“Jambi Kota BERNAS (Bersih, Ekonomi Maju, Rukun, Aman, Adil dan Sejahtera) 2013”, itulah visi kota Jambi di bawah pimpinan Bambang Priyanto dan Sum Indra. Sekiranya jika boleh memberikan penafsiran lain dari visi pertama, “bersih”, tentunya bukan saja Kota Jambi bersih dari sampah-sampah yang berserakan yang menggunung di sana-sini, melainkan juga bersih dari reklame-reklame liar yang dapat merusak pemandangan dan keindahan kota dan bersih dari aparat hitam yang hanya menyuguhkan kekenyangan kantong belaka.
Berdasarkan Peraturan Walikota No. 40 Tahun 2009, beberapa ruas jalan terutama di kawasan protokol “diharamkan” pemasangan reklame. Namun dalam prakteknya, iklan dalam berbagai bentuk, bertebaran bak jamur di musim hujan di sepanjang kawasan terlarang. Seperti dapat dilihat di jalan-jalan utama, Jl. Arif Rahman Hakim, Jl. Yusuf Singadikane sampai Jl. Slamet Riyadi, yang merupakan jalan utama yang bertemu simpang empat Bank Indonesia. Aneka reklame warna-warni kilauan mata berjuburan di sana sini yang terkesan semrawut dan jorok yang merusak pemandangan.
Maka timbul pertanyaan, jika peraturan sudah ada, mengapa ini bisa terjadi? Hemat penulis, hal ini terjadi karena dua hal: pertama, lemahnya aparat pemerintah terkait dalam menjalankan aturan tersebut, dan kedua adanya aparat hitam, baik dari pengusaha maupun aparat yang memberikan izin kepada pengusaha.
Peraturan walikota tersebut sudah satu tahun lebih usianya, tapi mengapa pemerintah seakan-akan menutup mata dari panorama yang jelas dan tampak kasat mata. Jika ditelisik lebih dalam lagi memang, reklame-reklame yang bertebaran liar tersebut, di samping memberikan pemasukan yang cukup tinggi terhadap APBD, apatah lagi pemasukan kantong pribadi. Bayangkan, untuk tahun 2010, dari hasil pajak reklame tersebut, pemerintah dapat mengantongi 3,720 miliar. (Tribun Jambi, 28/12/2010) . Jumlah yang cukup menggiurkan bukan?
Selain itu, sinergi antara para pengusaha dan aparat hitam tentunya juga cukup memberikan kocek yang tebal untuk kantong pribadi. Bayangkan, untuk reklame ukuran billboar dengan tinggi 9 meter, uang jasa yang harus disetor pengusaha mencapai puluhan juta sampai angka Rp. 75 juta, sementara untuk bangunan reklame jenis bando tentu lebih besar lagi yang bisa mencapai ratusan juta, padahal pajak dan uang jasanya peling tinggi hanya hanya Rp. 11 juta-an (Tribun Jambi, 28/12/2010). Lantas, kemana sisa-sisa uang dari setoran pajak yang puluhan juta? Tanpa berfikir panjang, akal sehat kita akan berkata, “siapa lagi kalau bukan bisnis aparat hitam”. Begitu pula halnya dengan pengusaha, meskipun jumlah mereka memberikan jumlah yang besar, tak terbayangkan pula berapa keuntungan yang didapatkan di sana . Bisnis hitam yang cukup menjanjikan.
Oleh karena, agar Peraturan Walikota tesebut dapat berjalan yang tentunya akan memberikan keindahan panaroma Kota , dan membersihkan aparat-aparat hitam yang memikirkan kantong semata, setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan dan ditindak lanjuti: pertama, mengingat, aturan sudah berusia lebih dari satu tahun, namun realisasinya nihil belaka. Karena itu Walikota dengan bersinergi dengan aparat-aparat terkait harus komitmen dengan aturan yang sudah dibuat.
Kedua, harus ada sanksi yang tegas kepada aparat-aparat hitam yang tentunya dapat memberikan efek jera. Mengingat bisnis hitam ini bisnis yang cukup menggiurka, tanpa adanya sanksi yang dapat memberikan efek jera, hal ini susah untuk diatasi.
Ketiga, Dinas Tata Kota musti meningkat kinerja yang lebih ekstra, kejujuran, dan memberikan sanksi yang tegas kepada anggotanya jika ditemukan anggotanya yang berwatak hitam.
Keempat, Satpol PP dengan bekerja sama dengan Dinas Tata Kota harus langsung terjun kelapangan untuk menertibkan reklame-reklame “haram” di kawasan “haram”. Dengan demikian, reklame-reklame yang merusak keindahan Kota yang ini dapat ditertibkan.
Dan sekarang kita menagih komitmen Walikota atas aturan yang telah dibuat untuk membersihkan reklame-rekleme “haram”, termasuk juga aparat-aparat hitam tersebut yang malang melintang di sana sini. Percuma aturan dibuat yang konon katanya atas nama Peraturan Walikota, kalau Cuma aturan belaka.
Mudah-mudahan kedepannya, “Kota Jambi Bersih Nasional”, bukan hanya bersih dari rongrongan sampah, melainkan juga bersih dari dari reklame-reklame liar yang amburadul yang merusak keindahan Kota, serta bersih dari aparat-aparat hitam yang hanya memikirkan kantong belaka.
Akhir kata, kita yang hanya rakyat jelata, yang selalu menunggu kebijakan-kebijakan pemimpin kita, minimal kita bisa berdo’a mudah-mudahan pemimpin kita cepat tanggap dengan rakyatnya. Cepat tanggap untuk keindahan kotanya. Dan cepat tanggap untuk kebersihan aparat-aparatnya. Mudah-mudahan Negeri sepucuk Jambi Sembilan lurah menjadi Negeri yang baldatun, tayyibun, warubbun ghafur. Bak adat mengato, “aek ning ikannyo jernih, rumput mudo kerbaunyo gemuk, Negri aman padinyo menjadi, aman kampung karno dek yang tuo, ramai kampung karno dek yang mudo, kak kusut samo-samo kito baikkan, kak keruh samo-samo kito jernihkan”. (*Penulis adalah Alumni Fakultas Syari’ah IAIN STS Jambi/Peneliti pada Forum for Studies of Islamic Thought and Civilization).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar