Langit jingga di pagi itu tertunduk malu dengan nyanyian alam yang mengalunkan metamorfana kehidupan. Matahari cerah, mendulang emas dan mutiara dengan gemerlipan cahaya nan menyihirkan mata orang-orang yang bertaqwa, layaknya permadani syurga dan dipan-dipannya yang berbalut emas dan sutera, kolam-kolam susu, dan bidadari bermata sayu. Panorama alam dengan paraduan bulan, kembali pada rotasinya, membuat gemerlipan yang mengindahkan pulau dewata.
Di depan ruangan itu terpajang panduk, “Mubes LDK 2010”. Dalam ruangan itu telah hadir beberapa orang peserta nan ceria, layaknya wajah-wajah perindu syurga. Ya, engkaulah orangnya. Penurus jalan yang mulia. Jalan para Nabi. Jalan orang-orang shaleh sebelummu.
Hari itu hari kedua dari Mubes LDK. Wajah-wajah sayu seperti sore kemarin sudah menghilang, diganti dengan kemilauan matahari dalam suasana di pinggir pantai menjelang waktu-waktu magrib. Oh… indahnya suasana itu. Suasana yang berkemelut dalam ukhuwah. Aku rindu… aku suka… aku cinta… I Love You Full!
Your time is today! Kata orang kumpeh sono. Ya, benar, let’s gone be bygone and future is something does not existence yet.
Ah.. itukan kata orang kumpeh. Bagiku, tidak semuanya bisa diterima, karena itu bukanlah firman Ilahi. Sebagaimana layaknya syair-syair Arab yang tersusun indah dan rapi yang menyihir telinga orang-orang yang mendengarnya, hingga menjadi ungkapan bijak.
Your time is today! Allright! Waktu kita hari adalah membahas AD-ART, GBHO, dan GBHK LDK untuk 2011. Semuanya berisi rancangan LDK 1 tahun kedepan. Masa depan dan gerak langkah LDK, terdapat dalam rembuk ini.
Mekipun tidak semuanya salah, bak kata orang kumpeh tadi, “future is something does not existence yet”. Apa yang dirembukkan hari itu, tidak semuanya bisa berjalan maksimal dan realistis dengan teorinya. Tapi, bukanlah Allah itu mencintai orang-orang yang berjuang di jalannya bershaf-shaf, seolah-olah seperti bangunan yang satu. Layaknya yang termaktub dalam kalam Ilahinya.
Meskipun peta sudah dibuat dan ijtihad sudah maksimal. Belum tentu menghasil buah yang masak. Bagaimana jika tidak ada peta dan ijtihad sama sekali? Hasilnya sesat, kelam, dan tidak terarah.
Feeling, feeling, feeling. Feeling kuatku kemarin berubah menjadi “’ainul yaqin”. Empat orang akhwat yang kemarin, ah… hari ini feeling itu sudah teruji dengan beberapa keberatan yang dilayangkan padaku dalam pesan FB itu. Hehehe.
“akhi… seperinya ukhti itu, dari raut wajahnya ada keberatan dengan tanggapa-tanggapan antum”.
“ah, biarlah. Fokus saja ke sini”
Sayu-sayu aku mendengar bisik seorang teman dengan pemuda kemarin.
“hmm…tanpa ada bisik itupun, aku juga sudah tahu. Barusan tadi tanpa sengaja mataku melihat pemandangan itu”, jerit hatiku.
Maaf, ukhti… bukanku bermaksud membuat aib, karena aku tahu aku banyak beraib. Bukanku bermaksud buta, karena aku bisa melihat. “let’s gone be bygone”. Tapi setidaknya, karena kita orang-orang yang berakal, bisa mengambil ibrah dari tragedy lengsernya Suharto pada tahun 1988. “afala ta’kilun”, kata Allah.
Belajar kepada filsafat sejarah yang dibangun Ibnu Khaldun, di mana setiap tragedi ada hikmahnya. Kita hanya belajar dari tragedi kemarin menuju lebih baik. Barangkali ketika tidak ada saudara kita yang mengingatkan, kita akan selalu berada dalam kejumudan dan, pada akhirnya aib diri kita pun kita tak tahu, bak syair Arab berujar, “’Ainurradhaa ‘An Kulli ‘Aibin Kalilah. Kama Anna ‘Ainassukhti Tubdil Masaawiyaa”.
Aku teringat dengan beberapa foto-fotoku bersama teman-temanku waktu sekolah dulu. “Narsis”, kata anak muda sekarang. Maklum, ABG. Hehehe. Foto-foto itu dikirimkan ke seluruh teman-teman angkatan dan alumni ke via FB. Satu pihak aku merasa malu, tapi di pihak lain. Oh… senangnya. Foto-foto itu mengingatkanku dengan masa laluku. Sedih dan senang dilalui bersama. Berbagai komen dari teman diakun FB. Akhirnya, meskipun kami berpisah jauh, ukhuwah dalam percandaan terajuk.
Wah, sungguh cerdas Ibnu Khaldun dengan teori filsafat sejarahnya yang termaktub dalam bukunya, “Muqaddimah”. Bukunya menginspirasikan lahirnya teori-teori sosiologi moderen. Max Weber, Karl Marl, Emeil Durhaim, dan sederet tokoh-tokoh lainnya, tidak lepas dari pengaruhnya. Sehingga dikenallah Ibnu Khaldun itu sebagai bapak Sosiologi.
Dan sungguh luar biasa, salut, hari ini masih tokoh-tokoh Islam yang mau mengkajinya. Aku menemukan teori itu digunakan Prof. Dr. Said Ramadhan al-Buthi. Tokoh Ikhwanul Muslimin Suria itu dengan gemilangnya menjabarkan filsafat sejarah dalam bukunya, Shirah Nabawiyah. Meskipun usianya tidak muda lagi, tinggal menunggu masanya sajia, aku yakin akan lahir para penggantimu dari umat ini. Hal ini pernah aku lihat ia berpidato dalam Mu'tamar perdamaian antara Islam, Kristen, dan Yahudi melaui stasiun Al-Manar di penghujung 2010 lalu. Dengan gemilangnya ia menjelaskan filsafat sejarah, hubungan Islam, Kristen, dan Yahudi tatkala Rasulullah berada di Madinah.
Tragedi-tragedi yang terjadi pada hari yang lalu adalah sejarah bagi kita. Meminjam filsafat sejarah Ibnu Khaldun, tidak ada yang tak bisa kita ambil hikmah dari hari-hari yang lalu. Kisah-kisah senang dan duka selam di LDK, termasuk juga kisah-kisah kala Mubes itu.
“setiap masa ada pahlawanya”, katanya. Dan, setiap orang banyak bentuk dan ragamnya. Begitulah aku mendapat gugatan sekaligus bernuansa tausiyah dalam pesan FB ku malam itu dari seorang perindu syurga.
Begitu juga denganku, dengan bersyair, aku merasa keindahan dan ketenangan kehidupan. Dengan bercerita, aku mengungkapkan hikmah di balik cerita. Dengan beropini, aku mengasah intelektual berdaya kritis. Yah, itulah manusia, berkarakter yang berbeda. Aku dan anda memang berbeda.
“kelebihan dan kekurangan bisa saling mengisi”, kata perindu syurga itu.
******
Dua malam sudah, aku tidur hanya beberapa jam. Malam pertama, cuma ada waktu rehat sehabis subuh, dan malam kedua tidak lebih dari 2 ½ jam. Badanku terasa lelah, matuku kantuk, lemas, letih lesu sudah pasti. Oh… kalau bukan karena amanah dakwah ini, sungguh, sungguh aku tak sanggup. Imbasnya, janjiku untuk menjemput LPJ Sekum ke rumahnya pagi itu pukul 06.00 pun tak terlaksana. Aku telah berbuat dosa, janji tak terpenuhi, padahal orangnya diamanahkan menunggu-nunggu.
Ah… tidaklah bagus aku mengeluh dan berkata demikian, saudaraku yang lain pasti sama sepertiku. Capek dan letih sudahlah pasti, kantuk dan lapar apa lagi.
Yah, demi menghibur saudara, tiadalah masalah. Rasulullah pun demikian, suatu hari ketika berkumpul dengan para sahabatnya, ia memberikan guyonan ringan kepada mereka yang melahirkan senyum-senyum pecinta syurga.
Dalam kata sambutan penutup dan kata sambutan yang terakhir itu, sedikit aku mencoba mengguyoni wajah-wajah sayu perindu syurga yang penuh keletihan itu. Wajah yang imut-imut itu, seperti tak berdarah. Matanya sayu. Bercik-cercik keringat bernokhtah di mukanya.
“hari saya begitu sedih, sungguh amat sedih”,
Dengan nada yang tegas dan wajah yang serius.
Semua mata tertuju padaku.
Wajah mereka berubah tambah serius.
Aha…
“ini ampuh”, pikirku.
Orang-orang sudah menoton padaku.
Lalu ku sambung kalimat yang terpenggal itu,
“Tatkala pemilihan penjaringan ketua umum barusan, sungguh aku berharap ada di antara kalian yang mencalonkan diriku lagi layaknya satu tahun yang lalu. Sedih… sedih… sedih… sungguh amat sedih. tega nian engkau dengan saudaramu”.
Seluruh wajah yang menoton itu, berubah menjadi senyum dan tersipu ringan, layaknya bidadari bercumbu kasturi. Senyum ahli syurga dengan dipan emasnya. Wajah-wajah imutnya kembali berseri. Bercak-bercak hitam di pipinya, luntur.
“Alhamdulillah”, ucapku dalam hati. Ternyata aku sudah menghadiahi senyum yang tak ternilai yang tak dapat diganti uang. Begitulah sunnah Rasulullah yang dipraktekkankanya.
*****
Tiba-tiba suasana berubah menjadi tegang, tatkala peserta Mubes melihat mendung di siang hari. Lagit cerah menjadi hujan. Gemerlip-gemerlip bintang tak tampak lagi di pipinya. Padahal sebelumnya aku telah menghadiahi bintang untuk mereka. Wajah polos Heri Santoso, Ketua LDK terpilih dalam kata sambutan itu, dilinangi air mata. Suasana menjadi tegang, iba, dan sedih mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut mungil Heri itu sembari menghadiahi hujan. Ah… tak dapat kugambarkan suasana itu.
Mengenang tragedi itu, malam itu selepas mengajari murid-muridku yang lucu, aku hidupkan komputer bututku.
“Heri… untuk mengenang masa-masa itu,
Aku tulis sebuah puisi untukmu”.
Karena aku tahu, mengapa ada hujan di podium itu. Mengapa ada Guntur yang menggetarkan dadamu. Mengapa ada halilintar yang menggoreskan mukamu.
~Tangisan Di Podium~
(Teruntuk saudaraku Heri Santoso: Selamat Mengabdi)
Aku tahu
Aku paham
Aku mengerti
Mengapa hujan di siang hari
Mengapa ada guntur yang,
menyesakkan
Mengapa ada halilintar yang,
menggoreskan
Karena aku telah,
menginjak duri,
menggenggam pedang,
menusuk keris,
menabuhkan gong
karena aku telah,
mencicip garam,
itu asin
mencicip gula,
itu manis
banyak sifat,
kepala pusing
banyak duri,
kaki tertusuk
gunung belum selesai didaki
gunung yang satu telah menanti
laut belum diseberangi
samudera telah menanti
badai belum berhenti
ternado datang lagi
kutilang berkicau, gurudapun diam
harimau mengaum, lorengpun luntur
di tangan itu ada gunung dan,
gua-gua tak bertuan
di tangan itu ada keris,
peninggalan majapahit
di tangan itu ada pedang,
asoka
orang tua itu merintis,
sanubari berkata
emas itu berkilau,
kilauan belaka
tangisan di podium itu,
apakah aku bisa,
merangkul gunung,
mengayun pedang,
menghunus keris
tangisan di podium itu,
kebaktian kepada orang tua
tangisan di podium itu,
jati diri mahasiswa
tenanglah saudaraku
engkau raja
ada panglima yang mengapit
ada keris di pinggang
ada pedang di tangan
ada gong ditabuhkan
ada ilmuwan, berfikir
ada pasukan bala tentera,
pemanah yang,
siap ansemnia
mereka semua menunggu,
edik
yakinlah,
ditanganmu akan lahir,
para panglima
sekiranya,
jembatan putus
panglima itu siap,
mennganti
sekiranya,
engkau haus dan lapar,
yakinlah rakyatmu
tidak tamak
percayalah,
Malikat bertasbih,
orang-orang beriman mendo’akan setip waktu
jalanmu,
jalan orang mulia
jalanmu,
jalan para Nabi
tangisan di podium itu,
air mata syurga
The End....
(Rumah Allah, 1 Februari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar