Selasa, 03 Mei 2011

Andai Aku Jadi Gayus Tambunan (Lagu dan Potret Penegakan Hukum): Sebuah Opini


Oleh: Edi Kurniawan*

~Andai Aku Jadi Gayus Tambunan~
By. Bona Paputungan

…….
Kita orang yang lemah
Tak punya daya apa-apa
Tak bisa berbuat banyak
Seperti para koruptor

Andai Ku Gayus Tambunan
Yang bisa bisa pergi ke Bali
Semua keinginannya
Pasti bisa terpenuhi

Lucunya di negeri ini
Hukuman bisa dibeli
Kita orang yang lemah
Pasrah akan keadaan
…….
            Beberapa waktu lalu, Bona, dengan kreatifitasnya melihat realitas sosial politik negeri ini, ditambah lagi dengan pengalamannya di penjara, barangkali itulah yang mengilhaminya menciptakan lagu, “Andai Aku Jadi Gayus Tambunan”.
Gayus, belakangan ini, siapa yang tak tahu? Sekurang-kurangnya orang pasti pernah mendengar namanya atau melihat fotonya saat mengenakan wig yang konyol itu. Dia bukan tokoh roman percintaan yang populer. Dia tak punya kisah asmara yang mengharubirukan perasaan siapa saja. Dia adalah antagonis, seseorang yang menjadi tersangka kasus besar mafia hukum dan mafia perpajakan yang kebetulan melakukan tindakan-tindakan luar biasa yang menunjukkan betapa, seperti digambarkan dalam syair Bona, “Andai Aku Jadi Gayus Tambunan”.
Pasti tak semua orang mau tahu bagaimana sebenarnya kedua mafia itu membelit instansi pemerintah, penegak hukum, dan barangkali juga organisasi politik, sehingga transaksi untuk mengakali dan mengelak dari sanksi hukum bisa dilakukan. Tapi ada satu titik yang mempertemukan kepentingan siapa pun: mereka paham betapa praktek kotor penginjak-injakan hukum yang melibatkan birokrat, pengusaha, dan politikus serta ketidakadilan sedang berlangsung.

Lagu dan Kritik Sosial
Bila dicermati bait-bait lagi yang diciptakan Bona, di situ tampak ia menceritakan keadaan penegakan hukum negeri ini yang dapat diperjual belikan. Hukum hanya berlaku untuk orang yang lemah. Namun apalah dikata, orang lemah hanya bisa pasrah.
Masih ingatkan dengan kasus nenek Imah yang mencuri semangka lantaran kelaparan satu beberapa tahun lalu, ia diringkus dengan cara yang tidak mengenakkan. Namun orang sekelas Gayus yang mencuri uang Negara yang bermilyar rupiah bisa berlaha-leha ke Bali, keluar negeri, dan segala keinginannya terpenuhi. Apalah dikata, uang berbicara. Aparat penegak hukum pun dapat dibeli. Matanya hijau tatkala disodorkan uang oleh Gayus.
Bona bukanlah orang yang pertama mengkritik pemerintah melalui lagu. Sebelumnya ada beberapa musisi yang juga melakukan hal yang sama seperti Bona. Mogi Darusman, Harry Roesli, Iwan Fals, Slank, Gigi dan sederatan musisi-musisi lainnya.
Mogi Darusman dibrangus, muncul Harry Roesli. Pemusik asal Bandung ini melahirkan karya-karya sarat kritik sosial dan, bahkan bernuansa pemberontakan terhadap kekuasaan Orde Baru. Bersama DKSB (Depot Kreasi Seni bandung) dan Komite Mahasiswa Unpar, Harry Roesli mementaskan pemutaran perdana film dokumenter "Tragedi Trisakti" dan panggung seni dalam acara "Gelora Reformasi" di Universitas Parahyangan.
Saat pemerintahan BJ Habibie, salah satu karyanya yang dikemas 24 jam nonstop juga nyaris tidak bisa dipentaskan. Juga pada awal pemerintahan Megawati, dia sempat diperiksa Polda Metro Jaya gara-gara memelesetkan lagu wajib Garuda Pancasila.
Zaman berubah. Era reformasi menjadi euforia para seniman bebas membuat lagu bertema sosial. Kritik tak lagi membuat menyakitkan, karena para petingi dan koruptor di Indonesia sudah "mati rasa". Mestinya lagu "Rayap-rayap" sangat pas untuk kondisi sekarang di mana para pejabat yang korup relevan disebut babi-babi gemuk. Sehingga pada era tahun 90 an sampai 2000 an lagu-lagu dengan tema antikorupsi dari para musisi banyak dibuat. Mereka memiliki kepekaan cukup tinggi terhadap fenomena korupsi masih pun marak.
Bisa disebut "Surat Buat Wakil Rakyat" (Iwan Fals), "Seperti Para Koruptor" (Slank), "Pemimpin Budiman (GIGI), "Gosip Jalanan" (Slank), "Kwek Kwek Kwek" (Iwan Fals), "Merdekakah Kita" (Saykoji), "Jengah" (Pas Band), dan "Rubah" (Iwan Fals), serta "Sapuku Sapumu Sapu Sapu" (Iwan Fals).
Lantas musisi generasi muda seperti "Music Guyonan" (Dedy Suardi), "KA (Koruptor Anjink)" (ANTINK band), "Krisis Ekonomi vs Korupsi" (RCP), "Distorsi" (Ahmad Band), "John Esmod" (/rif), "I.C.U" (Tipe-X), "Nagih" (Slank), "Dekadensi" (Chrisye), "Sini Oke Sana Ko" (Seurieus), "Politik Uang" (Iwan Fals), "Birokrasi Kompleks" (Slank), dan "Indonesia" (Rhoma Irama), serta "Negeri Cintaku" (Keenan Nasution)
Itulah sederaten para musisi dengan bibir manisnya mengalunkan kritik-kritik terhadap kedaan sosial. Suara hati megalir memalui syair-syair  ketika diri tidak bisa berbuat dan memperbaiki.

Potret Penegakan Hukum, Rerformasi Biokrasi, dan Menuju Negara Kebal Korupsi
Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya kasus Gayus yang menghangatkan publik hanyalah beberapa kasus yang terungkap dari Negeri ini. Tentunya, masih banyak Gayus-Gayus yang lain yang belum terungkap. Gayus hanyalah pejabat rendahan di Departemen Pajak, tanpa bermaksud buruk sangka, jika pejabatn rendahnya seperti itu, apatah lagi dengan dengan pejabat esolan.
 Masih banyak PR, yang bukan hanya PR aparat penegak hukum, tapi PR kita semua. Tapi yang menjadi permasalahan, hukum di negeri ini tidak akan bisa ditegakkan selagi para aparat (polisi dan jaksa) masih tumbang tindih dan matanya masih hijau ketika disodorkan uang.
Karena itu, reformasi biokrasi dari hal-hal yang haram mutlak dilaksanakan. Bukan hanya Departemen Pajak, tapi di titik-titik tertentu seperti pengelolaan parkir, passport, Pengadilan, Kepolisian, dan biokrasi-biokrasi pemerintah lainnya masih terbuka lebar peluang untuk hal-hal administrasi haram.
Ketika berbicara hukum, hukum tidak akan ada dan tidak akan dapat ditegakkan minimal harus ada tiga unsur. Pertama, musti ada pembuat hukum. Kedua, penjalan dan pengawal hukum. Dan ketiga, masyarakat harus taat hukum. Jika tiga unsur ini tidak terpenuhi, maka hukum tidak akan ada dan hukum tidak akan berjalan.
Korupsi atau apapun namanya, dapat menibulkan setidaknya enam bencana yaitu: Pertama, berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah. Kedua, berkurannya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat. Ketiga, menyusutnya pendapatan Negara. Keempat, rapuhnya keamanan dan ketahanan Negara. Kelima, perusakan mental pribadi. Keenam, hukum tidak lagi dihormati.
Karenanya, sudah semestinyalah di negeri ini ada Undang-Undang yang dapat membuat efek jera untuk para tikus-tikus koruptor. Belajar kepada Latvia dan China yang berani melakukan rombakan besar untuk menumpas koruptor di negara mereka.
Sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang sangat korup. Untuk memberantas korupsi yang begitu parah, akhirnya negara tersebut menerapkan undang-undang lustrasi nasional, atau undang-undang pemotongan generasi. Melalui undang-undang ini, seluruh pejabat eselon II diberhentikan dan semua tokoh pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 juga dilarang aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari korupsi.
Sementara Cina melakukan pemutihan seluruh koruptor yang telah melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tapi begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan, maka pejabat yang korupsi langsung dijatuhi hukuman mati. Hasilnya, China juga menjadi negara bersih dari tikus-tikus busuk. Bagaimana dengan Indonesia? Katanya penduduk muslim terbesar di dunia.
Selian itu, aparat penegak hukum musti juga dibersihkan dari orang-orang yang hanya memperjual belikan hukum untuk kekenyangan perutnya sendiri. Kemudian, rakyat juga musti taat kepada hukum.
Tatkala tiga ini berjalan beriringan, insyaallah kedepannya hukum dapat ditegakkan tanpa pandang bulu. Bak adat Melayu Jambi mengato: Aek ning ikannyo jinak. Rumput Mudo kerbaunyo gemuk. Negeri aman padinyo menjadi. Aman kampung kareno dek yang tuo. Ramai kampong kareno dek yang mudo. Kak keruh samo-samo kito jernihkan. Kak kusut samo-samo rapikan. Itulah selako adat yang menggambarkan aman dan makmurnya suatu negeri dan penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Jika tidak, negeri ini tetaplah menjadi negeri yang lucu layaknya yang dikatakan Bona:
Lucunya di negeri ini
Hukuman bisa dibeli
Kita orang yang lemah
Pasrah akan keadaan

           
*(Edi Kurniawan: Penulis adalah Ketua Umum Lembaga Dakwah Kampus IAIN STS Jambi)

Tidak ada komentar: