaman saya berdasarkan keterangan dalam al-Ta’rifat karya Imam al-Jurjani, ‘Aqaid Annasafi dan juga diulas oleh Syed M. Naquib al-Attas dalm Prolegomena, ini menjadi kesalahan fatal, apalagi sudah iman (vs kufr). #Mohonpencerahannya Prof jika saya salah (khatta’). 22 Agustus pukul 13:11 · Suka · 1
Pengamat Agama Dan Sosbud Yg saya maksudkan itu perlu juga dilihat beda makna haqqun dgn al haq. Shidqun dgn as shidqu dll. Makna konteks juga penting misalnya kata alhaq digunakan dlm hal2 apa? Begitu pula dgn kata2 lain sprti as shidqu dll. 22 Agustus pukul 14:54 · Telah disunting · Batal Suka · 1
Haramen Muhammad taqdir baik dan buruk sudah tertulis di lauhil mahfuz. 23 Agustus pukul 1:04 · Suka.
Edi Kurniawan Sekali lagi saya mohon maaf Prof. karena “umur yang belum lagi setampuk jagung dan darah belum lagi setampuk pinang”. Mohon petunjuknya lagi jika saya salah. Pembahasan ma’rifah dan naqirah tidak akan pernah merubah makna dasar. Al-qursiyu dengan Qursiyun, ma’rifah dan naqirah, tidak akan pernah merubah makna dasarnya, cuma yang membedakan pada tahap penegasan pada objek. Mu’ayyin au ghairu mu’ayyin. Al-qursiyu / Qursiyun tidak akan pernah menjadi papan tulis, meja, buku dst. Ia tetaplah menjadi kursi. Cuma barangnya Mu’ayyin au ghairu mu’ayyin. Begitu pula dengan haqqun dengan al-haq, sidqun dengan al-sidqu tidak akan pernah merubah makna dasarnya, tapi Mu’ayyin au ghairu mu’ayyin. Shawab ataupun al-shawab, tetaplah memberi makna kebenaran yang dihasilkan melalui ijtihad dan tarjih, Cuma yg membedakan mu’ayyin au ghairu mu’ayyin. Al-haqq dengan haqqun, tetaplah bermakna kebenaran yg bersifat pasti melalui petunjuk Tuhan. Lawannya bathil. “Hitam dan putih”. Namun Al-haqq dengan haqqun berbeda pada mu’ayyin au ghairu mu’ayyin. Saya yakin dan pasti, prof telah memikirkan, mengapa para ulama kita, setelah membahas suatu masalah diakhiri dengan “wallahua’lam bish-shawab”, bukan “wallahua’lam bil haq” dan bukan pula ““wallahua’lam bish-sidqi”? Setelah membaca qur’an, diakhiri “shaqallahul ‘azim”, bukan haqqallahul ‘azim, dan bukan pula “shawwaballahul ‘azim”? jika ini clear, saya yakin pembahasan kita juga mulai clear.
Keberatan saya – tentu karena keawaman saya pula – terletak pada pernyataan status Prof, yg bila dibaca sekilas, manis, namun jika diulas, bisa berisi racun. Contoh: Bisa saja terjadi pemahaman, kebenaran mutlaq suatu agama hanya Allah yang tahu, sementara dalam penilaian manusia, relatif. Nah, pembahasan dalam tahaf ini sudah menyangkut iman dan kufur. Atau, Allah itu esa, bagi kita, dan ini kebenaran mutlaq, dan kita bisa mengetahui. Jika direlatifkan, “itu kan bagi anda, bagi saya 3, atau Allah itu tidak ada”, kata Kristen dan Ateis. Lagi-lagi ini berada pada level iman dan kufur. Lalu apakah kita membuang prinsip epistimologi warisan ulama kita dengan membeo mengikuti mereka. Karena itu, karena pernyataan prof masih “naqirah”, saya bertanya dari awal, kebenaran pada pada level mana untuk me”ma’rifah’kan.

Selanjutnya – sekali lagi tentu karena keawaman saya juga – pernyataan Prof juga masih lemah, meskipun tanpa membawa nama agama. Belajar dari hukum alam dan bukti sejarah yang ada disekitar kita, hujjah tersebut –menurut pemahaman awam saya – juga mudah dipatahkan. Katakanlah masalah kebenaran yang sebenarnya akan kewujudan candi muaro Jambi. Yakin saya, hanya orang bodoh dan belum tahu (sufasthaiyyah) yg merelatifkan kewujudannya. Bukti sudah kuat dan masih berdiri kokoh sampai hari ini. artinya, dari epistimologi kita, secara yakin dan pasti bahwa benar2 mutlaq candi muari jambi itu wujud dan kita bisa mengetahuinya kebenaran kewujudannya secara mutlaq. Contohnya lain dapat kita jumpai pada gaya gravitasi dan sifat air yg menglir dari tempat yg tinggi ke tempat yg rendah. Secanggih apapun teknologi dan suatu teori, tidak akan bisa merubah sunnatullah ini. artinya, benar2 mutlaq kita ketahui bahwa benda itu jatuh ke bawah, dan air itu mengalir ke tempat yg rendah.
Dari melihat status2 prof yg lain. Saya menebak, status prof yg satu ini berkaitan dengan Pilpres. No urut 1 dan 2 pada sidah MK. Jika tebakan saya benar dan jika Prof katakan “Kebenaran yg sesungguhnya ada di sisi Allah SWT dan kebenaran relatif ada pada sisi manusia”, tentu ini tidak bisa disangkal. Namun jika disamaratakan penggunaan dan tingkataan, sekali lagi karena keawaman saya, disinilah letak “racun” dari status Prof. wallahualam bish–shawab! 23 Agustus pukul 3:42 · Suka · 1
Pengamat Agama Dan Sosbud Tdk masalah jika kita menganalisis krn analisis itu milik kita. Kita boleh beda dlm analisis meski data dan faktanya sama. Dan soal penafsiran juga tentu bisa beda. Kita yakin bhw jumlah ayat Qur'an 6200 sekian ayat. Tapi tafsirannya bkn ayat...jadi silakan berbeda tafsir asal kaidah utk menafsir itu dimiliki. Lanjutkan analisis2nya itu artinya Anda cerdas dan saya senang sekali. 23 Agustus pukul 9:21 · Batal Suka · 1
Edi Kurniawan Salam. Prof, saya bermaksud melanjutnya diskusi kita, semoga Prof selalu dalam keadaan sehat bisa meluangkan waktunya. Hari ini, saya datang ke Perpustakaan untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang tergiang dalam kepala saya, “al-haqq”. Yang lainnya sudah cukup clear. Dalam hitungan saya melalui Mu’jam al-Muafhras li al-Faz al-Qur’an, karya Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, ada 228 ayat tentang “al-haqq”, dan secara keseluruhan dalam berbagai bentuk/wazannya, ada 283 ayat. Tesis awal saya, kata al-haqq bermaksud kebenaran pada tataran “hitam” dan “putih” melalui petunjuk Tuhan. Setelah melihat ayat-ayat tersebut, tesis saya semakin kuat. Tesis ini bertambah semakin kuat lagi setelah mengejek difenisi al-Haqq oleh al-Isfahani, dengan tambahan dari sebelumnya, untuk membenarkan perlakuan dan ucapan juga “haqq”.
, sbb:
الأول: يقال لموجِد الشيء بسبب ما تقتضيه الحكمة، ولهذا قيل في الله تعالى: هو الحق.
الثاني: يقال للموجَد بحسب مقتضى الحكمة، ولهذا يقال: فعل الله تعالى كله الحق.
الثالث: في الاعتقاد للشيء المطابق لما عليه ذلك الشيء في نفسه، كقولنا: اعتقاد فلان في البعث والثواب والعقاب والجنة والنار حق.
الرابع: للفعل والقول بحسب ما يجب، وبقدر ما يجب، وفي الوقت الذي يجب، كقولنا: فعلك حق، وقولك حق.

Tesis ini semakin bertambah kuat lagi setelah mengejek dalam Lisanul ‘Arab. Khusus poin tambahan, (membenarkan perlakuan dan ucapan juga “haqq”), pembenaran tersebut berada pada level yakin dengan seyakinnya. Selengkap dapat dilihat disini, dalam kamus onlinenya:http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php...)
Nah, kita ambil satu contoh saja dari 283 ayat tersebut:
Al-Qasas: 75

فعلموا أن الحق لله
Menurut Ibnu Kasir bermakna:
لا إله غيره

Artinya, ini sejalan dengan kalimah syahadah. Tuhan itu esa, Allah; dan bagi kita Muslim ini kebenaran yg sesungguhnya dan kebenarannya adalah mutlaq. Jika tidak mutlaq, maka gugurlah syahadahnya. Bagi ateis, Tuhan itu tidak ada. Bagi kaum Nashara, Tuhan itu 3. 

Masalah: 

1. Bagi kita Muslim, kita bisa mengetahui kebenaran yg susungguhnya tentang Allah itu esa tanpa menafikan Dia yang lebih tahu tentang niri-Nya. Kita tahu melalui apa yang Ia jelaskan. Dalam level ini, tesis : “Kebenaran yg sesungguhnya ada di sisi Allah SWT dan kebenaran relatif ada pada sisi manusia”, tertolak, sebab jika mengikuti dan meyakini keyakinan umat Kristiani, maka gugurlah syahadah seorang Muslim. Pada level ini tidak ada perbedaan tafsir, yang ada ada level bawahnya, iktilafiyyah dalam mememahami af’al dan sifat Allah. Bisakah substansi dari pernyataan Prof terakhir (“Kita boleh beda dlm analisis meski data dan faktanya sama. Dan soal penafsiran juga tentu bisa beda. Kita yakin bhw jumlah ayat Qur'an 6200 sekian ayat. Tapi tafsirannya bkn ayat...jadi silakan berbeda tafsir asal kaidah utk menafsir itu dimiliki”) diterafkan dalam masalah ini?
2. Secara umum (tanpa membatasi pada Islam), Muslim atau non-Muslim, beriman atau kufr, keesaan Allah itu relatif. Muslim, Ateis, Nashrani, punya persefsi dan keyakina yg berbeda. Ungkapan “kebenaran relatif ada pada sisi manusia”, bisa diterima. Namun sebaliknya, setiap golongan (Muslim, Ateis, Nashrani etc) memutlakkan kayakinan mereka. Saya meminta pandangan Prof: (a) bagaimana menyikapi “kebenaran mutlak mutlak” yang ada pada setiap masing2 kelompok tersebut? (b) dan bagimana pandangan Prof pasal tawaran “the transcendent unity of religions”-nya Frijof Schuon, yang kemudian dikembangkan oleh Sayed Hussein Nasr, atau gagasan2 lain yang dikembangkan oleh John Hick, etc?

Semoga Rahmat dan Karunia Allah selalu terjurahkan kepada Prof. Dan semoga pula prof bersedia menjawa masalah yang telah saya ajukan. Terimakasih. 

Wassaslam!
library.islamweb.net
حقق حقق الحق نقيض الباطل وجمعه حقوق وحقاق وليس له بناء أدنى عدد وفي حديث التلبية لبيك حقا حقا أي غير باطل وهو مصدر مؤكد لغيره أي أنه أكد به ..

Pengamat Agama Dan Sosbud Waduh panjang ceritanya ya...saya kurang ada waktu. Tapi beginilah cantoh kbnrn mutlak itu ada pada sisi Allah. AlQur'an dari segi ayat2nya yg bersifat wahyu itu adalah mutlak, sdgkan dari sisi tafsirnya relatif. Kita wajib terima kbnrn mutlak itu krn tak boleh berbeda. Sdg yg relatif boleh kita beda. Konkritnya ttg haramnya riba. Ayat yg berbunyi .. wa harromar riba.. jelas kbnrn ayat ini mutlak. Tapi dari sisi tafsirnya atau tanfidznya muncul perbedaan. Ulama sepakat praktek riba pada masa Nabi itu haram hukumnya. Tapi soal bunga uang di bank apakah itu disebut riba maka terjadi perbedaan ulama. Yg mengatskan itu juga sama dgn riba maka berdirilah bank Islam. Tapi msh ada ulama atau intelektual muslim yg tdk bisa menyamakan praktek riba pada ĺ Nabi dgn bunga bank krn bunga bank tdk mengandung unsur menyakiti dan juga melihatnya sbg bagian dari adm bank. Kira2 begitu.. 25 Agustus pukul 21:51 · Telah disunting · Suka



Tidak ada komentar: