“Ed, lagi di mana? Jadi datang acara istighosah dan Maulidan?” pesan singkat di HP ku dari seorang teman.
“Insyaallah! sekiranya kalau nggak ada halangan”, jawabku.
“Pergi nggak ya... pergi nggak ya...”, rasa bimbang menghantui.
Demi memenuhi undangan, aku putus untuk datang. Meskipun matahari bersinar dengan ganasnya menusuk ubun-ubun, seakan-akan terasa mengeluarkan panas api neraka. Ditambah lagi dengan mata yang terasa kantuk dan setumpuk tugas yang belum terselesaikan, membuat rasa enggan untuk menghadiri undangan yang sudah dilayangkan dua minggu yang lalu.
“Ah... bukankah Rasulullah SAW mengajarkan, salah satu hak seorang muslim kepada saudaranya sesama muslim adalah apabila diundang, maka penuhilah undangannya”, pikirku.
Akhirnya kumantapkan niat.
“Hadir! Pasti ada hal-hal baru yang akan kudapatkan”
Akhirnya kuengkol motor bututku yang remnya antara ada dan tiada. Dengan mengucap basmallah motor itu meluncur dengan perlahan-lahan di jalan lintas Muaro Jambi.
Mataku terbelalak dan hati tersentak seraya berucap, subhanallah!, tatkala aku memasuki kawasan sebuah pesanten yang menjadi tempat diselenggarakannya acara tersebut.
“Empat tahun sudah aku tak pernah berkunjung kesini. Ternyata tebakan awalku benar, banyak hal yang kutemukan dan kudapatkan”, gumamku dalam hati.
Dulu seingatku, lorong kecil dari jalan raya menuju kawasan pondok pesantren penuh dengan lumpur. Bila musim hujan, wah... azab yang tak bisa disebutkan. Papan merek pondok terbuat dari kayu yang hampir reot. Bangunannya cukup riskan. Ada satu masjid di awal pintu gerbang masuk. Di samping kanan dan kiri diapit asrama Putra dan Putri. Asrama Putra sekitar 25 m di sebelah kanan masjid. Sedangkan asrama putri di sebelah masjid, sekitar 15 m. Di depan masjid, ada rumah mudir pondok, KH. Zaki, lebih kurang 15 m. Jumlah santrinya bisa dihitung dengan tangan kala itu, dan itu pun santri kalongan. Pagi-pagi ke sekolah, bagi yang masih sekolah. Ngampus, bagi yang sudah kuliah. Kerja, bagi yang sudah kerja. Dan nyantri pada malam dan subuh hari.
Suasana belajar juga meriskan. Sebuah masjid lebih kurang berukuran 15-20 m tanpa dinding sebagai pusat belajar. Nyamuk-nyamuk bergentayangan mengganggu kekhusukan para pecinta ilmu. Ketika malam dan subuh hari, uh... suasana yang menggigilkan dengan terpaan angin malam.
Itu baru dari sisi sarana dan prasarana. Belum lagi irisannya dengan masyarakat setempat. Aku pernah mendengar, pondok itu pernah mau dibakar masyarakat. Dan palang merek pondok dicabut ngga’ tahu dibuang kemana rimbanya.
“Ah... kiyai itu ajarannya sesat. Masak mengadakan pengajian begini dan begitu”, begitulah telinnggaku mendengar cloteh seorang warga.
“Dulu pernah kami serang tu dek, pondoknya”, ia menambahkan.
Keadaan ini mengingatkanku dengan keadaan kelompok jama’ah tabligh di kampungku sendiri. Pesantren meraka dibakar habis. Orang-orang mengatakan mereka kelompok jenggot yang sesat.
Begitu juga ada seorang ustadz alumni Al-Azhar yang memberikan pengarahan tentang shalat tarawih antara delapan rakaat dan dua puluh rakaat. Eh... Malah ia diklaim Muhammadiyyah, hingga berujung diacuhkan dan tidak dimanfaatkan masyarakat. Yang lebih tidak mengenakkan lagi, mudir madarasahku sendiri sebagai tokoh yang sangat dihormati di kampungku, tidak men-tabayyun apa yang sebenarnya terjadi dan dalil-dali yang digunakan.
Melihat keadaan jumud yang demikian saya dengan ustadz tersebut yang kebetulan juga teman dekat hanya tersenyum tersipu.
“Ed, antum kalau pulang kampung biasa-biasa saja. Masyarakat kita masih penuh ke-jumud-an dan masih belum bisa menerima perbedaan”, nasehat ustadz itu untukku.
“Ah... biasa saja ustadz. Saya melentur kemana saja selagi hal tersebut bukan masalah pokok. Barangkali metode penjelasan ustadz yang tidak bisa mereka tangkap. Atau barangkali pula ustadz yang terlalu semangat”, clotehku menyentil ungkapannya yang dipenuhi canda tawa.
Al-Ikhtilafu Rahmah, perbedaan itu menjadi rahmah. Hal ini malah berbalik, perbedaan malah menjadi balak bencana.
“Berlebih-lebihan dalam dalam beragama juga tidak bagus, apalah lagi meninggalkan agama sama sekali”, pikirku.
Begitu pula dengan ucapan sesat yang dikeluarkan warga di depanku sendiri. Boleh jadi ia menghakimi sesat orang lain, ia sendiri tidak tahu dan tidak menjalani ajaran agama. Ia sendiri masih meggunakan celana kutung, salah seorang anaknya adalah seorang pecandu. Sementara sang kiyai adalah orang yang sangat wara’, menjaga harga diri, ia sangat dekat kepada Tuhannya, sehingga banyak orang yang datang kepadanya untuk dido’akan.
Aku sendiri menyaksikan, banyak dosen-dosen IAIN, mulai dari dosen biasa, sampai pada guru besar, datang berguru kepadanya. Begitu dari berita yang kudapatkan, setelah ada irisan antara warga dengan warga pondok, MUI kala itu langsung turun tangan. Hasilnya, MUI tidak berani menyatakan sesat, karena ia memang tidak sesat.
Begitu pula dengan aku sendiri, ditemani dengan seorang anak Malaysia kala itu, kami bersilaturrahim dengan sang kiyai. Berdiskusi panjang lebar. Mengikuti pengajian. Toh... kitab-kitab yang diajarkan, kitab yang tidak asing lagi bagiku. Dan kitab-kitab itulah yang diajarkannya. Hingga pada akhirnya, saya dan teman saya cukup akrab dengan sang kiyai. Ilmunya begitu luas.
“Subhanallah”, begitulah mulutku berujar.
Meskipun ia tidak mennikmati kuliah di Perguruan Tinggi. Pengembaraannya dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain.
Namun, di sisi lain. Sekiranya merujuk pada psikologi dakwah. Dalam ranah dakwah, mau tidak mau harus dekat dan mengambil hati objek dakwah. Sekiranya ada suatu hal yang mereka anggap ganjil, maka selamanya mereka akan mencap, dan pada akhirnya, selama itu pula apa yang dituturkan tiadak akan diterima, meskipun hal itu adalah sebuah kebenaran. Sebaliknya, apabila bisa lebih dekat mengambil hati objek dakwah, maka dengan mudah akan mempengaruhi mereka.
Begitulah keadaan umat Islam hari ini yang terlalu cepat menghakimi sesatnya orang lain. Padahal terkadang boleh jadi orang yang mengatakan sesat, merekalah yang sesat.
Cuma pada tataran fiqhiyyah, qunut atau tidak, wirid atau tidak selepas shalat, menimbulkan gesekan yang luar biasa bagi mereka yang tak mengambil hikmah dari perbedaan.
Intinya adalah keterbukaan, diskusi, dan saling menghormati, selagi hal tersebut bukan pada tataran aqidah. Kecuali, kalau ada mereka yang syahadatnya telah berubah, tidak mempercayai lagi adanya Rasul, al-Qur’an. Tentu ini sudah pada tataran lain. Tapi bagaimanapun, sikap anarkis, bukanlah solusi.
******
“Ed, lagi di mana? Jadi nggak datang?”, pesan dari temanku.
“Iya... sudah datang dari tadi”, jawabku.
Sebelum acara dimulai, atau lebih tepatnya awal-awal kedatanganku. Aku sempat berkeliling di sekitar pondok. Menuaikan hati nan rindu. Menyaksikan perubahan dan kemajuan yang luar biasa. Menyisihkan sembilu kerinduan kepada nuasansa itu.
Empat tahun sudah aku tidak berkunjung ke tempat itu. Hatiku hanya bisa berujar, “subhanallah!”, perubahan yang begitu cepat.
Dulu, jalannya masih berlumpur-lumpur. Kini, sudah disulap menjadi hitam. Dulu hanya ada beberapa gedung, kini sudah berdiri beberapa gedung. Salah satunya berdiri pendopo mewah lebih kurang berukura 10 x 40 m yang dihiasi lengkap dengan ornamen dan hiasan-hiasan. Di sekelilinya dihiasi dengan kaligrafi dengan motif tsulusi dan naskhi, diimbuhi bunga-bunga dan keindahan sawah dan gunung. Dan diberi cat hijau nan menyihir mata memandang. Kemudian ada ada satu gedung lagi yang dalam proses pembangunan.
Dulu, ketika ada pengajian, hanya ada beberapa orang yang datang. Hari ini, para jamaah membludak. Dalam hitunganku, tidak kurang 150 orang yang hadir sore itu. Termasuk juga turut hadir, Ratu Muaro Jambi. Namun sayang, sepertinya kedangan beliau lebih pada nuansa politik.
Dalam kata sambutannya, habis-habisan ia memuji sang suami, Burhanuddin Mahir, yang seakan-akan tidak ada cela sama sekali. Termasuk juga salah seorang penceramah sore itu, dengan sandungan yang halus, ia memberikan pujian yang halus.
Benarlah kata syair Arab:
“Mata yang dipenuhi rasa senang terhadap sesuatu, maka ia tidak akan mampu melihat kejelekan, meskipun itu adalah sebuah kejelekan. Begitu pula sebaliknya, mata yang dipenuhi dengan rasa senang terhadap sesuatu, maka ia tidak akan mampu melihat kebaikan, meskipun pada hakikatnya itu adalah sebuah kebaikan”.
Di pojok ruangan itu aku hanya berujar.
“Sedikit banyaknya aku mengetahui keadaan pemerintahan Muaro Jambi dan sang Bupati sendiri”.
Untunglah sore itu, penceramah kedua, KH. Lohot Hasibuan, dosen yang pernah mengajarkanku 2 semester dulu, dengan bahasa yang tegas dan lugas, diiringi pula logat medan yang seakan-akan membentak, membantah secara halus apa yang disampaikan sang Ratu tadi, hingga diiringi gelak tawa para jama’ah. Hingga dapat memberikan pemahaman baru dan gambaran lain terhadap masyarakat awam.
“Yah... apa boleh dikata, Demokrasi memberikan ruang gerak kepada siapapun untuk mengekspresikan diri. Hingga bagi yang tak siap, terbiuslah oleh “Politik Pencitraan” yang memakan bak racun padi”, pikirku.
Hal ini bukanlah aku menantang Demokrasi atau anti Demokrasi, layaknya HTI dan beberapa pergerakan lainnya. Namun setidaknya ada nilai-nilai yang harus dipegang.
Akhir acara ditutup dengan do’a, kemudian disusul dengan shalat asar berjamaah. Diimami oleh KH. Zaki. Dan do’a dipimpin oleh KH. Lohot. Dengan bahasa fasih dan makhraj yang jelas, hingga mengalunkan kekhusukan para jama’ah. Dan tak terasa ada salah seorang di sampingku yang menjatuhkan air mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar