Seiring dengan perkembangan paradigma interpretivisme dan metodologi penelitian lapangan (field research ), pada beberapa dasawarsa terakhir para ahli mengembangkan studi/analisis teks sebagai sebuah varian dalam penelitian. Tidak kalah dengan penelitian lapangan yang menggunakan sumber-sumber primer untuk memperoleh data sebagai salah satu keunggulannya, studi teks memiliki keluasan tafsir dan otentisitas sebagai keunggulannya. Karena itu, tak mengherankan jika belakangan studi jenis ini menjadi sangat populer dipakai oleh para ahli di bidang ilmu sosial dan humaniora sebagai bentuk dan jenis kajian baru. Teks dianggap sebagai wilayah kajian yang menantang para peneliti. Dia senantiasa hidup dan dinamis. Naskah ini ditulis untuk membantu memberikan pemahaman kepada para peminat dan pengkaji teks yang semakin semarak akhir-akhir ini.
Studi teks pada dasarnya merupakan analisis data yang mengkaji teks secara mendalam baik mengenai isi dan maknanya maupun struktur dan wacana. Menurut Lockyer (dalam Given 2008: 865), teks yang dimaksudkan tidak saja berupa narasi tertulis yang diambil dari koran, majalah, acara TV, naskah pidato, tetapi juga melebar hingga arsitektur, model pakaian, bahkan perabot rumah tangga, perkantoran, rumah makan dan sarana-sarana di ruang publik. Apa pun yang bisa ditafsir diperlakukan sebagai teks.
Pengkaji teks memusatkan perhatian pada bagaimana teks dikonstruksi, bagaimana makna diproduksi, dan apa hakikat makna tersebut. Semula studi teks hanya dipakai di bidang komunikasi, khususnya komunikasi politik, tetapi sekarang sudah berkembang ke banyak disiplin seperti sosiologi, geografi, sejarah, bahasa, seni, sastra, media dan bahkan perfilman.
Istilah studi atau analisis teks pada dasarnya merujuk ke jenis atau model metode penelitian kualitatif. Ada beberapa macam jenis studi teks, yaitu: (1) Analisis Isi (Content Analysis), semula menggunakan pendekatan kuantitatif, tetapi belakangan juga berkembang pendekatan Analisis Isi Kualitatif, (2) semiotika (semiotics), (3) fenomenologi (phenomenology), dan (4) hermeneutika (hermeneutics) yang lebih filosofis. Metode hermeneutika juga ada dua macam: hermeneutika intensionalisme dan Gadamerian. Metode yang dipakai untuk mengkaji struktur teks dan wacana pun ada beberapa macam, yaitu: (1) Analisis Gaya Teks, (2) Analisis Naratif, (3) Analisis Wacana, (4) Analisis Struktural (5) Analisis Pos-struktural, dan (6) Analisis Teks Pos-modernisme. Analisis Wacana juga dikembangkan menjadi Analisis Wacana Kritis. Jika Analisis Wacana lebih menekankan murni aspek-aspek linguistik, maka Analisis Wacana Kritis atau sering disebut Critical Discourse Analysis (CDA) lebih memusatkan pada pertarungan kekuasaan (power struggle) melalui wacana, feminisme, dan dominasi kekuasaan (politik).
Masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Ada banyak macam cara yang dapat digunakan untuk melakukan studi teks tergantung pada minat akademik masing-masing. Ada yang mengkaji teks dengan memusatkan perhatian pada relasi antara makna yang ada di dalam teks dengan keadaan di lapangan atau di luar teks. Ada kesesuaian atau tidak. Sedangkan yang lain mengkaji konstruksi dan kekuatan mitos-mitos kultural di balik kehadiran teks.
Sebagaimana dinyatakan di muka bahwa masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Untuk itu, para pengkaji teks mencoba menggunakan metode gabungan untuk mengurangi kelemahan tersebut. Misalnya, metode Analisis Isi dengan analisis semiotika. Yang pertama menekankan frekuensi penggunaan kata yang dipakai dalam teks dan berparadigma positivistik, dan yang kedua lebih menekankan simbol sebagai tempat tersimpannya makna. Sebagaimana diketahui paradigma positivistik memiliki kelemahan mendasar, yakni tidak mampu mengungkap hakikat makna yang lebih dalam karena bertumpu pada apa yang ada (tertulis) secara empirik. Sementara, semiotika juga memiliki kelemahan yakni terlalu dominannya subjektivitas pengkaji. Dengan menggabungkan keduanya diharapkan semakin diperoleh makna yang lebih objektif (?). Para pengkaji teks juga mengembangkan wilayah pencariannya, tidak saja menggali makna teks secara tesktual, melainkan juga memahami implikasi ideologis dari teks, baik teks riel maupun fiksi.
Pada dasarnya, semua teks memiliki struktur naratif dan kekuatan persuasif serta dimaksudkan untuk menyampaikan makna tertentu sesuai maksud penulisnya. Yang perlu menjadi perhatian penting bagi semua pengkaji teks adalah studi teks tidak dimaksudkan untuk mencari interpretasi yang ‘benar’ mengenai teks, melainkan untuk mencari interpretasi macam apa yang digunakan. Sebab, kebenaran makna teks secara utuh mustahil dapat diperoleh. Maka, tidak mengherankan jika hasil interpretasi sering kali lebih luas daripada maksud pengarangnya. Dan, itu sah-sah saja dengan asumsi teks yang sudah berada di ruang publik telah lepas dari pengarangnya (the author is dead).
Teks bersifat polisemik, sehingga multimakna dan multitafsir. Jadi, makna teks tidak pernah tunggal. Namun demikian, tidak berarti penafsir teks bisa dengan sesuka hati menafsir teks sesuai yang diinginkan. Sebab, makna dibawa oleh kode (kata), konvensi, dan yang lebih penting lagi oleh gaya (genre) bagaimana teks ditulis, konteks sosial, kultural, historis, dan ideologis yang melingkupi teks tersebut. Semuanya menyatu mengantarkan makna teks secara utuh. Dengan demikian, pengkaji teks tidak dapat dengan sebebas-bebasnya menafsir teks berdasarkan kemauan dan kepentingan pribadinya.
Ada juga pengkaji teks yang menitiberatkan kajiannya pada interkoneksi makna yang ada di dalam teks dan makna di luar teks. Dengan demikian, pertanyaan yang diajukan adalah mengenai konteks retorika teks, seperti (Siapa yang menulis teks?, Apa intensi atau maksud penulisnya?, Siapa pembaca yang diharapkan?, Topik atau isu apa yang diajukan?, Bagaimana pembaca disapa?, Apa tema dan klaim yang dibuat?, Apakah ada bukti atau penjelasan yang mendukung tema tersebut? Apa hakikat bukti tersebut?., dan pertanyaan yang lebih luas lagi menyangkut ‘Bagaimana kaitan teks tersebut dengan teks-teks yang lain dengan gaya dan format yang sama?)’. Di sini pengkaji teks melakukan apa yang disebut dengan pembacaan intertekstualitas. Makna dari sebuah teks bisa juga ditelusur dengan membaca teks yang lain. Logikanya adalah teks tidak pernah muncul tiba-tiba dan hadir sendirian. Karena itu, co-texts dan intertextuality senantiasa ada.
Lepas dari kekurangan yang ada, analisis teks merupakan metodologi yang sangat menarik dan berkembang cepat seiring dengan perkembangan teks-teks sosial dan kemanusiaan. Studi teks dapat dipakai untuk memahami konstruksi makna teks dari berbagai teks kultural. Melalui pengkajian yang mendalam, analisis teks bisa melahirkan lahan diskusi akademik yang hidup dan luas, karena luasnya cakupan makna yang dibawa oleh teks. Salah satu kelebihan studi teks adalah menyangkut ke’alamiah’an data. Teks lebih dulu ada di masyarakat sebelum peneliti teks memulai mengkajinya. Namun demikian, mampu memahami konstruksi makna teks dan implikasi ideologisnya tidak berarti pengkaji bisa lepas dari bias yang muncul. Bias tafsir sulit dihindari. Untuk itu, upaya yang dilakukan oleh setiap pengkaji teks ialah mengurangi sebanyak mungkin bias yang timbul pada saat analasis dan saat data dikumpulkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka para pengritik studi teks mempertanyakan validitas pendekatan studi teks. Alasannya adalah membaca teks memantulkan perspektif pengkajinya dan metode memahami teks sangat ideologis. Menyadari hal itu, para ahli studi teks, seperti Paula Saukko menggarisbawahi bahwa sebuah teks sebenarnya tidak pernah bisa dipahami secara lengkap. Sebab, aktivitas membaca dan mengkaji teks sangat ditentukan oleh kondisi sosial yang sedang terjadi baik pada saat teks dibuat maupun dikaji.
Selanjutnya, pengkaji teks harus mampu secara kritis melakukan refleksi atas apa yang telah dilakukan, dengan melihat aspek-aspek politis dan sosial yang ada. Untuk mencapai hal itu, Saukko menyarankan pengkaji teks bisa menggunakan model analisis teks multiperspektif dengan cara menggabungkan beberapa pendekatan studi teks secara bersamaan. Misalnya, pendekatan semiotika dengan pos-modernisme, Analisis Wacana dengan Hermeneutika, Analisis Isi (yang kuantitatif) dan mengkajinya secara kualitatif (Qualitative Content Analysis).
Menariknya, jika selama ini Content Analysis dikenal sebagai metode studi teks berparadigma positivisme yang tentu menggunakan metode penelitian kuantitatif, maka dengan kelahiran Qualitative Content Analysis asumsi tersebut telah bergeser. Jika dalam penelitian lapangan belakangan ini dikenalkan metode campuran yang mencoba menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan --- mengingat masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan --- atau yang dikenal dengan istilah mixed method, maka studi teks pun tidak mau ketinggalan, yakni dengan menawarkan pendekatan sejenis yang disebut Qualitative Content Analysis.
Sebagai sebuah disiplin, metodologi penelitian --- seperti halnya disiplin-disiplin yang lain --- senantiasa terus berkembang dan berubah. Metode yang sudah baku sekian lama pun bisa bergeser untuk mengikuti tuntutan dan tantangan jaman. Untuk itu, selalu mengikuti perkembangan keilmuan atau updating knowledge merupakan salah satu tugas seorang ilmuwan dan para pencari ilmu pengetahuan pada umumnya.
__________
Catatan:- Makalah ini disadur dari tulisan Sharon Lockyer ‘Textual Analysis’ (dalam Lisa M. Given, ed.,) 2008: 855- 856), QUALITATIVE RESEARCH METHODS, London: A SAGE Reference Publication, dan pengalaman penulis selama menulis disertasi.
- Naskah disempurnakan untuk memudahkan pemahaman pembaca.
- artikel ini diambil dari http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/281.html?task=view
Tidak ada komentar:
Posting Komentar