Oleh: Edi Kurniawan dan M. Amrullah*
Bendera NII
Sudah hampir 66 tahun negara ini memperoleh kemerdekaannya setelah dijajah oleh beberapa bangsa asing selama tiga ratus tahun lebih. Dalam kurun waktu antara 1945, ketika republik ini diproklamasikan berdirinya, hingga saat ini, berbagai peristiwa telah terjadi dan tidak sedikit yang mengakibatkan munculnya ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
Salah satu peristiwa penting yang meninggalkan bekas dalam catatan sejarah adalah berdirinya NII (Negara Islam Indonesia) di awal masa kemerdekaan. Isu ini sempat membisu setelah meninggalnya sang pendiri NII, Kartosoewirjo. Namun belakangan ini isu tersebut menghangat kembali setelah media dengan semangat dan gencarnya memberitakan.
NII dikait-kaitkan dengan terorisme. NII disebut dengan gerakan saparatis. NII adalah gerakan cuci otak. NII mencari korban para mahasiswa dan pelajar serta banyak isu lainnya. Benarkah demikian?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami dari KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat IAIN STS mengadakan seminar ilmiah bertajuk, “NII: Antara Penegakan Syari’ah dan Rekayasa Politik” dalam rangka menyambut hari Kebangkitan Nasional. Karena topik ini memang selalu dan akan tetap menarik untuk dibincangkan.
Antara Idiologis dan Kapitalis
Pada tanggal 7 Agustus 1949, Indonesia dikejutkan oleh deklarasi sebuah kekuatan politik yang menamakan diri mereka Negara Islam Indonesia (NII). Sekar Maridjan Kartosoewirjo, teman lama Soekarno yang memimpin tentara di Jawa Barat, mendeklarasikan Darul Islam (DI). Ia memiliki milisi yang cukup kuat sebagai penopang perlawanan politiknya, yaitu Tentara Islam Indonesia (TII). Itulah awal mula gerakan yang sejarah mencatat disebut sebagai “DI/TII”. Beberapa versi menyebutnya sebagai NII.
Martin van Bruinesen (2002) menyebut Darul Islam sebagai akar dari kelahiran Islam Radikal di Indonesia. Darul Islam membangun fragmen kelompoknya dengan kekuatan militer: beberapa pemberontakan lahir di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar), Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar), Jawa Barat (Kartosoewirjo), dan Aceh (Daud Beureueh). Tetapi, yang cukup menjadi tokoh sentral adalah Kartosoewirjo sebagai amir Darul Islam yang memimpin perlawanan dari Jawa Barat.
Jika kembali lagi ke sejarah, muncul NII setidaknya karena dua faktor yaitu gerakan tersebut muncul karena marjinalisasi politik-ekonomi yang dihadapi oleh umat Islam pada era tersebut. Dan adanya kesadaran sejarah dari umat Islam untuk mengembalikan kejayaannya. Karena selama ratusan tahun, umat Islam di Indonesia dimarjinalisasi secara politik oleh praktik kolonialisme. Jadi, perlawanan DI/TII adalah perlawanan antara umat vs negera.
Terlepas dari berbagai asumsi dan pandangan berbagai pengamat tentang NII, jika NII ditelisik lebih lanjut antara NII era 50-an dengan NII yang digembur-gemburkan media saat ini atau lebih dikenal dengan KW 9 dan beberapa makarnya, ada kesenjangan atau perbedaan yang sangat mendasar. NII era 50-an lebih pada visi idiologis untuk membentuk negera yang berlandaskan pada syari’at Islam yang mengacu pada Negara Madinah era Rasulullah SAW. Namun akhir-akhir ini muncul NII yang mengatasnamakan NII KW 9. Banyak pihak dan pengamat menilai NII KW 9 telah menyimpang dari syari’at Islam. Karena semua kegiatan dakwahnya lebih kepada kapitalis atau segala sesuatunya dapat digantikan dengan uang, infaq, atau shadaqah. Bahkan ibadah-ibadah mahdah pun dapat digantikan dengan uang demi gerakan dakwah. Versi inilah yang oleh beberapa pengamat dikaitkan dengan terorisme.
Analisis-Kritis Isu
Setelah gerakan ini tenggelam dengan meninggalnya sang pendiri, Kartosoewirjo. Akhir-akhir ini isu NII kembali muncul ke muka publik. Hal ini tentu tidak lepas dari dua faktor: politis dan mempertahankan keutuhan NKRI.
Dari faktor politik setidaknya hal ini dapat dilihat dari tiga hal: pertama, isu ini berhubungan dengan Pemilu 2014. Mengingat partai berkuasa saat ini dalam keadaan diterpa badai atau ada dari kelompok-kelompok tertentu yang mencoba menghentikan gerakan politik Islam. Lihatlah gerakan partai plitik Islam hari ini sudah memperlihatkan kekuatan politiknya. PKS misalnya yang telah memasang target menjadi 3 besar pemilu 2014. Bergitu pula dengan partai-partai Islam lainnya yang cukup mempunyai pengaruh di parlemen.
Kedua, dengan tujuan untuk memberengus aktifitas Dakwah Kampus. Mengingat, salah satu masa terbesar NII adalah mahasiswa. Maka segala sesuatu yang berkaitan dengan pengajian kampus, diberi topi sinyal agar para mahasiswa menjauhi. Lihatlah misalnya beberapa waktu lalu, pertemuan Rektor se-Indonesia kebakaran jenggot atas isu NII masuk masuk kampus.
Ketiga, dengan tujuan meloloskan UU Inteligen. UU ini diusul DPR pada tahun 2006, namun ormas-ormas Islam menolak UU tersebut dengan alasan UU tersebut akan memarjilinasi dan mendeskreditkan umat Islam. Hal ini ditandai dengan adanya suara dari elit politik dan pejabat pemerintah menghangatkan UU tersebut paska isu NII ini.
Dengan berpijak pada tiga alasan tersebut, maka hasilnya mengarah pada aktifitas Islam politik, di mana ruang gerak dan langkahnya semakin dipersempit dan citra Islam politik semakin buruk. Nah, tentunya sangat mempengaruhi suaru partai Islam pada Pemilu 2014. Begitu pula dengan aktifitas-aktifitas dakwah kampus serta halaqah-halaqah pengajian kampus semakin termarjinilkan paska menghangatnya isu ini.
Selanjutnya, mempertahankan NKRI. Hari ini kita melihat paska mencuatnya isu NII, para elit politik dan pemerintah kita lagi sibuk-sibuknya menyoalkan legalitas serta moralitas pancasila. Maka jadilah Pancasila meskipun sudah disepakati sebagai dasar Negara, namun dasar itu dipersoalkan. Hasilnya, isu ini akan bisa saja menjadi bola salju, kian hari kian membesar, hingga bisa berdampak pada keutuhan berbangsa.
Seyogyanya, persoalan NII dapat diredam dengan meningkatkan wawasan keindonesiaan agar tidak disusupi oleh kelompok macam NII atau sejenisnya. Tentu saja, kita perlu membedakan mana gerakan yang punya visi mengancam NKRI, seperti NII, dan mana gerakan yang praksis gerakannya adalah untuk hidup damai dalam kerangka keindonesiaan.Tentu saja, untuk membedakan hal ini perlu adanya kesadaran untuk melihat. Daya kritis dan rasionalitas harus digunakan untuk berpikir jernih.
Persoalannya bukan terletak pada ideologi, karena itu bisa saja constructed oleh siapapun untuk menutupi tujuan aslinya. Tapi terletak pada defisit kesadaran seseorang. Dengan kesadaran kritis, tentunya dapat melakukan pembentengan diri terhadap ancaman gerakan NII yang tak jelas ujung-pangkalnya dan yang ada tapi yang tak berwujud. Agar tidak menjadi seperti NII, mari bersama-sama tingkatkan kesadaran, daya kritis, rasionalitas, serta kemauan untuk berpikir. Bukan merekayasa isu demi kepentingan kelompok tertentu, tapi bekerja sama merapatkan barisan mempertahankan keutuhan NKRI.
Memang harus diakui bahwa bagi seorang musli, menegakkan syari’at Islam di bumi Allah swt. merupakan kewajiban. Kewajiban ini bukannya tak berlaku lagi ketika kekhalifahan Islam telah melewati masa keemasannya. Justru sebaliknya, sebagai pribadi yang merupakan bagian dari umat Islam di seluruh dunia, harus menanamkan nilai-nilai yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan memulainya dari diri kita masing-masing.
Suatu tujuan besar yang hendak diraih tidak akan tercapai tanpa mengawalinya dari hal yang kecil. Pencapaian yang ideal—mendirikan negara berasaskan syari’at Islam—mungkin akan sangat sulit dilakukan di Indonesia, sebuah Negara yang masyarakatnya amat majemuk. Negara yang bukan berlandaskan pada agama tertentu dan bukan pula Negara anti agama (komunis) dan sekularis, tapi Negara yang memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk beragama dan mengamalkan ajaran agama yang diyakini tanpa ada intervensi dan paksaan dari manapun.
Namun demikian, banyak tahap ke arah ideal tersebut yang dapat dilakukan sebagai umat Islam di negeri ini. Menunjukkan akhlak Islami dalam kehidupan sehari-hari, sedikit banyak dapat memberikan sebuah penyegaran di tengah kebobrokan moral yang dialami bangsa ini. Sesungguhnya, berbuat baik itu dapat menular. Orang lain akan mengikuti perbuatan baik yang kita lakukan karena mereka telah melihat manfaatnya. Dengan demikian, secara berangsur-angsur, orang yang melakukan akhlak Islami semakin lama semakin bertambah. Dan bukan tidak mungkin, secara alami masyarakat akan menerima syari’at Islam sebagai pedoman yang legal bagi mereka dalam melakukan segala tindakan.
Menuju Keutuhan Berbangsa
Timbulnya isu NII akhir-akhir ini, pemerintah seakan-akan tidak berdaya memberengus dan menghentikan akfititas NII. Hal ini karena susahnya mencari informasi dan rujukan yang jelas tentang NII serta NII itu sendiri sebuah Negara tanpa wujud.
Jika isu ini diakaitkan dengan seluruh aktifitas keislaman dan Islam politik, tentu ini tidak mengana, karena pemerintah harus cerdas menilai mana gerakan damai yang berpayung di bawah NKRI dan mana gerakan yang bersifat makar (saparatis).
Mendeskreditkan gerakan dan aktifitas keislaman bukanlah solusi, namun akan menambah masalah baru. Seyogyanya pemerintah dan gerakan-gerakan keislaman serta masyarakat harus bergandeng tangan memberenguskan setiap gerakan yang berorientasi pada makar.
Karena itu, setidaknya ada tiga langkah menuju keberdayaan dan keuutuhan NKRI dari gerakan makar: pertama, harus dibedakan terlebih dahulu mana gerakan yang berorientasi pada makar dan mana gerakan yang mau hidup damai di bawah NKRI.
Kedua, pemerintah dan gerakan Islam damai serta masyarakat harus bekerjasama dan bergandeng tangan membasmi segala aktifitas dan gerakan yang mengarah pada makar.