Oleh: Edi Kurniawan
Eurofia sepak bola Nasional menggugah publik dengan isu, “turunkan Nurdin Halid” oleh ratusan masa demonstran di depan gedung PSSI. “Revolusi Harga Mati”, begitulah spanduk besar terpampang di depan kantor PSSI, Jakarta beberapa hari lalu.
Perseturuan massa ini bukanlah tanpa sebab. Nurdin Halid yang telah memimpin PSSI selama dua periode, jika ditelisik kembali, bukanlah tanpa masalah. Begitu pula kekecewaan publik selama masa kepemimpinan Nurdin Halid yang tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Kemudian ditambah lagi dengan isu tidak lolosnya verifikasi dua lawan politik yang akan melenggang memegang jantung PSSI, yaitu Jenderal TNI George Toisutta dan Arifin Panigoro. Di mana sebelumnya juga PSSI juga berseteru dengan LSI. Kemudian ditambahkan pula dengan pola “politik belah bambu” seorang Nurdin, hingga mengantarkannya menjadi sosok yang penuh kontraversi.
Sosok Kontraversi
Pria kelahiran Makassar ini menjabat sebagai Ketua Umum PSSI sejak tahun 2003, menggantikan Agum Gumelar. Kontroversi dirinya bermula ketika ia terjerat kasus korupsi gula dan beras impor tahun 2004 silam, setahun setelah menjabat sebagai Ketua Umum PSSI.
Pada 13 Agustus 2007, ia dipenjara selama dua tahun akibat tindak pidana korupsi dalam pengadaan minyak goreng.
Berdasarkan standar statuta FIFA, seorang pelaku kriminal tidak boleh menjabat sebagai ketua umum sebuah asosiasi sepak bola nasional. Karena alasan tersebut, Nurdin didesak untuk mundur dari berbagai pihak, termasuk juga Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI) kala itu.
Ketua KONI, dan bahkan FIFA menekan Nurdin untuk mundur. FIFA bahkan mengancam untuk menjatuhkan sanksi kepada PSSI jika tidak diselenggarakan pemilihan ulang ketua umum. Akan tetapi Nurdin bersikeras untuk tidak mundur dari jabatannya sebagai ketua PSSI, dan tetap menjalankan kepemimpinan PSSI dari balik jeruji besi.
Agar tidak melanggar statuta PSSI, statuta mengenai ketua umum pun dirubah. Di mana statuta sebelumnya berbunyi "harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal" (They..., must not have been previously found guilty of a criminal offense....") diubah dengan menghapuskan kata "pernah" (have been previously") sehingga artinya menjadi "harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal" (... must not found guilty of a criminal offense...). dengan itulah ia melanggang kembali menjabat sebagai ketua umum PSSI.
Kemudian, sengketa Nurdin dengan Liga Primer Indonesia pada Oktober 2010 lalu juga menjadi isu hangat. Kompetisi LSI tidak direstui oleh PSSI dan dianggap ilegal. Meski PSSI memaparkan secara panjang lebar alasan mengapa LPI melawan hukum, namun organisasi ini tidak pernah menjelaskan alasan mengapa mereka tidak merestui LPI, kecuali menyebut LPI sebagai "kompetisi ecek-ecek", "tarkam", dan "banci". Padahal, jika berfikir secara logis, semakain banyak liga yang dilakukan, semakin terasah pula kemampuan anak negeri.
Namun, akhirnya PSSI kandas juga, dengan LPI mendapatkan izin dari pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng.
Kekecewaan publik juga meningkat manakala kekalahan Indonesia vs Malaysia pada ajang piala AFF dan Indonesia vs Turkmenistan beberapa hari lalu, yang disambut demonstran, “Rovolusi Harga Mati. Turunkan Nurdin Halid”.
Selain itu, perseteruan juga masih terjadi lantaran tidak lolosnya Jenderal TNI George Toisutta dan Arifin Panigoro dalam verifikasi menuju nomor satu di PSSI dengan alasan yang tidak jelas. Sementara Nurdin dan Nirwan D. Bakrie melaju dengan kencang. Hingga kasus ini masuk ke Mahkamah Konstitusi. Begitulah sosok Nurdin yang penuh kontraversi.
Revolusi PSSI
“Masa depan bukanlah hari ini. Tapi apa yang dilakukan hari ini adalah cerminan masa depan”, begitulah pepatah lama berujar.
Dunia bola Indonesia kedepannya tidak akan berubah, selagi di dalamnya dipenuhi dengan politik-politik busuk yang cuma mengejar kepentingan pribadi semata. Karena itu, apa yang diteriakkan publik “Revolusi Harga Mati”, menjadi suatu yang mesti.
