Akhir-akhir ini yang terasa kurang pada bangsa ini adalah gelora idilogi bangsa. Setiap komunitas seharusnya selalu memiliki idiologi. Idiologi bisa diartikan sebagai cita-cita ideal masa depan. Oleh karena itu, idiologi sangat penting untuk memberikan arah, kekuatan, daya hidup, dan bahkan juga menyatukan seluruh komponen yang ada.
Bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki idiologi itu, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Namun akhir-akhir ini, idiologi tersebut tidak banyak digelorakan. Saya lebih suka menyebutnya sebagai digelorakan dan tidak sebatas disuarakan, agar memiliki kekuatan lebih. Saya menganggap bahwa idiologi tidak cukup hanya disuarakan. Idiologi seharusnya selalu digelorakan secara terus menerus.
Sebagai cita-cita, idiologi akan menjadi kekuatan penggerak, dan sebagai sesuatu yang diperjuangkan. Semangat berjuang akan melahirkan kerelaan untuk berkorban. Berjuang dan berkorban adalah dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Seseorang disebut sebagai pejuang manakala yang bersangkutan mau berkorban. Sebagaimana pula pengorbanan adalah untuk sebuah perjuangan.
Komunitas yang tidak berorientasi untuk berjuang dan apalagi kehidupannya hanya diwarnai oleh semangat yang bersifat prakmatis, kekinian, dan jangka pedek, maka akan melahirkan budaya korup, nepotis dan kolutif. Oleh sebab itu sebenarnya, penyimpangan sosial seperti kolusi, korupsi dan nepotisme tersebut adalah sebuah produk dari masyarakat yang tidak memiliki idiologi secara jelas. Atau, idiologinya jelas tetapi tidak digelorakan, sehingga akibatnya tidak mampu melahirkan gerakan kebersamaan.
Lingkungan birokrasi yang tidak berhasil menghidupkan suasana atau iklim perjuangan, dan apalagi hanya digerakkan oleh aturan formal, maka akan rentan tumbuhnya suasana korup dan atau berbagai bentuk penyimpangan. Itulah sebabnya, sementara pakar mengatakan bahwa birokrasi cenderung korup. Hal itu terjadi oleh karena birokrasi tidak selalu dihidupkan oleh semangat berjuang, melainkan oleh kekuatan mesin birokrasi yang bersifat teknis dan rutin.
Pancasaila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika adalah merupakan idiologi bangsa yang sedemikian jelas. Idiologi tersebut telah berhasil menjadi milik bagi seluruh rakyatnya. Kesadaran sejarah hingga melahirkan pilar-pilar kehidupan bangsa tersebut seharusnya digelorakan secara terus menerus dari waktu ke waktu, dijaga, dan tidak boleh siapapun memanipulasinya.
Manakala idiologi besar tersebut berhasil digelorakan hingga benar-benar berhasil menjadi milik seluruh bangsa ini, maka secara otomatis akan mencegah munculnya idiologi baru sebagai tandingan. Atas dasar pemahaman itu, maka munculnya kembali isu NII misalnya, sebenarnya adalah oleh karena idiologi besar sebagaimana dikemukakan di muka semakin tidak terdengar digelorakan.
Setiap organisasi, dan apalagi organisasi besar seperti sebuah bangsa, sangat memerlukan idiologi yang mampu menggerakkan seluruh komponen yang ada. Idiologi adalah mirip dengan agama, kedua-duanya selalu ada bentuk ritualnya. Upacara bendera, menyanyikan lagu kebangsaan, dan seterusnya adalah bentuk ritual idiologi kebangsaan. Ritual itu mempertegas bahwa dalam kehidupan berbangsa, maka harus ada sesuatu yang dihormati, dihargai, dan dijunjung tinggi, untuk menghidupkan semangat kebangsaan itu.
Selain itu, masih menjadi bagian dari idiologi, lambang-lambang yang dimiliki bersama sebagai kehormatan bangsa harus selalu dihidupkan di dalam alam kesadaran seluruh warganya. Bagi bangsa Indonesia, lambang-lambang itu misalnya berupa bendera merah putih, burung garuda, lagu kebangsaan, para pahlawan, kepala negara dengan istananya, maka semua harus selalu ditempatkan pada posisi terhormat. Lambang-lambang itu menjadi identitas, dan kehormatan bersama. Bahkan, harkat dan martabat setiap warga negara tergambar dan berada pada lambang-lambang itu.
Betapa besar kekuatan idiologi bangsa dalam menggerakkan kekuatan seluruh rakyat, bisa dilihat tatkala bangsa ini berjuang, berperang melawan penjajah untuk merebut kemerdekaannya. Pada saat itu, setiap orang atas kecintaannya terhadap tanah air, bersedia mengorbankan kepentingan individu, kelompok, suku dan kedaerahan untuk membela bangsanya. Bahkan mereka mau melepaskan apa saja yang ada padanya untuk kepentingan bangsanya, tanpa peduli apa yang akan diperolehnya kemudian.
Idiologi bangsa seperti itu harus selalu dipelihara dan digelorakan oleh seluruh pemimpinnya, di semua level yang ada. Idiologi bangsa berfungsi merangkum dan menyatukan seluruh komponen yang ada dan sekaligus menjadi kekuatan untuk menghindari terhadap munculnya idiologi baru yang tidak boleh tumbuh dan berkembang. Tanpa idiologi yang selalu digelorakan, maka sebuah bangsa akan kehilangan arah dan orientasi, dan sebagai akibatnya pula akan lahir konflik dan bahkan juga berbagai penyimpangan yang tentu tidak mudah diberantas.
Catatang ini diambil dari kolom Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Oleh Prof.Dr.H.Imam Suprayogo dalam:
1 komentar:
keep blogging ^_~
Posting Komentar