Oleh: Edi Kurniawan
A. Pengertian
Nama Islam Liberal tidaklah terdapat dalam Islam, itu hanyalah pengelompokan yang dibuat oleh kalangan Barat untuk mengelompokkan gerakan-gerakan Islam. Kita mengenal ada namanya Islam Fundamentalis, Moderat, Konserpatif dan lain-lain, itu hanyalah pilihan yang doberi oleh kalangan Barat terhadap gerakan Islam. Sebelum menguraikan Islam liberal, terlebih dahulu diuraikan apa itu liberal, sehingga dapat mencari makna: apa itu Islam Liberal?
Istilah Liberal merupakan istilah perbendaharaan kata asing yang sudah masuk kedalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Dalam kamus Oxford dijelaskan bahwa kata “Liberal” merupakan kata sifat (adjective) yang berarti “Respecting other opinion (mengenai pendapat orang lain)”, yang berarti keinginan untuk memaknai dan menghormati kebebasan, opini, seseorang, dan lain-lain, khususnya ketika terjadi perbedaan antara seseorang - kepercayaan masyarakat seharusnya dapat memilih bagaimana mereka bertingkah laku - bersikap, berpandangan, dan berfikir bebas.
Jika ditelusuri sejarahnya, istilah “liberalisme” berasal dari bahasa Latin “Liber” yang berarti “bebas” atau “merdeka”. Hingga penghujung abad ke-18 Masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa merdeka semenjak lahir ataupun merdeka setelah dibebaskan, yakni mantan budak (freedman). Dari sinilah muncul istilah “liberal arts” yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki oleh setiap manusia merdeka, yaitu aritmetika, geometri, astronomi, dan musik (quadrivium) serta gramatika, logika dan retorika (trivium). Dalam Ensyclopedia Americana dijelaskan bahwa: liberalism in it’s most abstract sense, is a belief in the value of individual liberty with a minimum of state intervention in personal life (liberalisme dalam arti yang luas adalah sebuah kepercayaan mengenai nilai kebebasan individu dengan sedikit campur tangan Negara dalam kehidupan seseorang).
Jika ditelusuri sejarahnya, istilah “liberalisme” berasal dari bahasa Latin “Liber” yang berarti “bebas” atau “merdeka”. Hingga penghujung abad ke-18 Masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa merdeka semenjak lahir ataupun merdeka setelah dibebaskan, yakni mantan budak (freedman). Dari sinilah muncul istilah “liberal arts” yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki oleh setiap manusia merdeka, yaitu aritmetika, geometri, astronomi, dan musik (quadrivium) serta gramatika, logika dan retorika (trivium). Dalam Ensyclopedia Americana dijelaskan bahwa: liberalism in it’s most abstract sense, is a belief in the value of individual liberty with a minimum of state intervention in personal life (liberalisme dalam arti yang luas adalah sebuah kepercayaan mengenai nilai kebebasan individu dengan sedikit campur tangan Negara dalam kehidupan seseorang).
Kemudian dalam Ensiklopedi Indonesia, istilah “liberalisme” berarti suatu pemikiran yang mengharapkan kemajuan dalam berbagai bidang atas dasar kebebasan individu yang dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya sebebas mungkin. Istilah ini baru digunakan pada abad ke-19 dan berasal dari kaum pemberontak Spanyol yang menamakan dirinya “Liberales”. Kendatipun sebenarnya pemikiran liberalisme telah berkembang jauh sebelumnya. Maka dalam pemikiran ini, timbullah istilah leberalisme politik dan liberalisme ekonomi.
Dalam ranah politik, hal ini berdasarkan pada keyakinan bahwa semua sumber kemajuan terletak dalam perkembangan pribadi manusia yang bebas, dimana aliran ini memperjuangkan kedaulatan rakyat dan kebebasan individu terhadap berbagai bentuk kekuasaan mutlak. Sedangkan dalam ranah ekonomi, hal ini berdasarkan bahwa kemakmuran orang perorangan dan masyarakat seluruhnya diusahakan dengan memberi kesempatan untuk megejar kepentingan masing-masing dengan sebebas-bebasnya. Sementara dalam ranah sosial, leberalisme berarti emansipasi wanita, penyetaraan gender, pupus kontrol sosial terhadap individu, dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan. Kemudian dalam ranah agama, leberalisme berarti kebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja sesuai dengan kehendak dan selera masing-masing. Bahkan jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya konsep amar ma’ruf dan nahi mungkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat libealisme.
Dalam memaknai istilah Islam Liberal, para pemikir baik dari kalangan yang pro, maupun yang kontra kepada Islam Liberal, ataupun para ahli Islam (pemikir barat yang menguasai Islam), term Islam Liberal melahirkan makna yang berbeda-beda. Charles Kurzman misalnya, dalam bukunya Islam Liberal A Source Book yang membagi makna liberal kedalam lima bentuk, yaiut pertama, para penulis dalam bunga rampai ini tidak menganggap mereka sebagai kaum liberal; kedua, para penulis mungkin tidak mendukung seluruhnya idiologi liberal, sekalipun mereka menganut beberapa di antaranya, ketiga, bahwa istilah “liberal” mengandung konotasi negative bagi sebagia dunia Islam karna makna itu diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas, kemunafikan yang mendewakan kebenaran, serta permusuhan kepada Islam; keempat, konsep Islam Liberal harus dilihat sebagai sebuah alat bantu analisis, bukan kategori mutlak; kelima, saya tidak membuat klaim apapun mengenai kebenaran “kebenaran” interpretasi Liberal terhadap Islam.
William Montogomery Watt dalam bukunya Islamic Fundamentalis and modernity mengatakan bahwa istilah “liberal” yang ia gunakan dalam bukunya tersebut adalah untuk menunjukkan orang-orang Islam yang banyak memahami sudut pandang Barat dan memandang bahwa kritikan-kritikan terhadap Islam, baik implisit atau eksplisit, sebagiannya memang dapat dibenarkan. Akan tetapi pada waktu yang sama, merekapun mengaku sebagai Muslim dan ingin hidup sebagai Muslim.
Majelis ulama Indonesia (MUI) dalam Munas ke-7 di Jakarta pada 2005 mengeluarkan fatwa haram liberalisme, sekularisme, dan pluralisme. Liberalisme menurut fatwa MUI adalah paham yang memahami nash-nash agama (Al-Quran dan As-Sunnah) menggunakan akal fikiran yang bebas; hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal fikiran semata.
Kemudian makna Islam Liberal dari kalangan liberal itu sendiri, sebagaimana yang diambil dari website Jaringan Islam Liberal (JIL) www.Islamlib.com menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan, yaitu: a). Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. b). Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks. c). Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. d). Memihak pada yang minoritas dan tertindas. e). Meyakini kebebasan beragama. f). Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Nama “Islam liberal” menggambarkan prinsip-prinsip yang mereka (kaum liberal) anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. Dimana “Liberal” tersebut menurut mereka mempunyai dua makna yaitu “kebebasan” dan “pembebasan”. Menurut mereka (JIL) bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Dan memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu “liberal”. Untuk mewujudkan Islam Liberal, dibentuk Jaringan Islam Liberal (JIL).
Nampaknya dalam memberikan pengertian Islam Liberal yang agak luas adalah makna yang diberikan oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dirincikannya dalam lima poin sebgaimana yang tertera di atas.
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Islam Liberal adalah sebuah paham di dalam Islam yang medekonstruksi dan menginterpretasi syari’ah dengan sebebas-bebasnya dan mengedepankan akal dengan metode hermeunatika. Dimana menurut Syamsyuddin Arif faham ini mencakup tiga hal, yaitu: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas (free thinking). Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran. Dan ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free axircise of religion).
Berkaitan dengan metodologi berfikir Islam Liberal, tampaknya mereka adalah kelompok yang berusaha melakukan interpretasi baru atas doktrin agama (Islam) al-Qur’an dan al-Sunnah/al-Hadis, interpretasi atas sejarah sosial dan kontek sosial masyarakat Islam berdasarkan ilmu bahasa, kritik sejarah dan ilmu-ilmu sosial. Kemudian, wacana atas penamaan Islam Liberal adalah sebuah istilah yang diadopsi dari kategorisasi pengamat dan penulis asing, yaitu Leonard Binder dan Charles Kurzman. Leonard Binder hadir dengan
bukunya Islamic Liberal, ia mengukakan pandangan-pandangan teologis Ali Abdul Raziq, seorang intelektual Mesir yang ditolak pemikirannya berkaitan dengan perlunya pemisahan yang tegas antara agama dan Negara. Sementara Charlez Kurzman hadir dengan bukunya Liberal Islam: A Source Book yang memberikan ketegori tentang Islam Liberal yang terdiri dari tiga tingkatan yang disebut dengan liberal shari’ah, silent shari’ah dan interpreted shari’ah. Dengan berpijak pada pendapat Binder dan Kurzman tersebut, kemudian belakangan dikuatkan oleh intelektual-intelektual progressif semacam Farid Esack, Abdul Aziz Sahedina dan An-Naim.
bukunya Islamic Liberal, ia mengukakan pandangan-pandangan teologis Ali Abdul Raziq, seorang intelektual Mesir yang ditolak pemikirannya berkaitan dengan perlunya pemisahan yang tegas antara agama dan Negara. Sementara Charlez Kurzman hadir dengan bukunya Liberal Islam: A Source Book yang memberikan ketegori tentang Islam Liberal yang terdiri dari tiga tingkatan yang disebut dengan liberal shari’ah, silent shari’ah dan interpreted shari’ah. Dengan berpijak pada pendapat Binder dan Kurzman tersebut, kemudian belakangan dikuatkan oleh intelektual-intelektual progressif semacam Farid Esack, Abdul Aziz Sahedina dan An-Naim.
B. Sejarah Islam Liberal
Dalam menguraikan sejarah Islam Liberal, penulis mengkategorikan menjadi tiga masalah dalam bidang ini, yaitu: Liberalisme Barat, Liberalisme Di Dunia Islam, dan Liberalisme Di Indonesia.
a) Liberalisme Barat
Pada awalnya, liberalisme berkembang di kalangan protestan saja. Namun belakangan wabah liberalisme menyebar di kalangan katolik juga. Tokoh-tokoh Kristen liberal semacam Benjamin Constant, dimana ia menginginkan agar pola hubungan antara institusi gereja, pemerintah dan masyarakat ditinjau ulang dan diatur lagi. Mereka juga menuntut reformasi terhadap doktrin-doktrin dan disiplin yang dibuat oleh pihak gereja Katolik di roma agar disesuaikan dengan sengat zaman yang sedang dan terus berubah, agar sejalan dengan prinsip-prinsip liberal dan tidak bertentangan dengan sains yang meskipun anti Tuhan namun dianggap benar.
Gugatan awal dilakukan oleh Protestanisme terhadap Katolikisme, protestanisme menganggap bahwa kepercayaan-kepercayaan teoritis dan moralitas praktis selalu dikontrol oleh gereja katolik – apa yang benar dan baik ditetapkan bukan oleh akal semata, tetapi oleh kebijaksaan kolektif dewan-dewan gereja, sementara protestanisme menginginkan penentuannya dikembalikan ke indivudu sehingga membuat mereka melakukan protes sebagaimana yang mereka ungkapkan: “dewan-dewan umum (gereja) boleh saja salah, penentuan kebenaran tidak lagi menjadi kegiatan sosial, melainkan individual, karena individu-individu yang berbeda akan membuat kesimpulan yang berbeda pula, akibatnya timbullah perselisihan dan keputusan-keputusan teologis dibuat bukan lagi dalam pertemuan uskup-uskup, tapi di medan peperangan”. Inilah liberalisme awal pada tubuh Kristen.
Secara umum yang dikehendaki ialah kebebasan bagi siapa saja untuk menafsirkan ajaran agama dan kitab sucinya, ketidak terikatan dengan aturan maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan pihak Gereja, pengakuan otoritas pemerintah vis a vis otoritas Gereja dan penghapusan sistem kependetaan (clericalism). Inilah yang kemudian dikembangkan oleh Paus Pius IX, Leo XIII dan Pius X. kecenderungan yang seperti inilah yang mereka sebut dengan “modernisme”.
Perkembangan liberalisasi dalam agama Kristen juga sudah sangat jauh. Bahkan, agama Kristen bisa dikatakan sebagai salah satu “korban” liberalisasi dari peradaban Barat. Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313 M, Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (edik) yang isinya memberi kebebasan warga Romawi untuk memeluk agama Kristen. Bahkan, pada tahun 380 M, Kristen dijadikan sebagai agama Negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut Edik Theodosius, semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang. Dengan berbagai keistimewaan yang dinikmatinya, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, hingga kini jumlah pemeluknya mencapai sekitar 1,9 milyar jiwa, meskipun terbagi ke dalam sejumlah agama (Katolik, Protestan, Orthodoks).
Di benua Amerika telah lama berkembang pemikiran keagamaan yang mengarah pada rekontektualisasi doktrin agama, pikiran tentang antar agama, dialog intrareligius dan dialog praksis. Sementara di Eropa telah pula berkembang pemikiran keagamaan yang sangat radikal, yakni pikiran tentang perlunya reaktualisasi pemikiran keagamaan khususnya dikalangan Katolik dan Protestan.
Barat sejak abad ke-17 dan bahkan sebelum itu ketika Renaisans, telah mengarah pada sekularisasi dan pemisahan agama dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, ada sejumlah orang Barat yang secara praktis tidak lagi menganut Kristen atau agama Yahudi. Kristen sebagai agama yang dimonan di Barat, sejak kebangkitan peradaban Barat Yunani dan Romawi, tetapi secara esensial merupakan peradaban yang diciptakan ketika agama Kristen ke kerajaan Roma, setelah kerejaan tersebut melemah dan mengalami kehancuran bertahap, dan juga masyarakat Jerman dan Celtik di Eropa Utara.
Pada abad ke-19, sekularisasi masuk kewilayah teologi, secara alamiyah bersatu dengan kerangka Agama dan kemudian jatuh kebawah kekuasaan “sekularisme”. Sehingga idiologi agnostik dan ateistik mulai mengancam teologi itu sendiri, sementara teologi tadisional (ortodok) mulai mundur dari wilayah pemikiran agama yang murni. Kemunduran teolgi Kristen inilah akhirnya jatuh pada tingkat yang belum pernah terjadi, yaitu kemunduran agama di Barat dari kehidupan sehari-hari. Inipun masih terus terjadi hingga abad ke-20 ketika sebagian teologi tersebut secara berangsur-angsur (gradually) mengalami proses sekularisasi. Dan selama beberapa dekade terakhir, lahir pula gerakan-gerakan “kematian Tuhan”, Teilhardisme, pembebasan teologi dan segala macamnya yang memperkenalkan berbagai bentuk sekularisme, termasuk juga teori evolusi dan Marxism ke dalam tubuh teologi Kristen.
Saat ini, peran agama di Barat sangat berbeda dibandingkan dengan dunia Islam. Barat mengklaim dirinya sekuler dan memberlakukan hukum yang bukan dari agama, tetapi pemungutan suara setidaknya di Negara-Negara demokrasi. Beberapa Negara seperti Amerika Serikat sangat menekan pemisahan antara gereja dan Negara. Sementara di Negara lain seperti Inggris, yang pemerintahan negaranya juga memimpin gereja atau Swedia, di mana penguasaan agamanya oleh kaum Protestantisme Luther, sehingga hukum mereka tidak berdasarkan agama dan hal yang sama juga terjadi pada aspek sosial. Ini terjadi karena kejatuhan berbagai idiologi di Barat dan pemujaan terhadap akal (free thinking) tanpa batas yang mempengaruhi pemikiran Eropa abad ke-18 dan 19 hingga hari yang berdampak pada pemeninggiran peran agama dalam kehdupan sehara-hari. Maka, tidaklah mengherankan kalau Barat memberikan kebebasan individu, meskipun hal itu berseberangan dengan nilai-nilai agama mereka seperti sek bebas (free sex), alkohol, pengumbaran aurat dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, pada 2 November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual. Peristiwa ini adalah yang pertama kali dalam sejarah Kristen, yang kali ini terjadi dalam lingkungan gereja Anglikan. Tentunya, pelantikan ini memancing pro dan kontra secara lebih luas .
Selain Kristen, Agama Yahudi juga telah mengalami liberalisasi, sehingga saat ini, “Liberal Judaism” (Yahudi Liberal) secara resmi masuk dalam salah satu aliran dalam agama Yahudi. Dalam situsnya, www.ulps.org, kaum Yahudi Liberal menjelaskan, bahwa Yahudi Liberal (Liberal Judaism) mulai muncul pada abad ke-19, sebagai satu upaya untuk menyesuaikan dasar-dasar ajaran agama Yahudi dengan nilai-nilai zaman pencerahan Eropa (Enlightenment) tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Kaum Yahudi liberal berharap mereka dapat menyesuaikan agama mereka dengan masyarakat modern. Kaum Yahudi liberal juga percaya bahwa Kitab-kitab Yahudi (Hebrew Scriptures) – termasuk Taurat – adalah upaya manusia untuk memahami Kehendak Tuhan, dan karena itu, mereka menggunakan Kitab-kitab itu sebagai titik awal dalam pengambilan keputusan. Mereka pun sadar akan kemungkinan kesalahan Kitab mereka dan menghargai nilai-nilai pengetahuan di luar Kitab agama mereka. (Liberal Judaism believes that the Hebrew Scriptures including the Torah are a human attempt to understand the Divine Will, and therefore uses Scripture as the starting point for Jewish decision making, conscious of the fallibility of scripture and of the value of knowledge outside of Scripture).
b) Liberalisme Di Dunia Islam
Seperti Barat, dunia Islampun beberapa dekade terakhir ini juga sibuk dengan isu-isu Liberalisme. Tak kalah ketinggalan, sebagaimana yang pernah terjadi di Barat, kalangan Kristen meliberalkan agama mereka, begitu juga Islam. Ide-ide liberalisasi agama telah masuk ke kalangan cendikiawan Muslim, kebanyakan mereka adalah alumni-alumnni Barat. Tercatat antara lain: Rif’ah at-Tahtawi (1888-1966) yang sempat menggegerkan Mesir pada waktu itu tentang idenya yang membolehan dansa antara laki-laki dan perempaun yang bukan muhrim, sehingga menuai berbagai tanggapan dan bantahan terhadapnya. Qasim Amin (1863-1908) yang banyak kalangan menamakan sebagai bapak “feminisme” Arab. Dan Ali Abdur Razik (1888-1966) yang sempat menggegerkan Mesir dengan hadirnya buku karangannya al-Islam Wa Ushul al-Ahkam yang mengatakan bahwa Khilafah dalam Islam tidaklah ada,
Pada abad ke-20 muncul pula Fazlur Rahman dari Pakistan dengan pemikiran Neo-Modernisme Islam yang tertuang dalam karyanya Islam and Modernity Chocago 1980, Islam, 1984, dan Pintu Ijtihad 1988, ia diusir dari Pakistan karena dianggap terlalu mebahayakan Islam hingga ia menetap di Amerika dan mengajar di Chicago University. Hasan Hanafi dari Mesir yang dikenal dengan kiri islam-nya yang tertuang dalam al-Yasar al Islami (kiri Islam) yang menghebohkan secara teoritis, dan ia diusir dari Mesir dan menetap di Serbonne University. Mohammed Arkoun dari al-Jazair dengan pemikiran Re-Thinking Islam, Serta Nalar Islam Modern yang merupakan gagasan atas pertanyaan pada Islam dan segala aspek historisnya dan juga hijrah dari maroko ke Serbonne University.
Pada abad ke-20 muncul pula Fazlur Rahman dari Pakistan dengan pemikiran Neo-Modernisme Islam yang tertuang dalam karyanya Islam and Modernity Chocago 1980, Islam, 1984, dan Pintu Ijtihad 1988, ia diusir dari Pakistan karena dianggap terlalu mebahayakan Islam hingga ia menetap di Amerika dan mengajar di Chicago University. Hasan Hanafi dari Mesir yang dikenal dengan kiri islam-nya yang tertuang dalam al-Yasar al Islami (kiri Islam) yang menghebohkan secara teoritis, dan ia diusir dari Mesir dan menetap di Serbonne University. Mohammed Arkoun dari al-Jazair dengan pemikiran Re-Thinking Islam, Serta Nalar Islam Modern yang merupakan gagasan atas pertanyaan pada Islam dan segala aspek historisnya dan juga hijrah dari maroko ke Serbonne University.
Kemudian ada lagi intelektual Islam yang juga diusir dari negerinya, Mesir dan lari ke belanda (Leiden University), Nashr Hamid Abu Zayd. Dimana ia melakukan kritik yang sangat tajam terhadap doktrin suci al-Qur’an dalam hal cara membaca dan menginterpretasikannya yang berujung pada keotentikan al-Qur’an dalam karya mementalnya Mafhum an-Nash Dirasah fi Ilmi al-Qur’an yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Tektualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulum al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS, 2001. Ia dihukum murtad oleh Mahkamah al-Isti’naf, Cairo, sementara Majelis Ulama al-Azhar meminta pemerintah turun tangan untuk memintanya bertobat - dan jikalau tidak mau - maka harus dihukum mati, atas dasar itulah ia hijrah dari mesir ke Belanda. Ada lagi Abdullah Ahmed Naim dari Sudan yang gencar mengkritik metodologi pemahaman terhadap al-Qur’an tentang kandungan hukum yang terdapat di dalamnya, seperti soal posisi perempuan, posisi minoritas dalam agama dan etnis, posisi Negara Islam, serta posisi ulama dalam Islam. Muhammad Abid al-Jabiri dari Maroko yang akhirnya harus berhadapan dengan ulama Maroko karena perbedaan pandangan dan pikiran yang sangat tajam dan pikirannya dianggap membahayakan di negerinya sendiri.
Selain Abid al-Jabari, pemikir Muslim yang bisa dikatakan sangat “liberal” jalan pikirannya adalah Khaled Aboue Fadl intelektual asal Kuwait. Seorang ahli hukum Islam lususan Yalle University, sekarang mengajar di Universitas Amerika. Pekirannya sangat kritis, tajam sekalipun seringkali disampaikan dengan cara yang datar, tapi dikemas dengan bobot akademik. Belakang, Khaled menjadi salah satu pemikir Islam mutakhir di Indonesia. Bukunya banyak diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, dan bebearapa kali datang ke Indonesia untuk memberikan ceramah di UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, Lakpesdam NU, al-Maun Foundation, ICIP, Muhammadiyah, NU dll.
Hadirnya liberalisme ke dunia Islam tidak terlepas dari pengaruh dalam maupun pengaruh dari luar umat Islam itu sendiri. Dari dalam, banyak kalangan pemikir yang melihat kejumudan di dunia Islam yang berkibat kemunduran umat Islam itu sendiri, sehingga pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum warisan abad klasik harus direformasi dan didekonstruksi, al-Qur’an yang dianggap otentik selama ini oleh umat Islam perlu ditelaah kembali, dll. Kemudian faktor dari luar, ini tidak terlepas dari perkembangan ilmu sosial dan hegemoni dan imperialis barat dan orientalis terhadap negeri Muslim dan pemikiran cendikian Muslim, dimana Barat telah dahulu melakukan liberalisasi kemudian yang memisahkan otoritas keagamaan dengan keduniaan dan berfikir sebebas-bebasnya, begitu juga pengaruh kajian orientalis tehdap Islam. Imbasnya, ketika liberalisme masuk ke ranah agama, secara otomatis akan mengkorek-korek pemahaman lama, dan ini terbukti dengan Barat/Eropa. Kebanyakan pemikir Muslim yang berobah menjadi liberal adalah mereka yang alumni-alumni Barat. beberapa contoh yang disebutkan di atas, kesemua mereka adalah alumni didikan atau menimba ilmu ke Barat, terlebih-lebih lagi mereka yang belajar Islamic Studies di Universitas barat.
c) Liberalisme Di Indonesia
Paham liberalisme masuk ke Indonesia tidak terlepas dari corak-corak pemikiran keagamaan dari benua benua Eropa, Amerika dan Timur Tengah. Ini terlihat dari geliat-geliat para pengusung yang kebanyakan mereka alumni Barat dan referensi atau literature yang banyak dipakai berasal dari cendikiawan-cendikiawan Muslim seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Arkoun, dll. Ataupun karangan-karangan orang Barat yang ahli Islam seperti Charlez Khurzman, Leonardo Binder, Greg Barton, dll. Selain itu, tampaknya pemikiran keagamaan juga terpengaruh oleh perkembangan ilmu-ilmu modern yang terus berkembang seperti sosiologi, antropologi, ilmu bahasa, hermeneutika, semiotika dan ekonomi. Dimana dalam ilmu-ilmu sosial modern tersebut berkembang pemikiran Neo-Marxis, Neo-Liberalis, Neo-Sosialis, Neo-Modernis dan Post-Modernis, di samping pemikiran tentang devlomentalisme dan independency theory. Dari sinilah kemudian turut memengaruhi pola pemikiran keagaan yang ada di dunia, sekaligus Indonesia, yang pernah menganut developmentalism. Selain itu, banyak kalangan yang mencurigai atau sudah pada taraf justifikasi mengatakan bahwa hadirnya pemikiran libeal di dunia Islam dan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh orientalis dan hegemoni barat terhadap dunia Islam. Secara ilmiyah, sudah banyak buku yang membahas dan mengungkap masalah ini, seperti buku Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal yang ditulis oleh Adnin Armas yang secara khusus menyoroti masalah sekularisme, kajian orientalis dan al-Qur’an dan evolusi agama yang kemudian terbukti telah mempengaruhi pemikiran cendikiawan Muslim. Kemudian buku Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi oleh Adian Husaini yang secaru khusus menyoroti bagaimana hegemoni Kristen-Barat diperguruan tinggi terutama perguruan tinggi Islam terutama pengaruh penggunaan tafsir hermeunatik dalam kajian agama. Buku Orientalis dan Diabolisme Pemikiran yang ditulis oleh Syamsuddin Arif yang secara khusus menyoroti masalah kajian orientalis terhadap Islam dan pengaruhnya terhadap pemikir-pemikir Islam itu sendiri. Dan terhadap Diabolisme Pemikiran (pemikiran iblis, maksudnya pemikiran-pemikiran yang nyeleneh dalam dunia Islam). Ada lagi buku Membendung Liberalisme yang ditulis oleh Huzaimah Tahido Yanggo ‘dkk’, secara khusus menyoroti buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, yang dicurigai mendapat dana dari Asia Foundation. Dan banyak lagi yang penulis tidak bisa sebutkan di sini.
Liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an, dilakukan melalui tiga bidang penting dalam ajaran Islam, yaitu (1) liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham Pluralisme Agama, (2) liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Quran.
Greg Barton dalam disertasinya di Monash University, Australia, memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. Dan di sini ia menempat empat orang sebagai pionir Islam Liberal di Indonesia, mereka adalah: Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib.
Greg Barton dalam disertasinya di Monash University, Australia, memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. Dan di sini ia menempat empat orang sebagai pionir Islam Liberal di Indonesia, mereka adalah: Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib.
Gerekan pemikiran ini sudah begitu dominan pada era 70-han, salah satunya adalah gerakan intelektual ala Fazlur Rahman dengan Neo-Modernismenya, yang kemudian dikembangkan pertama kali oleh Nurcholis Madjid dengan istilah “Pembaharuan Pemikiran Islam”. dan dikemudian hari, gerakan Neo-Modernisme ini berubah menjadi Liberalisme.
Gerakan pemikiran Islam Liberal di Indonesia, yang merupakan kelanjutan dari sosialisasi dari pemikiran Islam era-era sebelumnya, di mana mereka berlatar belakang HMI, NU, Paramadina, dan NGO lain. Seperti nama-nama yang muncul belakangan ini, Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Budi Munawar Rahman (Paramadina), Nasaruddin Umar (Rahima), Rizal Malarangeng (Freedom Institue), Saiful Muzani( Ohio University), Ihsan Ali Fauzi (Jerman), dan Deny JA (Ohio University), yang merupakan tokoh-tokoh sentral penggagas kajian JIL (Jaringan Islam libeal) ISAI (Institut Studi Arus Informasi) KUK (Kajian Utan Kayu). Kemudian ada lagi Musdah Mulia (UIN Jakarta).
Munculnya geliat Islam Liberal di Indonesia beberapa dekade ini, banyak kalangan yang “shock” atas geliat mereka, terutama dari kalangan konvesional. Betapa tidak, mereka tidak segan-segan dan mengkritik agamanya sendiri, kritik terus mengalir, akan tetapi gerakan sosialisasi wacana terus digulirkan. Pada era 70-han, tampil Nurcholis Madjid dengan gagasan “Keharusan Pembaharuan Dalam Pemikiran Islam Modernis di Indonesia” yang mengupas secara jelas tentang ‘sekularisasi’, ‘desaklarisasi’, ‘liberalism’, dan ‘sosialisme’. Lebih kurang 20 tahun setelah Nurcholis Madjid, hadir pula Ulil Abshar Abdalla tokoh muda NU pada 2002 lalu dengan gagasan “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” yang ia tulis di Harian Kompas, senin 18 Novenber 2002, di mana sebelumnya gagasan ini telah ia sampaikan dalam dialog Ramadhan di Masjid kampus UGM Yogyakarta. Gara-gara gagasan tersebut pula, Forum Ulama Islam Indonesia (FUII) yang di ketuai oleh Athian Ali mengelaurkan Fatwa mati untuk Ulil karena tulisannya yang menghinakan agama. Masih pada tahun yang sama, 2004, hadir pula Fikih Lintas Agama oleh Nurcholis Madjid ‘dkk’ dengan gagasan inklusif, pluralisme agama, dekontruksi hukum Islam dan hubungan antara agama, yang ini juga menjadi isu besar dan banyak kalangan yang shock dengan geliat ini. Pada tahun yang sama juga, hadir pula Siti Musdah Mulia ‘dkk’ dengan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI), di-launching pada tanggal 4 Oktober 2004 di Hotel Aryaduta. Hadirnya buku ini bertujuan untuk merifisi Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menurut mereka KHI tersbut tidak relevan lagi dengan waktunya. Masih dengan tokoh yang sama, Siti Musdah Mulia, pada 2006 hadir dengan gagasan Membolehkan pernikahan sejenis, dan banyak lagi gagasan dan geliat kalangan Islam Liberal yang banyak menuai kritikan. Lantaran itu pulalah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada waktu Musyawarah Nasional (MUNAS) ke-7 di Jakarta 2005 lalu mengeluarkan fatwa haram leberalisme, sekularisme dan pluralisme.
Munculnya geliat Islam Liberal di Indonesia beberapa dekade ini, banyak kalangan yang “shock” atas geliat mereka, terutama dari kalangan konvesional. Betapa tidak, mereka tidak segan-segan dan mengkritik agamanya sendiri, kritik terus mengalir, akan tetapi gerakan sosialisasi wacana terus digulirkan. Pada era 70-han, tampil Nurcholis Madjid dengan gagasan “Keharusan Pembaharuan Dalam Pemikiran Islam Modernis di Indonesia” yang mengupas secara jelas tentang ‘sekularisasi’, ‘desaklarisasi’, ‘liberalism’, dan ‘sosialisme’. Lebih kurang 20 tahun setelah Nurcholis Madjid, hadir pula Ulil Abshar Abdalla tokoh muda NU pada 2002 lalu dengan gagasan “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” yang ia tulis di Harian Kompas, senin 18 Novenber 2002, di mana sebelumnya gagasan ini telah ia sampaikan dalam dialog Ramadhan di Masjid kampus UGM Yogyakarta. Gara-gara gagasan tersebut pula, Forum Ulama Islam Indonesia (FUII) yang di ketuai oleh Athian Ali mengelaurkan Fatwa mati untuk Ulil karena tulisannya yang menghinakan agama. Masih pada tahun yang sama, 2004, hadir pula Fikih Lintas Agama oleh Nurcholis Madjid ‘dkk’ dengan gagasan inklusif, pluralisme agama, dekontruksi hukum Islam dan hubungan antara agama, yang ini juga menjadi isu besar dan banyak kalangan yang shock dengan geliat ini. Pada tahun yang sama juga, hadir pula Siti Musdah Mulia ‘dkk’ dengan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI), di-launching pada tanggal 4 Oktober 2004 di Hotel Aryaduta. Hadirnya buku ini bertujuan untuk merifisi Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menurut mereka KHI tersbut tidak relevan lagi dengan waktunya. Masih dengan tokoh yang sama, Siti Musdah Mulia, pada 2006 hadir dengan gagasan Membolehkan pernikahan sejenis, dan banyak lagi gagasan dan geliat kalangan Islam Liberal yang banyak menuai kritikan. Lantaran itu pulalah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada waktu Musyawarah Nasional (MUNAS) ke-7 di Jakarta 2005 lalu mengeluarkan fatwa haram leberalisme, sekularisme dan pluralisme.
Islam Liberal kian hari kian berkembang di Indonesia. Pada 8 Maret 2001 lalu, dideklarasikan pula berdirinya Jaringan Islam Liberal yang disingkat dengan JIL. Pada mulanya JIL hanya kelompok diskusi yang merespon fenomena-fenomena sosial keagamaan, kemudian berkembang menjadi kelompok diskusi yang merespon (Mills) Islam Liberal (istamliberal(4~yahoogroups.com). Kelompok ini terus mendiskusikan berbagai hal mengenai Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Kelompok diskusi ini diikuti oleh lebih dari 200 anggota, termasuk para penulis, intelektual, dan pengamat politik seperti Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saifulloh Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Mujani, Hamid Basyaib, dan Ade Armando.
Nama "Islam Liberal" menggambarkan prinsip-prinsip yang dianut oleh JIL, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi clan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. "Liberal" di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Mereka percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara bebeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Kelompok ini memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu "Liberal". Untuk mewujudkan Islam Liberal, kelompok diskusi tadi membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL).
Tapi menurut hemat penulis, JIL tidak hanya terbatas pada mereka yang ikut dalam deklarasi di atas, akan tetapi semua pihak yang secara langsung atau tidak, terlibat dalam pengembangan pemikiran atau ide-ide yang digulirkan kelompok ini. Dengan demikian maka mencakup intelektual, penulis dan akademis dalam dan luar negeri yang bekerja sama mengambangkan ide-ide JIL.
Kelahiran JIL dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap kelompok Islam fundamentalis yang diangap selalu memonopoli kebenaran dan memaksakan mereka dengan cara-cara, yang justru tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu untuk menghambat atau mengimbangi gerakan Islam militan atau fundamentalis ini kalangan liberal mendeklarasikan sebuah jaringan. Dalam "deklarasi" pendiriannya disebutkan "kekhawatiran akan kebangkitan ekstrimisme dan fundamentalisme agama yang sempat membuat banyak orang khawatir akhir-akhir ini.
JIL juga bermaksud mengimbangi pemikiran kelompok yang bermaksud menerapkan syariat Islam secara formal di Indonesia. Pertama, memperkokoh inklusivisme, dan humanisme. Kedua, membangun kehidupan keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan, Ketiga, mendukung dan menyebarkan gagasan keagamaan (utamanya Islam), yang pluralis, terbuka, dan humanis. Keempat, mencegah pandangan-pandangan keagamaan yang mulitan dan pro-kekerasan tidal menguasai publik.
Landasan penafsiran yang dikembangkan oleh JIL adalah (1) membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam (2) Mengutamakan semangat religion etik, bukan makna liberal teks. (3) Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan floral (4) Memihak pada yang minoritas dan tertindas (5) Menyakini kebebasan beragama (6) Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Dari enam poin ini, sebenarnya tidak ada satupun yang "baru" dari pemikiran jaringan ini. Karena, pada umumnya pernah dicuatkan oleh kaum intelektual, baik Muslim maupun non-Muslim dalam kazanah pemikiran keislaman pada zaman dahulu.
Sedangkan misi JIL secara garis besar ada tiga misi utama. Pertama mengembangkan penafsiran Islam yang liberal yang sesuai dengan prinsip yang mereka anut, Berusaha menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak. Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari konservatisme. Mereka yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi. Ditempat lain, Ulil menyebutkan ada tiga kaidah yang hendak dilakukan oleh JIL yaitu: Pertama, membuka ruang diskusi, meningkatkan daya kritis masyarakat dan memberikan alternatif pandangan yang berbeda. Kedua, ingin merangsang penerbitan buku dan riset-riset. Ketiga, dalam jangka panjang ingin membangun semacam lembaga pendidikan yang sesuai dengan visi JIL mengenai Islam.
JIL dalam mensosialisasikan dan menyebarkan pemikiran mereka., JIL mempuyai jaringan diseluruh nusantara dengan media koran (radar) Jawa Pos setiap minggu, Talk Show radio 48 H yang disiarkan diseluruh jaringan Islam Liberal, Milist ISLIB, dan diskusi-diskusi rutin di TUK-ISAI Jakarta yang senantiasa membahas terraterra penting clan berbobot oieh intelektual muds JIL atau intelektual maraca negara yang kebetulan datang ke Indonesia. Selain itu JIL juga menerbitkan bukubuku yang memuat pikiran-pikiran Negara dari kelompok ini. Wajah Islam Liberal di Indonesia, 2002 (Asyaukanie, penyunting) adalah buku yang sangat jelas bertujuan mensosialisasikan pikiran-pikiran JIL di Indonesia, di samping buku kekerasan: Agama tanpa Agama, 2002, (Thomas Santoro, ed) yang diterbitkan oleh pustaka Utan Kayu.
Selain JIL, tentunya juga ada beberapa lembaga, LSM lain yang tak kalah penting dalam pengembangan Islam Liberal di Indoensia, seperti Paramadina.yang didirikan oleh Nurcholis Madjid pada 1995, Wahid Institute, Rahima dan Lakpesdam NU yang belakangan juga banyak tokoh yang hadir dari sini.
C. Tema-Tema Islam Liberal
Diskursus yang dikembangkan oleh Islam Libeal, yang bergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Islam Liberal bukan hanya JIL, tapi JIL adalah bagian dari salah satu komonitas Islam Liberal yang ada di Indonesia. Tema-tema seperti Domokrasi, HAM, kebebasan beragama, pluralisme, sekularisme, relativisme, emansipasi wanita, hubungan antar agama, serta Islam Idiologi modern dan berbagai tema lainnya yang menjadikan discourse yang mereka minati.
Pilihan tema-tema tersebut menempatkan Islam Liberal sebagai komonitas yang agak lain dari kebiasaan Islam di Indonesia maupun luar Indonesia. Semangat ijtihad dengan liberal mengenai semua dimensi Islam, mengantarkan mereka melakukan kritik, baik terhadap diri sendiri, orang lain, terlebih-lebih dalam dimensi Islam. Makanya, tidaklah mengheranakan jika ijtihad dalam semua dimensi Islam jika masuk keranah yang selama ini dianggap untouchtable menjadikan hal tersebut touchtable. Seperti al-Qur’an yang selama ini banyak kalangan menganggap otentik, maka ijtihad yang mereka kembangkan berujung pada pertanyaan keotentikan ar-Qur’an, seperti yang kasus Nasr Hamidm Abu Zaid dan untuk kontek Indonesia yang mempermasalahkan hal ini, seperti Taufik Adnan Amal dengan bukunya al-Qur’an Edisi Kritis.. Begitu juga kritik terhadap hadis, apakah itu terhadap sanad ataupun matannya, seperti yang pernah dikembangkan Abu Rayyah di Mesir. Contoh lain masalah hijab, kalangan konvensional memahami wajib bagi wanita menutup seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan, dan ada juga yang menambahkan batasnya tumit kaki seperti pendapat Abu Hanifah. Namun kalangan liberal berpendapat dalam hal ini, wanita boleh tidak menggunakan kerudung karena rambut bukanlah aurat.
kemudian. tema-tema yang mereka menculkan, kesan Islam Liberal menjadi tema-tema yang eksklusif. Dalam artian terlalu elit untuk kalangan awam, tidak semua kalangan yang bisa masuk ke ranah ini, kecuali mereka-mereka yang telah dibekali Ilmu khusus seperti sosiologi, psikologi, sejarah, ulum al-Qur’an dan hasits dan ulumuddin yang lain. Terlepas, apakah nantinya kalangan awam yang terus-menurus belajar sehingga menguasai ilmu ini, apakah akan pro atau kontra dengan gagasan Islam Liberal.
Sementara kalangan JIL mempunyai agenda yang tidak jauh berbeda dengan kalangan Islam liberal pada umumnya. Dalam sebuah tulisan berjudul "Empat Agenda Islam Yang Membebaskan”. Luthfi Assyaukani, salah seorang penggagas JIL yang juga dosen di Universitas Paramadina Mulya memperkenalkan empat agenda Islam Liberal. Pertama, Agenda politik. Menurutnya urusan Negara adalah murni urusan dunia, sistem kerajaan dan perlementer (demokrasi) sama saja. Kedua, Mengangkat kehidupan antar agama. Menurutnya perlu pencarian teologi pluralisme mengingat semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negeri-negeri Islam. Ketiga, Emansipasi wanita. Agenda ini mengajak kaum Muslim untuk memikirkan kembali beberapa doktrin agama yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. Hal ini karena doktrin-doktrin tersebut dari manapun sumbernya bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mengakui persamaan dan menghormati hak-hak semua jenis kelamin (lihat misalnya Q.S. 33:35, Q.S. 49: 13, Q.S. 4: 1). Keempat, Kebebasan berpendapat (secara mutlak). Agenda ini menjadi penting dalam kehidupan kaum Muslim modem, khususnya ketika persoalan ini berkaitan erat dengan masalah hak asasi manusia (HAM). Islam sudah pasti sangat menghormati hak-hak asasi manusia, dan dengan demikian, juga menghormati kebebasan berpendapat.
D. Penutup
liberalisme sebagai sejarah kelam dalam agama kristen/barat, kristen yang telah mengkorek-korek injilnya, yang berujung pada kehancuran dalam tubuh kristen. satu abad dekade ini telah masuk pula geliat ini dalam tubuh pemikir islam. sebut saja Nasr Hamid Abu Zaid dan beberapa kolega yang kekirian, yang melakukan kritik terhadap kitab sucinya sendiri yang berujung pada ketidak otentikan al-Qur'an derngan mengatakan: "al-Qur'an adalah prodak budaya". pengaruh pemikiran mereka sudah masuk ke ranah pemikiran Indonesia, sebut saja Taufiq Adnan Amal dengan al-Qur'an Edisi Kritisnya yang mempertanyakan keotentikan al-Qur'an, dan banyak lagi tokoh-tokoh yang lain.
selain itu, mereka masuk pula ke ranak ulum al-Hadits, yang berujung pada kritik yang bobrokan terhadap ulum al-hadits yang dicetuskan ulama-ulama terdahulu. pengkajian hadits dengan "scientific reseach method" yang dikembangkan Abu ayyah yang hadir dengan bukunya "Adwa' 'Ala As-Sunnah Al-Muhammadeya",ternyata endingnya habis-habisan menghantam sahabat Abu hurairah, padahal 800 ulama lebih mengakui keadilan beliau.
kemudian geliat Islam Liberal masuk ke ranah syari'ah (meskipun merka tidak belum mampu merumuskan ilmu ushul fiqh) maka di situ mereka memporak-porandakan syari'ah. Musdah Mulia hadir dengan fatwa nyelenehnya mengatakan "lesbian dan homo dibolehkan dalam Islam". dan "counter legal draft kompilasi hukum islam". Ulil hadir dengan "menyegarkan kembali pemahama Islam" dalam Kompas, 18 November 2002: "soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab". dan "Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama". kemudian: "membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi".(bandingkan dengan Ali Abd. Razik dalam al-Islam wa ushul al-Ahkam) selain nama-nama tersebut, tokoh inti, Nurcholis Madjid dengan teori sekularisme, yang ternyata teori tersebut adalah pengembangan teori Harvey Cox dalam "The Secular City".
selain itu, mereka masuk pula ke ranak ulum al-Hadits, yang berujung pada kritik yang bobrokan terhadap ulum al-hadits yang dicetuskan ulama-ulama terdahulu. pengkajian hadits dengan "scientific reseach method" yang dikembangkan Abu ayyah yang hadir dengan bukunya "Adwa' 'Ala As-Sunnah Al-Muhammadeya",ternyata endingnya habis-habisan menghantam sahabat Abu hurairah, padahal 800 ulama lebih mengakui keadilan beliau.
kemudian geliat Islam Liberal masuk ke ranah syari'ah (meskipun merka tidak belum mampu merumuskan ilmu ushul fiqh) maka di situ mereka memporak-porandakan syari'ah. Musdah Mulia hadir dengan fatwa nyelenehnya mengatakan "lesbian dan homo dibolehkan dalam Islam". dan "counter legal draft kompilasi hukum islam". Ulil hadir dengan "menyegarkan kembali pemahama Islam" dalam Kompas, 18 November 2002: "soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab". dan "Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama". kemudian: "membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi".(bandingkan dengan Ali Abd. Razik dalam al-Islam wa ushul al-Ahkam) selain nama-nama tersebut, tokoh inti, Nurcholis Madjid dengan teori sekularisme, yang ternyata teori tersebut adalah pengembangan teori Harvey Cox dalam "The Secular City".
Dari beberapa contoh geliat tersebut, tentunya ada ranah dalam agama yang bisa dimasuki oleh akal manusia dan ada yang tidak. wahyu dan akal tentunya harus berjalan beriringan, jika meliberalkan akal dengan mengesampingkan konsep wahyu, tentunya nalar akan kebabrakan, dan jika mengacu pada wahyu saja, tentunya yang akan timbul adalah sikap beragama yang sempit. Wallahu'alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar