Beberapa waktu lalu aku berkesempatan mengunjingi kota Rimbo bujang dalam rangka proyek survey dari Lingakaran Survey Indonesia (LSI) mengenai Pemilukada ulang Kabupaten Tebo. Tebo tercatat sebagai Kabupaten pertama di Provinsi Jambi yang Pemilukadanya dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketika dalam perjalanan pulang dari sebuah desa yang cukup pelosok di Kecamatan Rimbo Bujang, aku dan teman-teman menyempatkan diri mampir sebentar di Kota Rimbo. Disinilah sebuah kisah yang sangat menarik yang belum pernah terdengar dan ditemukan di tempat manapun. Kami berenam dengan mengendarai tiga sepeda motor. Karena kami orang baru di Rimbo, tanpa disengaja kami menyalahi sebuah aturan lalu lintas. Jalan keluar kami gunakan untuk masuk.
Tiba-tiba, prit… prit… prit… prit… prit… seruit panjang. Tanpa kami hiraukan seriut itu dan kami tetap mengendarai kendaraan kami. Namun naas, dua orang temanku yang berkendara paling belakang di hadang oleh DLAJ yang aku kira awalnya Polisi Lalu Lintas. Temanku ditilang dan kami tetap melaju.
Tanpa banyak pikir panjang dan pertimbangan karena aku diamahkan oleh teman-teman sebagai ketua dari Kelompok Survey ini, jadi aku harus bertanggungjawab atas seluruh anggota kemlompokku.
Ketika dalam perjalanan pulang dari sebuah desa yang cukup pelosok di Kecamatan Rimbo Bujang, aku dan teman-teman menyempatkan diri mampir sebentar di Kota Rimbo. Disinilah sebuah kisah yang sangat menarik yang belum pernah terdengar dan ditemukan di tempat manapun. Kami berenam dengan mengendarai tiga sepeda motor. Karena kami orang baru di Rimbo, tanpa disengaja kami menyalahi sebuah aturan lalu lintas. Jalan keluar kami gunakan untuk masuk.
Tiba-tiba, prit… prit… prit… prit… prit… seruit panjang. Tanpa kami hiraukan seriut itu dan kami tetap mengendarai kendaraan kami. Namun naas, dua orang temanku yang berkendara paling belakang di hadang oleh DLAJ yang aku kira awalnya Polisi Lalu Lintas. Temanku ditilang dan kami tetap melaju.
Tanpa banyak pikir panjang dan pertimbangan karena aku diamahkan oleh teman-teman sebagai ketua dari Kelompok Survey ini, jadi aku harus bertanggungjawab atas seluruh anggota kemlompokku.
“Do”, pinta ku pada Widodo. “Stop!”.
“Kenapa bang?”, jawab Widodo.
“Si Nanda dan Toni ditilang Polisi. Ayo kita samperin”.
“Ok Bang”, jawab Widodo.
Aku langkahkan kakiku menuju pos penjagaan. Lalu aku buka helm dan jaketku.
“Assalamu’alaikum”, salamku pada dua orang DLAJ yang sedang menilang dua temanku.
“Wa’alaikumsalam”, jawab seorang laki-laki bertubuh tegap dan hitam dengan tampang melayakinkan. Sementara teman yang satunya hanya diam duduk di pojok pos penjagaan.
“Maaf bang, apa ada yang salah dari kami?
“Iya, ada. Kamu telah melanggar lalu lintas. Apakah mata kalian tidak melihat rambu-rambu lalu lintas itu”, bentaknya sambil menunjuk pada rambu lalu lintas yang tegap berdiri mematung di pinggir jalan. Tanda kurang dalam lingkaran. Petanda jalan keluar.
Melihat sikap si tegap hitam itu dengan nada cukup keras, sebenarnya naluri kejantananku cukup terpancing, namun aku tahan. Dengan nada merendah dan penuh penghormatan aku sampaikan pada mereka:
“Maaf bang, kami orang baru di sini. Bukan bermaksud melanggar lalu lintas. Tapi karena kami benar-benar tidak tahu. Kami dari Jambi. Datang kesini dalam rangka Survey dari LSI. Kami akui kami memang salah. Kami mohon maaf”.
Mendengar nadaku yang teratur dan penuh penghormatan kepada mereka, perlahan-lahan mereka juga mulai merendah.
Berunding dan berunding. Ternyata ujung-ujungnya dengan bahasa halus mereka meminta uang rokok sebagai tanda damai.
“Busyet”, pikirku.
Otakku mulai berjalan, “ah… pendidikan dua orang DLAJ ini paling-paling tamatan SLTP atau paling tinggi SMA. Apakah mereka mengerti hukum?. Adu fisik mungkin kami kalah. Namun fisik tidaklah berarti apa-apa kalau otaknya nol”.
Aha… dengan besik Serjana Hukum Islam, tapi Alhamdulillah sedikit banyaknya mengerti hukum umum dan perundangan lalu lintas. Maka aku jabarkan kepada mereka tentang hukum serta peraturan lalu lintas no UU Nomor 22 Tahun 2009. Kumudian aku kenalkan diri bahwa aku aku aktif di ICW cabang Jambi. (padahal boong-boongan saja demi menyelamatkan diri.hehehe). selain itu aku kenalkan aku juga dulu aktifis mahasiswa sewaktu masih aktif di kampu, serta alumni Fakultas Hukum.
Benar, ternyata senjataku ampuh. Mereka yang tadinya berlagak sok, lebih parah lagi si tegap hitam. Akhirnya mengendor dan menaruh penghormatan. Singkat cerita, Alhamdulillah mereka meminta maaf dan kami keluar dari sana tanpa mengeluarkan sepeserpun.
Tiba-tiba, “dek-dek, berapa dipintanya?. Aku terkejut, ternyata suara itu datang dari ibu separuh baya yang berjualan buah-buahan pas di samping pos penjagaan.
“Alhamdulillah tanpa keluar sepeserpun buk”, jawabku.
“Mereka itu memang kurang ajar dek. Sok berlagak polisi. Sudah sering mereka meminta uang dengan dalih seperti itu. Kadang-kadang lima puluh ribu, seratus tibu, seratus lima puluh ribu kepada orang dusun yang tak mengerti apa-apa”.
“O gitu buk ya…?”
“Iya”.
Keadaan perut yang sudah keroncong. Belum ketemu nasi dari pagi. Maklum, kalau di pelosok gak ada rumah makan. Maka kami langsung menyerbu rumah makan yang tak jauh dari pos penjagaan. Hmm… makan dengan lahap. Maknyos…^_^ Alhamdulillah Allah masih memberikan rezeki.
Begitulah contoh kecil negeri kita. Aneh… DLAJ berlagak polisi. Preman berlagak polisi gadungan. Penegak hukum berlindung di balik hukum Pungli dimana-mana. Korupsi bernyanyi ria. Kolusi apa yang nak dikata.
300511
“Kenapa bang?”, jawab Widodo.
“Si Nanda dan Toni ditilang Polisi. Ayo kita samperin”.
“Ok Bang”, jawab Widodo.
Aku langkahkan kakiku menuju pos penjagaan. Lalu aku buka helm dan jaketku.
“Assalamu’alaikum”, salamku pada dua orang DLAJ yang sedang menilang dua temanku.
“Wa’alaikumsalam”, jawab seorang laki-laki bertubuh tegap dan hitam dengan tampang melayakinkan. Sementara teman yang satunya hanya diam duduk di pojok pos penjagaan.
“Maaf bang, apa ada yang salah dari kami?
“Iya, ada. Kamu telah melanggar lalu lintas. Apakah mata kalian tidak melihat rambu-rambu lalu lintas itu”, bentaknya sambil menunjuk pada rambu lalu lintas yang tegap berdiri mematung di pinggir jalan. Tanda kurang dalam lingkaran. Petanda jalan keluar.
Melihat sikap si tegap hitam itu dengan nada cukup keras, sebenarnya naluri kejantananku cukup terpancing, namun aku tahan. Dengan nada merendah dan penuh penghormatan aku sampaikan pada mereka:
“Maaf bang, kami orang baru di sini. Bukan bermaksud melanggar lalu lintas. Tapi karena kami benar-benar tidak tahu. Kami dari Jambi. Datang kesini dalam rangka Survey dari LSI. Kami akui kami memang salah. Kami mohon maaf”.
Mendengar nadaku yang teratur dan penuh penghormatan kepada mereka, perlahan-lahan mereka juga mulai merendah.
Berunding dan berunding. Ternyata ujung-ujungnya dengan bahasa halus mereka meminta uang rokok sebagai tanda damai.
“Busyet”, pikirku.
Otakku mulai berjalan, “ah… pendidikan dua orang DLAJ ini paling-paling tamatan SLTP atau paling tinggi SMA. Apakah mereka mengerti hukum?. Adu fisik mungkin kami kalah. Namun fisik tidaklah berarti apa-apa kalau otaknya nol”.
Aha… dengan besik Serjana Hukum Islam, tapi Alhamdulillah sedikit banyaknya mengerti hukum umum dan perundangan lalu lintas. Maka aku jabarkan kepada mereka tentang hukum serta peraturan lalu lintas no UU Nomor 22 Tahun 2009. Kumudian aku kenalkan diri bahwa aku aku aktif di ICW cabang Jambi. (padahal boong-boongan saja demi menyelamatkan diri.hehehe). selain itu aku kenalkan aku juga dulu aktifis mahasiswa sewaktu masih aktif di kampu, serta alumni Fakultas Hukum.
Benar, ternyata senjataku ampuh. Mereka yang tadinya berlagak sok, lebih parah lagi si tegap hitam. Akhirnya mengendor dan menaruh penghormatan. Singkat cerita, Alhamdulillah mereka meminta maaf dan kami keluar dari sana tanpa mengeluarkan sepeserpun.
Tiba-tiba, “dek-dek, berapa dipintanya?. Aku terkejut, ternyata suara itu datang dari ibu separuh baya yang berjualan buah-buahan pas di samping pos penjagaan.
“Alhamdulillah tanpa keluar sepeserpun buk”, jawabku.
“Mereka itu memang kurang ajar dek. Sok berlagak polisi. Sudah sering mereka meminta uang dengan dalih seperti itu. Kadang-kadang lima puluh ribu, seratus tibu, seratus lima puluh ribu kepada orang dusun yang tak mengerti apa-apa”.
“O gitu buk ya…?”
“Iya”.
Keadaan perut yang sudah keroncong. Belum ketemu nasi dari pagi. Maklum, kalau di pelosok gak ada rumah makan. Maka kami langsung menyerbu rumah makan yang tak jauh dari pos penjagaan. Hmm… makan dengan lahap. Maknyos…^_^ Alhamdulillah Allah masih memberikan rezeki.
Begitulah contoh kecil negeri kita. Aneh… DLAJ berlagak polisi. Preman berlagak polisi gadungan. Penegak hukum berlindung di balik hukum Pungli dimana-mana. Korupsi bernyanyi ria. Kolusi apa yang nak dikata.
300511
9 komentar:
hahaa..nice post mas...
sering kali memang ilmu lah yg pada akhirnya akan menyelamatkan kita...
karena manusia selamanya adalah makhluk pembelajar..
keep writing mas...^^
satu sisi buram potret seorang aparat yang berlindung di balik seragamnya...
Semoga bisa semakin murni dan bersih dari segala praduga. Amin.
Happy june :)
bertambah lgi noda hitam negeri qt. Smga qt, satu dr sekian yg msih mau berubh k arah positif.
@Nick: thank.... tulisan mbak juga bagus2.. ^_^
@Sam: itulah kenyataan bangsa kita mas!!!
Qefy n Accilong: Ameen, summa ameen...!^_^
itulah budaya aparat kita... hampir disemua tempat mas...kalo saya dulu pernah disuruh masuk kedalam waung kopi...nah disitulah terjadi tawar menawar...mintanya 50rb...yah karena alasan mahasiswa dianya mau deh dikasih 20rb...ckckkk...
kirain tadi aparatnya nraktir ngopi mas... rupanya ditraktir. hahaha
Ahh..... hal seperti ini selalu terjadi. Kapan negara ini bisa jadi aman, kalo para aparatnya saja seperti itu....
@ Riksa: hahahaha.... itulah bangsa kita. semoga kita bisa merubahnya mulai dari hal yang terkecil.
Posting Komentar