MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS DAN BERKEADILAN
(Apresiasi Terhadap Pendidikan Pancasila)
Oleh: Edi Kurniawan
(Peneliti pada Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization)
Pancasila sebagai dasar negara telah dirumuskan dan disepakati bersama oleh pendiri bangsa ini. Ia adalah jati diri, falsafah, ideologi, serta alat pemersatu bangsa. Ia juga merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk.
Atas dasar itulah sehingga dalam sistem pendidikan nasional juga berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan budaya. (Pasal 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Maka wajarlah jika Pendidikan Pancasila pernah dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional, namun karena dikendarai sebagai alat politik Orla (Orde Lama) dan Orba (Orde baru), akhirnya pada era reformasi Pendidikan Pancasilapun dihapus. Namun akhir-akhir ini isu ini mencuat kembali untuk diajarkan dan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan pada sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi. Adalah suatu hal yang harus diapresiasi di tengah bobroknya akhlak bangsa ini dalam upaya mengembalikannya pada khittah-nya.
Sebab, pada dasarnya pendidikan nasional berfungi sebagai mana yang termaktub dalam Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 bahwa: “pendidikan nasioanl itu berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Karena itulah untuk kembali pada khittah tersebut, perhatian pada pendidikan merupakan suatu yang musti. Pendidikanlah yang membnetuk anak bangsa yang bermoral, bermartabat, serta memiliki nilai jual.
Institusi atau lembaga pendidikan, baik itu umum maupun agama pada dasarnya diciptikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa. Tidak hanya cerdas dari penguasaan ilmu dan pengetahuan, melainkan juga cerdas dalam akhlak atau budi pekerti sebagaimana tujuan pendidikan itu sendiri.
Namun tujuan ini menjadi syubhat (abu-abu) di tengah merebaknya berbagai praktek “pelacuran” pada institusi pendidikan. Mulai dari jual kursi, SPP yang di atas rata-rata hingga sampai pada sumbangan yang berkedok uang pembangunan yang jumlahnya berpuluh-puluh juta.
Realitas dan Apresiasi
Setiap Institusi Pendidikan, baik itu sekolah maupun Perguruan Tinggi mempunyai alur penerimaan siswa atau mahasiswa dengan cara yang hampir sama, yaitu proses penyeleksian. Ketika ingin memasuki sebuah sekolah, maka disana ada tes kelayakan penerimaan. Begitupun dengan Perguruan Tinggi, di sana ada namanya SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), UMB (Ujian Masuk bersama) bagi Perguruan Tinggi Negeri. Begitu pula dengan Universitas-Universitas Swasta, juga mempunyai uji kelayakan yang sama dengan Perguruan Tinggi Negeri. Itu semua dilakukan untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas.
Tidak sampai di situ saja, ketika sudah duduk di sebuah sekolah atau Perguruan Tinggi, maka Institusi Pendidikan tersebut menggodok para siswa atau mahasiswanya menjadi anak-anak bangsa yang berkulitas.
Jika dilihat sekilas sebenarnya tidak ada yang salah dengan penyeleksian dan berbagai upaya menggenjotkan kualitas pendidikan. Namun dalam prakteknya ditemukan berbagai macam ketimpangan dan kejanggalan. Mulai dari kasus jual kursi, SPP yang sudah di atas rata-rata, sumbangan yang berkedok dengan sumbangan pembangunan, uang les, dan berbagai macam bentuk lainnya yang di luar kewajaran. Sehingga yang menjadi korban dan terbebani adalah para orang tua mahasiswa terutama dari kelas bawah.
Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas maka orang tua siswa atau mahasiswa berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya di tempat-tempat yang berkualitas dan ternama. Pada waktu itulah praktisi-praktisi busuk pendidikan memanfatkan momen.
Atau juga lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dengan sekolah uang (baca: keperawatan, kebidanan dan kedokteran). Yang dapat menikmatinya hanyalah mereka yang dari kelas menangah ke atas. Sementara yang dari kelas bawah hanya menjadi penonton dan menggigit jari meskipun banyak di antara mereka yang sebenarnya berhak untuk mendapatkannya (berkualitas). Itu belum lagi tingginya biaya pendidikan.
Akhirnya lembaga-lembaga yang berkualitas dan ternama itu menjadi syubhat (abu-abu) karena diisi oleh dua hal: pertama, mereka yang benar-benar berpotensi. Dan kedua, mereka yang mempunyai uang dan dari kalangan anak pejabat serta dari keluarga orang dalam (nepotisme). Maka disinilah letak syubhat-nya karena satu sisi diambil dari mereka yang berpotensi, dan pada sisi yang lain diambil dari mereka yang tidak berpotensi, hingga bercampur menjadi satu. Jadilah pertarungan dua sisi yang menampakkan kezoliman dan kesenjangan, bukan pemerataan serta keadilan.
Anehnya, mereka yang mempunyai berpotensi inilah yang dijual-jual demi mengharumakan istitusi tersebut. Padahal di balik itu betapa bobroknya, namun uang bisa melicinkan semuanya.
Di sinilah letak ketidakadilannya. Oleh-oleh dari praktisi busuk pendidikan. Padahal sila kelima menyatakan, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”. Dimanakah letak keadilan itu?
Begitu pula dalam UU No. 20 pasal 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa: “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Namun di lapangan prakteknya berbeda. Mereka yang bisa memperoleh pendidikan yang bermutu hanyalah mereka yang benar-benar pintar atau mereka dari anak pejabat dan anak konglomerat. Bahkan terkadang, mereka yang mempunyai potensi dari kalangan masyarakat menengah ke bawah tidak bisa menikmati pendidikan di tempat yang bekualitas dan ternama karena berbenturan dengan biaya pendidikan yang tinggi. Lihatlah misalnya pada sekolah kedokteran, keperawatan dan kebidanan yang biayanya sangat melambung.
Miris bukan? Karena dalam faktanya kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan itu ada. Bertolak belakang dengan dasar negara kita dan UU pendidikan.
Karenanya hemat penulis, upaya pemerintah untuk memasukkan kurikulum Pendidikan Pancasila adalah suatu upaya yang harus diapresiasi. Namun tidak bisa sampai di situ saja tanpa ada evaluasi dan kesadaran diri. Sebab banyak kita temukan praktisi pendidikan yang “melacurkan” institusi pendidikan dengan kedok pendidikan berkualitas.
Pemerintah harus tegas serta harus ada sistem yang baik dengan evaluasi yang matang. Di samping itu, pengawasan masyarakat juga diperlukan. Jika tidak, untuk mencapai pendidikan nasional yang berkualitas agaknya akan terhambat oleh praktisi-praktisi busuk institusi pendidikan. Wallahua’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar