Jumat, 06 Mei 2011

Terorisme: Makna dan Masalahnya


Berdasarkan kajian sejarahnya, praktik terorisme sesungguhnya telah terjadi  sejak berabad-abad yang lalu sebelum didefinisikan sebagai tindakan terorisme.  Sebab, sifat permanen manusia menurut Thomas Hobbes (1588-1679) adalah serigala bagi yang lain (homo homini lupus) untuk mencapai tujuannya. Jika dalam keadaan lapar dan terancam, dia tidak segan-segan menikam yang lain, kawan dekat sekali pun. Persahabatan berlangsung hanya ketika masing-masing masih dalam posisi saling menguntungkan dan diuntungkan. Atas  dasar asumsi itu, kekerasan seperti teror dengan berbagai jenis dan bentuknya tidak bisa lepas dari kehidupan manusia sejak dahulu kala.
Istilah ‘teror’ sendiri baru masuk dalam kamus  ilmu  politik pada saat terjadi Revolusi Perancis  dengan istilah ‘the reign  of terror’, artinya penguasa teror. Pada akhir abad ke 19, dan awal abad ke-20, dan antara tahun 1920-1950’an, sepanjang periode perang besar di Eropa --- terorisme menjadi teknik perjuangan revolusi. Rezim Stalin pada 1930 —1940’an disebut sebagai periode  kekuasaan terorisme. Sebagaimana diketahui, Stalin memerintah dengan tangan besi dan banyak korban pembunuhan di era pemerintahannya. Anehnya,  pada akhir 1940 – 1960’an istilah ’terorisme’ oleh Barat dikaitkan dengan perjuangan rakyat Palestina dan Aljazair untuk memeroleh kemerdekaan, dan dianggap menjadi  akar inspirasi terorisme global. Dari sini awal pula labelisasi teror kepada masyarakat muslim.
Setelah Perang Dunia II, terorisme muncul sebagai gerakan yang sangat menakutkan sebagai bentuk lain ketakutan masyarakat dunia setelah ketegangan perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Terorisme sama menakutkannya dengan akibat perang nuklir, bahkan lebih kejam karena merupakan kejahatan laten, sehingga sulit dipadamkan. Kalau pun suatu gerakan terorisme dapat dipadamkan, akan muncul lagi terorisme yang baru. Inilah yang disebut sebagai gerakan laten.
Dalam perkembangannya, pada awal 1970’an, makna terorisme  dari  yang semula hanya dikaitkan dengan tindakan pemboman di tempat-tempat umum untuk menimbulkan ketakutan pada korban menjadi diperluas. Misalnya, penganiayaan, kemiskinan, kelaparan, rasisme, kekerasan geng, kekerasan terhadap anak dan pasangan suami istri, kerusakan lingkungan, dan bahkan malpraktik pelayanan medis juga disebut sebagai tindakan terorisme baru.  Sebab, dampak dari aktivitas semacam itu juga mengerikan.
Sebetulnya,  sampai saat ini definisi ilmiah mengenai terorisme masih belum jelas dan baku. Padahal, definisi sangat penting, sebab ia menentukan bagaimana mengkajinya dan  menyelesaikannya. Jika sesuatu definisinya tidak jelas, maka tindakan untuk menyelesaikannya juga tidak jelas. Menurut saya terorisme tidak bisa didefinisikan dengan jelas karena masalahnya sangat kompleks, baik bentuk gerakannya, aksinya, motif, dan penyebabnya. Tetapi semua sepakat bahwa terorisme digolongkan sebagai aksi kejahatan, bahkan masuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sebab, korbannya adalah orang-orang yang tidak berdosa dan bisa jadi sama sekali tidak ada hubungannya dengan aksi yang menimpanya. Uniknya, tidak seperti penjahat yang lain, teroris tidak pernah menghitung kerugian dari tindakan yang dilakukan. Ini hebatnya!  Tujuan utama untuk menciptakan efek psikologis berapa pun beaya yang dikeluarkan untuk itu.
Teknik teroris bisa juga dipakai oleh negara  atau oleh pihak-pihak yang melawan negara.Tetapi para ahli menyebut ‘teror’ jika dikaitkan dengan tindakan negara terhadap kelompok yang melawannya,  sehingga korbannya disebut akibat ‘teror negara‘, bukan terorisme negara. Ancaman, intimidasi, penyiksaan terhadap tersangka kejahatan yang dilakukan aparat negara, memenjarakan, menempatkan di kamp khusus, penahanan tanpa pengadilan, membiarkan orang menderita, pencucian otak dan sejenisnya adalah merupakan bentuk ‘teror’ negara atas masyarakat. Penggunaan obat-obatan untuk tujuan politik juga disebut sebagai tindakan terorisme. Teror negara biasanya justru melahirkan lebih banyak korban daripada terorisme.
Sedangkan ‘terorisme’ merupakan taktik yang dipakai oleh kelompok yang melawan negara. Kelompok ini biasanya tidak memiliki sarana yang lebih memadai daripada teror negara. Tetapi lepas dari apapun definisinya, keduanya sama-sama menimbulkan ketakutan yang mengerikan. Tetapi teroris lebih suka memublikasikan aksinya, sedangkan teror negara dilakukan secara diam-diam. Kita barangkali masih ingat di era Orde Baru negara punya state apparatus yang sangat kuat untuk membasmi siapa saja yang melawan dan merongrong kekuasaan negara yang disebut Pangkopkamtib. Lembaga ini bisa menangkap siapa saja, di mana saja, dan kapan saja yang dianggap  mengganggu jalannya kekuasaan negara dengan dalih demi stabilitas. Istilah ‘stabilitas’ menjadi kosa kata ampuh. Sebab, dengan dasar demi ‘stabilitas’, negara bisa berbuat apa saja terhadap warganya sendiri yang berbeda pendapat. Ini sekadar contoh state terrorism yang kita saksikan di negara kita.
Walaupun sejarah terorisme sebenarnya sudah berlangung   lama, tetapi terorisme kontemporer dalam bentuk terorisme internasional baru muncul pada 1960’an. Umumnya terorisme dilakukan setelah gagal melalui perjuangan senjata, seperti yang terjadi di beberapa Negara Amerika Latin. Di Timur Tengah, kegagalan tentara Arab pada Perang 6 Hari tahun 1967 menyebabkan munculnya terorisme sebagai bentuk perjuangan baru oleh para pejuang Palestina untuk memperoleh kemerdekaan dari cengkeraman Israel. Sejak saat itu para pemimpin Palestina disebut Israel sebagai tokoh terorisme. Mendiang Yasser Arafat pun oleh Israel diberi label sebagai  teroris kelas wahid, sehingga siapapun yang mendukung perjuangannya dianggap sebagai pendukung terorisme.
Apa sebenarnya penyebab terorisme? Sebagaimana diungkap di muka, terorisme merupakan tindakan multi-sebab. Setidaknya, menurut Abdul Wahid (2004), penyebab terorisme adalah sebagai berikut: (1) kemiskinan yang meluas, (2) ketidakadilan ekonomi, politik dalam skala global, (3) tekanan modernisasi yang memudahkan bertemunya ide-ide dan aksi resistensi terhadap Negara, (4) tradisi kekerasan, (5) munculnya kelompok revolusioner, (6) ketidakpercayaan pada pemerintah, (7) agama dan ideologi (miskinnya pemahaman agama), (8) konflik antar-elit politik, (9) konflik antar-etnik, (10) perasaan  teralienasi dan marginalisasi oleh kapitalisme global
Akar lain dari terorisme adalah gerakan anti pemerintah yang meluas di universitas-universitas di Jepang, Eropa Barat, AS yang diprovokasi oleh pihak yang anti perang Vietnam. Selain itu, kemajuan teknologi juga memicu kekerasan.  Tahun 1998’an ada bentuk baru terorisme yakni terorisme yang didukung pemerintah. Beberapa pemerintah menggunakan taktik yang dipakai teroris untuk melawan pihak lain, seperti  memberikan sanksi politik, sanksi ekonomi, larangan kunjungan ke negara lain atau yang dikenal sebagai travel warning dsb, adalah bentuk terorisme baru yang disponsori oleh negara. Dampak model terorisme semacam itu sungguh luar biasa.
Bagaimana penderitaan rakyat Palestina terutama yang di Gaza akibat blokade ekonomi dan politik Israel yang didukung Amerika Serikat karena rakyat Palestina memilih Perdana Menteri dari kelompok Hamas yang memang tidak mau kompromi dengan  Israel. Yang lain adalah Iran, Korea Utara, dan (dulu Libya) merupakan negara-negara yang memperoleh sanksi ekonomi Barat, karena Negara-negara tersebut tidak mau mengikuti kemauan Barat.
Bagaimana solusinya? Karena akar masalah terorisme tidak tunggal, melainkan akumulasi dari berbagai masalah, maka solusi terhadapnya juga dilakukan secara menyeluruh Jika dikaitkan dengan agama, maka harus ada upaya peningkatan pemahaman agama secara komprehensif  dengan memahami konteks dalam menafsirkan teks kitab suci, sehingga tidak melahirkan sikap fanatik, ekslusif, dan intoleran menghadapi keragaman agama, budaya dan realitas sosial. Jika dikaitkan dengan ekonomi, maka penting dibangun model ekonomi yang adil bagi semua masyarakat. Bentuknya adalah upaya pemulihan ekonomi global, mempersempit jurang antara negara kaya dan miskin yang menimbulkan ketidakadilan. Terorisme bukan hanya masalah sebuah bangsa dan agama, melainkan masalah global dan semua agama, maka diperlukan  tekad masyarakat dunia untuk mengatasi secara bersama-sama.

Diambil dari tulisan Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.S dalam http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/279-terorisme-makna-dan-masalahnya.html

Tidak ada komentar: