Oleh: Edi Kurniawan
Penyelenggaraan Pilrektor (Pemilihan Rektor) IAIN STS Jambi usai sudah pada sidang pleno 28 Juni 2010 lalu. Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd tampil memperoleh suara terbanyak. Prof. Mukhtar Latif, M.Pd memperoleh 16 suara, Prof. Drs. H. M. Hasbi, M.A., Ph.D memperoleh 14 suara, dan Prof. Dr. Ahmad Syukri, SS., M.Ag tanpa perolehan suara.
Meskipun Pilrektor sudah terselenggara dan pemenangnya telah ditetapkan dalam pleno tersebut, namun hal ini terasa aneh dan masih menyimpan teka-teki: mengapa Rektor terpilih belum juga dilantik sampai hari ini, tapi justru Menag mengutus Dede Rosada, yang berstatus sebagai Dekan Fak. Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pilot yang akan menerbangkan kampus biru untuk sementara waktu.
Keanehan dan teka-teki tersebut kian hari kian menggelindingkan bola api yang siap berkoar dari mulut ke mulut, bukan hanya pada tataran civitas akademika, melainkan juga telah menggelinding sampai pada masyarakat luas. Hal itu tentu tidak terlepas dari peran media dalam beberapa waktu ini sibuk menyoroti keanehan dan teka-teki di kampus yang berlebel Islam terbesar di tanah Melayu Jambi ini.
Misalnya, sebuah media cetak lokal Jambi menurunkan isu pada halaman utama, yang besar judulnya hampir menyamai nama idenditas media tersebut: “Ijazah Mahasiswa IAIN Tertahan, Pelantikan Mukhtar Latief Terkatung-Katung”. (Tribun Jambi/24/3/11). Kemudian satu hari berikutnya pada media yang sama kembali mengeluarkan isu, “HBA Kecewa Atas Keputusan Menteri Agama”. (Tribun Jambi/25/3011)
Jauh hari sebelum media lokal menyoroti secara lebih jauh, Hermanto Harun (Doesen Fak. Syari’ah/Kondidat Doktor UKM), pernah menggelinding isu di kolom opini sebuah media lokal Jambi: “Pembusukan Demokrasi di IAIN STS Jambi”:
“Perebutan kursi rektor IAIN STS Jambi dengan cara melakukan pembangkangan terhadap hasil pemilihan sama halnya dengan melakukan pembusukan terhadap institusi keagamaan ini. Tradisi pembusukan ini akan menjadi preseden buruk, baik bagi proses demokrasi kampus, maupun bagi proses pendidikan. Jika institusi pendidikannya rusak, maka kampus biru yang diharapkan penyemai peradaban Islam akan berubah orientasi menjadi pencetak manusia perusak”. (JE/10/3/11) Begitulah secuplik isi tulisan Hermanto.
Opini Hermanto tersebut mendapat tanggapan dan bantahan dari M. Sayuthi Hamsi (Anggota Senat/Mantan Ketua Panitia Seleksi Pilrektor) pada media yang sama: “Memaknai Demokrasi dalam Konteks Pertimbangan Calon Rektor":
“Jika demikian sistem dan prosedurnya, apakah istilah pertimbangan itu masih layak kena vonis ilmiyah “pembusukan demokrasi”, atau “pemasungan demokrasi”, atau “amputasi demokrasi” atau “pemutilasian demokrasi” dan banyak banyak istilah kren lainnya?”. (JE/15/3/11) Secuplik bantahan M. Sayuthi.
Apa yang digalaukan Hermanto dan bantahan oleh M. Sayuthi, hemat penulis, tidaklah semuanya salah karena mereka berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Hermanto lebih pada isu penilaian saling ungkit-mengungkit dan menggulingkan yang akan berujung pada busuknya demokrasi dan pencitraan IAIN sebagai kampus Islam, hingga berakibat runtuhnya peradaban dan kilauaan ilmu dari kampus tersebut. Sementara M. Sayuthi lebih pada sudut formal yuridis.
Terlepas dari berbagai asumsi dan opini yang berkambang, baik dari orang ke orang atau pun media, apakah itu dengan istilah pembusukan demokrasi, atau dualisme Rektor, atau tidak fair, atau “banyak istilah kren lainnya” (meminjam istilah M. Sayuthi), harapan penulis yang pernah menyerap ilmu selama empat tahun di kampus tersebut, dan tidak menutup kemungkinan juga harapan mahasiswa dan dosen secara umum - siapa pun pilot atau Pjs nya yang akan menerbangkan IAIN, semoga bisa mengudara pada cita-cita semula dan landing sebagai pencetak peradaban di bandara Bumi Melayu Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini.
IAIN sebagai kampus Islam terbesar di Bumi Melayu Jambi sudah banyak memberikan kontribusi kepada masyarakat, terutama masyarakat Jambi. Dengan ketelatenan para dosennya, dan kebijakan para pilot-pilot terdahulu, hingga melahirkan anak-anak didik yang berkiprah penting dalam tatanan dan mengubah masyarakat. Suatu hal yang patut direnungkan bagi elit kampus ini, terutama mereka yang berkompetisi menjadi pilot untuk menerbangkan kampus menjadi kampus yang lebih baik.
Ketika elitnya bertikai, tentu hal ini akan berdampak pada mereka dan biokrasi yang berada di bawahnya. Lihatlah misalnya, sampai hari ini para mahasiswa yang diwisuda pada Desember 2010 lalu, sampai hari ini ijazah masih tertahan, padahal ijazah bagi mereka sungguh sangat berarti dalam menghadapi dunia nyata. Begitu pula bagi mereka yang mengejar wisuda pada bulan 6 atau 7 nanti, ada rasa kecemasan yang menghantui. Padahal cuma ulah elit kampus yang saling ungkit mengungkit, atau boleh jadi ada yang tidak fair dalam menuju kursi satu pilot IAIN.
Hal ini bukan bermaksud mengajari, karena mereka sudah merasakan lebih dahulu pahit manis asam garam. Tapi tidakkah nurani mereka merintih melihat ada kebocoran di mesin pesawat yang sudah mulai oleng-oleng – tidak menutup kemungkinan bisa mendarat sebelum sampai ke bandara hingga menjungkir balikkan para penumpang dan isi pesawat.
Dede Rosada yang ditunjuk Menag sebagai pilot sementara untuk menerbangkan IAIN, disambut dengan demo yang mereka bukan dari mahasiswa. Massa menolak Dede sebagai pilot sementara. Kekecewaanpun ikut melinglung hati raja Jambi, “HBA Kecewa Keputusan Menag”, publish sebuah harian lokal Jambi. Namun bagaimanapun, kebijakan dan keputusan berada di tangan Menag. Jika Dede Rosada yang diamahkan untuk menerbangkan IAIN sementara waktu, terlepas dari pengaruh politik dan kepentingan pihak manapun, tentu harapannya bisa mengisi vocum of power dan menelurkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada peradaban agama dan bangsa di kampus biru tersebut.
“Negeri aman padinyo menjadi. Ramai kampung kareno dek yang mudo. Aman kampung kareno dek yang tuo” (sepenggal seluko yang dibuat dan diajarkan tetuo adat Jambi). Amannya kampus biru, tentu menelurkan dan mendatangkan berkah kepada civitasnya. Ramainya kampus, karena para mahasiswa. Amannya kampus karena mereka para dosen sang pendidik serta Rektor sebagai puncak penelur kebijakan. Begitu indahnya sebuah kampus yang berangkul dekapan ukhuwah, bercengkrama dalam samudera ilmu, penerus peradaban Islam. Naas, hari ini semua itu hampir atau sudah menggelinding menjadi sebuah bencana dan illat peradaban.
Tapi bagaimanapun, sebuah fakta kebijakan yang harus bisa diterima, semoga Dede Rosada dalam beberapa waktu Pjs-nya bisa merealisasikan peradaban itu. Atau sekiranya yang akan terjadi “dualisme kepemimpinan”, semoga mereka bisa akur-akur, seiyo-sekato, serangkuh sedayung dalam menelurkan peradaban itu. Namun bagaimanapun, harapan masyarakat kampus tetaplah satu. Semoga kebijakan dan keputusan Menag dapat diterima semua balon pilot: sami’na wa ‘atho’na. Dan pertikaian antara balon pilot, berubah menjadi rangkulan ukhuwah, hingga cita-cita peradaban itu teretas di depan mata.
Wallahua’lam!
*Penulis adalah alumni Fakultas Syari’ah IAIN STS Jambi 2010
Penyelenggaraan Pilrektor (Pemilihan Rektor) IAIN STS Jambi usai sudah pada sidang pleno 28 Juni 2010 lalu. Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd tampil memperoleh suara terbanyak. Prof. Mukhtar Latif, M.Pd memperoleh 16 suara, Prof. Drs. H. M. Hasbi, M.A., Ph.D memperoleh 14 suara, dan Prof. Dr. Ahmad Syukri, SS., M.Ag tanpa perolehan suara.
Meskipun Pilrektor sudah terselenggara dan pemenangnya telah ditetapkan dalam pleno tersebut, namun hal ini terasa aneh dan masih menyimpan teka-teki: mengapa Rektor terpilih belum juga dilantik sampai hari ini, tapi justru Menag mengutus Dede Rosada, yang berstatus sebagai Dekan Fak. Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pilot yang akan menerbangkan kampus biru untuk sementara waktu.
Keanehan dan teka-teki tersebut kian hari kian menggelindingkan bola api yang siap berkoar dari mulut ke mulut, bukan hanya pada tataran civitas akademika, melainkan juga telah menggelinding sampai pada masyarakat luas. Hal itu tentu tidak terlepas dari peran media dalam beberapa waktu ini sibuk menyoroti keanehan dan teka-teki di kampus yang berlebel Islam terbesar di tanah Melayu Jambi ini.
Misalnya, sebuah media cetak lokal Jambi menurunkan isu pada halaman utama, yang besar judulnya hampir menyamai nama idenditas media tersebut: “Ijazah Mahasiswa IAIN Tertahan, Pelantikan Mukhtar Latief Terkatung-Katung”. (Tribun Jambi/24/3/11). Kemudian satu hari berikutnya pada media yang sama kembali mengeluarkan isu, “HBA Kecewa Atas Keputusan Menteri Agama”. (Tribun Jambi/25/3011)
Jauh hari sebelum media lokal menyoroti secara lebih jauh, Hermanto Harun (Doesen Fak. Syari’ah/Kondidat Doktor UKM), pernah menggelinding isu di kolom opini sebuah media lokal Jambi: “Pembusukan Demokrasi di IAIN STS Jambi”:
“Perebutan kursi rektor IAIN STS Jambi dengan cara melakukan pembangkangan terhadap hasil pemilihan sama halnya dengan melakukan pembusukan terhadap institusi keagamaan ini. Tradisi pembusukan ini akan menjadi preseden buruk, baik bagi proses demokrasi kampus, maupun bagi proses pendidikan. Jika institusi pendidikannya rusak, maka kampus biru yang diharapkan penyemai peradaban Islam akan berubah orientasi menjadi pencetak manusia perusak”. (JE/10/3/11) Begitulah secuplik isi tulisan Hermanto.
Opini Hermanto tersebut mendapat tanggapan dan bantahan dari M. Sayuthi Hamsi (Anggota Senat/Mantan Ketua Panitia Seleksi Pilrektor) pada media yang sama: “Memaknai Demokrasi dalam Konteks Pertimbangan Calon Rektor":
“Jika demikian sistem dan prosedurnya, apakah istilah pertimbangan itu masih layak kena vonis ilmiyah “pembusukan demokrasi”, atau “pemasungan demokrasi”, atau “amputasi demokrasi” atau “pemutilasian demokrasi” dan banyak banyak istilah kren lainnya?”. (JE/15/3/11) Secuplik bantahan M. Sayuthi.
Apa yang digalaukan Hermanto dan bantahan oleh M. Sayuthi, hemat penulis, tidaklah semuanya salah karena mereka berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Hermanto lebih pada isu penilaian saling ungkit-mengungkit dan menggulingkan yang akan berujung pada busuknya demokrasi dan pencitraan IAIN sebagai kampus Islam, hingga berakibat runtuhnya peradaban dan kilauaan ilmu dari kampus tersebut. Sementara M. Sayuthi lebih pada sudut formal yuridis.
Terlepas dari berbagai asumsi dan opini yang berkambang, baik dari orang ke orang atau pun media, apakah itu dengan istilah pembusukan demokrasi, atau dualisme Rektor, atau tidak fair, atau “banyak istilah kren lainnya” (meminjam istilah M. Sayuthi), harapan penulis yang pernah menyerap ilmu selama empat tahun di kampus tersebut, dan tidak menutup kemungkinan juga harapan mahasiswa dan dosen secara umum - siapa pun pilot atau Pjs nya yang akan menerbangkan IAIN, semoga bisa mengudara pada cita-cita semula dan landing sebagai pencetak peradaban di bandara Bumi Melayu Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini.
IAIN sebagai kampus Islam terbesar di Bumi Melayu Jambi sudah banyak memberikan kontribusi kepada masyarakat, terutama masyarakat Jambi. Dengan ketelatenan para dosennya, dan kebijakan para pilot-pilot terdahulu, hingga melahirkan anak-anak didik yang berkiprah penting dalam tatanan dan mengubah masyarakat. Suatu hal yang patut direnungkan bagi elit kampus ini, terutama mereka yang berkompetisi menjadi pilot untuk menerbangkan kampus menjadi kampus yang lebih baik.
Ketika elitnya bertikai, tentu hal ini akan berdampak pada mereka dan biokrasi yang berada di bawahnya. Lihatlah misalnya, sampai hari ini para mahasiswa yang diwisuda pada Desember 2010 lalu, sampai hari ini ijazah masih tertahan, padahal ijazah bagi mereka sungguh sangat berarti dalam menghadapi dunia nyata. Begitu pula bagi mereka yang mengejar wisuda pada bulan 6 atau 7 nanti, ada rasa kecemasan yang menghantui. Padahal cuma ulah elit kampus yang saling ungkit mengungkit, atau boleh jadi ada yang tidak fair dalam menuju kursi satu pilot IAIN.
Hal ini bukan bermaksud mengajari, karena mereka sudah merasakan lebih dahulu pahit manis asam garam. Tapi tidakkah nurani mereka merintih melihat ada kebocoran di mesin pesawat yang sudah mulai oleng-oleng – tidak menutup kemungkinan bisa mendarat sebelum sampai ke bandara hingga menjungkir balikkan para penumpang dan isi pesawat.
Dede Rosada yang ditunjuk Menag sebagai pilot sementara untuk menerbangkan IAIN, disambut dengan demo yang mereka bukan dari mahasiswa. Massa menolak Dede sebagai pilot sementara. Kekecewaanpun ikut melinglung hati raja Jambi, “HBA Kecewa Keputusan Menag”, publish sebuah harian lokal Jambi. Namun bagaimanapun, kebijakan dan keputusan berada di tangan Menag. Jika Dede Rosada yang diamahkan untuk menerbangkan IAIN sementara waktu, terlepas dari pengaruh politik dan kepentingan pihak manapun, tentu harapannya bisa mengisi vocum of power dan menelurkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada peradaban agama dan bangsa di kampus biru tersebut.
“Negeri aman padinyo menjadi. Ramai kampung kareno dek yang mudo. Aman kampung kareno dek yang tuo” (sepenggal seluko yang dibuat dan diajarkan tetuo adat Jambi). Amannya kampus biru, tentu menelurkan dan mendatangkan berkah kepada civitasnya. Ramainya kampus, karena para mahasiswa. Amannya kampus karena mereka para dosen sang pendidik serta Rektor sebagai puncak penelur kebijakan. Begitu indahnya sebuah kampus yang berangkul dekapan ukhuwah, bercengkrama dalam samudera ilmu, penerus peradaban Islam. Naas, hari ini semua itu hampir atau sudah menggelinding menjadi sebuah bencana dan illat peradaban.
Tapi bagaimanapun, sebuah fakta kebijakan yang harus bisa diterima, semoga Dede Rosada dalam beberapa waktu Pjs-nya bisa merealisasikan peradaban itu. Atau sekiranya yang akan terjadi “dualisme kepemimpinan”, semoga mereka bisa akur-akur, seiyo-sekato, serangkuh sedayung dalam menelurkan peradaban itu. Namun bagaimanapun, harapan masyarakat kampus tetaplah satu. Semoga kebijakan dan keputusan Menag dapat diterima semua balon pilot: sami’na wa ‘atho’na. Dan pertikaian antara balon pilot, berubah menjadi rangkulan ukhuwah, hingga cita-cita peradaban itu teretas di depan mata.
Wallahua’lam!
*Penulis adalah alumni Fakultas Syari’ah IAIN STS Jambi 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar