Sabtu, 06 Agustus 2011

Miskin Di Tengah Umat Yang Berpuasa



Oleh: Edi Kurniawan

Jika anda menyesuri kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dll, maka dengan mudah anda menjumpai anak-anak gelandangan, orang-orang tua terlantar dan anak-anak yang putus sekolah, di mana mereka tinggal di kolong-kolong jembatan dan trotoar jalan. Bahkan untuk kota Jambi saja yang masih dikategorikan Kota kecil, pemandangan semacam ini sudah mulai menjamur.

Jika anda berjalan di kawasan simpang lampu merah Jembatan Makalam, Lampu Merah BI, atau di Kawasan Terminal Rawasari atau Pusat Kota Jambi yang menjadi pangkalannya. Maka mata anda akan menyaksikan, betapa mereka pada bulan ini keluar dari sarangnya dan menjadikan bulan ini sebagai momen mengharap balas kasihan.

Hal ini memberikan isyarat kepada kita bahwa masih banyak penduduk miskin di negeri ini. Padahal dalam teorinya, anak-anak terlantar dan orang-orang tua jumpo merupakan tanggungjawab Negara. Namun faktanya dengan angka yang cukup fantastis, negara pun kewalahan.

Betapa tidak, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia yang terhitung pada bulan Maret 2011 lalu mencapai 30, 02 juta orang atau 12, 49% dari total penduduk Indonesia. Turun 1,00 juta orang (0,84%) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2010 yang sebesar 31,02 juta orang (13,33%). Sedangkan jumlah penduduk Indonesia berdsarkan hasil sensus pada Agustus 2010 berjumlah 237.556.363 orang, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan.

Meskipun turun dari 13,33% menjadi 12,49%, persoalan kemiskinan tetaplah menjadi fokus utama. Mari kita hitung, 12,49% penduduk miskin dari 237.556.363 orang jumlah total penduduk Indonesia, berarti angka penduduk miskin Indonesia 19. 019. 725 orang pada Maret 2011. Jumlah yang fantastis bukan di tengah penduduk Muslim terbesar di dunia dan bangsa yang kaya akan sumberdaya alamnya.

Jika pemerintah mengklaim permaret 2010-2011, angka kemiskinan turun 0,84%, dengan hitungan kalkulasi kategori penambahan pendapatan perkapita perbulan, maka klaim tersebutpun menjadi persoalan. Karena berdasarkan data BPS, jumlah pendapatan perkapita perbulan yang dikategorikan miskin pada Maret 2010 yaitu di bawah Rp. 211. 726, menaik menjadi Rp. 233. 740 perkapita perbulan pada Maret 2011. Artinya, angka pendapatan perkapita tersebut bertambah sebesar Rp. 22. 014. Jika disamakan pendapatan perkapita permaret 2010 dengan permaret 2011, apakah angka kemiskinan itu menurun sebagaimana yang diklaim pemerintah, atau angka kemiskinan itu malah bertambah?

Hal ini kita bentangkan bukan bermaksud menutup mata atas usaha pemerintah, akan tetapi dengan harapan kita bisa mengambil hikmah dari laparnya kita pada siang hari pada bulan ini di tengah 19. 019. 725 orang yang dikategorikan lapar di negeri ini. Karena pada hakikatnya kita sebagai muslim, usaha pemberantasan kemiskinan ini bukan saja tugas pemerintah, akan tetapi itu juga PR kita semua. PR seluruh penduduk negeri ini.

*****
Puasa merupakan ibadah mahdhah, yang perintah dan pertanggungjawabannya secara pertikal. Namun, puasa juga akan memberikan pengaruh secara horizontal, salah satunya yaitu terbukanya hati untuk berbagi kepada sesama.

Diriwatkan dari Imam ash-Shadiq, sebuah hadis yang tersohor bahwa Hisyam bin Hakam bertanya kepada Rasulullah swa. mengenai alasan penetapan hukum Ilahiah ini, Rasulullah saw. bersabda: “Allah swt. telah memerintahkan puasa untuk menciptakan keseimbangan antara orang kaya dan orang miskin. Ikhwal ini agar orang kaya merasakan keadaan orang miskin dan akibatnya orang kaya menyayangi orang miskin. Dan karena, segala sesuatu tersedia bagi orang kaya, maka Allah swt. senang apabila keseimbangan ditegakkan di antara hamba-hamba-Nya. Oleh karenanya, Dia telah mentakdirkan orang kaya merasakan lapar dan kesulitan tersebut sehingga bersimpati kepada orang yang lemah dan merasa sayang kepada orang yang lapar”.

Hadis ini menjelaskan satu hikmah puasa kepada kita bahwa bagi si kaya agar kiranya dapat merasakan apa yang dirasakan oleh si miskin. Lalu, ia pun mengulurkan tangannya kepada saudaranya yang miskin.

Dalam ajaran agama, kemiskinan harus diberantaskan dan pemerataan kehidupan harus tercapai dalam semua lini kehidupan. Namun faktanya, di negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin sangat riskan. Yang kaya berpesta pora, sementara yang miskin bermuram durja. Maka jadilah si miskin dibudak oleh si kaya, hingga trend hedonisme menyebar di tengah masyarakat. Alhasil, menebarlah pola pikir singkat dalam meraih kekayaan, yaitu korupsi.

Ramadhan mendidik kita merasa peduli dan peka terhadap sosial. Dengan merasakan lapar, maka akan mengingatkan kita pada nasib penderitaan saudara kita yang kelaparan. Penghayatan yang seperti inilah yang pada akhirnya membuka tangan kita untuk berbagi.

Sudah barang tentu bagi kita yang berakal, dengan menjalankan perintah agama ini, dengan merasakan haus dan lapar pada siang hari, maka akan mengingatkan kita pada penderitaan saudara kita kaum mustadh’ifin atau orang-orang yang lemah.

Keadaan yang jelas dan objektif ini akan menimbulkan reaksi yang lebih efektif. Puasa akan menjadikan persoalan sosial yang besar, lalu menjelma menjadi sebuah bentuk yang jelas bagi orang-orang yang menjalaninya.

Sungguh, apabila jumlah orang kaya dan pejabat pemerintah di negeri ini atau kita seluruh umat muslim mengambil ibrah dari lapar pada siang hari di bulan ramadhan ini dan terbiasa berpuasa beberapa hari dalam setahun, maka akankah tetap ada orang yang lapar yang jumlahnya berdasarkan penghitungan BPS di atas 19. 019. 725 orang pada Maret 2011? Atau masih adakah jumlah pejabat pemerintah mengambil barang yang bukan haknya? Atau masihkah korupsi merajalela? Atau masih adakah guru-guru yang megambil sumbangan dengan kedok uang sekolah kepada murid-muridnya yang tidak mampu? Atau akankah kita temukan anak-anak terlantar yang putus sekolah dan orang tua jumpo yang tinggal di trotoar jembatan dan badan jalan?

Semoga ramadhan kali ini kita jadikan sebagai momen melatih diri untuk meningkatkan kepeduliaan kita pada sesama, sehingga keluarnya kita dari ramadhan ini kepekaan itu telah teraflikasikan. Dengan demikian, berarti kita telah berpartisifasi secara gradual dalam penurunan angka kemiskinan. Bukankah perubahan besar itu berawal dari perubahan kecil? Wallahua’lam!  

2 komentar:

Putri Omsima mengatakan...

Di kota Jambi pun ada pemandangan kek gini...MasyaAllah..gak nyangka dech

Unknown mengatakan...

yah... gitulah mbak. di bumi manapun, selagi masih di Inodonesia, akan mudah ditemukanlah,:-)