Kedepannya, masa depan dunia bola Indonesia berada pada rembuk musyawarah luar biasa PSSI di tanah Lot, Bali, Maret mendatang. Di sanalah segala startegi-strategi dan peta-peta PSSI kedepan di musywarahkan demi memajukan dunia bola Indonesia.
Namun sayang, seperti diketahui, sabtu pekan lalu, tim verifikasi PSSI memutuskan hanya Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie yang lolos sebagai bakal calon Ketua Umum PSSI. Bakal calon lainnya Jenderal TNI George Toisutta dan Arifin Panigoro gagal melaju.
Hal ini memunculkan anggapan bahwa Nurdin sengaja menjegal George dan Arifin demi melanggengkan kekuasaan.
Meski menjadi anggota FIFA, namun kriteria calon ketum ternyata tidak sama dengan aturan induk organisasi sepakbola dunia tersebut. Pada aturan FIFA disebutkan calon ketum tidak boleh melebihi usia maksimal yang telah ditentukan. Dan PSSI dalam hal ini menghapusnya.
FIFA juga mensyaratkan calon ketum adalah orang yangs selama ini aktif di sepak bola. Oleh PSSI aturan ini ditambah dengan kalimat sekurang-kurangnya aktif selama lima tahun.
Selain itu, menurut aturan FIFA, calon ketum tidak pernah divonis bersalah dalam kasus hukum. Tapi oleh PSSI aturan ini diubah menjadi kandidat yang dicalonkan tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal ketika kongres digelar.
Lagi-lagi di sini nampak sudah dipreteli. Aturan yang ada pada FIFA sudah dirombak sedemikian rupa yang menghasilkan “politik belah bambu”. Yang di atas disanjung-sanjung, sementara yang di bawah diinjak-injak.
Lulusnya Nurdin dan Nirwan, membuat mata publik lebih terbuka dengan sebelah mata. Nurdin diduga memampaatkan PSSI untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden AFF dan wakil Asosiasi Sepak Bola Asia Tenggara. Pasalnya, Nurdin sudah masuk sebagai nominasi dan akan bersaing dengan dua kondidat lainnya, yakni Sultan Haji Ahmad Shah (malaysia) dan Dapt Worawi (Tahiland). Sebagai gantinya, Nirwan yang akan melenggang sebagai ketum PSSI. Tentunya teriakan dan tuntutan masyarakat agar Nurdin turun malah menguntugkan posisi Nirwan. Pasalnya, ia akan menjadi sosok yang tak tersentuh setelah konsentrasi masyarakat hanya pada Nurdin.
Karena itu, jika ingin merevolusikan dunia sepak bola Indonesia, setidaknya ada lima hal yang harus dilakukan. pertama, sekiranya Nirwan yang maju, revolusi PSSI kecil harapan untuk berubah dan tercapai. Tentunya, jika ingin meneriak revolusi PSSI, publik tidak hanya fokus pada Nurdin, melainkan seluruh rezimnya.
Kedua, mengklarifikasi dan mempertegas tentang kriteria ketua umum PSSI suatu yang mesti. Sebab, kriteria yang diberlakukan di Indonesia, berbeda jauh dengan kriteria yang diberlakukan FIFA. Hal ini terjadi bukanlah tanpa sebab, sekiranya aturan yang diberlakukan FIFA diberlakukan di Indonesia, tentunya Nurdin tidak bisa melenggang-lenggang di kursi empuknya dari dulu sampai hari ini. Karena kepentingan politiknyalah aturan tersebut dipreteli.
Ketiga, dalam rembuk di tanah Lot, Bali, nanti. Seluruh elemen persepak bola diikut disertakan, termasuk juga LSI sebagai wadah lain penunjang kemajuan sepak bola Indonesia, diakui dan dinaungkan di bawah bendera PSSI. Artinya, semakin banyak jalan, semakin banyak pula potensi-potensi anak negeri yang dapat diserap.
Keempat, Andi Malaranggeng sebagai Menpora, lebih giat dan serius menyelesaikan sengketa yang ada ditubuh PSSI, Termasuk juga mengungkap mafia-mafia bola yang ada di tubuh PSSI.
Kelima, transparansi di tubuh PSSI lebih digalakkan.
Jika tidak, hemat penulis, keadaan dunia bola Indonesia kedepannya tidak jauh berbeda dari keadaan hari ini. Karena dalam tubuh PSSI itu sendiri hanya dipenuhi oleh orang-orang yang hanya mengenyangkan kepentingan politik mereka sendiri.
Akhir kata, kita sebagai anak negeri ini yang rindu pada kemajuan dunia bola Indonesia hanya bisa berharap dan beropini. Suara kita apakah didengar oleh mereka yang langgeng kuasa atau tidak, namun setidaknya bagi kita yang tak bisa berbuat apa-apa minimal berdo’a agar para petinggi kita mendengar rintihan orang-orang bawahan seperti kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar