Pernikahan Antara Wanita Muslimah Dengan Laki-Laki Ahl Al-Kitab
Klaim pernikahan antara wanita muslimah dengan laki-laki ahl al-kitab dibolehkan dengan dasar ikhtifa’ (menyembunyikan suatu bagian sebagai pertanda mengikuti bagian yang lainnya) sehingga bisa berlaku di sini mafhum mukhalafah sebagaimana yang diungkapkan oleh Musdah Mulia[32] dan Abd. Moqsith Ghazali.[33]
Para ulama bersepakat bahwa Surah al-Maidah (5) ayat 5 hanya memberikan kebolehan bagi laki-laki muslim untuk menikahi wanita ahl al-kitab, bukan sebaliknya. Seandainya pernikahan semacam ini dibolehkan, tentu Allah akan menegaskan. Dan jika pendekatan kebolehannya menggunakan mafhum mukhalafah,[34] tentu ini bertentangan dengan prinsip mafhum mukhalafah yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul. Sebab, dalam teori mafhum mukhalafah kata “mukhshanat”, yaitu perempuan yang menjaga diri dan kehormatannya, ini berbentuk dalam redaksi mantiq (tekstual) sehingga Surah al-Maidah (5) ayat 5 tersebut membatasi masuknya “mukhshanun”, yaitu laki-laki yang menjaga diri dan kehormatannya. Sehingga ulama ushul atau juga dalam kajian ulum al-Qur’an, mafhum mukhalafah semacam ini dikategorikan sebagai mafhum al-shifah. Oleh karenanya, ayat ini menurut jumhur ulama, menunjukkan atas keharaman pernikahan dengan pria ahl al-kitab dengan wanita muslimah.[35]
Demikian pula halnya dengan hadits Nabi sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al’Azim, hadits yang diriwayatkan dari Jabir yang menyatakan bahwa para kaum muslimin boleh menikahi perempuan-perempuan ahl al-kitab, tapi mereka (laki-laki ahl al-kitab) tidak boleh menikahi perempuan-perempuan kami.[36]
Selain itu, ada juga hadits dari Zaid bin Wahab bahwa khalifah Umar berpesan yang menyatakan bahwa seorang muslim boleh menikahi perempuan Nashrani, tetapi laki-laki Nashrani tidak boleh menikahi perempuan Muslimah.[37]
Menurut Ath-Thabari sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Katsir bahwa meskipun sanad haditsnya-hadits tersebut agak sedikit bermasalah, akan tetapi dikarenakan maknanya telah diterima dan disepakati oleh kaum muslimin, maka otoritasnya sebagai dalil dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun demikian, apabila dibandingkan dengan hadits riwayat Syahr ibn Husyab yang mengisahkan bahwa Umar menyuruh Thalhah dan Hudzaifah untuk menceraikan istri-istri mereka yang ahl al-kitab, maka kualitas hadits di atas menurut Ath-Thabari lebih baik.[38]
Hal ini mengingat bahwa kualitas hadits yang melarang pernikahan wanita muslim dengan laki-laki ahl al-kitab dikuat oleh ijma’, dan hadits yang lain yang semakna. Maka hadits yang semula kualitasnya dhaif dapat meningkat menjadi hasan li ghairihi.[39] Sementara hadits hasan sendiri, dari segi posisinya sebagai dalil hukum, sama dengan hadits shahih.[40] Selain itu, ada kaidah fiqh yang menyatakan pada dasarnya dalam masalah farj (kemaluan) itu adalah haram (al-ash fi al-abdha’i al-tahrim).[41] Karenanya, apabila dalam masalah farj (kemaluan) wanita terdapat dua hukum (perbedaan pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum yang mengharamkan.[42]
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapat yang dikemukan oleh kalangan Islam Liberal atau JIL dan kontributornya sebagaimana yang telah mereka tegaskan di atas yang menyatakan bahwa tidak ada nash yang secara tegas melarang pernikahan antara wanita muslimah dengan laki-laki ahl al-kitab, hal ini menurut penulis tidaklah mengena dan telah terbantahkan dengan sendirinya.
Konsep Musyrik
Musyrik, menurut Zainun Kamal, tidak setiap perbuatan syirik menjadikan secara langsung pelakunya disebut musyrik. Karena pada kenyataannya Yahudi dan Nasrani telah melakukan perbuatan syirik, namun Allah tidak menyebut dan memanggil mereka sebagai musyrik, namun tetap dipanggil dengan ahl al-kitab. Hal ini dapat dilihat dalam surat An-Nisa’ ayat 171, Al-Maidah: 5 dan Ali Imran: 64.[43]
Senada dengan Kamal, Siti Musdah Mulia dengan meyetir pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mengatakan bahwa musyrik yang dimaksud dalam Surah al-Baqarah ayat 221 adalah khusus untuk perempuan Musyrik Arab pada masa Nabi saja. Dengan demikian, karena Musyrik Arab tidak lagi, maka ayat tersebut tidak relevan lagi dengan konteks sekarang. Dan indikasinya bahwa dalam teks ayat tersebut di samping disebutkan larangan menikah dengan orang musyrik juga diikuti anjuran menikah dengan budak. Karena itu ia berkesimpulan bahwa konteks musyrik adalah orang-orang musyrik pada masa Nabi, dan mereka sudah tidak ada lagi sekarang. Sebagaimana halnya kelompok budak.[44]
Sementara menurut Abd. Moqsith Ghazali, dengan mengikuti jejak pendahulunya, yang memahami Surah al-Baqarah ayat 221 tentang konsep Musyrik dengan mengikuti pendapat Muhammad Rasyid Ridha yang menyatakan bahwa kalimat yang diungkapkan oleh ayat tersebut menggunakan ungkapan yang bersifat umum, namun ia memiliki pengertian yang khusus, yaitu hanya mengacu pada perempuan Musyrik Arab saja. Dengan demikian, ungkap Moqsith, “sebenarnya ayat tersebut hanya mencakup Musyrik Arab saja”.[45] Kemudian setelah menjelaskan panjang lebar mengenai pernikahan dengan orang Musyrik, ia berkesimpulan bahwa, “… pernikahan umat Islam dengan orang-orang Musyrik tersebut tak melulu bersifat teologis, tetapi lebih tepat bersifat politis. Pada saat ketegangan dan sandungan politis antara umat Islam dan kaum Musyrik itu sudah tidak ada, boleh jadi, konsekuensinya, hukum yang melarang umat Islam menikah dengan orang Musyrik itu pun bergeser”.[46] Intinya menurut Moqsith bahwa larangan pernikahan antara orang Muslim dengan orang Musyrik bukanlah larangan tersebut berbentuk teologis semata, tapi lebih pada nuansa politik. Karena itu, pernikahan dengan orang Musyrik dibolehkan.
Atas dasar ini, mereka lebih banyak mengacu pada konsep Musyrik yang dinyatakan oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menyatakan bahwa Musyrik yang dimaksud dalam Surah al-Baqarah ayat 221 hanya meliputi perempuan Musyrik Arab saja. Maka konsekuensi logisnya, karena Musyrik Arab tidak ada lagi, maka pernikahan dengan orang Musyrik pun dibolehkan.
Hal ini perlu dianalisis lebih jauh, apa itu musyrik dan siapa yang ditujukan oleh ayat tersebut.[47]
Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan agama, seorang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan satu aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama kepada Allah, dan kedua kepada selain-Nya.[48] Kemudian, Kata musyrik merupakan isim maf’ul dari asyaraka-yusyriku-isyrakan yang berarti menyekutukan sesuatu dengan sesuatu. Akan tetapi kata syirik lebih sering dipahami sebagai upaya menyekutukan Allah dengan benda-benda atau sesuatu yang lain. Dan orang yang melakukan perbuatan syirik atau isyrak disebut musyrik.[49]
Selengkapnya, berikut bunyi surah al-Baqarah (2) ayat 221 tersebut:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik dari pada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan (laki-laki) musyrik (dengan perempuan beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik dari pada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke syurga dan ampunannya dengan izinnya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran”.[50]
Menurut berapa tokoh yang berhaluan Liberal sebagaimana yang telah disebutkan di atas dengan mengacu kepada pendapat Rasyid Ridha dan Ath-Thabari bahwa orang musyrik yang haram dinikahi adalah orang musyrik Arab saja.[51] Pendapat ini mendapat bantahan dari kalangan ahli tafsir dan fikih yang merupakan pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa wanita musyrikah itu bukan hanya terbatas pada wanita musyrik Arab saja, melainkan juga mencakup semua wanita musyrikah non-Arab di manapun mereka berada.[52]
Dalam memahami ayat tersebut, ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ulama yaitu: (a) pendapat yang dimotori oleh Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa haramnya menikihai wanita musyrik pada ayat tersebut telah di-nasakh-kan hukumnya terhadap sebagian daripada wanita ahl al-kitab, dan halalnya menikahi wanita ahl al-kitab terdapat pada Surah al-Maidah (5) ayat 5. Pendapat ini didukung pula oleh Imam Malik bin Anas, Sufyan bin Sa’id Assauri dan ‘Abdurrahman bin Sa’id Al-Auza’i, dan (b) Qatadah dan Sa’id bin Jubir kemudian didukung pula oleh Imam Syafi’i mengatakan bahwa lafaz ayat 221 pada surah al-Baqarah tersebut berlaku umum untuk setiap wanita kafir/musyrik, sedangkan untuk wanita ahl al-kitab sudah dibahas secara khusus dalam Surah al-Maidah (5) ayat 5.[53]
Dari pendapat tersebut, pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan musyrikat adalah wanita musyrik yang harbiyyat dan seluruh wanita ahl al-kitab, sebagaimana pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas dan al-Auza’i, dengan alasan bahwa orang Yahudi menyatakan bahwa Uzair adalah anak Allah dan orang Nashrani menyatakan bahwa Isa adalah anak Allah.[54] Namun, ayat ini telah di-mansukh-kan oleh Surah al-Maidah (5) ayat 5.[55]
Maka di sini tampak bahwa perselisihan ulama tersebut hanya menyangkut pada tataran, apakah wanita ahl al-kitab masuk ke dalam cakupan al-Baqarah (2): 221 atau bukan. Jika dicermati lebih lanjut lagi pendapat tersebut, untuk konteks wanita musyrik pada surah al-Baqarah (2) ayat 221 tersebut tidak bisa di-ta’wil-kan terhadap wanita ahl al-kitab, melainkan berlaku umum terhadap seluruh orang kafir.[56] Sebab, surah al-Baqarah (2) ayat 221 tersebut secara tegas melarang pernikahan dengan wanita atau laki-laki musyrik, bentuk ungkapan tersebut menggunakan ungkapan plural dan diimbuhi al-ma’rifah (the definite article). Sehingga menurut kaidah bahasa, bentuk ini menerangkan keseluruhan (lil-istagraq); larangan perkawinan dengan wanita musyrik tanpa pandang bulu dan batas regional, apakah itu dari musyrik Arab atau bukan.[57] Karena itu, pendapat yang dikemukakan oleh Ath-Thabari dan Rasyid Ridha merupakan pendapat yang lemah, sementara jumhur ulama memahami seluruh orang musyrik tanpa batas regional.
Konsep Kafir dan Penafsirannya
Secara etimologi, kufr berarti tabir, tutup, tirai, dan pengingkaran. Sesuatu yang menutupi sesuatu dapat disebut kufr. Dengan demikian, malam juga bisa disebut kafir, karena malam menutupi segala sesuatu. Debu yang menutupi sesuatu juga disebut kafir.[58]
Term kufr dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 525 kali dalam al-Qur’an. Secara umum, pengertian kufr yang tercantum dalam al-Qur’an dapat dikembalikan pengertiannya kepada kebahasaan di atas, misalnya: (a) kufr berarti kelompok yang menutupi buah, penyebutannya muncul satu kali dalam al-Qur’an (Q.S. al-Insan (76) ayat 5), yang diartikan sebagai nama suatu mata air di syurga yang airnya putih, baunya sedap serta enak rasanya, (b) kuffar, (bentuk jamak dari kafir), terdapat dalam surah al-Hadid ayat 20 yang berarti para petani, (c) kaffarah, berarti benda penebus dosa atas kesalahan tertentu, penyebutannya muncul sebanyak empat kali dalam al-Qur’an (Q.S al-Maidah (5) ayat 45, 89, 95), kaffarah dalam ayat tersebut diberikan dalam bentuk sedekah atau berpuasa, (d) kaffara - yukaffiru yang berarti menutupi, menghapuskan atau menghilangkan, ini ditemukan sebanyak empat belas kali dalam al-Qur’an, semuanya berkaitan dengan penghapusan dosa.[59]
Konsep tentang “Kafir” munurut para penulis Fikih Lintas Agama yang membagi jenis kekafiran yang disebutkan dalam al-Qur’an menjadi beberapa bentuk, yaitu:[60] (a) Kafir (kufr) ingkar, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, Rasul-Rasul-Nya dan seluruh ajaran yang mereka bawa, (b) kafir (kufr) juhud, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap ajaran-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah benar, (c) kafir munafik (kufr nifaq), yaitu kekafiran yang mengakui Tuhan, Rasul dan ajarannya dengan lidah tetapi mengingkarinya dengan hati, menampakkan iman dan menyembunyikan kekafiran, (d) kafir (kufr) syirik, berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu, selain dari-Nya, sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan. Syirik digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari kekuasan Tuhan, juga mengingkari Nabi-Nabi dan wahyu-Nya, (e) kafir (kufr) nikmat, yakni tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan menggunakan nikmat itu pada hal-hal yang tidak diridhoi-Nya, (f) kafir murtad, kembali menjadi kafir sesudah beriman atau keluar dari Islam, (g) kafir ahl al-kitab, yakni non-Muslim yang percaya kepada Nabi dan kitab suci yang diwahyukan Tuhan melalui nabi kepada mereka.
Dari pembagian kafir dalam al-Qur’an yang mereka pegangi, kemudian mereka menampilkan dalil-dalil yang menguatkan pendapat mereka tentang perbedaan antara kafir musyrik dan kafir ahl al-kitab.
Menurut Siti Musdah Mulia bahwa larangan pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir pada surah al-Mumtahanah (10) ayat 10, itu juga tidak relevan lagi dengan konteks sekarang. Mengingat, konteks turunnya ayat tersebut dalam keadaan perang antara kaum mukmin dengan kaum Kafir Quraisy. Karena itu menurut Musdah, jika peperangan tidak ada lagi, maka konsekuensi logisnya pernikahan dengan orang Kafir pun dibolehkan atau larangan tersebut tidak berlaku lagi dengan sendirinya.[61] Selain itu menurut Musdah, bahwa Surah al-Mumtahanah (10) ayat 10 ini telah di-naskh-kan oleh Surah al-Maidah (5) ayat 5.[62]
Hal yang senada juga disampaikan oleh Abd. Moqsith Ghazali. Moqsith, setelah menjelaskan panjang lebar pandangan ulama tentang Surah al-Mumtahanah (10) ayat 10 tersebut, ia berkesimpulan bahwa larangan pernikahan dengan orang-orang Kafir Mekah tersebut bukan karena argumen teologis-keyakinan, melainkan lebih sebagai argumen politik. Sebab menurut Moqsith, kalau perkawinan bersifat teologis, bukannya perkawinan yang dilarang, melainkan seluruh jenis komunikasi dengan orang Kafir harus ditutup, termasuk komunikasi dengan Abu Thalib kala itu (paman Nabi).[63] Karena itu menurutnya, “dalam konteks masyarakat atau Negara yang menjamin kebebasan beragama dan kesederajatan seluruh warga Negara, maka pelarangan pernikahan dengan orang yang ingkar (kafir) yang bernuansa politik kurang relevan. Tapi hal ini sangat berpotensial menimbulkan konflik pada tingkat keluarga…”.[64] Jadi intinya menurut Moqsith, larangan pernikahan dengan orang Kafir bukan berlandaskan teologis-keyakinan semata, tapi lebih kepada faktor politik.
Berbeda dengan penulis Fikih Lintas Agama, Ibn Mazhur menguraikan bagaimana pandangan para ahli dalam memberikan pengertian kufr, menurutnya sebagai berikut: (a) kufr al-Inkar, yaitu mengingkari ke-esa-an Tuhan dengan hati dan lisannya, (b) kufr al-Juhud, yaitu mengingkari ke-esa-an Tuhan dengan lisan, meskipun hatinya mengakui hal tersebut, seperti pengingkaran Iblis, (c) kufr al-Mu’anadat, yaitu mengetahui Allah dengan hatinya dan mengakui dengan lisannya, akan tetapi enggan untuk memeluk agama Islam karena kedengkian dan permusuhan yang menyelimuti dirinya, (d) kufr al-Nifaq, yaitu mengakui dengan lisannya padahal hatinya tidak meyakini.[65]
Penjelasan tersebut menunjukkan, term kufr dalam al-Qur’an tidak selamanya menunjukkan pengertian pengingkaran terhadap Tuhan dan Rasul-Rasulnya. Dengan kata lain, perilaku kufr tidak selamanya datang dari orang-orang ateis, musyrik, dan non-Muslim lainnya. Orang-orang yang mengaku Muslim, bisa saja terjerumus dalam perilaku kufr dalam pengertian tertentu.[66]
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang diberikan predikat kafir apabila mendustakan kerasulan Muhammad SAW dan ajaran-ajaran yang dibawanya. Artinya, predikat tersebut diberikan kepada mereka yang tidak menerima Islam yang dibawa Muhammad SAW sebagai pedoman hidupnya. Khususnya untuk ahl al-kitab, meskipun ada di antara mereka yang kafir, tapi al-Qur’an memanggilnya dengan sebutan ahl al-kitab.[67]
Jika merujuk kepada al-Qur’an, ditemukan satu ayat yang secara eksplisit yang menerangkan hukum pernikahan dengan orang-orang, yaitu surah al-Mumtahanah (60) ayat 10 sebagai berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB xsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( w £`èd @@Ïm öNçl°; wur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 wur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ÌÏù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºs ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOÅ3ym
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayarkan (kepada mantan istri yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui, Maha Bijaksana”.[68]
Jika pendekatan ayat tersebut menggunakan pendekatan literalik dan analisis kebahasaan, lafaz laa hunna hillullahum wala lahum hillu lahunna (mereka para wanita mukminah tidak halal menjadi menjadi istri-istri pria-pria kafir. Dan mereka (pria kafir) tidak halal juga menjadi suami-suami sejak kini dan masa yang akan datang). Kata hillu pada ayat tersebut adalah menggunakan bentuk mashdar yang menunjukkan bahwa sejak sekarang hal itu tidak halal dan kata yahullu menggunakan mudhari’ yang menunjukkan masa yang akan datang juga tidak halal juga, demikianlah pendapat sementara ulama menurut M. Quraish Shihab.[69]
Namun bagi mereka yang berhaluan Liberal (terutama JIL dan kontributornya) lebih mengedepankan pemahaman kontekstual dan meninggalkan teks yang terdapat dalam ayat tersebut. Dengan klaim historisitas teks, ayat tersebut turun pada masa peperangan, jika tidak ada peperangan (damai), maka larangan tersebut tidak berlaku dengan sendirinya. Kelihatannya pendapat semacam ini hanya menerapkan paradigma kontekstual dengan meninggalkan metode tekstual.
Paradigma semacam ini mengandaikan bahwa perintah dan larangan al-Qur’an untuk mewujudkan maqashid al-syari’ah hanya berlaku bagi komunitas pertama kali yang menjadi sasaran (khitab) dan turun merespon mereka saja.[70] Artinya, larangan pernikahan dengan orang kafir hanya berlaku untuk masyarakat Muslim pada abad ke 7, di mana pada waktu itu dalam keadaan perang. Namun, konteks hari ini, jika perang sudah tidak ada, maka larangan tersebut tidak berlaku lagi dengan sendirinya.
Menanggapi paradigma semacam ini, Adian Husaini mengkritik Musdah Mulia yang menafsirkan demikian,[71] ia menyatakan:
“secara literal/tekstual, ayat surah al-Mumtahanah ayat 10 jelas memberikan pemahaman bahwa wanita muslimah haram menikah dengan laki-laki kafir. Sepanjang sejarah Islam tidak pernah ada ulama yang berfikir demikian… Penafsiran semacam ini jelas “sembarangan” dan menjiplak cara sebagian orang Kristen yang menafsirkan Bibel secara kontekstual, dengan meninggalkan makna teks sama sekali. Cara penafsiran semacam ini juga membongkar dasar-dasar Islam, dan merusak keilmuan Islam…kekeliruan yang sangat fatal adalah pada keterpengaruhannya terhadap ideologi ‘gender equality’ yang dianggap sebagai kebenaran, sehingga semua ajaran Islam harus disesuaikan dengan konsep ‘gender equality’ yang belum tentu sesuai dengan konsep Islam tentang hubungan laki-laki dan wanita”.[72]
Hemat penulis, pandangan Adian ini ada benarnya, meskipun gaya bahasa yang diungkapkan sedikit dengan nada emosi. Ketika dihadapkan pada suatu persoalan, tidak mungkin bisa meninggalkan teks sama sekali, namun bagi kalangan Liberal, ketika teks berlawanan dengan mashlahat, maka mereka mendahulukan mashlahat dengan meninggalkan teks.
Larangan yang termaktub dalam ayat tersebut, dapat diketahui dengan jelas, sebab ia memang dinamakan larangan karena dituntut untuk menjauhi atau tidak melakukan perbuatan tersebut, sehingga al-Syatibi menyatakan bahwa terlaksananya perbuatan ketika ada sebuah larangan itu sangat ditekankan oleh syari’ (Allah SWT) dan melanggarnya berarti menantang maksud Allah tersebut.[73] Lebih lanjut al--Syatibi menyatakan bahwa syari’at bagi para mukallaf itu bersifat umum dan menyeluruh. Dalam arti bahwa tidaklah hukum itu diberlakukan khusus bagi sebagian mukallaf dan tidak untuk yang lain. Tidak ada yang dikecualikan dari semua hukum syari’at tersebut terhadap seorang mukallaf pun.[74]
Dengan demikian, jelaslah tidak ada pemisahan antara mashid al-syari’ah (mashlahat) dengan bentuk formal hukum yang telah ditentukan secara tersurat dan gamblang di dalam nash al-Qur’an.[75] Bahkan Filsafat Hukum Islam menyatakan bahwa maqashid al-syari’ah telah terwakili dan terserap secara utuh dalam bentuk formal hukum syari’ah, dalam arti bahwa maqashid tidak akan bisa terealisir kecuali dengan dijalankannya bentuk formal hukum sebagaimana yang tersurat dalam teks al-Qur’an.[76]
Para ulama ushul juga membeberkan fakta-fakta seputar asbab nuzul dan tidak pernah menutup-nutupinya bahwa banyak dalil syari’at yang muncul karena peristiwa khusus.[77] Hal tersebut bagi ulama dipahami tidak lain hanya sebagai media pendidikan umat yang bertujuan menyiapkan suasana kondusif dalam proses transisi dari masa jahiliah kepada masyarakat yang diikat oleh nilai dan sistem hukum Islam.[78]
Dengan demikian, memisahkan pemahaman tekstual dan kontekstual pada ayat tersebut, akan melahirkan penafsiran yang pincang. Dalam artian bahwa paradigma seperti ini bertentangan dengan keumuman lafaz syari’ah, sehingga seakan-akan metode khalifah manusia yang telah dirumuskan oleh teks-teks suci al-Qur’an hanya membebankan segelintir manusia dan mengabaikan sedemikian banyak generasi manusia.[79] Padahal metode khilafah menyatakan dengan tegas bahwa aturan tasyri’ membawa aturan bagi semua manusia, tidak hanya dari sudut pemenuhan maqashid al-syari’ah semata, tapi juga satu paket dengan bentuk formal hukum tersebut yang mampu mewujudkan maqashid.[80] Dan ketika teks dijadikan sebagai standar kemaslahatan, maka secara otomatis juga menghilangkan pertentangan antara teks dan kemaslahatan. Namun, jika terus bersandar pada subyektivitas dari trend dan kondisi zaman, maka sudah pasti akan ada benturan yang hebat antara teks dengan sesuatu yang dianggap kemaslahatan.[81] Inilah yang penulis sebut penafsiran yang pincang, yaitu penafsiran yang bersandar pada subyektivitas dari trend dan kondisi zaman atau pemahaman tekstual dengan meninggalkan teks, maka sudah pasti implikasinya akan ada benturan yang hebat antara teks dengan sesuatu yang dianggap kemaslahatan dan ini tentunya akan meninggalkan atau mengaburkan teks. Jika ini yang terjadi, maka fungsi al-Qur’an sebagai wahyu tidak akan berguna lagi.
Penutup
Dari uraian tersebut, nyatalah bahwa dalam justifikisi pendepat mereka, selain dalam kontek pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahl al-kitab, nyatalah mereka memilih pendapat yang lemah dan dalam beberapa hal pendapat yang tidak mendasar sama sekali seperti dalam kasus pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim dengan dengan landasan ikhtifa’ dan mafhum mukhalafah yang sudah sangat jauh melenceng dan lari dari kaidah bahasa dan konsep ilmu ushul fiqh. Dalam hal ini juga termasuk konsep ahl al-kitab, makna dan cakupannya, sebagai landasan letimasi hokum, nyatalah bahwa dengan mengacu pada pendapat Rasyid Ridha, yang sepertinya pendapat yang ganjil di kalangan ulama.
Daftar Pustaka
Charles Kurzman, Wacana Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, Alih Bahasa Bahrul Ulum dkk., (Jakarta: Paramadina, 2001).
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (Beirut: Maktabah An-Nur al-‘Ilmiyah, 1992), II:
Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab; Makna dan Cakupannya, hlm. 30.
Ath-Thabari, Tafsir al-Thabari, (al-Qahirah: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1954), I: 320.
Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalis dalam Sorotan, (Bandung: Syaamil Publishing, 2006)
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm. 71.
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, (Depok: Kata Kita, 2009)
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persolan Kontemporer, (Bandung: Mizan, 1997)
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad,
Adian Husaini & Nu’im Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, cet. Ke-3, (Jakarta: Gema Insani, 2004)
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikri, tt), I
Manna al-Qathan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (t.tp: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, tt), III
Muhammad al-Amdi, Muntaha al-Sul fi ‘Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003)
Ibnu Yusuf Assai Razi, al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003)
Abd. Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Indonesia: al-Haramain, 2005)
Ali Mustafa Yaqub “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Zaitunah Subhan, dkk., (ed), Membendung Liberalisme,
‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, tt).
Jalaluddin Abd. Arrahman Assayuti, al-Asybah wa al-Nazair, (Beirut: Dar al-Fikri, 1996)
Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), IV: 2248-2249
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: Diponegoro, 2005).
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1991).
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Hadis, 2002), III.
Azzamakhsyari, al-Kasy-syaf, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 1.
Ibn Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, tt), IX: 501.
Nurcholish Madjid, dkk., Fiqh Lintas Agama, hlm. 156-157.
Fahmi Salim, Kritik Terhadap Metodologi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif: 2010)..
Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani, 2006)
Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003).
Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Muassa-Saturrisalah, 1997).
Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad: Antara Teks, Realitas, dan Kemaslahatan Sosial, Alih bahasa oleh Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdar, (Jakarta: Erlangga.al-Razi, 2002), hlm. 31.
End Note
[1] Charles Kurzman, Wacana Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, Alih Bahasa Bahrul Ulum dkk., (Jakarta: Paramadina, 2001).
[2] Dua bentuk lainnya yaitu, liberal syari’ah, yaitu Islam Liberal yang berpaham bahwa syari’ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Dan silent syari’ah, model pembacaan ini berasumsi bahwa Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer. Islam liberal dimungkinkan terjadi pada masalah-masalah tertentu yang tidak ada presedennya dalam Islam, baik secara normatif maupun historis. Karena Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer, maka diperlukan kreatifitas, terutama menyangkut masalah muamalah. (Ibid., hlm. xxxiii-xxxviii).
[3] Term ahl al-kitab ditemukan sebanyak 31 kali dalam al-Qur’an. Term tersebut terdapat di 7 surah dalam surah-surah Madaniyyah, yaitu al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa’, al-Maidah, al-Ahzab, al-Hadid, dan al-Hasy. Dan 2 surah dalam surah-surah makkiyyah, yaitu al-Ankabut dan al-Baiyyinah. (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an, hlm. 121-122).
[4] M. QuraIsh Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 366.
[5] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (Beirut: Maktabah An-Nur al-‘Ilmiyah, 1992), II: 451-452; Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab; Makna dan Cakupannya, hlm. 30.
[6] Ghalib, Ibid., hlm. 32.
[7] Ibn Hammam, Fath al-Qadir, III: 230.
[8] Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 367.
[9] Ath-Thabari, Tafsir al-Thabari, (al-Qahirah: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1954), I: 320.
[10] Dua bentuk lainnya yaitu, liberal syari’ah, yaitu Islam Liberal yang berpaham bahwa syari’ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Dan silent syari’ah, model pembacaan ini berasumsi bahwa Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer. Islam liberal dimungkinkan terjadi pada masalah-masalah tertentu yang tidak ada presedennya dalam Islam, baik secara normatif maupun historis. Karena Islam tidak banyak berbicara mengenai isu-isu kontemporer, maka diperlukan kreatifitas, terutama menyangkut masalah muamalah. (Ibid., hlm. xxxiii-xxxviii).
[11] Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalis dalam Sorotan, (Bandung: Syaamil Publishing, 2006), hlm. 64-65.
[12] Ibid., hlm. 66-67.
[14] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm. 71.
[15] Lihat selengkapnya, Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, (Depok: Kata Kita, 2009), hlm. 346-356.
[16] Maksudnya pendapat yang menyatakan bahwa Budha, Hindu, Konhucu, dan Shinto adalah termasuk ke dalam golongan ahl al-kitab.
[17] Daud Rasyid, Pembaharuan Islam, hlm. 67.
[18] Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, VI: 141
[19] Selengkapnya lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persolan Kontemporer, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 347-371.
[20] Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 28-29
[21] Berikut bunyi surat tersebut:
“Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad hamba Allah kepada Heraclius pembesar Romawi. Salam sejahtera kepada orang yang sudi mengikut petunjuk yang benar. Amma Ba’du. Dengan ini saya mengajak Tuan mengikuti ajaran Islam. Terimalah ajaran Islam, niscaya tuan akan selamat. Tuhan akan memberi pahala dua kali lipat kepada Tuan. Kalau Tuan mengelak, maka dosa-dosa orang “al-‘arisiyun” menjadi tanggungjawab Tuan. Wahai orang-orang ahl al-kitab, marilah kita berpegang pada kata (kalimatissawa’) antara kami dan Tuan-Tuan, yakni tidak ada yang kita sembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutukannya dengan apa pun, bahwa yang satu tak akan mengambil yang lain menjadi Tuhan selain Allah. Tetapi kalau mereka mengelak juga, katakanlah kepada mereka, saksikanlah bahwa kami ini adalah orang-orang Muslim”. (Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, alih bahasa Ali Audah, (Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2002), cet-XXXVIII, hlm. 423).
[22] Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 37
[23] Selengkapnya isi surat tersebut, lihat Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm. 202-208.
[24] Q.S. Ali Imran (3): 64.
[25] Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm. 225-226.
[26] Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 29.
[27] Selengkapnya dapat dirujuk pada, Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, hlm. 141-142
[28] Data tersebut dikutip oleh Adian Husaini dari buku Agama-Agama Besar di Dunia karya Joesoef Sou’yb. (Adian Husaini & Nu’im Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, cet. Ke-3, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 61).
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Adian Husaini & Nu’im Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, hlm. 61.
[32] Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm. 63.
[33] Moqsith memandang di sini, ketika laki-laki dibolehkan menikahi wanita ahl al-kitab, maka perempuan pun juga dibolehkan menikahi laki-laki ahl al-kitab. Sehingga ia menafsirkan Surah al-Maidah ayat 5 sebagai berikut: “Dihalalkan menikahi perempuan yang menjaga kehormatannya dari kaum mukminah dan Ahli kitab sebelum kalian, sebagaimana dihalalkan menikahi laki-laki yang menjaga kehormayannya dari kaum mukmin dan Ahli Kitab sebelum kamu”. Sehingga ia menyimpulkan bahwa gaya bahasa semacam ini disebut dengan ikhtifa’. Contoh lain lagi yang ia ajukan adalah tentang kewajiban mencari ilmu. Menurutnya, meskipun di dalam hadis tersebut tidak disebutkan perempuan, bukan berarti perempuan tidak wajib mencari ilmu. (Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, hlm. 354).
[34] Dalam kajian ushul dan ulumul qur’an, mafhum mukhalafah merupakan salah satu metodologi untuk memahami petunjuk nash. Para ulama tafsir dan ushul mendefinisikan terminologi ini sebagai ketetapan (hukum) yang berlawanan dengan nash (al-mantuq) dan diambil setelah tidak ada batasan (qayyid) yang jelas (eksplisit) dari mantuq tersebut. Dengan kata lain, mufhum mukhalafah adalah petunjuk lafaz untuk menetapkan sesuatu yang tidak disebutkan secara ekspilisit. Penggunaan mafhum mikhalafah sebagai sumber bukum disepakati oleh Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal. Hanya Abu Hanifah dan para pengikutnya saja yang tidak menggunakannya sebagai hujjah. (Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikri, tt), I: 362; Manna al-Qathan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (t.tp: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, tt), III: 253); Muhammad al-Amdi, Muntaha al-Sul fi ‘Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), 338-340; Ibnu Yusuf Assai Razi, al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), hlm. 124-125); Abd. Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Indonesia: al-Haramain, 2005), hlm. 153-160.
[35] Ali Mustafa Yaqub “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Zaitunah Subhan, dkk., (ed), Membendung Liberalisme, hlm. 146.
[36] Tamim bin al-Muntashir menceritakan kepada kami, mengabarkan kepada kami Ishaq al-Azraqi dari Syarik dari Asy’asy ibn Suwar dari al-Hasan dari Jabir bin ‘Abdullah berkata: berkata rasulullah SAW: “kami menikahi wanita ahl al-kitab, sementara wanita ahl al-kitab tidak boleh menikahi wanita kami”. (Ibn Katsir al-damsiqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, I: 244).
[37] Ibnu Jari berkata: mengabarkan kepada kami Musa bin ‘Abdurrahman al-Masruqi, menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyr, menceritakan kepada kami Sufyan bin Sa’id, dari Yazid bin Abi Ziyad, dari Zaid bin Wahhab berkata: Umar bin Khattab berkata: “seorang muslim boleh menikahi perempuan Nashrani, tetapi laki-laki Nashrani tidak boleh menikahi perempuan Muslimah”. (Ibid)
[38] Ibid.
[39] Menurut ulama hadits, hadits hasan lighairihi adalah hadits yang didalamnya terdapat perawi “mastur” yang belum tegas kualitasnya. Akan tetapi bukanlah perawi yang pelupa atau sering melakukan dalam periwayatannya, bukan pula muttaham bi al-kidzib dalam hadits, dan bukan pula karena sebab lain yang dapat menyebabkan tergolong fasik. Dengan syarat mendapat penguatan dari perawi lain yang mu’tabar, baik status mutabi’ maupun syahid. (‘Ajaj Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, tt), hlm. 300).
[40] Ali Mustafa Yaqub “Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Zaitunah Subhan, dkk., Membendung Liberalisme, hlm. 148.
[41] Jalaluddin Abd. Arrahman Assayuti, al-Asybah wa al-Nazair, (Beirut: Dar al-Fikri, 1996), hlm. 84.
[42] Ibid.
[44] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm. 62.
[45] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, hlm. 336.
[46] Ibid., hlm 340.
[47] Q. S. al-Baqarah (2): 221.
[48] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, I: 473-474.
[49] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), IV: 2248-2249
[50] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: Diponegoro, 2005), hlm. 35.
[51] Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, VI: 141-142.
[52] Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1991). hlm. 5
[53] Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Hadis, 2002), III: 62-63)
[54] Q.S. Attaubah (9): 30.
[55] Azzamakhsyari, al-Kasy-syaf, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 1: 261.
[56] Ibn Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, tt), IX: 501.
[57] Daud Rasyid, Pembaharuan Islam, hlm. 118.
[58] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, V: 3889.
[59] Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 62-63.
[60] Nurcholish Madjid, dkk., Fiqh Lintas Agama, hlm. 156-157.
[61] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm. 63.
[62] Ibid.
[63] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, hlm. 345-346.
[64] Ibid., hlm. 346.
[65] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, V: 3897-3899.
[66] Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 64.
[67] Lihat misalnya, Q. S. Al-Bayyinah (98): 1.
[68] Q. S. Al-Mumtahanah (60): 10.
[69] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, XIV: 173-174.
[70] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Metodologi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif: 2010), hlm. 477.
[71] “Surah Al-Mumtahanah (60): 10 hanya menjelaskan secara secara eksplisit larangan melanggengkan hubungan pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir. Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu, larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dengan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksud agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya. Argument lain berkaitan dengan Surah Al-Mumtahanah (60) bahwa itu telah di-nasakh oleh Al-Maidah (5): 5”. (Musdah Mulia, Muslimah Reformis, hlm. 63)
[72] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 244-245.
[73] Al-Syatibi, al-Muwafaqat, II: 292.
[74] Ibid., hlm. 179.
[75] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Metodologi al-Qur’an Kaum Liberal, hlm. 477.
[76] Ibid.
[77] Al-Ghazali, al-Mustashfa, II: 60.
[78] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Metodologi al-Qur’an Kaum Liberal, hlm. 479.
[79] Ibid., 478.
[80] Ibid.
[81] Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad: Antara Teks, Realitas, dan Kemaslahatan Sosial, Alih bahasa oleh Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdar, (Jakarta: Erlangga.al-Razi, 2002), hlm. 31